Rabu, 11 April 2012

cerita

hooy mas broo dah lama amat gak update blog ini..
hmmmm...
apa yaaah skrng,,
mungkin skrng gue mau cerita tentang gebetan nihh..
gebetannn?
ohh my goshh..
gebetann?
oh iya sebelum cerita..
pengen tau gak sih arti dari gebetan itu apa..
gebetan itu bisa di artikan sebagai calon pacar yang mungkin fifty fifty...
klo sekarang, hari ini , jam ini, menit ini, detik ini..
gue mungkin lg punya gebetan skrng..
skrng?
iya sekarang..
hahahahaha...
pusing dah gue..
awalnya sihh pengen kenalan..
tapi krn penasaran jd bbmn..
*nahlohh
jadi gebetan dehh..
kyna skrng gue agak meragukan sih..
tapi di jalananin aja lahh semuanya..
nyari kecocokan dlu..
hahaha..
eh btw mau tau gak ciri ciri gebetan gue kya gmn..
orangnya tinggi lohh.
terus yang paling penting dia tuh cewe bukan cowo..
oke ini di perjelas gebetan gue tuhh CEWE bukan COWO..
baik sihh tp agak jutek..
tp suka :D
haha, alay..
bisa di bilang banget..
apalagi klo badmood..
ughh bisa jamuran nungguin bbm..
udahan ahh..
bersambung

THE LORD OF THE TEETH


Lord Of The Teeth

Chapter 1 : The Destined Man
                Perang antara prajurit kera dan manusia sudah berlangsung hingga ratusan tahun. Sebelumnya manusia dan para kera hidup berdampingan sampai akhirnya raja kera baru yang bernama Sitio yang kejam memutuskan untuk membinasakan umat manusia dan bermaksud menguasai seluruh Bumi Serang. Penyerangan para kera terjadi pada tahun 2350 waktu Bumi Serang. Tetapi para manusia tidak tinggal diam. Dengan menyatukan kekuatan, para manusia berhasil memukul mundur para kera hingga menyudutkannya di negerinya sendiri, di Lembah Citra Gading yang dikelilingi gunung-gunung tinggi yang suram dan berbahaya. Hanya para keralah yang dapat melewatinya. Karena itulah para manusia memutuskan untuk mengurung kera-kera itu dibalik pegunungan ini.
                Setelah mengalami kekalahan, para kera ini terus berdiam di negerinya dan mengumpulkan kekuatan. Raja keraa Sitio amat sakti sehingga ia dapat hidup selama ribuan tahun. Tetapi, pada pertarungan terakhirnya melawan manusia, giginya berhasil dipatahkan dan disembunyikan para manusia sehingga kekuatannya melemah. Karena itulah ia terus menunggu saat yang tepat untuk melakukan serangan balasan.
***
                1000 tahun telah berlalu sejak pertarungan besar para kera melawan manusia. Pada pertarungan sebelumnya menghabiskan waktu 10 tahun, jadi waktu saat ini adalah tahun 3360 waktu Bumi Serang. Para manusia sudah melupakan perang besar 1000 tahun yang lalu yang melibatkan seluruh makhluk yang tinggal di Bumi Serang.
***
                Di Bumi Serang terdapat sebuah desa kecil bernama Desa ManggaDua. Desa ini terletak di dekat Lopang Kingdom, kerajaan yang memimpin umat manusia 1000 tahun lalu untuk melawan para manusia kera. Di desa manggaDua tersebut hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama Viktul. Usianya baru sekitar 15 tahun. Ia memiliki tubuh yang kurus dan rambut yang trendi. Ia senang sekali pergi memancing. Lalu, pada suatu sore ketika ia memancing, tiba-tiba ia melihat sinar menyilaukan yang berasal dari hulu sungai. Karena penasaran, maka ia segera berjalan mendekati sinar itu. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ia menemukan sinar itu berasal dari dasar sungai. Viktul segera melompat ke dalam sungai dan mengambil benda yang menghasilkan sinar itu.
                Entah mengapa air di sekitar sinar tersebut terasa lengket. Viktul menjadi kesulitan untuk berjalan. Air itu pun menjadi agak bau. Lalu Viktul mencoba untuk merangkak dan meraba-raba dasar sungai tersebut. Setelah mencari cukup lama, tiba-tiba Viktul merasakan sesuatu yang bergejolak di dekat telapak tangannya. Ia mengikuti kekuatan itu dan akhirnya menemukan sesuatu yang terasa bergetar di telapak tangannya.
                Viktul segera mengangkat benda tersebut dari dasar air. Ternyata benda tersebut adalah benda semacam gigi patah! Tiba-tiba saja Viktul merasakan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa sangat ingin memasang gigi patah itu di giginya. Perasaan itu semakin lama semakin kuat sehingga ia menjadi tak kuat lagi menahan perasaan itu. Iapun menuruti perasaannya dan memasang benda itu di giginya...
***
                Di lain tempat, di Lembah Citra Gading tempat para kera setinggi 2 meter dan berbadan besar itu tinggal, yang dipimpin oleh Sitio tiba-tiba menjadi gempar. Tiba-tiba saja Sitio terbangun dari pertapaannya dan berteriak “ GIGIKU!!!GIGIKU TELAH DITEMUKAN!!! “ Serentak seluruh kera menjadi besar. Mereka berteriak-teriak bersama Sitio. Teriakan mereka yang mengerikan ini bahkan tersengar ke seluruh penjuru Bumi Serang.
                Gondlaf, guru daripada Viktul yang juga penyihir hebat yang tinggal di Desa ManggaDua, mendengar teriakan ini dan tiba-tiba menjadi ketakutan. “A...Apakah ini.... Kebangkitan dari Sitio??? Jika memang benar akan hal itu, maka dunia ini akan kembali terancam bahaya!!!” kata Gondlaf kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengar teriakan warga desa dari arah gerbang masuk ke desa. Gondlaf segera berlari menuju ke sana.
                “Apa yang terjadi di sini?” Gondlaf bertanya kepada salah seorang warga desa yang berada di sana, dan tanpa diduga-duga ia melihat Viktul yang sedang mengamuk dan menggigiti orang-orang desa yang sedang menghalanginya. Gondlaf sangat terkejut melihat hal ini, apalagi ketika ia melihat gigi Viktul yang membesar dan berwarna berkilauan, serta air liurnya terus mengalir ke mana-mana.
                “Viktul, muridmu... Ia menggigiti semua warga desa yang ditemuinya!!!!” kata salah seorang warga desa yang panik.
                “Celaka, jangan-jangan ini...” Gondlaf segera berlari ke arah Viktul sambil mengangkat tongkatnya. Ketika melihat Gondlaf mendekat, Viktul segera berlari ke arahnya hendak menggigitnya. Tetapi si tua Gondlaf bergerak dengan cepat dan memukul gigi Viktul hingga lepas. Viktul langsung mengerang kesakitan dan berguling-guling di atas tanah.
                “Viktul!!! Sadarlah!!!” kata Gondlaf sambil memegangi kepala Viktul. “Ambilkan aku segeelas air! Dan juga segera bawa orang-orang yang tergigit oleh Viktul ke rumah tabib!!! Cepat!!!” kata Gondlaf sengan ketakutan. Semakin lama kesadaran Viktul semakin menghilang. Semakin lama semakin hilang. Akhirnya Viktul pingsan dan tak bisa mengingat apa-apa lagi.
Keesokan paginya, tiba-tiba Viktul terbangun di atas tempat tidurnya. Ia hendak bangun bangun tetapi tiba-tiba giginya terasa sakit. Tiba-tiba sesosok pria tua dengan jenggot dan kumis yang menutupi mulutnya serta berambut putih panjang masuk ke kamar Viktul. Itu adalah Gondlaf.
“Jangan takut, ini aku!” kata Gondlaf tersenyum.

*Untuk Gondlaf dapat dibayangkan sebagai siapa saja asalkan bukan bagian dari 5 fali (Mliit,Virlu,Zanu,Vabalife,Rapavaxava)
“A...Apa yang terjadi padaku???” tanya Viktul penasaran.
“Tenang dulu, sebelumnya katakan padaku dari mana kau menemukan benda busuk ini?” tanya Gondlaf sambil menyodorkan sebuah bungkusan kepada Viktul. Ketika Viktul membukanya, ia melihat sebuah gigi patah di dalamnya. Gigi yang ditemukan oleh Viktul di sungai itu kemarin. Ketika Viktul hendak menyentuhnya, Gondlaf segera melarangnya “Hentikan, jangan sentuh benda iblis menjijikkan itu!”
“Me...Mengapa?” tanya Viktul keheranan.
                “Benda iblis itu, benda yang digunakan oleh raja kera Sitio 1000 tahun lalu untuk menyerang para manusia. Benda mengerikan itu memiliki kekuatan yang membuat pemegangnya menginginkan untuk memasang benda itu di mulutnya. Hanya Sitiolah yang manpu mengendalikan kekuatan itu!” Gondlaf mulai menjelaskan. “Semua orang selain Sition yang memasang benda itu akan menjadi haus darah dan ingin menggigit siapapun yang ditemuinya. Dan semua orang yang sudah tergigit akan berubah menjadi monster mengerikan yang lebih mengerikan dari manusia kera. Dengan benda inilah Sitio dapat menghimpun pasukan monster yang dahsyat!!!”
                “A...Aku ingat! Kemarin aku setelah aku menemukan benda itu, aku merasa ingin sekali memasangnya di gigiku! Setelah aku memasang benda itu di gigiku, tiba-tiba aku merasa ingin menggigit sesuatu. Saking kuatnya keinginan itu, aku jadi dapat merasakan keberadaan manusia di sekitarku! Maka aku segera berlari ke desa, dan...dan...menggigiti orang-orang desa...” kata Viktul kaget. “Ba...Bagaimana ini??? Apakah mereka akan berubah menjadi monster dalam sepuluh hari???”
                “Tenang saja nak, aku tahu cara mengobati mereka. Aku akan merawat mereka selama sepuluh hari hingga mereka sembuh.” Kata Gondlaf.”Tapi kau... Bagaimana mungkin kau bisa menemukan benda tersebut? Jangan-jangan kau adalah orang terpilih yang mendapatkan tugas untuk melenyapkan benda tersebut...”
                “A...Aku...Tapi, bagaimana caranya melenyapkan benda itu?” tanya Viktul keheranan.
                “Tenang saja nak sekarang kau pergilah ke Lopang Kingdom. Temui Lord Mliit dan beritahukan hal ini kepadanya! Beritahukan juga, mungkin raja kera Sitio telah bangkit! Cepat atau lambat ia akan segera kembali dan berusaha merebut benda ini!”kata Gondlaf. “Ia akan memberikanmu perlindungan!”
                “Ta...Tapi, bagaimana aku akan ke sana? Jika benar Sitio akan kembali, maka ia pasti akan mengirimkan anak buahnya untuk memburuku!” kata Viktul. “Aku harus segera mengirimkan gigi ini, tetapi kau harus merawat orang-orang desa...”
                “Tenanglah, kau akan mendapatkan bantuan!” tiba-tiba Gondlaf berteriak ke arah toilet “ HEI KAU YANG SEDANG BERADA DI TOILET DAN MENDENGARKAN! CEPAT KELUARLAH KE SINI!!!” Suara Gondlaf yang membahana dan menakutkan nampaknya berhasil membuat orang yang bersembunyi di toilet tersebut keluar. Viktul sangat kaget ketika mengetahui bahwa ada orang yang sedang bersembunyi di toilet.
                Ternyata orang tersebut adalah Alvin si Kakek. Alvin adalah teman baik Viktul. Ia bertubuh kecil dan gemuk, berkacamata, serta memiliki rambut yang beruban sehingga ia di sebut Alvin si Kakek. “Ma...Maafkan aku... aku tak sengaja mendengarkan... maaf!”
                “Sudahlah... lagipula aku tahu bahwa kau adalah teman baik Viktul karena itu aku akan memohon bantuanmu untuk menemani Viktul untuk membawa gigi ini! Lagipula aku dengar kau menguasai sedikit ilmu pedang?” kata gondlaf dengan lembut.
                “Ya...sedikit...” jawab Alvin.
                “Me...mengapa dia?” tanya Viktul keheranan.
                “Kurasa hanya ialah orang yang dapat kupercaya. Banyak warga desa yang sudah mengetahui kekuatan daripada gigi ini. Aku rasa mereka yang berhati busuk akan memilih untuk merebutnya darimu dan menggunakan kekuatannya! Kurasa hanya temanmu Alvinlah satu-satunya orang yang tidak akan merebut benda ini dari tanganmu!” jawab Gondlaf “ Benar kan?”
                “Ya...ya, tentu saja! Aku tidak akan mengkhianat temanku!” jawab Alvin dengan penuh keyakinan. Gondlafpun tersenyum.
                “Kalau begitu kalian segeralah pergi! Persiapkanlah diri kalian baik-baik! Sebaiknya kalian pergi malam ini selagi warga yang lain masih tidur! Kalian harus pergi secara diam-diam! Aku akan menyusul kalian 10 hari lagi!” kata Gondlaf.
                “Baiklah!” kata Viktul dan Alvin bersamaan. Kemudian Alvin segera pulang ke rumahnya dan mempersiapkan segalanya. Alvin juga adalah anak yatim piatu seperti Viktul. Mungkin karena inilah ia bersahabat erat dengan Viktul. Mereka berdua selalu saling tolong menolong dan tak pernah saling mengkhianati satu sama lain. Persahabatan mereka sangatlah tulus.
                Pada sore harinya, Gondlaf datang ke rumah Viktul setelah merawat warga desa yang terluka akibat serangan Viktul. Lalu ia berbicara kepada Viktul “ Apakah kau sudah siap? Hari sudah semakin gelap. Seperti yang kuperkirakan, warga desa itu terus bertanya mengenai dirimu dan gigi itu. Sebagai gurumu tentu saja aku melindungimu!”
                Tetapi Viktul diam saja. Lalu Gondlaf pun mencarinya dan menemuinya sedang terduduk di toilet dan tampak ketakutan. Ia terus menatap lantai. Lalu Gondlaf bertanya “Ada apa nak?”
                “A...apa aku adalah orang berhati busuk?” tanya  Viktul sambil tetapi menatap ke lantai.
                “Ah, tentu saja tidak! Apa yang membuatmu berpikir demikian?” tanya Gondlaf.
                “Kau bilang, mereka yang berhati busuklah yang akan menggunakan gigi ini...Apa...aku...”
                “Tentu saja tidak! Asal kau tahu, setiap orang pasti memiliki sisi gelap di hatinya, biarpun sedikt. Bahkan, akupun masih memiliki sedikit sisi gelap di hatiku!” kata Gondlaf tegas.
                “Benarkah?” tanya Viktul.
                “ya, dan salah satu kekuatan dari gigi ini adalah, gigi ini akan mengembangkan sisi gelap yang ada di hati kita sehingga hati dan pikiran kita menjadi jahat! Ini semua bukan salahmu, mengerti?” kata Gondlaf.
                “Tapi jika begitu, berarti tidak ada masalah dengan siapa yang memegang gigi ini bukan?” tanya Viktul lagi.
                “Hmmm... Tetapi kau berbeda! Kalau orang biasa, setelah memasang gigi ini, cepat atau lambat ia pasti akan berubah menjadi monster juga, tetapi kau lain... Kau hanya mengamuk, tetapi itupun seperti dapat sedikit kau kendalikan! Jadi, aku yakin kalau kau adalah orang yang tepat, lagipula aku telah membuat 2 gigi depan atasmu copot dengan pukulanku, aku harap itu akan bisa selalu mengingatkanmu akan hal ini, jika suatu saat nanti kau hendak memasang gigi itu dan tidak menemukan kedua gigimu yang sudah hilang itu!” kata Gondlaf.
                Viktul kemudian tampak puas dan diam sejenak, lalu berkata “Hmmm, baiklah! Akan kuingat selalu hal ini!”
                Lalu tiba-tiba Gondlaf memeluk Viktul dan berbisik “Asal kau tahu, kau adalah murid terbaik yang pernah kumiliki!”
               
***
                Malampun tiba. Viktul dan Alvin telah bersiap-siap untuk pergi. Mereka sedang berdiri di depan pintu rumah Viktul bersama Gondlaf. Sebelum berangkat, Gondlaf memberikan sebuah kalung Mutiara hitam kepada Alvin. “ Kalung ini akan menyala jika kejahatan mendatangimu! Berhati-hatilah!”
                “Baik!Aku pasti akan melindungi Viktul dengan sekuat tenagaku, karena Viktul adalah...temanku!!!” kata Alvin serius.
                Gondalfpun tersenyum. Viktul dan Alvin segera memulai perjalanannya. Perjalanan inilah yang di kemudian hari akan mengubah dunia.
***
Chapter 2 : The Beginning of Long Journey
                Sudah 7 hari berlalu sejak Viktul dan Alvin meninggalkan desa. Mereka harus melewati hutan lebat yang menghubungkan Desa ManggaDua dan Lopang Kingdom. Karena perbatasan hutanyang lebat ini jugalah, warga desa maupun warga Kerajaan jarang melakukan hubungan apapun.
                Lalu, di suatu sore, ketika matahari sudah mulai terbenam, Viktul memutuskan untuk berhenti. Lalu ia melihat Alvin yang sedang duduk kemudian berdiam diri. Tiba-tiba Viktul ingin menanyakan suatu hal yang sudah ingin ia tanyakan kepada Alvin ketika mereka meninggalkan desa. Maka, Viktul bertanya kepada Alvin “Ada apa? Kau tampak sedih...Apa kau sedih karena telah meninggalkan desa?”
                Lalu Alvin menoleh dan tampak kaget “Eh, sedih???” kemudian Alvin tertawa-tawa “Hahahahahahahahaha.... Bagaiman mungkin aku bisa sedih??? Justru selama ini aku ingin pergi ke luar desa, tetapi Kepala Desa selalu melarangku. Dan mungkin karena dengan pergi menemanimu maka aku bisa pergi ke luar desa, aku langsung menyetujui untuk menemanimu yah??? Hehehe... Kepala Desa selalu mengatakan bahwa kehidupan di luar sini amat berbahaya! Karena itu jugalah aku belajar ilmu pedang. Hehehe... ada-ada saja kau...”
                “A...apa???Jadi kau menemaniku hanya agar bisa pergi keluar desa???” tanya Viktul terkejut.
                “I...iya...mungkin...hehehe...” lalu tiba-tiba Viktul mendorong Alvin dan mereka jatuh terguling-guling. Setelah itu mereka tertawa-tawa.
                Tetapi, nampaknya keceriaan ini akan segera berakhir. Tiba-tiba kalung mutiara Alvin hasil  pemberian Gondlaf menyala-nyala sambil mengeluarkan suara ngung kecil. Kalung mutiara hitam itu juga bergetar-getar.
                “A...ada apa ini...” Alvin bertanya-tanya “Celaka...jangan-jangan kita sedang berada dalam bahaya!”
                “A...ap...apa...Celaka...Ayo kita lekas pergi dari sini!”
                Kemudian Viktul dan Alvin segera mempersiapkan segalanya untuk segera berangkat. Begitu mereka mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba muncul suara bergemeresik dari pepohonan dan rerumputan yang tinggi, kemudian melompatlah beberapa sosok tak dikenal yang mengerikan ke hadapan Viktul dan Alvin. Makhluk-makhluk itu seperti kera yang seluruh tubuhnya diperban dan wajahnya sudah membusuk. Lalat dan belatung mengerumuni wajah dan tubuhnya. Sepasang pedang pendek dipasangkan di kedua punggung tangannya, seakan-akan makhluk-makhluk ini memang diciptakan untuk membunuh.
                “Gawat...jumlah mereka banyak sekali...Ada 3...bukan, 4 ekor!”kata Alvin ketakutan “Ayo, kita segera pergi dari sini!” kata Alvin sambil menarik tangan Viktul. Tetapi Viktul yang ketakutan hampir tak bisa bergerak, sehingga ketika Alvin menarik tangannya, ia malah terjatuh. Alvin tidak punya pilihan lain selain mencabut pedangnya yang pendek dan berdiri di samping Viktul untuk melindunginya.
                “Kalian tak akan kubiarkan menyentuh temanku! Aku akan melindunginya sampai kapanpun!” kata Alvin kepada makhluk-makhluk itu sambil memberanikan diri. Makhluk-makhluk itu kemudian bergerak dengan cepat mengelilingi Viktul dan Alvin. Keringat dingin terus mengalir dari tubuh Viktul. “Jangan takut! Kita akan baik-baik saja!” kata Alvin menyemangati.
                Makhluk-makhluk itu terus mencoba mendekat dengan hati-hati. Terkadang merka mengayunkan pedang yang sudah menyatu dengan tangannya itu ke arah Viktul dan Alvin, tetapi Alvin selalu menghindarinya. Viktul yang masih ketakutan terus duduk dan tak bergerak. Tiba-tiba salah satu makhlk itu melompat ke depan sambil mengarahkan pedangnya. Alvin berhasil bergerak menghindarinya dan makhluk itu melewati Alvin. Tetapi, tiba-tiba makhluk yang lain melompat dari belakang dan berhasil menebas lengan kanan Alvin sehingga pedang Alvin terjatuh.
                Alvin mengerang kesakitan sambil memegangi lengan kanannya, dan kemudian terduduk. Alvin yang kesakitan sudah merasa tak mampu untuk berbuat apa-apalagi. Tiba-tiba salah satu makhluk melompat ke arah mereka. Alvin kemudian menutup matanya dan berbisik ke telinga Viktul “Maafkan aku temanku...”.
                Tetapi, tiba-tiba terdengar suara erangan kesakitan dari makhluk itu. Karena penasaran maka Alvin membuka matanya dan melihat makhluk yang melompat tadi sudah terguling-guling di tanah dengan sebuah anak panah menancap pada punggungnya. 3 makhluk yang lain menoleh ke arah datangnya anak panah itu, dan mendapati beberapa orang, sekitar 20 orang, sedang berjalan menuju ke arah mereka.
                Orang-orang itu memakai seragam seperti prajurit. Kemudian beberapa dari mereka mempersiapkan busurnya dan yng lain mempersiapkan pedangnya. Makhluk-makhluk itu segera berlari ke arah mereka, tetapi para pemanah segera melepaskan anak panahnya dan membuat 2 dari makhluk itu terjatuh tak berdaya. Tetapi ada satu makhluk yang masih bertahan, dengan anak panah menancap di bahunya. Ketika ia sudah berada cukup dekat dengan para prajurit itu, ia segera melompat, tetapi tiba-tiba salah seorang prajurit maju dengan gerakan cepat dan berhasil menancapkan pedang ke dada makhluk itu sebelum makhluk itu sempat berbuat apa-apa.
                Kemudian, setelah memastikan makhluk-makhluk itu telah terbunuh, orang-orang itu berjalan mendekati Viktul dan Alvin. Tetapi tiba-tiba penglihatan Alvin menjadi buram. Semakin lama ia semakin tak bisa melihat apa-apa lagi, dan akhirnya ia jatuh pingsan. Alvin pingsan akibat kelelahan dan darahnya banyak yang terbuang akibat terkena sabetan pedang yang dalam dari makhluk-makhluk itu.
***
                Kemudian, pada suatu siang yang terik, Alvin terbangun dari pingsannya. Ia kaget sekali, karena ternyata ia tidak terbangun di tengah hutan, tetapi terbangun di sebuah kamar yang megah. Ranjangnya trasa sangat empuk dan jendela yang tampaknya berwarna emas terbuka lebar. Banyak perhiasan indah tergantung di dinding. Alvin bingung. Ia merasakan ada sesuatu yang menimpa kakinya. Ketika Alvin bangun dan berusaha untuk melihatnya, ternyata itu adalah Viktul yang sedang tertidur.
                Karena pergerakan Alvin, Viktul menjadi terbangun. Alvin segera meminta maaf kepada Viktul, tetapi Viktul hanya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa.
                Kemudian Alvin bertanya kepada Viktul “ Di mana ini?”
                “Kita berhasil! Kita sudah sampai di Lopang Kingdom! Lihat ruangan ini! Hebat bukan? Bisakah kau menebak kamar apa ini?” jawab Viktul.
                “Hmmm... istana raja?”
                “Salah!” kata Viktul tersenyum. “Ini adalah rumah tabib!!! Hebat bukan?”
                “Be...benarkah???He...hebat sekali...hehehe...” kata Alvin kagum. “Ngomong-ngomong, sudah berapa lama aku pingsan? Kejadian di hutan itu benar-benar mengerikan...Maafkan aku, Viktul... Aku sama sekali tidak bisa melindungimu...”
                “Tak apa! Kau sudah pingsan selama 3 hari! Itu membuktikan bahwa kau telah berusaha sangat keras untuk melindungiku! Huh, aku sendiri tak bisa berbuar apa-apa saat itu...Kau sangat hebat temanku!” kata Viktul menyemangati.
                “Hehe. Kau memang baik temanku! Lain kali aku pasti akan berusaha lebih keras! Aku janji!” lalu Alvin melanjutkan “Dan... kau bilang aku sudah pingsan selama 3 hari, itu berarti ini adalah hari kesepuluh sejak kita pergi! Bagaimana dengan Gondlaf? Apa Ia sudah ke sini?”
                “Aku baru saja mendapat pesan darinya. Ia baru saja berangkat setelah berhasil menyembuhkan seluruh warga desa yang menjadi korbanku waktu itu. Hehehe...”
                “Lalu...Apa kau sudah memberitahukan pesan Gondlaf Kepada Lord Mliit? Bagaimana selanjutnya?” tanya Alvin penasaran.
                “Hmmm...kurasa itulah masalahnya... Lord Mliit dan Jendralnya tidak mempercayai ceritaku, bahkan setelah aku menunjukkan gigi ini... Kurasa untuk langkah selnjutnya sebaiknya kita menunggu Gondlaf saja!” kata Viktul.
                “Hmmm...Baiklah! Ngomong-ngomong, sampai kapan aku boleh tidur di ranjang empuk ini? Hehehe...”
***
Chapter 3 : Sitio’s First Attack
Setelah itu, Alvin memutuskan untuk berjalan-jalan di Lopang Kingdom. Menurutnya, tak ada gunanya mereka memaksa Lord Mliit untuk mempercayai mereka. Karena hal itulah, Alvin memutuskan untuk menunggu Gondlaf saja. Memang benar, pemandangan di Lopang Kingdom sangat sulit dipercaya bagi orang yang lahir dan besar di desa. Banyak sekali bangunan-bangunan megah di sana-sini. Lopang Kingdom juga memiliki banyak sekali jalan berliku-liku. Viktul dan Alvin pernah beberapa kali tersesat ketika berjalan di jalan-jalan Lopang Kingdom. Menurut Alvin, dibandingkan Desa ManggaDua, Lopang Kingdom 100 kali lebih besar dan hebat. Viktul yang kesal karena kelakuan Alvin yang terus membanding-bandingkan antara Lopang Kingdom dan Desa ManggaDua memilih untuk diam saja selama Alvin mengoceh. Tetapi Alvin terus saja mengoceh tentang kehebatan Lopang Kingdom.
                Di tengah-tengah Lopang Kingdom, terdapat gedung yang amat besar dan megah. Dindingnya tampak terbuat dari emas dan berkilauan ketika terkena terpaan matahari. Alvin benar-benar kagum dengan hal yang sedang dilihatnya ini. Viktul yang menyadari akan hal ini kemudian berkata “ Itu adalah Kingdom Hall. Aku sudah pernah masuk ke dalam sana. Hebat sekali semua hal yang ada di dalam sana.”
                Alvin terkejut, kemudian berkata “ Hah??? Bagaimana mungkin? Kapan?”
                “Aku masuk ke sana tempo hari ketika kau sedang pingsan, ketika aku mengirimkan pesan yang diberikan oleh Gondlaf!” jawab Viktul “Huh, padahal kau sudah kuajak untuk menemui Lord Mliit di sana kemarin, tetapi kau menolak karena ingin jalan-jalan...”
                Alvin menjadi merasa menyesal “Ma...maafkan aku! Ayo sekarang kita ke sana dan memberitahukan pesan Gondlaf!”
                “Huh, enak saja...sekarang aku sedang ingin menunggu Gondlaf tahu! Aku yakin sebentar lagi ia akan datang!” kata Viktul dengan nada meledek.
                “Hah...” kata Alvin memelas.
                Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki kuda yang sedang berlari ke arah mereka. Suara langkah kaki ini terdengar amat ringan. Viktul yang menyadari langkah kaki kuda siapa ini tiba-tiba merasa lega dan menoleh. Tetapi sebelum Viktul sempat menoleh, si penunggang kuda itu sudah berteriak dengan suara lantang “Hei, bocah-bocah! Aku tidak menyuruh kalian ke sini untuk bermain-main!”, kemudian penunggang kuda putih itu tersenyum kepada mereka.
                “Gondlaf!” kata Alvin dan Viktul bersamaan. Mereka merasa sangat senang dan berlari ke arah Gondlaf yang sudah menghentikan kudanya.
                “Bagaimana kabar kalian? Apa kalian sudah memberitahukan pesanku?” tanya Gondlaf.
                “Uh, kabar kami buruk sekali. Kami diserang makhluk mengerikan di tengah hutan dan aku mendapatkan luka di lenganku, dan lagi Lord Mliit juga tidak mempercayai kata-kata kami...” kata Alvin dengan cepat “ Kurasa sebaiknya kau sendiri yang berbicara pada Lord Mliit!”
                “Hmmm, tenanglah nak! Baik, aku akan berbicara pada Lord Mliit. Mari kita berangkat!” kata Gondlaf dengan tenang.
                Mereka segera berjalan menuju Kingdom Hall. Alvin berjalan dengan amat bersemangat. Bukan karena untuk memberitahukan pesan ini, tetapi karena Alvin ingin sekali melihat isi daripada Kingdom Hall ini. Ketika sampai di gerbang depan Kingdom Hall, beberapa orang penjaga menanyai mereka. Lalu Gondlaf berbicara kepada mereka selama beberapa saat dan mereka membiarkannya masuk. Kemudian ketiganya masuk ke halaman depan Kingdom Hall dan segera bergegas masuk ke dalam gedungnya.
                Halaman depannya sangat indah sehingga membuat Alvin terkejut. Banyak sekali pohon cemara di sekeliling mereka dan udara terasa sangat sejuk.
                Di tengah jalan, Viktul bertanya kepada Gondlaf “Mengapa mereka membiarkanmu masuk dengan begitu mudah? Padahal beberapa hari yang lalu ketika aku ke sini, mereka menanyaiku berbagai hal terlebih dahulu, dan memeriksa semua barang bawaanku, serta kepentinganku, barulah aku diperbolehkan masuk. Itu sudah memakan waktu berjam-jam dan aku masih harus menunggu Lord Mliit sekitar 2 jam!”
                “Haha... Asal kau tahu, aku sudah cukup dikenal di sini! Dahulu aku tinggal di sini, sebelum memutuskan untuk pindah ke desa untuk beristirahat!” kata Gondlaf.
                “Tinggal di sini??? Untuk urusan apa?” tanya Viktul lagi.
                “Sebelum menjadi gurumu, aku adalah guru dari Lord Mliit!” kata Gondlaf.
                Viktul menjadi amat kaget dan tercengang. Ia benar-benar tak menyangka bahwa guru yang selama ini mengajarinya tentang kehidupan ternyata adalah seorang yang juga pernah menjadi guru dari penguasa Lopang Kingdom. Ia sungguh kagum dan bangga terhadap Gondlaf. Gondlaf memutuskan untuk menjadi guru sekaligus wali Viktul setelah kedua orang tua Viktul meninggal beberapa tahun yang lalu. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanannya dan memasuki Kingdom Hall.
***
                Ternyata Kingdom Hall amatlah ramai. Banyak sekali petugas yang bekerja di sana. Mereka adalah orang-orang yang dipekerjakan untuk membantu Lord Mliit dalam mengurus seluruh kerajaan. Rombongan Gondlaf berjalan memasuki ruangan bernama “Ruangan Meja Bundar”. Ruang ini amat besar. Ruang ini seperti Hall yang luas dengan lantai keramik yang berkilau. Setiap negeri di Bumi Serang memiliki ruangan seperti ini yang biasanya digunakan untuk rapat. Alvin benar-benar terkejut melihat hal ini. Alvin tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Tiba-tiba Alvin berjalan melompat-lompat ke sana kemari, sehingga Gondlaf berkata “Dasar anak bodoh! Kemarilah dan lihat siapa yang ada di depanmu!”
                Tiba-tiba Viktul menyadari ada seseorang sedang berjalan menghampiri mereka. Ia bukannlah Lord Mliit. Viktul sama sekali tidak mengenalinya. Viktul juga merasa bingung karena kali ini ruangan ini begitu sepi. Orang ini terus berjalan menghampiri mereka dan berhenti ketika sudah berdiri tepat di hadapan mereka. Pria ini memiliki tubuh besar yang tampaknya lebih banyak di isi dengan daging. Ia juga memiliki rambut yang keriting. Kemudian, pria ini berkata sambil tersenyum  “Hai, perkenalkan, aku adalah Jendral Yusingus! Aku tahu apa keperluan kalian datang ke sini. Tidak seperti Lord Mliit, sejujurnya aku percaya pada kalian! Maka daripada itu, maka kita menyatukan kekuatan kita. Pasukanku dan... gigi itu...”
                Viktul merasa heran melihat hal ini. Ia bertanya-tanya mengapa ia mengetahui tentang kedatangan rombongan Gondlaf dan bahkan, yang membuatnya lebih kaget, karena Jendral itu mempercayai mereka... Tetapi Gondlaf memperlihatkan wajah yang berhati-hati, seakan-akan sekarang ia sedang berhadapan dengan seorang yang amat lick. Memang, kepala Jendral yang cukup besar itu memiliki wajah yang terlihat cukup licik.
                “Oh, begitu... Kalau begitu bantulah aku dengan memanggilkan rajamu!” kata Gondlaf tenang.
                “A...apa? Jelas-jelas ia tidak mempercayaimu... Mengapa kau masih mau memanggilnya?” tanya Jendral Yusingus kaget “Biarkan aku yang membantumu!”
                Tetapi tiba-tiba pintu di belakang mereka terbuka. Pintu itu adalah pintu yang digunakan oleh rombongan Gondlaf untuk masuk tadi. Semuanya menengok ke arah pintu itu. Maka terlihatlah sesosok pria tegap dengan rambut hitam yang lurusnya. Pria itu melihat sekeliling terlebih dahulu nampaknya sedang mengawasi, kemudia ia tersenyum dan berkata “Master Gondlaf! Sudah lama sekali kita tidak bertemu! Apa yang membuatmu datang kemari?”
                “Lord Mliit! Hahaha... Aku senang kau tidak melupakanku! Aku datang membawa beberapa kabar untukmu kawan sekaligus bekas muridku! Tapi sebelumnya, tolong bersihkan ruangan ini terlebih dahulu!” jawab Gondlaf.
                Lord Mliit nampaknya mengerti dengan apa yang dimaksud Gondlaf. Kemudian ia menatap Jendral Yusingus dalam-dalam hingga Jendral Yusingus tersentak, kemudian berkata “Jendralku yang setia, mengapa kau masih berada di sini? Kupikir kau masih memiliki banyak tugas penting yang harus diselesaikan?”
                “U...uh...baik, aku akan segera pergi....” lalu Jendral Yusingus segera pergi dengan langkah yang kasar. Wajahnya nampak kesal sekali, tetapi ia tak sanggup berbuat apa-apa terhadap Lord Mliit. Kemudia ia keluar ruangan lalu membanting pintu hingga tertutup dengan bunyi dentuman keras.
                Gondlaf bertanya “Mengapa kau menjadikan orang seperti itu sebagai Jendral dari Lopang Kingdom? Apa kau sudah kehabisan pria yang lebih baik? Di mana Jendral Pendi?”
                Kemudian Lord Mliit menjawab “Hmh... memang aku juga sebenarnya tidak ingin ia menjadi Jendral, tetapi ini adalah permintaan dari almarhum Jendral Pendi... Aku juga tak mengerti sama sekali...”
                “Hah??? Jendral Pendi??? Sudah meninggal??? Ti...tidak mungkin...”
                “Yah... itulah kenyataannya... Ngomong-ngomong, bukankah anak yang di sampingmu itu adalah anak yang kemarin datang dan mengatakan hal tentang kebangkitan Sitio itu? Apa itu benar?”
                “Ya! Sitio sudah bangkit dan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan gigi mautnya itu... Dan bahayanya, tidak hanya Sitio tetapi juga ada banyak orang-orang yang juga mengincar benda ini, seperti Jendralmu itu!” kata Gondlaf.
                Lord Mliit tampak berpikir sejenak, kemudian berkata “Apa kau benar-benar yakin? Sitio sudah tidak pernah terdengar sejak 1000 tahun lamanya. Seluruh umat manusia yang ada juga sudah hampir melupakannya. Seandainya kita menyebarkan berita ini sekarangpun, orang-orang belum tentu akan percaya...”
                Tetapi tiba-tiba pintu di belakang mereka terbuka dan seorang prajurit berlati ke dalam sambil mengangkat sebuah gulungan surat dan berteriak “Lord Mliit! Berita darurat! Hamonia Kingdom of Taktakan baru saja diserang pasukan kera Sitio! Ini surat yang baru saja diterima!” kemudian prajurit itu menyerahkan surat yang ada di tangannya.
                Lord Mliit pun segera mengambilnya dan mulai membaca. Semakin lama matanya semakin melotot membaca surat itu. Ia nampak kaget sekali “Ternyata kalian  memang benar... Surat ini dikirimkan begitu para prajurit Sitio mulai menyerang Harmonia Kingdom of Taktakan, tepatnya kemarin malam. Hanya dalam beberapa jam pasukan kera Sitio sudah berhasil menembus pertahanan Harmonia Kingdom of Taktakan. King Virlu segera menulis surat ini setelah pertahanan mereka berhasil ditembus! Yah, mungkin saja hal ini terjadi, mereka menyerang pada malam hari ketika semua orang sedang terlelap...”
                “Tidak hanya itu, kurasa mereka memang memiliki kekuatan yang mengerikan sekarang. Kurasa Harmonia Kingdom of Taktakan tidak akan memiliki kesempatan lagi, jadi sebelum jatuh semakin banyak korban jiwa, aku sarankan mereka untuk mengungsi ke Royale Palace, negeri terdekat dengan Harmonia Kingdom of Taktakan.” Kata Gondlaf.
                “Hmmm... Aku setuju. Baiklah, aku akan segera mengirim surat kepada mereka. Kurasa negeri yang lain juga setuju dengan pendapatku. Kurasa King Virlu juga mengirim surat ini ke seluruh negeri. Aku juga akan mengirim surat kepada Emperor Timouty agar mau menerima para pengungsi yang datang!” kata Lord Mliit “Kurasa sebaiknya sekarang kalian beristirahat dulu. Aku akan menyuruh pelayan untuk menyediakan kamar untuk kalian!”
                “Baiklah” kata Gondlaf, Viktul, dan Alvin serempak. Merekapun segera keluar setelah pelayan datang untuk menunjukkan kamar mereka. Karena kelelahan, begitu sampai di kamarnya, Viktul dan Alvin langsung tidur di kamarnya masing-masing. Tetapi Gondlaf sepertinya masih belum mau tidur. Ia pergi keluar setelah masuk ke kamarnya beberapa saat. Sebelum pergi, ia menyarankan Viktul agar tetap berada di kamar agar aman.
***
Chapter 4 : The Plan
                Keesokan paginya, tiba-tiba Alvin mengetuk-ngetuk pintu kamar Viktul sambil berteriak-teriak untuk membangunkan Viktul. Viktul segera bangun lalu bersiap-siap. Kemudian ia keluar dan mendapati Alvin sudah menunggunya bersama Gondlaf. Pagi ini amat cerah dan sejuk, tetapi Gondlaf dan Alvin memperlihatkan wajah murung.
                “Ayo, kita harus segera menemui Lord Mliit! Beberapa saat yang lalu Lord Mliit menerima surat dari King Virlu yang dikirim dengan burung elang spesialnya. Pasukan kera Sitio sudah berhasil menguasai Kingdom Harmonia of Taktakan!”
                “A...apa??? Hanya dalam 1 malam??? Lalu bagaimana dengan warga Kingdom Harmonia of Taktakan?” tanya Alvin terkejut.
                “Entahlah... Kurasa sebagian sudah ada yang mulai mengungsi ke hutan atau Royale Palace, tetapi mungkin sebagian sudah terbunuh... Sudahlah, ayo kita segera pergi ke gedung pertemuan!” kemudian mereka segera bergegas pergi ke Kingdom Hall. Suasana di sana kali tampak ramai sekali. Kemudian mereka segera memasuki Lord Room. Kali ini, pemandangan di Lord Room berbeda jauh daripada kemarin. Banyak sekali petinggi-petinggi negara dan perwira-perwira. Jendral Yusingus juga ada di sana. Mereka semua tampak gagah dan bijaksana. Dan di antara pria-pria itu, Lord Mliit adalah pria yang usianya paling muda. Mungkin usianya sekitar 25 tahun. Ini berarti ia 10 tahun lebih tua dari Viktul.
                Lord Mliit melihat rombongan Gondlaf kemudian berkata “Inilah dia Master Gondlaf yang sudah kuceritakan dari tadi. Dan yang disebelahnya itu adalah Viktul, anak kurus yang membawa The Teeth!” kemudian semua orang yang ada di sana menoleh ke arah rombongan Gondlaf, termasuk Jendral Yusingus.
                Lalu Alvin berbisik kepada Viktul “Huh, menyebalkan... Lord Mliit sama sekali tidak menyebut namaku... Padahal aku adalah orang yang berjuang keras sehingga kau berhasil sampai di sini dengan selamat!” Viktul hanya tersenyum mendengar bisikan Alvin. Viktul merasa bersyukur karena sekarang luka-luka Alvin sudah hampir pulih sepenuhnya setelah diserang oleh monster-monster milik Sitio di hutan.
                Kemudian para perwira dan petinggi kerajaan di sana mulai berbicara dan berbisik-bisik. Ruangan menjadi gaduh. Kemudian Lord Mliit berkata dengan lantang “Harap tenang! Kita harus segera mengatur rencana untuk mengatas masalah Sitio ini!”
                Kemudian mereka mulai berhenti berbicara dan ruangan menjadi sepi sekali. Kemudian mereka berdiri di sekitar meja bundar besar yang baru saj diletakkan di tengah ruangan. Mereka semua berjumlah sekitar 40 orang. Meje bundar ini besar sekali, diameternya mencapai sekitar 10 meter. Di meja itu sudah tersedia minuman dan buah-buahan. Jendral Yusingus segera memakan buah-buah itu dengan rakusnya.
                “Baik, aku akan memulai rapat darurat ini! Pagi tadi aku menerima surat dari King Virlu, katanya mereka sudah mulai mengungsi ke luar kota. Sebagian besar kini sedang berjalan menuju Royale Palace. Dari serangan malam itu, setidaknya ada sekitar 5.000 orang prajurit maupun warga yang terbunuh. Berarti, kini hanya tersisa sekitar 25.000 warga maupun prajurit yang masih hidup.” Kata Lord Mliit “Tapi masalahnya, sepertinya Mayor Timouti enggan menerima kedatangan King Virlu dan warganya. Tidak mungkin ia masih tidak percaya terhadap kebangkitan Sitio. Kurasa ia sudah melakukan suatu hubungan diam-diam dengan Lord Sitio!”
                Tiba-tiba seluruh ruanan mendadak menjadi ramai kembali. Para perwira dan petinggi negara mulai saling berbicara lagi. Tetapi, Sitio segera menyuruh mereka untuk diam. “Nah, sekarang apa ada di antara kalian yang memiliki ide?”
                Mereka semua terdiam, tetapi kemudian Jendral Yusingus tersenyum dan mulai berbicara sambil makan apel “Ck... Tidak perlu susah-susah, bukankah sekarang The Teeth ada di pihak kita? Kita serang saja Sitio!”
                Tiba-tiba Lord Mliit menjadi tampak marah dan berkata “Justru itulah yang diinginkan Sitio! Jika kita membawa The Teeth padanya, maka ia akan merebutnya. Jika hal itu sampai terjadi, maka habislah kita! Lagipula kita tidak bisa melakukan perang ini sendirian. Kita harus mendapatkan dukungan dari seluruh umat manusia, seperti 1.000 tahun yang lalu!” kemarah Lord Mliit kemudian sudah mulai menurun. “Jendral yusingus, kuperingatkan kau. Jangan pernah menyentuh The Teeth! Jika kau melakukannya, aku pastikan kau tidak akan hidup lebih lama lagi!”
                Kemudian Jendral Yusingus langsung terdiam dan semua orang yang ada di ruangan itu mulai berbicara lagi. Tetapi mereka segera berhenti berbicara ketika Gondlaf mulai berbicara “Aku mengerti. Aku sudah memikirkan apa yang harus kita lakukan! Pertama-tama, Jendral Yusingus, kau pergilah bersama 200 orang prajurit pilihanmu untuk pergi ke Royale Palace, kemudian peringatkan Mayor timouti!”
                “Hah??? E...enak saja! Lalu apa yang akan kau lakukan???” kata Jendral Yusingus dengan tidak senang.
                “Aku, Viktul, dan Alvin akan pergi ke tiap negeri untuk memperingatkan mereka dan mengajak mereka bersatu menghadapi perang ini! Lord Mliit, tolong kirimkan surat kepada mereka bahwa kami akan datang! ”
                Lalu Viktul berbisik kepada Gondlaf “Mengapa kita harus pergi ke banyak tempat itu?”
                “Itu akan lebih aman! Dan lagi, aku menyuruh Jendral Yusingus ke Royale Palace juga untuk menjauhkannya darimu. Ia nampak sangat berbahaya.” Bisik Gondlaf ke Viktul.
                Kemudian Lord Mliit berpikir sejenak, kemudian berkata “Hmmm, baiklah, kurasa ide itu cukup bagus. Aku akan tetap berada di sini untuk mengumpulkan prajurit dan menjaga keamanan! Kapten Gandhi, kau bawalah 30 orang terbaikmu untuk ikut mengawal rombongan Gondlaf! Kita tidak bisa memberi prajurit terlalu banyak karena keadaan di sini juga amat terancam bahaya!”
                Kemudian seorang pria berusia sekitar 30 tahun yang bertubuh agak kecil tetapi nampak gagah dengan kacamatanya menjawab “Baiklah tuanku Lord Mliit!”
                “Master Gondlaf, apa kau siap melakukan tugas berat ini? Bersama kedua anak itu kau akan menjelajahi Lembah Secang tempat tinggal para Dwarf, kemudian menuju Persekutuan 2 Ciruas yang kabarnya sedang berselisih... Di sini kau tidak hanya akan mengajak mereka, tetapi juga harus mendamaikan mereka! Kau juga masih harus ke padang Kebo tempat para penguasa kerbau. Dan kalau memang para Elf itu masih ada, kau juga masih harus meminta bantuan para Elf itu, sementara mereka tinggal jauh sekali di ujung selatan Bumi Serang yang berbahaya!” kata Lord Mliit.
                “Tentu saja aku siap! Kau menanyakan hal itu seakan-akan kau tidak mengenalku saja... Padahal kau sudah pernah tinggal bersamaku selama bertahun-tahun sebelumnya...” kata Gondlaf sambil tersenyum.
                “Hehe... Tentu saja aku percaya padamu, Master! Baik, kurasa apa yang dikatakan Master Gondlaf sudah jelas! Jendral Yusingus, segera pilih 200 orang terbaikmu dan pergilah ke Royale Palaca untuk memperingatkan Emperor Timouty! Kau harus berangkat malam ini juga! Master gondlaf, bersiap-siaplah untuk menghadapi perjalanan panjang ini! Persiapkan semuanya dan pergilah besok pagi! Kapten Gandhi, lakukanlah yang terbaik!” kata Lord Mliit “Apa masih ada pertanyaan? Sisanya besamaku menghimpun kekuatan militer dan pertahanan di sini! Mengerti?”
                “Ya, kami mengerti!” kata semua orang yang ada di ruangan itu kecuali Jendral Yusingus yang merasa amat kesal. Wajahnya mengatakan bahwa sekarang ia sedang merencanakan sesuatu yang licik. Tidak lama setelah itu para petinggi dan perwira bubar dan meninggalkan tempat itu. Gondlaf dan rombongannya juga bermaksud untuk meninggalkan tempat itu. Ketika mereka meninggalkan tempat itu, di sana sudah tidak ada siapapun kecuali Lord Mliit dan Kapten Gandhi.
                Kemudian Lord Mliit menghampiri Viktul “Aku tidak tahu apakah kau adalah orang yang terpilih atau apa, tetapi mengingat Master Gondlaf sampai mempercayaimu untuk membawa The Teeth, maka aku putuskan untuk mempercayaimu. Berusahalah sekuat tenagamu untuk menyelamatkan Bumi Serang! Aku percaya padamu! Gandhi, aku juga percaya padamu untuk mengawal anak ini! Apa kalian sanggup?” tanya Lord Mliit.
                “YA” keduanya berteriak.
                Tetapi tiba-tiba Alvin menampakkan dirinya dan berkata dengan sebal “Yang Mulia, apakah kau sudah melupakan aku? Akulah yang terluka sehingga Viktul bisa tiba sampai di sini dengan selamat.”
                “Hahahahaha... Anak yang aneh” kata Lord Mliit menertawakan Alvin yang kemudian merasa malu “Tenang saja, aku akan mengingatmu sampai kapanpun! Aku percaya bahwa semua orang pantas dimasukkan ke dalam sejarah untuk apapun yang telah mereka capai. Satu hal saja, aku juga percaya padamu! Jangan kecewakan aku.”
                “Ba...baik!” kata Alvin senang. Gondlaf hanya tersenyum melihat hal ini. Lord Mliit yang kemudian melihat ke arah Gondlafpun hanya tersenyum. Kemudian rombongan Gondlaf meninggalkan tempat itu.
***
Chapter 5 : The Kidnapping         
Kini hari sudah malam. Jendral Yusingus dan prajuritnya baru saja berangkat ke Royale Palace. Viktul tengah mempersiapkan segalanya bersama Alvin. Gondlaf tidak masih tidak terlihat setelah meninggalkan mereka siang hari tadi setelah mengantar Viktul dan Alvin sampai ke kamarnya.
Di tengah persiapan seperti biasa Alvin mulai membuka pemicaraan “Tak pernah kubayangkan bahwa aku akan terlibat perang besar seperti ini! Hebat bukan?”
“Tidakkah itu mengerikan” kata Viktul tanpa ekspresi.
Sebagai teman Viktul sejak kecil, Alvin menyadari bahwa Viktul merasa takut. Kemudian Alvin menghiburnya. “Ayolah, jika kita tidak melakukan ini, mungkin tidak akan ada lagi masa depan bagi seluruh umat manusia. Kita harus berbangga! Sudahlah, malam ini sebaiknya kita berjalan-jalan saja keliling kota untuk menenangkan diri. Lagipula Jendral Yusingus juga sudah meninggalkan kota. Semua pasti akan aman dan baik-baik saja.”
Viktul tersenyum lalu meletakkan barang-barang yang sedang ia persiapkan. Ia segera melangkah keluar sambil menarik lengan Alvin “Ayo bersenang-senang!” Mereka berdua pun pergi keluar dengan perasaan senang.
***
Tak  terasa mereka sudah berjalan-jalan keliling kota yang sunyi selama hampir 2 jam. Tetapi, sejak mereka mulai berjalan-jalan, Alvin terus merasakan perasaan yang tidak enak. Kalung mutiara Alvin juga terus menyala biarpun redup. Tetapi karena tidak ingin meresahkan hati Viktul, ia menyembunyikan kalung mutiaranya dan tidak mengatakan apa-apa.
                Tetapi sayang, sepertinya malam ini mereka tidak beruntung. Ketika sedang berjalan di salah satu sudut kota, tiba-tiba beberapa orang berlari menghampiri mereka. Alvin amat kaget melihat hal ini. Orang-orang yang berjumlah 6 orang itu mulai mencabut pedangnya masing-masing. Alvinpun tidak kalah dan mencabut pedangnya. Orang-orang itu maju bersamaan dan menyerang Alvin. Alvin hanya bisa menangkis beberapa serangan kemudian pedangnya terpental karena terkena tebasan pedang lawan yang amat kencang. Setelah pedangnya terpental, satu dari orang-orang itu meninju pipi kiri Alvin sampai terjatuh.
                Viktul yang sejak awal terus memperhatikan Viktul tidak bisa berbuat apa-apa karena ketakutan. Alvin segera berteriak ke arah Viktul biarpun ia masih berbaring kesakitan di tanah “Vikutl! Larilah!” Viktul baru menyadari apa yang terjadi. IA mulai membalikkan badannya dengan ragu karena harus meninggalkan Alvin sendirian. Tetapi ia teringat akan Gondlaf yang mengatakan agar Viktul tetap hidup. Tetapi sayang, ketika Viktul baru mulai berlari, satu dari orang-orang itu memukul tengkuk Viktul sehingga Viktul pingsan.
                Melihat hal ini Alvin menjadi sangat marah. Ia segera mencoba untuk berdiri, tetapi satu dari orang-orang itu menendang wajahnya sehingga ia meringis kesakitan. Mereka segera memasukkan Viktul ke dalam karung dan membawanya pergi. Setelah mereka pergi Alvin baru berhasil berdiri setelah mencoba melawan rasa sakitnya. Ia bingung harus berbuat apa. Ia segera berlari bermaksud menyusul Viktul, tetapi mereka sudah menghilang. Viktul yang bingung kemudian memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan menemui Gondlaf. Ia pun segera berlari dan mencari Gondlaf.
***
                Sesampainya di kamarnya, Gondlaf dan Kapten Gandhi sudah menunggu bersama 20 orang prajurit di yang duduk-duduk di depan kamarnya. Gondlaf menyadar bahwa baru saja terjadi sesuatu dari wajah Alvin yang memar-memar.
                “Apa yang terjadi?” tanya Gondlaf.
                “Ma...maafkan aku Gondlaf, aku tidak melakukan tugasku dengan baik... Viktul... Viktul baru saja diculik beberapa orang”
                “A...apa??? Siapa mereka? Apa kau melihatnya? Ke mana mereka pergi?” tanya Kapten Gandhi tiba-tiba.
                “E...entahlah... aku tidak melihatnya... gelap sekali. Tetapi mereka seperti memakai baju prajurit Lopang Kingdom... Tapi aku juga tidak tahu pasti...” kata Alvin gugup.
                “Jendral Yusingus... Ini pasti Jendral Yusingus... Ia belum berangkat ke Royale Palace. Ia terus menunggu untuk mendapatkan kesempatan mencuri The Teeth! Kita harus segera menyusulnya!” kata Gondlaf marah.
                Melihat ini Alvin menjadi takut dan merasa amat bersalah. Tetapi ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Gondlaf “Ke mana mereka pergi?”
                Lalu Gondlaf melompat menaiki kuda putihnya dan menatap Alvin dalam-dalam. Mata seperti memancarkan kemarahan yang mengerikan. Alvin menjadi terdiam dan tak sanggup berkata apa-apa. “Tentu saja Royale Palace! Ayo kita segera berangkat ke sana! Kelalaianmu sulit sekali untuk dimaafkan... Ayo segera berangkat! Semua barangmu sudah dipersiapkan!” Kemudian ia memberi satu isyarat sehingga kuda putihnya mulai meringkik dan bersiap untuk berjalan. Alvin melihat beberapa barang yang diangkut kuda itu. Tiba-tiba Kapten Gandhi melemparkan sebuah tas kepada Alvin sambil tersenyum “Itu tasmu nak!”
                Selum berangkat Gondlaf menyempatkan diri untuk menulis sebuah surat. Sepertinya surat ini ditujukan kepada Lord Mliit. Isi surat ini sudah parti untuk memberitahukan Lord Mliit mengenai kejadian ini. Lalu Gondlaf memasang surat itu disebuah burung merpati yang diciptakan secara sihir oleh Gondlaf dengan menariknya dari kantong setelah mengucapkan beberapa mantra sihir. Setelah itu, Gondlaf segera mengisyaratkan untuk memulai perjalanan “Kapten, mari berangkat! Suruh orang-orangmu untuk memulai pengejaran ini!” kata Gondlaf tegas.
                “Baik!” kata Kapten Gandhi. “Prajurit, ayo berangkat!” Kemudian para prajurit itu segera berdiri dan mulai berlari-lari kecil mengikuti kuda Gondlaf yang sudah mulai berjalan sambil berteriak bersamaan “HEI!!!” untuk membangkitkan semangat satu sama lain.
                Mereka semua mulai berlari jogging menyusuri jalan menuju ke pintu gerbang kota. Sebenarnya Alvin ragu dapat terus menjaga staminanya berlari bersama para prajurit yang memang sudah terlatih untuk berlari bermil-mil. Alvin sebenarnya ingin menmpang di kuda Gondlaf, tetapi masih takut dan merasa bersalah kepada Gondlaf karena membiarkan Viktul diculik.
                Akhirnya mereka sampai di gerbang kerajaan dan mulai keluar dari kerajaan. Sungguh ajaib, Alvin tidak merasakan lelah sama sekali. Ia tidak merasakan apapun. Mungkin ini disebabkan karena rasa takutnya untuk mengungkapkan perasaannya. Merekapun terus melakukan jogging hingga beberapa jam ke depan.
***
Chapter 6 : The Chasing
                Tanpa terasa hari sudah pagi. Tiba-tiba Viktul tersadar dari tidurnya. Ketika ia tersadar, ia sudah berada di suatu tempat yang asing dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Ia berada di bawah pohon di tengah-tengah padang rumput. Sepanjang mata memandang memang tampak beberapa pohon yang rindang yang letaknya saling berjauhan. Kemudian ia baru sadar bahwa di sekitarnya ada banyak prajurit, jumlahnya sekitar 200 orang. Mereka tampak sedang beristirahat setelah berjalan jauh.
                Tiba-tiba seorang pria berjalan mendekatinya. Kemudian pria itu berkata “Akhirnya kau bangun juga tukang tidur!”
                Viktul menoleh dan melihat pria itu, kemudian menyadari bahwa pria itu adalah Jendral Yusingus! Kali ini Jendral itu tampak garang. Tidak ada lagi yang bisa melindungi Viktul sekarang.
                “Kau pasti takut sekarang. Hahaha... tak ada lagi yang bisa melindungimu!” kata Jendral Yusingus senang. “Tapi tenang saja, aku tidak akan membunuhmu dan merampas The Teeth darimu!” Viktul kaget mendengar akan hal ini. Kemudian Jendral Yusingus melanjutkan kata-katanya. “Beberapa jam terakhir ini aku sadar bahwa aku tidak akan sanggup membawa dan menggunakan The Teeth. Aku percaya bahwa hanya kau yang bisa menggunakannya selain Sitio. Karena itu, bagaimana kalau kita bersatu dan menggunakannya untuk melawan Sitio, setelah itu kita akan membentuk kerajaan kita sendiri! Hahahaha....”
                Viktul yang mulai berhasil mengendalikan rasa takutnya kemudian berkata “Hah? Bagaimana mungkin? Kau tidak memiliki prajurit sama sekali... Bagaimana kau bisa mengandalkan 200 orang ini? Itupun belum tentu mereka semua setia padamu...”
                “Hehe. Tentu saja mereka setia padaku. Dari 15.000 prajurit yang ada di Lopang Kingdom, 3.000 di antaranya adalah pengikut setiaku. 200 orang yang kupilih ini termasuk di antara 3.000 orang itu! Dan 3.000 orang itu sudah mulai meninggalkan kerajaan sedikit-sedikit sejak tadi malam. Kami akan bertemu dan menyatukan kekuatan kami di Sungai Danten yang ada di depan sana. Dan orang-orang yang menculikmu tadi malam adalah salah satu dari prajuritku yang meninggalkan kerajaan tadi malam.” kata Jendral Yusingus menjelaskan dengan panjang lebar.
                ”A...aku...aku tidak akan pernah bersatu denganmu untuk berkhianat!” kata Viktul lantang.
                Jendral Yusingus yang mendengar hal ini kemudian tertawa sepertinya ia tak mempercayai keberanian Viktul ini. “Kita lihat saja nanti!”
***
                Di lain tempat tempat Gondlaf dan rombangannya baru saja memutuskan untuk berhenti setelah Gondlaf menerima sebuah surat yang diantarkan oleh burung sihirnya. Nampaknya surat ini berasal dari Lord Mliit. Sejak malam tadi Gondlaf sudah berkirim surat dengan Lord Mliit beberapa kali. Begitu mereka sampai di sebuah tempat di padang rumput, tiba-tiba saja Alvin merasa lemas dan terjatuh. Orang-orang menjadi terkejut dan Gondlaf segera berlari ke arahnya.
                “Mengapa kau memaksakan dirimu seperti ini?” tanya Gondlaf.
                “A...aku...aku tidak boleh bersantai-santai sekarang... Karena kelalaiankulah mereka berhasil mendapatkan Viktul! Aku harus melakukan yang terbaik untuk membalas kesalahanku!” jawab Alvin.
                Gondlaf pun tersenyum mendengarnya. Nampaknya kini kemarahan Gondlaf sudah menghilang dan digantikan dengan perasaan bangganya atas kegigihan Alvin. Semua perasaan takut yang ada di hati Alvin pun menghilang ketika melihat wajah Gondlaf yang tersenyum. “Tidak apa. Kurasa merekapun belum jauh.”
                Entah merasa senang atau bingung, dengan perasaan bertanya-tanya Alvin hendak bertanya kepada Gondlaf. Tetapi tiba-tiba Kapten Gandhi datang menghampiri mereka dan bertanya “Apa maksudmu mereka belum jauh? Kita harus terus berjalan untuk dapat mengejar mereka!”
                “Begini, akan kujelaskan. Di antara Lopang Kingdom dan Royale Palace terdapat sebuah sungai yang membatasi kedua wilayah. Sungai ini jaraknya cukup jauh dari kedua wilayah. Jika kita terus berjalan tanpa hentipun, mungkin kita baru bisa mencapai sungai tersebut setelah berjalan 3 hari nonstop!”
                “Lalu?” tanya Alvin tidak sabar ketika Gondlaf berhenti berbicara sejenak untuk bernapas.
                “Jadi, aku memperkirakan Jendral Yusingus akan mengumpulkan prajuritnya di sana. Untuk ke sana akan memakan waktu beberapa hari lagi.” Kata Gondlaf.
                “Pra...prajurit??? Bukankah Jendral Yusingus hanya membawa 200 prajurit saja ketika meninggalkan Lopang Kingdom? Apa yang mau ia kumpulkan di sana?” tanya Kapten Gandhi.
                “Tenang dulu... Mengapa kalian terus memotong pembicaraanku...” kata Gondlaf mulai marah. Alvin dan Kapten Gandhi segera terdiam mendengar hal ini. Kemudian Gondlaf meneruskan pembicaraannya “Sudah lama Lord Mliit menduga Kapten Yusingus akan berkhianat. Dugaan itu akhirnya terbukti dengan kejadian semalam dan juga, secara sedikit demi sedikit para prajurit yang diduga pengikut Jendral Yusingus menghilang dari kerajaan sejak semalam.”
                “Hah??? Ia memiliki pengikut??? Banyakkah? Mengapa selama ini aku tidak mengetahuinya...” kata Kapten Gandhi terkejut.
                Gondlaf yang mulai kesal karena pembicaraannya terus dipotong kemudian menunjukkan ekspresi wajah yang mengerikan. Alvin dan Kapten Gandhi segera terdiam dengan sendirinya.
                Gondlafpun melanjutkan pembicaraannya “Menururt kabar terakhir yang aku terima dari Lord Mliit, kini sudah ada sekitar 3.000 orang prajurit yang menghilang secara misterius. Diduga mereka keluar kerajaan secara sedikit-sedikit dengan berkelompok sehingga penjaga gerbang tidak curiga. Atau bahkan, si penjaga gerbang tersebut bisa jadi adalah pengikut Jendral Mliit juga!”
                “Ti...tiga ribu???” kata Kapten Gandhi mendadak tetapi ia segera terdiam ketika tiba-tiba menyadari Gondlaf sedang memelototi dirinya.
                Gondlaf segera melanjutkan “Jumlah itu berarti sekitar satu per lima bagian dari total prajurit Lopang Kingdom yang berjumlah 15.000 orang. Tentu saja tidak mudah untuk menyatukan prajurit sebanyak itu yang sudah terlanjur tersebar ke mana-mana. Jendral Yusingus pasti sudah memilih satu tempat untuk mengumpulkan mereka. Tempat yang strategis karena berada di antara Lopang Kingdom dan Royale Palace. Dan tempat itu haruslah dapat menyediakan persediaan air dan makanan yang cukup banyak banyak untuk mereka. Dengan memperhatikan hal tersebut maka dapat dipastikan tempat itu adalah Sungai Danten!” Alvin dan Kapten Gandhi menjadi terkejut mendengar hal ini.
                “Lalu untuk apa Jendral Yusingus pergi ke Royale Palace? Ia hanya akan mengorbankan prajuritnya di sana...” kata Viktul.
                “Yah! Menurut dugaanku dan Lord Mliit, ia bermaksud untuk mengumpulkan pengikutnya yang berada di Royale Palace. Sudah bukan rahasia lagi jika Jendral Yusingus sering melakukan perjalan ke Royale Palace. Dan diduga tujuan perjalanan itu adalah untuk mengumpulkan pengikut yang telah dijanjikan kekuasaan jika bekerja sama dengannya untuk berkhianat!” kata Gondlaf.
                “Jadi begitu... Setelah mengumpulkan prajurit maka orang itu mau menyerang Lopang Kingdom...” kata Kapten Gandhi.
                “Entahlah... Aku belum tahu pasti apa rencananya yang selanjutnya... Tapi yang jelas, sekarang kita harus menolong Viktul!” kata Gondlaf.
                “YA!” kata Kapten Gandhi dan Alvin. “Aku akan segera menyiapkan prajurit! Alvin, kau beristirahatlah sejenak! Sebaiknya kita berangkat sebentar lagi...” . Alvinpun mengangguk, lalu Kapten Gandhi berlari ke arah anak buahnya untuk mempersiapkan mereka. Kemudian Alvin minum air dan terbaring sejenak, tetapi lama-kelamaan matanya menjadi terasa berat dan akhirnya tertidurlah ia.
***
                Baru saja terlelap, tiba-tiba seperti ada yang menggerak-gerakkan pundak Alvin hingga Alvin terbangun. Ia adalah Kevin. Kevin adalah salah satu dari prajurit kepercayaan Kapten Gandhi. Usianya hanya berbeda sekitar 3 tahun lebih tua dari Alvin. Usianya masih muda tetapi Kapten Gandhi amat mempercayainya. Ia juga memiliki rambut beruban sepeti Alvin. Ia mengenakan kacamata bundar di matanya. Tubuhnya besar dan gemuk. Dengan penuh senyum ia membangunkan Alvin.
                Alvin kaget sehingga ia langsung merasa segar. Kemudian ia berdiri dan menanyakan waktu kepada Kevin. Kevin mengatakan bahwa Alvin telah tidur selama satu jam. Hal ini sungguh mengejutkan padahal ia hampir tak merasakan apa-apa. Tetapi, kenyataannya ia merasa segar sekali sekarang, seakan-akan ia siap untuk berjalan bermil-mil lagi. Kemudian Gondlaf memanggil Alvin dan Kevin untuk makan bersama prajurit-prajurit yang lain. Setelah makan mereka beristirahat sejenak untuk menenangkan perut mereka. Setelah dirasa cukup siap untuk berjalan kembali, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
                Hari sudah semakin siang. Matahari juga mulai ditutupi awan gelap. Tetapi dengan semangat yang membara Alvin terus melakukan perjalanan. Gondlaf juga terus berkirim surat dengan menggunakan burung sihir dengan Lord Mliit. Menurut kabar terakhir yang diterima Gondlaf, sekarang sudah tidak ada lagi prajurit yang keluar dari kerajaan. Perhitungan akhir menyatakan bahwa pengikut Jendral Yusingus hanya sekitar 3.000 orang.
                Akhirnya Alvin dan kawan-kawan berhenti dan beristirahat setelah matahari mulai terbenam. Kali ini Alvin benar-benar merasa lelah. Setelah memakan 2 buah roti ia segera berbaring. Rasa kantuk menyelimuti dirinya. Merekapun beristirahat untuk malam itu dan mereka segera kembali melakukan perjalanan pagi-pagi sekali.
***
                Keesokan harinya di tempat keberadaan Jendral Yusingus, sedang melakukan kesibukan yang luar biasa. Beberapa kelompok prajurit sudah menggabungkan diri dengannya. Sekarang jumlah mereka sekitar 500 orang. Para prajurit yang sudah berkumpul dengannya adalah para pelari cepat yang dapat berlari selama 24 jam tanpa beristirahat. Sebagai buktinya, mereka bisa sampai ke tempat Jendral Yusingus lebih dulu daripada Alvin dan kawan-kawan.
                Viktul yang kelelehan hanya bisa terus mengikuti mereka. Ia terus berbaring sambil menyaksikan Jendral Yusingus berbicara di depan prajuritnya. Ia terus menyemangati prajuritnya dan menjanjikan kekayaan dan kekuasaan kepada mereka. Menurut Jendral Yusingus, mereka akan tiba di Sungai Danten 2 hari lagi. Para prajurit itu nampaknya senang. Viktul yang kelelahan kembali tertidur. Para prajurit itu terpaksa menggotongnya agar Viktul mau berjalan.
***
                Di lain tempat, Alvin dan kawan-kawan sedang membicarakan rencana untuk menyelamatkan Viktul. Gondlaf pun mulai berbicara “Setelah kita ikuti jejak prajurit Jendral Yusingus baik-baik, aku menduga mereka akan sampai di Sungai Danten 3 hari lagi, dan kita akan tiba di sana pada tengah malam. “Kemungkinan mereka akan beristirahat dulu di sana sambil menunggu pasukannya yang lain. Kita dapat memanfaatkan saat itu untuk beristirahat juga. Rasanya tidak mungkin jika kita langsung mencoba menyelamatkan Viktul. Kita harus melihat keadaan dulu!”
                “Ya, aku setuju denganmu. Sebaiknya kita segera berangkat sekarang. Mari bersiap-siap!” kata Kapten Gandhi dan semua prajurit segera bangkit dan bersiap-siap, lalu berangkat sekitar setengah jam kemudian.
***
                3 hari kemudian mereka sudah benar-benar berada dekat sekali dengan para prajurit Jendral Yusingus. Hal ini terbukti dari beberapa ekor rusa yang terbunuh dan tampak sudah tercabik-cabik dengan pedang di sepanjang jalan. Ini pasti perbuatan para prajurit Jendral Yusingus yang kelelahan dan merasa kesal. Darah rusa-rusa ini masih segar jadi Gondlaf menyimpulkan para prajurit Jendral Yusingus melewati tempat ini beberapa jam yang lalu.
                Ketika matahari mulai terbenam, Alvin dan kawan-kawan memutuskan untuk beristirahat sekitar 2 jam, kemudian melanjutkan perjalanan. Mereka terus melanjutkan perjalanan hingga tengah malam. Bulan purnama di malam ini tampak indah. Alvin jadi teringat saat-saat ia memandangi bulan bersama Viktul. Saat itu malam ketika orang tua Alvin baru saja dimakamkan setelah dibantai para perompak. Alvin yang kesepian di makam kedua orang tuanya bertemu dengan Viktul yang juga sedang mengunjungi makam orang tuanya. Di sanalah mereka bertemu dan untuk pertama kalinya mereka memandangi bulan bersama-sama. Sejak saat itu pulalah mereka menjadi sahabat yang sangat akrab dan tak terpisahkan, bahkan setelah Viktul diculik oleh Jendral Yusingus.
                Tiba-tiba saja air mata mulai membasahi pipi Alvin. Di tengah-tengah nostalgianya ini, tiba-tiba Gondlaf mengisyaratkan untuk berhenti dan berkata “Kita sudah sampai!”
                Alvin segera menghapus air matanya dan bertanya ke Gondlaf “Hah? Di mana mereka? Aku tidak melihat apapun, aku hanya mendengar suara-suara.....” tiba-tiba Alvin berhenti sejenak sambil terus mendengarkan dan berkata dengan semangat “Suara itu! Suara itu! Itu pasti suara dari para prajurit Jendral Yusingus!”
                “Benar. Suara itu pasti berasal dari balik bukit itu, di mana terletak Sungai Danten.” Kata Kapten Gandhi sambil menunjuk bukit yang ada di sebelah barat mereka. “Gondlaf, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
                “Entahlah... kau kaptennya!” kata Gondlaf.
                Kapten Gandhi terdiam sejenak kemudian berkata “Baiklah, mari kita periksa apa yang ada di balik bukit itu. Gondlaf dan Alvin, kurasa kalian tertarik untuk iktu denganku. Kevin, Ateng, kalian juga iktulah denganku. Yang lainnya, tetap di sini dan beristirahatlah. Tetaplah diam dan berhati-hati agar keberadaan kalian tidak diketahui oleh pasukan pengintai Jendral Yusingus!” kata Kapten Gandhi penuh semangat. Para prajurit itupun segera bergegas untuk beristirahat.
***
Chapter 7 : Blood In The Night
                Bersama 2 orang prajurit kepercayaan Kapten Gandhi, Alvin dan Gondlaf mulai berjalan pelan-pelan melewati bukit tinggi itu untuk melihat keadaan. Ateng adalah prajurit kepercayaan Kapten Gandhi yang kedua. Ia memiliki rambut keriting dan tubuh yang agak pendek, tetapi tidak sependek Alvin. Tubuhnya juga agak bundar, tetapi Kapten Gandhi mengatakan bahwa ia bisa diandalkan dalam peperangan.
                Dengan Kapten Gandhi yang memimpin perjalanan, mereka terus melanjutkan perjalanan. Rasa rindu Alvin terhadap Viktul mengalahkan hawa dingin malam itu. Setelah berjalan sekitar 1 jam, akhirnya mereka tiba di puncak bukit dan mereka terkejut dengan apa yang mereka lihat di sana. Prajurit Jendral Yusingus menyalakan banyak obor dan mendirikan banyak tenda di tepi Sungai Danten. Beberapa prajurit sedang berusaha menambah jembatan untuk menyebrang. Sebelumnya hanya ada satu jembatan yang biasa digunakan untuk menyebrangi Sungai Danten. Banyak sekali prajurit di sana. Sepertinya sudah terkumpul sekitar 1.000 orang prajurit. Dari kejauhan terus terlihat beberapa orang prajurit yang datang dan bergabung dengan mereka. Prajurit-prajurit itu datang tiap beberapa saat. Aktivitas di sana nampak sangat sibuk. Para Kapten terus mendata jumlah prajurit yang telah bergabung dengan mereka.
                Dari kejauhan Alvin terus mencari Viktul, tetapi terlalu sulit baginya untuk menemukan Viktul. Dengan prajurit sebanyak ini sepertinya sulit sekali untuk menemukan seorang Viktul.
                “Tidak mudah untuk mengorganisir prajurit sebanyak ini. Kelihatannya mereka akan berada di sini untuk beberapa hari. Sebaiknya kita gunakan kesempatan ini untuk istrirahat sambil menunggu`saat yang tepat untuk menyelamatkan Viktul.” Kata Gondlaf. Kemudian merekapun kembali ke tempat peristirahatan para prajurit Kapten Gandhi. Alvin amat gelisah karena takut terjadi apa-apa pada Viktul selagi mereka beristirahat. Tetapi, rasa lelah berhasil mengalahkan rasa gelisah Alvin. Ia segera terlelap begitu tiba di tempat peristirahatan.
***
                Sejak semalam prajurit Kapten Gandhi masih beristirahat di antara semak-semak sambil bersembunyi. Saat ini, beberapa prajurit sedang mencari ikan di sungai. Alvin juga suka mencari ikan. Karena itu, ia ikut para prajurit itu ke sungai. Alvin pergi bersama 5 orang prajurit termasuk Kevin dan Ateng.
                Sungai Danten benar-benar sungai yang amat besar. Sungai ini melintang dari utara ke Selatan sehingga memisahkan negeri barat dan timur. Negeri yang berada di sebelah barat sungai ini adalah Harmonia Kingdom of Taktakan, Royale Palace, dan Kebo Land. Sedangkan negeri yang berada di sebelah timur sungai ini adalah Lopang Kingdom, Secang Dale, dan Allied of Two Nation, atau sering disebut juga persekutuan 2 Ciruas. Desa ManggaDua termasuk dalam Negeri sebelah timur.
                Sungai Danten juga kaya akan ikan. Karena itulah, walaupun baru memancing beberapa saat tetapi Alvin sudah mendapatkan banyak ikan. Untuk sesaat Alvin melupakan Viktul berkat kesenangan ini. Tetapi di tengah-tengah kesenangan ini tiba-tiba kalung mutiara hitam milik Alvin menyala-nyala. Ia menjadi waspada dan segera melihat ke sekelilingnya. Baru sekarang ia menyadari ada sesuatu yang sepertinya mengawasi mereka sejak tadi. Belum sempat Alvin berkata sesuatu, tiba-tiba muncul 4 ekor kera dengan baju perang berwarna hitam. Mereka bersenjatakan pedang dari besi berwarna hitam. Kera-kera yang tingginya sekitar 2 meter ini segera berlari ke arah mereka sambil mengacungkan pedangnya.
                “Awas!” Kevin segera mengambil busurnya dengan sigap lalu melesatkan anak panahnya ke salah satu kera, dan kera itu langsung jatuh terguling-guling begitu tertusuk anak panah Kevin. Ketiga kera yang lain sudah berhasil berlari mendekati Alvin dan para prajurit, tetapi Alvin dan para prajurit sudah siap dengan pedangnya masing-masing. Ateng segera menghadapi seekor kera dengan kelihaian tangannya memainkan pedang, tetapi kera itu masih lebih hebat sehingga kera itu berhasil menebas lengan kanan Ateng sehingga Ateng terjatuh. Setelah berhasil menjatuhkan Ateng, kera itu menjadi lengah. Alvin memanfaatkan kesempatan ini dan menyerangnya dari samping. Pedang Alvin berhasil menusuk kera ini. Kevin sekali lagi menancapkan anak panahnya ke seekor kera. Sekarang hanya tinggal satu kera tersisa yang sedang dihadapi oleh 3 orang prajurit yang tersisa. Kera ini amat ahli memainkan pedang sehingga ia berhasil menjatuhkan seorang prajurit dengan sekali tebas. Kevin melesatkan anak panahnya sekali lagi, tetapi kera ini menahan panah itu dengan lengan kirinya. Ia menjadi lengah, sehingga ia tidak menyadari ada seorang prajurit yang berlari menghunuskan pedang kepadanya. Kera itupun terjatuh setelah mendapat luka parah akibat tusukan pedang prajurit itu.
                Kera-kera sudah berhasil dikalahkan, tetapi ini berarti pertanda buruk. Alvin memutuskan untuk segera memberitahu Gondlaf, tetapi sebelum pergi Kevin berinisiatif untuk membuang mayat-mayat kera ini ke sungai agar mayatnya tidak diketemukan kera yang lain. Setelah membuang mayat-mayat kera ini ke sungai, mereka segera berlari menemui Gondlaf dan Kapten Gandhi. Kevin menggotong Ateng bersama seorang prajurit.
                Sesampainya di tempat persembunyian Kaptern Gandhi dan prajuritnya, Alvin segera berteriak “Gondlaf, kami baru saja diserang beberapa ekor kera! Ateng terluka!”
                Gondlaf, Kapten Gandhi dan para prajurit segera keluar. Setelah melihat Ateng, Kapten Gandhi segera memerintahkan para prajurit untuk merawat Ateng. Kapten Gandhi tampaknya marah sekali karena anak buah kepercayaannya terluka prah. Kemudian Alvin menceritakan seluruh kejadiannya.Gondlaf berpikir sejenak.
                “Sial... tak kusangka kera-kera ini mengetahui keberadaan kita...” kata Kapten Gandhi gusar.
                “Tidak... kurasa bukan kita yang mereka incar. Jika bisa menemukan kita, seharusnya mereka sudah menemukan prajurit Jendral Yusingus sejak kemarin.” Kata Gondlaf.
                “Jadi?” tanya Alvin.
                “Kurasa mereka sedang mengawasi para prajurit Jendral Yusingus yang cukup banyak itu, tetapi tidak sengaja bertemu dengan kalian. Mungkin mereka menyangka kalau kalian adalah prajurit Jendral Yusingus, sehingga mereka menyerang kalian...” kata Gandhi. “Dan jika dugaanku benar, maka peperangan akan segera terjadi antara kera-kera itu dan prajurit Jendral Yusingus. Dan masih ada yang lebih parah...”
                “A...apa itu?” tanya Kapten Gandhi tidak sabar.
                “Jika kera-kera itu bahkan sudah ada di sini, kemungkinan besar mereka sudah mengepung Royale Palace!” kata Gondlaf.
                “A... apa????” kata Alvin dan Gondlaf terkejut.
                “Kita harus cepat menuju Royale Palace dan memperingatkan mereka... Jika dibiarkan, Royale Palace mungkin akan jatuh sebentar lagi... Mereka juga sepertinya belum mengetahui hal ini...” kata Gondlaf.
                Mereka kemudian berdiskusi sebentar dan memutuskan bahwa prioritas utama saat ini adalah menyelamatkan Viktul dan pergi ke Royale Palace.
***
                Beberapa jam kemudian matahari sudah terbenam. Alvin baru saja terbangun setelah tertidur sejak siang tadi. Tiba-tiba Gondlaf berlari menghampirinya. “Cepat bangun! Ayo bersiap-siap! Keadaan darurat!”
                Alvin mendengar seperti suara yang ramai sekali di balik bukit. Suara ini benar-benar mengerikan. Alvin berpikir sejenak, kemudian menyadari bahwa ini adalah suara perang! Alvin segera bertanya kepada Gondlaf “Apa yang terjadi?”
                “Entahlah, suara ini baru saja terdengar... Tetapi kurasa kera-kera itu sudah menyerang prajurit Jendral Yusingus!” kata Gondlaf “Kita harus cepat! Ayo kita lihat apa yang terjadi!”
                “Baik!” kata Alvin beiarpun ia masih kaget. Ia amat ketakutan kalau-kalau Viktul terbunuh dalam perang itu. Merekapun segera berlari ke puncak bukit untuk melihat apa yang terjadi. Setelah berlari sekitar setengah jam, akhirnya mereka sampai di puncak bukit tersebut. Dibandingkan kemarin malam, mereka membutuhkan waktu lebih singkat untuk mencapai puncak bukit tersebut.
                Begitu sampai di puncak bukit tersebut, suara peperangan ini terdengar semakin kencang. Di sana mereka menyaksikan hal yang luar biasa sekali. Ribuan prajurit kera tengah berperang dengan prajurit Jendral Yusingus yang nampaknya sudah terkumpul hampir 3.000 orang. Tetapi para prajurit Jendral Yusingus ini tampaknya masih lelah setelah berlari selama berhari-hari untuk mencapai tempat tersebut. Karena kelelahan ini, prajurit kera dapat dengan mudah menumbangkan mereka satu persatu. Prajurit-prajurit kera ini membakar tenda dan membunuh siapa saja yang mereka temui. Alvin gemetaran melihat pemandangan mengerikan ini. Ratusan orang maupun kera terbunuh dalam perang ini. Malam ini benar-benar diwarnai dengan darah.
***
                Di lain tempat, Viktul masih tertidur ketika perang ini terjadi. Tiba-tiba ia terbangun ketika mendengar teriakan-teriakan prajurit. Tak lama kemudian perang besar pun terjadi. Viktul masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba tenda tempat ia disekap robek ketika ada seorang prajurit yang merobeknya dengan pedangnya dan masuk. Ia tampak terluka parah. Viktul kaget melihatnya. Kemudian ia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Viktul terus memperhatikannya beberapa saat, kemudian terlintas ide di kepalanya. Ia segera merangkak ke arah prajurit itu, kemudian meraih pedangnya dan menggunakannya untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Setelah itu ia menggunakan pedangnya untuk melepaskan tali yang mengikat kedua kakinya. Kemudian ia mencoba berdiri tetapi ia merasa amat kesulitan karena kakinya kesemutan setelah diikat selama berhari-hari.
                Setelah Berhasil berdiri, ia melihat apa yang terjadi di luar melalui lubang yang dibuat oleh prajurit tersebut. Kali ini ia melihat pemandangan yang amat menakutkan, bisa jadi yang paling menakutkan semasa hidupnya. Para manusia dan kera saling membunuh satu sama lain. Mereka saling penggal kepala maupun mencabik-cabik tubuh lawannya.
                Viktul terdiam selama beberapa saat karena shock. Tetapi tiba-tiba ia kaget karena ia mendengar seseorang masuk ke dalam tendanya. Ia segera memalingkan wajahnya dan melihat Jendral Yusingus di sana. Ia kaget, tetapi segera memutuskan untuk lari. Ia segera membuang pedangnya dan melompat keluar tenda melalui lubang yang ada. Ia segera berlari tanpa arah untuk menyelamatkan diri dari Jendral Yusingus. Ia berlari sambil terus berharap agar tidak ada satupun prajurit yang menyerangnya. Ia terus berlari sambil menundukkan badannya untuk menghindari peperangan. Suara dentuman pedang yang beradu, cabikan-cabikan pedang di tubuh, dan teriakan para manusia maupun kera yang kesakitan terus terngiang di telinganya. Viktul sungguh ketakutan, tetapi terus berlari. Beberapa tenda sudah terbakar sehingga semakin memanaskan pertarungan. Tiba-tiba Viktul berhenti berlari ketika tiba-tiba seseorang mendorongnya hingga terjatuh. Kemudian ia berbalik dan melihat seekor kera berhasil menusuk tubuh seorang prajurit. Viktul baru mengerti bahwa yang tadi mendorongnya adalah prajurit itu guna menyelamatkan Viktul dari serangan kera tersebut. Tetapi konsekuensinya, prajurit itulah yang terkena tusukan pedang kera itu.
                Kemudian kera berbulu hitam lebat itu berbalik arah dan menatap Viktul dalam-dalam. Nafsu membunuh nampak di matanya. Viktul amat ketakutan sehingga ia bahkan sulit untuk bangun berdiri. Kera itu terus berjalan mendekatinya. Viktul terus berusaha untuk bangkit tapi tidak bisa. Kini kera itu tinggal berjarak beberapa langkah lagi dari Viktul. Lalu kera itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi hendak menebas tubuh Viktul. Di tengah ketakutan ini tiba-tiba Viktul merasa pasrah. Ia sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Bahkan, Viktul tidak bisa memejamkan matanya sendiri.
                Namun tiba-tiba perut kera itu ditembus oleh sebilah pedang dari belakang. Kera itu berteriak kesakitan, lalu terjatuh ketika pedang itu dicabut dari tubuhnya. Nampaklah Jendral Yusingus yang sedang menunggangi kudanya. Jendral Yusingus nampak sangat marah kemudian berkata “Gunakan The Teeth! Maka kita dapat mengalahkan kera-kera ini!”
                “Ti...tidak akan pernah!” kata Viktul setelah berhasil mengumpulkan segenap keberanian untuk berbicara.
                “Huh...” nampak senyum amarah di bibir Jendral Yusingus, kemudian Jendral Yusingus memacu kudanya ke arah Viktul kemudian memukul wajahnya dengan sarung pedang sehingga Viktul pingsan. Ia segera mengikat Viktul ke seekor kuda, lalu menarik kuda itu unuk mengikuti kuda Jendral Yusingus. Kemudian ia bekata “Ayo, sebaiknya kita pergi sekarang. Biarkan prajurit-prajurit ini yang membereskan peperangan ini! The Teeth harus sampai di Royale Palace dengan selamat!” kemudian ia memacu kudanya dengan cepat dan diikuti kuda yang digunakan untuk mengikat Viktul, lalu diikuti oleh para pengawalnya. Jumlah mereka sekitar 300 orang. Mereka semua adalah para prajurit berkuda.
***
                Dari kejauhan Gondlaf dan Viktul terus memperhatikan peperangan ini. Seluruh medan perang sudah dibasahi oleh darah dan dijilati oleh api yang membara. Tiba-tiba Gondlaf menyadari kepergian Jendral Yusingus. Ia melihat Jendral Yusingus memacu kudanya melewati jembatan Sungai Danten diikuti sekitar 300 orang pengawal berkudanya. Gondlaf menggunakan teropongnya dan menyadari Viktul terikat di kuda yang terus berlari mengikuti Jendral Yusingus.
                “Akhirnya kutemukan... Alvin, ayo naik ke kudaku! Kita harus segera mengejal Viktul!” kata Gondlaf.
                “A... apa? Jadi kau sudah menemukan Viktul?” tanya Alvin senang.
                “Sudahlah, ayo cepat naik! Kapten Gandhi, sebaiknya kau lihat dulu situasi di sini. Setelah itu susulah kami di Royale Palace!”
                “Baik!” kata Kapten Gandhi.
                Gondlafpun segera memacu kudanya dengan cepat untuk mengikuti rombongan Jendral Yusingus.
***
Chapter 8 : Race to Royale Palace
                Di tempat lain, di Royale Palace, tepatnya di sebuah altar Istana, tampak 2 orang pria sedang berdebat. Perdebatan ini kelihatan seru sekali seakan-akan sedang mempertaruhkan nyawa ribuan orang. Memang benar, mereka adalah 2 orang pemimpin tertinggi dari wilayah mereka masing-masing. Mereka adalah King Virlu dari Harmonia Kingdom of Harmonia dan Emperor Timouty dari Royale Palace. King Virlu adalah seorang raja yang gagah yang berusia hampir 40 tahun. Ia memiliki mata yang indah dan kulit yang putih, serta rambut hitam yang keren. Sedangkan Emperor Tomouty adalah raja dengan perawakan yang kurus, tetapi memiliki mata yang tajam dan rambutnya berwarna pirang. Ia juga memiliki kulit yang putih. King Virlu sedang mengenakan baju zirah sedangkan Emperor Timouty mengenakan baju rajanya yang bertabur emas. Mereka terus membicarakan hal penting berdua saja.
                “Kurasa sebaiknya kau segera meminta bantuan ke Lopang Kingdom! Lopang Kingdom adalah negeri terdekat dari sini. Aku yakin, para kera itu sudah mengelilingi seluruh Royale Palace!” kata King Virlu dengan nada agak emosi.
                Dengan wajah tenang Emperor Timouty pun menjawab “Tenang saja. Tidak seperti kau, aku tidak akan kehilangan kerajaanku hanya dalam semalam! Lagipula, tidak ada gunanya meminta bantuan ke Lopang Kingdom!”
                “A... apa maksudmu???” tanya King Virlu.
                “Seperti halnya 1.000 tahun lalu... setelah berhasil mengalahkan Sitio, Lopang Kingdomlah yang mendapatkan kejayaannya. Jika aku meminta bantuan mereka sekarang, bisa-bisa kejadian 1.000 tahun lalu terulang kembali... Itulah yang tertulis dalam ramalan mereka... Ketika semua negeri telah jatuh ke dalam tangan kegelapan, maka merekalah yang akan muncul untuk mengalahkan kegelapan tersebut. Padahal faktanya, mereka mengalahkan kegelapan itu dengan bantuan kekuatan dari seluruh negeri... Mereka memang benar-benar busuk...” kata Emperor Timouty.
                “Tidak, kau salah! Isi ramalan itu tidak seperti itu... Ramalan tersebut mengatakan bahwa ketika semua negeri telah jatuh ke tangan kegelapan, akhirnya mereka baru sadar bahwa mereka harus bersatu melawan kegelapan tersebut bersama-sama. Akhirnya mereka memutuskan untuk bersatu di bawah naungan satu negeri...” King Virlu belum selesai berbicara, tetapi Emperor Timouty sudah menyelanya.
                “Dan negeri itu adalah Lopang Kingdom... Cih, itu adalah cerita lama..”
                “Aku belum selesai bicara... Asal kau tahu, negeri terpilih itu bisa negeri mana saja, bahkan mungkin sebuah desa. Yang membuatnya menjadi negeri terpilih adalah keyakinan meeka akan persatuan. Lihat saja buktinya, ketika Harmonia Kingdom of Taktakan diserang, siapa yang menawarkan bantuan terlebih dahulu???” kata King Virlu.
                “Huh, itu hanya trik mereka. Lagipula, mereka hanya sekedar menawarkan bantuan. Kenyataannya, Royale Palace lah yang sekarang menampung kalian dengan senang hati hingga kini tidak ada tempat kosong lagi di negeri kami! Dan lagi, jika memang mereka peduli, mengapa mereka masih belum memberi bantuan apapun, seperti pasukan bantuan misalnya???” kata Emperor Timouty panjang lebar.
                “Itu... aku yakin mereka pasti punya alasan yang bagus.” Kata King Virlu.
                “Cih, omong kosong... aku pergi!” kemudian Emperor Timouty melangkah keluar ruangan, tetapi tiba-tiba King Virlu menghentikannya dengan sebuah pertanyaan.
                “Bagaimana dengan kere-kera itu?”
                Emperor Timouty diam sejenak sambil berpikir, kemudian menjawab “Aku mampu membereskan mereka sendiri. Seandainya mereka datang, kusarankan agar prajuritku saja yang menangani mereka. Suruh saja seluruh rakyatmu untuk lari dan bersembunyi! Hahahahahah....” Emperor Timouty terus tertawa sambil melanjutkan berjalan keluar.
                King Virlu merasa amat geram mendengar kata-kata Emperor Timouty, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Biar bagaimanapun Emperor Timouty telah banyak membantunya dengan membiarkan rakyatnya tinggal di Royale Palace.
***
                Di lain tempat, Gondlaf dan Alvin terus melakukan pengejaran mereka. Mereka sudah berkuda hampir 24 jam. Mereka hanya berhenti untuk beristirahat selama beberapa menit, kemudian berkuda kembali. Mereka terus mengikuti Jendral Yusingus dari jauh. Jarak antara Royale Palace dengan Sungai Danten lebih dekat daripada jarak Lopang Kingdom dengan Sungai Danten. Karena itulah, mereka sudah hampir tiba di Royale Palace. Lagipula, kali ini mereka bergerak begitu cepat dengan menggunakan kuda. Dibandingkan yang sebelumnya, mereka hanya berlari perlahan untuk mengejar Jendral Yusingus.
                Gondlaf dan Alvin terus menunggu kesempatan untuk menyelamatkan Viktul, tetapi kesempatan itu tidak kunjung datang. Prajurit berkuda Jendral Yusingus terus memacu kudanya dengan cepat. Mereka terus berpacu hampir tanpa istirahat. Mereka bahkan tidak mempunyai cukup waktu untuk memejamkan mata.
                Akhirnya, setelah terus berpacu selama 36 jam, mereka tiba juga di Royale Palace. Gondlafpun berkata kepada Alvin “Lihatlah di depan sana! Dinding yang tinggi itu adalah dinding dari Royale Palace!” kata Gondlaf sambil menunjuk sebuah dinding yang besar, saking besarnya dinding itu bisa terlihat dari jauh. Alvin amat terpukau melihat dinding ini. Begitu tingginya, Alvin sampai tidak bisa melihat bangunan-bangunan yang ada di baliknya.
                Namun tiba-tiba saja Gondlaf memperlambat laju kudanya. Alvinpun bertanya “Ada apa?”
                “Jendral Yusingus... Mereka sudah memasuki Royale Palace!” kata Gondlaf. Kemudian perhatian Alvin kembali tertuju kepada prajurit Jendral Yusingus. Mereka sudah mulai memasuki Royale Palace satu persatu. Kelihatannya mereka memiliki pengikut di penjagaan gerbang tersebut.
                “Kalau begitu kita sebaiknya segera masuk juga!” kata Alvin.
                “Tidak bisa! Kurasa Jendral Yusingus sudah mempersiapkan prajuritnya di gerbang itu untuk mencegah kehadiran pengganggu seperti kita!” kata Gondlaf.
                “Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Alvin.
                Tiba-tiba Gondlaf mengeluarkan sebuah kantung kecil miliknya, kemudian membukanya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Ternyata itu adalah sebuah serbuk berwarna hijau. Ia menaburkan serbuk itu di sekitar kuda yang sedang mereka tunggangi. Kemudian Gondlaf memejamkan matanya, lalu merapalkan mantra-mantra. Kemudian Gondlaf membuka matanya, kemudian berkata “Inilah yang akan kita lakukan.... RALUBAVAK!”
                Tiba-tiba serbuk itu seperti beterbangan dan menghalangi pemandangan di sekitar mereka. Serbuk itu mulai berputar-putar dan membuat Alvin pusing. Serbuk itu terus mengitari mereka selama beberapa saat, kemudian menghilang perlahan-lahan. Setelah serbuk itu mulai menghilang, Alvin baru menyadari apa yang terjadi. Kini mereka sudah berada di suatu tempat yang tinggi. Di situ angin berhembus kencang menerpa wajah mereka. Dari sana terlihat pemandangan bangunan-bangunan dari batu yang amat banyak. Bangunan ini menggunakan atap-atap dari genting, tetapi terlihat amat kokoh.
                Tiba-tiba Gondlaf berkata dengan gembira “Sial... Sepertinya aku melakukan sedikit kesalahan... Saat ini sepertinya kita sedang berada di puncak sebuah gedung di Royale Palace... Hehehe... Nampaknya akan sulit untuk turun dari sini...”
                Alvin baru menyadari bahwa mereka sedang berada di atap sebuah bangunan. Jadi inilah Royale Palace. Dinding yang besar sekali membentang begitu panjang sehingga Alvin sulit sekali untuk melihat batasnya. Dinding ini membentang melindungi seluruh bangunan yang ada di dalamnya. Di tengah-tengah Royale Palace ada sebuah sungai yang membelah Royale Palace menjadi dua dan mengalir dari utara ke selatan. Gondlaf mengatakan bahwa sungai itu adalah anak sungai dari Sungai Danten. Sungai ini tidak begitu besar, tetapi nampak besar. Lebarnya sekitar 5 meter. Di atas sungai itu dibuat banyak jembatan. Bagian dinding yang dilalui sungai itu dibuat dinding di bagian bawahnya, tetapi dipasangi jeruji besi hingga 3 lapis. Ini menunjukkan betapa kokohnya pertahanan di Royale Palace.
                Alvin masih menikmati pemandangan dari atas sana, tetapi Gondlaf berkata “Sudah cukup bersenang-senangnya! Sekarang kita harus memikirkan cara untuk turun dan mulai mencari Viktul!” Alvin tersenyum dan menyetujui Gondlaf.
***
Chapter 9 : Three Side In One Nation
                Tidak mudah untuk turun dari atap gedung tersebut. Beruntung sekali gedung itu beratap rata, sehingga Alvin dan Gondlaf dapat berdiri di atasnya. Sebenarnya masalah sudah teratasi sejak awal ketika mereka bermaksud untuk menurunkan kuda putih Gondlaf. Ketika mereka berusaha mendorong kuda putih itu untuk turun, tiba-tiba kuda itu melompat meninggalkan Alvin dan Gondlaf di atap. Kuda itu melompat cukup tinggi, dari sekitar lantai 6. Kuda itu jatuh berguling-guling di tanah tetapi dapat segera bangkit. Kini mereka hanya perlu memikirkan cara untuk turun dari sana. Alvin memutuskan untuk melompat ke sebuah beranda di depan jendela sebuah kamar di bawah mereka. Begitu Alvin hendak melompat, tiba-tiba Gondlaf mendorongnya hingga ia jatuh terjerembap di atas beranda tersebut. Kemudian Gondlaf ikut melompat. Karena kakinya yang agak licin, Gondlaf tergelincir menimpa Alvin. Mungkin inilah yang disebut dalam peribahasa sudah jatuh tetimpa tangga.
                Kejadian ini membuat penghuni kamar itu kaget. Maka, setelah meminta maaf pada penghuni kamar tersebut Alvin dan Gondlaf segera pergi dan menemui kuda putih milik Gondlaf. Mereka memutuskan untuk segera mencari Viktul. Mereka sempat berkeliling sebentar di jalanan Royale Palace yang amat ramai. Kemudian ketika melihat seorang pedagang buah di pinggir jalan, Gondlaf segera melangkah ke arahnya dan menanyakan apakah ia melihat sekelompok prajurit asing yang lewat sini beberapa saat yang lalu. Pedagang itu sepertinya tidak tahu apa-apa. Gondlaf menjadi agak kecewa mendengar jawabannya. Jika ia yang sepanjang hari berada di sana saja tidak melihatnya, bagaimana orang-orang yang terus berlalu lalang sejak tadi.
                Tetapi tiba-tiba suara seorang pria yang menggema terdengar dari belakang mereka “Tidak perlu repot-repot mencari, aku sudah ada di sini!” Spontan Alvin dan Gondlaf segera menoleh. Ternyata dia adalah Jendral Yusingus. Ia tengah berdiri bersama 3 orang pengawalnya.
                Mendadak Alvin menjadi amat kesal. Ia segera berkata dengan lantang “Di mana kau sembunyikan Viktul????”
                Tetapi Jendral Yusingus hanya tersenyum dan berkata “Tenang dulu nak... Saat ini ia sedang berada di suatu tempat yang aman. Aku dapat menjaminnya. Tapi sebelumnya, aku mau mengucapkan selamat kepada kalian. Jadi kalian berdua berhasil mengikuti kami sampai ke sini ya... Hehehehe... Sungguh luar biasa!”
                “Sudah cukup omong kosongnya! Di mana Viktul?” kata Alvin mendadak.
                “Santai dulu nak... Hehehe... Kau benar-benar tidak sabaran... Begini, sebenarnya aku hanya ingin menawarkan kerjasama!” kata Jendral Yusingus.
                “Kerjasama? Apa maksudmu?” tanya Gondlaf.
                “Begini, sekarang aku baru menyadari tidak mungkin aku menggunakan kekuatan The Teeth. Kurasa hanya Viktul yang bisa menggunakannya. Maka, kuharap kau mau membantuku membujuknya untuk menggunakan kekuatan hebat itu untuk melawan para kera milik Sitio!” kata Jendral Yusingus.
                “Huh, enak saja!!! Tak akan kubiarkan kau memperlakukan Sitio seperti alat bertarung seperti itu...” kata Alvin dengan nada sangat emosi.
                “Huh... yang benar saja... dasar anak kecil...” kata Jendral Yusingus.
                “Huh... begitu... Yang jelas aku tak akan pernah mau bersatu denganmu untuk mengkhianati Lopang Kingdom, tetapi kurasa sekarang ini kita memang harus bekerja sama...” kata Gondlaf.
                Alvin begitu kaget mendengar hal ini dan Jendral Yusingus segera tersenyum senang. Ia merasakan kemenangan. Alvin yang bingung segera bertanya “Apa-apaan ini???”
                Lalu Gondlaf berkata “Aku yakin saat ini ribuan pasukan kera sudah mengepung Royale Palace dan mereka bisa menyerang kapan saja. Saat ini semua orang yang ada di sini harus menyatukan kekuatan jika ingin tetap bertahan hidup. Dan Yusingus, kurasa sekarang bukan kami yang harus bekerja sama denganmu, tetapu kaulah yang harus bekerja sama dengan kami!”
                “A...apa????”
                “Apa kau lupa dengan penyerangan para kera ke prajuritmu tempo hari? Asal kau tahu, aku mengetahui hal itu! Dan aku yakin, masih ada banyak kera yang bersiap untuk menyerang Royale Palace!” kata Gondlaf. “Saat ini di sini ada sisa-sisa prajurit Harmonia Kingdom of Taktakan, prajurit Royale Palace, dan para pengikutmu! Jika ketiga kekuatan ini bergerak sendiri-sendiri, aku yakin ketiganya akan musnah saat itu juga!”
                Jendral Yusingus tampak terdesak, lalu setelah berpikir sejenak berkata “Baiklah, tapi Viktul tidak akan kukembalikan begitu saja! Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
                “Hmmm... Sekarang ikutlah denganku menemui King Alpin dan Emperor Timouty. Kita akan bicarakan semuanya di sana bersama mereka. Kurasa saat ini mereka ada di istana... Mari kita ke sana!” kata Gondlaf. Kemudian mereka mulai berjalan menuju istana Royale Palace. Alvin masih kesal karena Gondlaf memutuskan untuk bekerja sama dengan mereka.
***
                Di tengah perjalanan, Alvin bertanya kepada Gondlaf “Mengapa kau mengajak orang-orang seperti itu untuk bekerja sama?”
                “Aku sudah menerima surat dari Lord Mliit. Ia tak bisa mengirimkan bantuan ke sini karena kondisi yang gawat. Jika kera-kera itu sudah berkeliaran di Sungai Danten, maka ada kemungkinan mereka juga sudah mengepung Lopang Kingdom. Karena itulah, kita harus melindungi Royale Palace dengan segenap kekuatan yang ada sekarang!”
                Alvin nampaknya masih kesal, tetapi tetap diam.  Jendral Yusingus terus mengikuti mereka dengan berhati-hati, kalau-kalau mereka dijebak. Mereka terus berjalan melewati jalanan Royale Palace yang amat ramai. Banyak sekali orang yang berlalu lalang. Itu karena mereka sedang melewati tempat perdagangan paling besar di Royale Palace, yaitu Royal Street. Mereka terus berjalan ke sebuah istana megah di tengah-tengah Royale Palace. Istana ini begitu besar dan tampak kokoh. Dindingnya terbuat dari batuan-batuan terpilih yag berwarna kecoklatan yang bercahaya. Istana ini memiliki pintu gerbang selebar 10 meter dan memiliki ketinggian 4 meter. Istana ini benar-benar luar biasa.
                Ketika mereka mau memasuki istana, tiba-tiba beberapa orang penjaga mencegat mereka. Gondlaf mengatakan kalau mereka adalah utusan langsung Lord Mliit. Mendengar nama ini mereka segera memperbolehkan rombongan Gondlaf untuk masuk. Setelah masuk beberapa langkah, tiba-tiba seorang pria besar dengan baju zirahnya berjalan ke arah mereka sambil berteriak.
                “Salam sejahtera untuk semuanya! Kalian pasti utusan Lord Mliit bukan? Dan kau adalah Gondlaf sang penyihir putih, lalu kau adalah Jendral Yusingus yang terkenal itu. Hahahaha...” demikianlah ia berkata kepada mereka.
                “King Alpin, terimalah rasa hormatku!” tiba-tiba Gondlaf menunduk sambil diikuti oleh Jendral Yusingus dan pengawalnya. Tetapi Alvin tidak menundukkan kepalanya karena tidak mengerti, sehingga Gondlaf mencengkram kepalanya dan membuatnya menunduk dengan dorongannya.
                “Hahahah... Kuterima rasa hormat kalian dengan senang hati. Mari, masuklah ke istana!” kemudian ia berbalik dan memanggil seorang penjaga, kemudian menyuruhnya untuk memberitahukan kedatangan Gondlaf kepada Emperor Timouty. King Virlu juga menyuruh penjaga untuk memanggil jendral besarnya, Jendral Napin. Setelah itu mereka mulai berjalan dan melewati alun-alun yang besar di dalam istana tersebut. Alun-alun ini berbentuk persegi dan dikelilingi bangunan besar yang bertingkat-tingkat. Setelah mereka memasuki alun-alun itu, mereka memasuki sebuah gedung yang tepat berhadapan dengan pintu gerbang tadi. Pintu ini adalah yang paling besar. Setelah memasuki pintu menuju bangunan paling besar itu, mereka segera menaiki tangga hingga ke lantai teratas, kemudian masuk ke satu-satunya ruangan yang ada di lantai tersebut. Ruangan ini benar-benar sama dengan Ruangan Meja Bundar untuk rapat yang ada di Lopang Kingdom. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat meja bundar yang lebih besar daripada yang ada di Lopang Kingdom.
                Kemudian King Virlu mulai berbicara “Apa kalian tahu, setiap negeri di Bumi Serang memiliki meja bundar seperti ini. Meja bundar ini adalah simbol bahwa semua penghuni negeri-negeri di Bumi Serang akan selalu bermusyawarah dan bekerja sama untuk menyelesaikan suatu masalah. Tapi sayangnya, kini orang-orang nampaknya tak menghargai meja bundar ini lagi.”
                “Ya, kurasa kau benar” Kata Gondlaf sambil menatap ke arah Jendral Yusingus, yang kemudian merasa tidak enak dan memalingkan wajahnya.
                “Dan karena hal itu pulalah Sitio menjadi musuh abadi bagi seluruh penghuni negeri-negeri di Bumi Serang” lalu King Virlu melanjutkan “Ia satu-satunya raja yang menggunakan kursi emasnya untuk memerintah. Itu menyimbolkan bahwa kekuasaannya amat besar sehingga tidak ada satupun yang boleh membangkangnya! Dan karena itu pulalah perang ini terjadi, ketika ia mencoba menguasai negeri-negeri yang lain di bawah kursi emasnya...”
                Kemudian King Virlu berhenti dan merasa sedih sambil menatap meja bundar tersebut, lalu bergumam “Kerajaan yang sudah dipercayakan padaku... ukh... mengapa jadi begini...”
                Tiba-tiba pintu di belakang mereka terbuka, masuklah Emperor Timouty dengan 44 orang ksatrianya yang terkenal itu dan diikuti oleh Jendral Napin dan 2 orang pengawalnya. Jendral Napin adalah seorang Jendral gagah yang berusia sekitar 20 tahun. Ia adalah adik dari King Virlu. Biarpun ia dan King Virlu adalah saudara lain ibu, tetapi King Virlu tetap menghormatinya dan menganggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Jendral Napin memiliki keahlian pedang maupun memanah yang tinggi, dan ia juga memiliki kecerdasan dan ketampanan yang luar biasa.
                Kemudian mereka berdiri mengitari meja bundar, dan Emperor Timouty berbicara “Jadi akhirnya datang juga utusan dari Lopang Kingdom. Tapi aku heran, mengapa Lopang Kingdom hanya mengirim seorang kakek tua, seorang anak kecil, dan seorang jendral yang katanya telah membunuh jendral sebelumnya untuk dapat naik tahta... hehehe...”
                Tiba-tiba Jendral Yusingus menjadi geram sekali mendengar hal ini, tetapi Gondlaf sudah berbicara “Asal kau tahu, Lopang Kingom juga berpeluang amat besar untuk diserang oleh kera-kera ini! Kami harus terus berjaga-jaga di sana...”
                Tiba-tiba saja Emperor Timouty memotong kata-kata Gondlaf “Kalau begitu mengapa kau tidak tinggal saja di sana dan menolong para prajuritmu untuk berjaga? Di sini aku sudah memiliki banyak prajurit untuk melawan kera-kera itu. Kurasa sebaiknya kau pulang saja kakek tua, dan jangan lupa bawa orang-orang buangan dari Harmonia Kingdom of Taktakan itu!”
                Tiba-tiba saja Jendral Napin menjadi kesal dan berteriak “TUTUP MULUTMU, BRENGSEK!”, tetapi King Virlu segera menahannya, “Tenanglah, mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan...”. Jendral Napin pun menjadi sedikit tenang sekarang.
                Tetapi tiba-tiba Jendral Yusingus tertawa dan berkata “Hahahahaha... apa maksudmu dengan prajuritmu? Bukankah seharusnya ‘prajuritmu dengan sebagian besar prajuritku di dalamnya’?”
                “Hah? Apa maksudmu?” tanya Emperor Timouty kaget.
                “Kalau begitu tanya saja dengan 10 orang ksatria hebatmu yang ada di sana, siapa tuannya!” kata Jendral Yusingus sambil tertawa-tawa dan menunjuk ke 10 orang tersebut.
                Emperor Timouty segera menoleh ke arah mereka dan menjadi amat marah “Ku...kurang ajar kau... Aku berjanji, aku pasti akan membunuhmu!”
                “Coba saja” kata Jendral Timouty sambil tersenyum-senyum.
                Gondlaf menyadari kalau situasi di sini berbeda jauh dari apa yang ia harapkan. Mereka bahkan sama sekali tidak membicarakan mengenai cara mengalahkan prajurit Sitio, tetapi malah saling menjelekjelekkan satu sama lain. Di tengah keadaan yang makin runyam ini ketika para ksatria itu mulai bertengkar satu sama lain karena terdapat 10 orang pengkhianat, tiba-tiba Alvin berkata dengan lantang “KALIAN TENANGLAH!!!!” tiba-tiba saja mereka menjadi teriam mendengar teriakan dahsyat Alvin.
                “Mungkin saja kalian yang ada di sini saling membenci satu sama lain. Tetapi, mau tak mau, kalian yang ada di sini harus menyadari jika kalian semua akan memiliki takdir yang sama! Cepat atau lambat, prajurit Sitio pasti akan menyerang Royale Palace. Dan jika hal itu tejadi ketika kalian masih meributkan hal bodoh seperti ini, aku jamin tidak ada satupun dari kalian yang akan selamat!” kata Alvin bersemangat.
                Orang-orang yang ada di ruangan itu terdiam dan memikirkan itu untuk beberapa saat. Gondlafpun tersenyum melihat Alvin. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Alvin akan mengatakan hal seperti itu. Tetapi keheningan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara pintu yang mendadak terbuka. Seorang prajurit berlari ke arah mereka dan berkata “Para prajurit kera itu... Mereka sudah ada di dinding Royale Palace sebelah barat!!! Jumlahnya sekitar 20.000 ekor!!!”
                Semua orang yang ada di situ kaget setengah mati. Biar bagaimanapun jumlah itu begitu besar, dan mereka semua juga menyadari bahwa hanya dengan menyatukan prajuritlah mereka dapat menandingi pasukan itu. Tetapi mereka yang masih kesal satu sama lain tidak berkata apa-apa. Tiba-tiba keheningan itu kembali dipecahkan oleh suara menggelegar yang dahsyat. Semua orang yang ada di situ segera melihat ke arah barat melalu jendela kaca besar bundar yang ada di ruangan itu. Tampak sebuah bunga api yang besar sekali telah menyerang dinding kota itu, dan membuat dinding itu runtuh!!!”
***

Chapter 10 : Fall Of Western Wall
                Emperor Timouty segera mengisyaratkan seluruh ksatrianya untuk bertempur. Ia terus memberi perintah untuk menyiapkan seluruh prajurit yang ada. Para ksatria itu segera berhamburan keluar ruangan dan mngumpulkan para prajuritnya. King Virlu dan Jendral Napin juga segera keluar untuk mengumpulkan prajuritnya guna melakukan pertahanan. Ia tak mau jika Royale Palace mengalami nasib yang sama seperti Harmonia Kingdom of Taktakan.
                Ketika yang lain sedang bersiap-siap melakukan pertahanan, Gondlaf menyadari bahwa Jendral Yusingus masih berdiri dan berbicara dengan para pengawalnya. Ia segera berjalan ke arah mereka dan berkata “Apa yang kalian lakukan di sini??? Kurasa sebaiknya kalian membantu melakukan pertahanan kota ini jika masih ingin hidup!”
                “Dasar kakek tua berisik! Sekarangpun kami tengah bermaksud untuk pergi ke Royale Palace bagian barat. Asal kau tahu, Virlu kami tahan di sana!” kata Jendral Yusingus.
                “Apa katamu???” Alvin segera berlari ke arah Jendral Yusingus sambil mengacungkan pedangnya. Tetapi sayang, kemampuan Jendral Yusingus begitu tinggi sehingga serangan Alvin dapat dipatahkan bahkan Jendral Yusingus berhasil melakukan serangan balasan tetapi Alvin segera melompat ke belakang sehingga tidak terkena sabetan pedang Jendral Yusingus.
                “Hehe, hebat juga kau nak” kata Jendral Yusingus yang sedang bersiap untuk menyerang Alvin, sedangkan Alvin juga bersiap untuk menyerang.
                “HENTIKAN OMONG KOSONG INI!!!” tiba-tiba Gondlaf berteriak dengan kesal. Alvin maupun Jendral Yusingus segera terdiam.
                Jendral Yusingus nampak tidak senang, tetapi kemudian berkata “Huh, ya sudahlah... Lagipula ia Cuma anak-anak... Kakek tua, sekarang terserah kau saja. Silakan saja jika kau ingin melakukan sesuatu, tetapi aku akan segera membawa prajuritku keluar dari kota ini, dan tentu saja Viktul akan ikut denganku! Sejak awal aku memang tidak berniat membantu...”
                “Dasar bodoh, kera-kera itu pasti sudah mengepung kita. Keluar dari sini sama saja masuk ke dalam kepungan mereka. Di sinilah tempat pertahanan terbaik!” kata Gondlaf.
                “Omong kosong” kemudian Jendral Yusingus segera keluar bersama para pengawalnya.
                “Lalu apa yang akan kita lakukan Gondlaf?” tanya Alvin.
                “Kita ikuti Jendral Yusingus. Terpaksa kita lakukan dengan jalur kekerasan!” kata Gondlaf.
                Dalam waktu singkat para prajurit Royale Palace maupun Harmonia Kingdom of Taktakan sudah berkumpul di tembok barat untuk melakukan pertahanan. Para kera terus mencoba menghancurkan dinding dengan meriam-meriam besar. Para penduduk yang panik terus berusaha melarikan diri dan pergi ke Royale Palace bagian timur. Royale Palace bagian barat dan timur dibatasi oleh anak Sungai Danten dan hanya memiliki beberapa jembatan penyebrangan. Hal ini membuat jalanan menjadi amat sesak. Dalam situasi ini Alvin dan Gondlaf jadi kesulitan untuk mengikuti Jendral Yusingus. Tetapi berkat kuda milik Gondlaf, mereka dapat melewati kerumunan orang dengan mudah.
                Akhirnya Alvin dan Gondlaf menemukan Jendral Yusingus. Sungguh mengejutkan, Jendral Yusingus terus berlari ke arah tembok barat. Ia hanya berlari bersama 2 orang pengawal. Sepertinya pengawalnya yang lain sedang mengumpulkan pengikutnya. Ia terus berlari ke arah perang yang sedang berkecamuk. Beberapa bagian dinding besar itu sudah berhasil dilubangi, biarpun lubangnya kecil sekali, hanya bisa dilalui oleh satu ekor kera. Tetapi kera-kera yang tangguh ini terus mencoba masuk melalui lubang itu.
                Karena begitu banyak prajurit, setelah berlari berputar-putar, akhirnya Jendral Yusingus behenti pada sebuah pos penjaga gerbang Royale Palace. Puluhan prajurit tengah menahan ratusan kera yang mencoba membobol pintu gerbang itu. Jendral Yusingus mencoba masuk ke dalam pos itu. Alvin menyadari bahwa Viktul berada di sana. Tetapi tiba-tiba pos itu meledak akibat terkena tembakan meriam para kera. Jendral Yusingus yang baru mencoba masuk terpental keluar. Setelah terguling-guling, Jendral Yusingus mencoba untuk berdiri kembali.
                Alvin yang menyaksikan ini segera berlari ke arah pos penjagaan yang sudah terbakar itu. Gondlaf mencoba menghentikannya tetapi tidak berhasil. Alvin segera melompati puing-puing gedung dengan lincah. Ia terus mencari-cari Viktul. Kemudian ia menemukan anak tangga untuk menuju ke lantai atas. Tanpa pikir panjang Alvin segera menaiki anak tangga tersebut. Sambil menahan panasnya kobaran api, Alvin terus berusaha untuk naik. Akhirnya Alvin berhasil mencapai lantai teratas, sebuah ruangan persegi dengan sepasang jendela besar yang saling berhadapan, masing-masing menghadap ke luar tembok dan satu lagi menghadap ke dalam kerajaan. Tiba-tiba Alvin menyadari ada seseorang terikat di atas lantai tersebut. Alvin segera menghampirinya, dan tiba-tiba saja Alvin merasa haru, sedih, senang, dan lega. Orang itu adalah Viktul.
                Tetapi Viktul masih belum sadarkan diri, sehingga Alvin terus menggoyang-goyang kepalanya hingga akhirnya Viktul tersadar. Setelah Viktul sadar, akhirnya Viktul menyadara bahwa orang yang sekarang sedang berada di depannya adalah Alvin. Viktul merasa sedih dan tiba-tiba memeluk Alvin sambil menitikkan beberapa tetes air mata. Untuk beberapa saat mereka tenggelam ke dalam kerinduan mereka.
                Sayang sekali, tiba-tiba batu mutiara hitam Alvin menyala-nyala. Terdengar suara langkah-langkah kaki menuju ruangan tempat mereka berada. “Ini pasti Jendral Yusingus... Ayo lari!” kata Alvin kepada Viktul. Mereka segera bangkit dan berlari menuju tangga yang menghubungkan mereka ke atas dinding besar kerajaan. Ternyata bagian atas dari dinding tersebut cukup lebar, lebarnya sekitar 5 meter. Kemudian Alvin melihat ke arah luar, dan ia melihat pemandangan yang amat menakutkan. Ribuan prajurit kera tengah menunggu giliran mereka untuk memasuki Royale Palace.
                Di tengah ketegangan ini tiba-tiba Jendral Yusingus melompat naik dari tangga. Bersama beberapa pengawalnya, ia bersiap untuk menyerang Viktul dan Alvin. “Serahkan The Teeth! Ternyata aku sama sekali tidak bisa mengandalkanmu, anak kurus!” kata Jendral Yusingus kepada Viktul.
                “Tidak akan! Kali ini aku bertekad untuk benar-benar menjaga Viktul! Aku tidak gagal kali ini!” kata Alvin bersemangat. Alvin merasa malu karena ia telah membuat Viktul terancam bahaya 2 kali, yaitu ketika dikepung oleh monster-monster Sitio di perjalanan menuju Lopang Kingdom dan ketika Viktul diculik di Lopang Kingdom. Karena inilah, kali ini Alvin bertekad mengorbankan jiwa dan raganya untuk melindungi Viktul, apalagi ia sangat tidak menginginkan terjadi sesuatu pada Viktul kali ini, setelah Alvin dengan besusah payah menemukannya.
                Jendral Yusingus tersenyum licik sejenak, kemudian maju sambil memberi perintah kepada pengawalnya “BUNUH KEDUANYA!!!”. Jendral Yusingus dan pengawalnya segera berlari ke arah Viktul dan Alvin, tetapi tiba-tiba muncul cahaya hijau yang berputar-putar di antara mereka dan muncullah Gondlaf dengan jubah putihnya. Ia segera mengangkat tongkatnya dan dari tongkat itu keluarlah lidah-lidah api yang segera membakar lantai antara Gondlaf dan Jendral Yusingus. Dinding api ini membuat Jendral Yusingus terhenti.
                Kemudian Gondlaf berkata dengan lantang ke arah Jendral Yusingus “Wahai Jendral Besar dari Lopang Kingdom, apakah yang sekarang sedang kau lakukan??? Lihatlah ke kanan dan kirimu, dan sadarilah, prajurit kera Sitio telah mengepung kita! Jika tak bekerja sama, kita semua pasti akan mati!”
                Kemudian Jendral Yusingus melihat ke bawah ke arah para prajurit sedang berperang. Pemandangan ini sungguh mengerikan. Mereka saling menusuk dan membunuh. Jendral Yusingus tampak sedikit ngeri, tetapi kemudian berkata sambil tersenyum “Aku tidak akan pernah bekerja sama denganmu, kakek tua!”
                Gondlaf tampak agak kecewa, kemudian bergerak mundur ke arah Viktul dan Alvin, kemudian menebarkan bubuk berwarna hijau di sekeliling mereka, dan segera membaca mantra. Jendral Yusingus merasakan hal yang buruk, maka tanpa pikir panjang ia segera melompat melewati api sambil menghunuskan pedangnya, tetapi Viktul dan yang lainnya sudah dikelilingi cahaya hijau yang berputar-putar. Begitu Jendral Yusingus sudah berhasil melewati kobaran api dan hendak menebaskan pedangnya, Viktul dan yang lainnya sudah menghilang. Jendral Yusingus menjadi amat kesal, lalu ia berteriak keras sekali ke arah langit, seakan-akan langit amat membencinya.
***
Chapter 11 : The Slaughtering
                Tiba-tiba saja Viktul dan yang lainnya sudah berada jauh sekali, di Royale Palace bagian timur. Dari kejauhan mereka menyaksikan matahari yang mulai terbenam di antara tembok-tembok yang mulai rubuh. Pemandangan ini benar-benar memperlihatkan mereka pada seberapa banyak darah yang ditumpahkan di medan pertempuran itu. Warga mulai berdesak-desakkan melalui jembatan untuk mengungsi ke bagian timur kerajaan. Semakin gelap, semakin banyak warga yang mencoba mengungsi, dan semakin banyak juga prajurit yang tewas terbunuh.
                “Sepertinya para prajurit kera itu akan berhasil memasuki kota malam ini... Sekarang aku mengerti mengapa Harmonia Kingdom of Taktakan bisa ditaklukan semudah itu...” kata Gondlaf.
                “Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?” tanya Alvin.
                “Mungkin sebaiknya kita beristirahat dulu... Lagipula saat ini tak ada yang bisa kita lakukan...” kata Gondlaf. Merekapun memutuskan untuk mencari tempat di sudut-sudut kota bersama warga lainnya untuk beristirahat sejenak. Alvin dan Viktul yang masih merindukan satu sama lain mengobrol sejenak, kemudian mereka tertidur karena kelelahan. Bagi Alvin hari ini benar-benar terasa panjang. Ia baru saja tiba di Royale Palace tapi sudah mengalami berbagai kejadian. Tidak heran jika ia tertidur begitu cepat. Tetapi tidak dengan Gondlaf. Sepertinya ia masih mencari kuda kesayangannya yang tadi ia tinggalkan ketika hendak menyelamatkan Alvin dan Viktul.
***
                Di lain tempat di perbatasan dinding tempat terjadinya pertempuran, King Virlu dan prajuritnya masih bertarung dengan gigih melawan kera-kera itu. Bersama jendralnya, King Virlu terus menghantam kera-kera yang sudah berhasil memasuki kota. Sebenarnya prajurit King Virlu dan Emperor Timouty sedang bertarung berdampingan, tetapi sama sekali tidak tampak rasa bekerja sama di antara mereka. Mereka membiarkan prajurit mereka satu sama lain terbunuh di medan perang tanpa berusaha untuk menolongnya.
                Hal ini dimanfaatkan oleh para prajurit kera Sitio. Dengan mudah para prajurit kera ini berhasil menghabisi setiap prajurit yang berusaha melindungi kota dan juga para warga yang belum sempat menyelamatkan diri. Para prajurit kera ini juga mulai membakar rumah-rumah yang mereka lewati. King Virlu dan Jendral Napin bersama pasukannya terus berusaha melawan, tetapi mereka tidak sanggup untuk menghadapi kera-kera ini tanpa bantuan Emperor Timouty.
                Tiba-tiba saja King Virlu dan semua prajurit yang sedang berada di medan perang merasakan hawa dingin yang menakutkan. Awalnya mereka mengira bahwa hawa ini adalah hawa yang berasal dari angin malam, tetapi ternyata mereka salah. Tidak lama kemudian muncullah sesosok tubuh besar dengan memakai baju zirah dan memakai topeng di wajahnya. Pada topengnya terukir wajah yang mengerikan, seperti wajah yang berasal dari neraka. Ia datang mengendarai seekor ginger. Ginger adalah makhluk yang seperti perpaduan antara kuda dan anjing. Tubuhnya berukuran 2 kali lebih besar dari kuda biasa dan berwarna hitam kegelapan. Wajahnya lebih menyerupai anjing yang terkena rabies dengan matanya yang merah. Makhluk ini juga tidak memiliki telapak kaki kuda, melainkan telapak kaki dengan cakar-cakar yang besar. Dari kepala, punggung, hingga ekornya terdapat rambut panjang berwarna hitam yang terus melambai-lambai seperti tertiup angin. Air liur terus mengalir di antara giginya yang besar dan tajam dan terus menetes-netes.
                Kemudian sesosok orang yang menunggangi ginger tersebut mengangkat pedang kitamnya tinggi-tinggi dan berteriak “BUNUH MEREKA SEMUA!!!”. Para prajurit kera itupun menanggapinya dengan berteriak keras-keras dan bertarung dengan semakin liar. Sesosok penunggang ginger itu memiliki pedang hitam dengan mantra-mantra yang sudah terukir di permukaannya. Pedang itu seperti sebuah isyarat kepada para prajurit kera. Tidak lama setelah pedang itu diangkat, muncullha makhluk-makhluk lainnya seperti viper, yaitu ular hitam yang bersayap dan tubuhnya tidak terlalu panjang sehingga ia tidak bisa meliuk-liuk. Selain itu muncul juga grandoa, makhluk yang ukurannya 2 kali lebih besar dari gajah dan mengangkut 2 buah meriam di punggungnya. Makhluk ini ditunggangi oleh 2 kera, yang satu bertugas mengendalikannya, dan yang satu bertugas menembakkan meriam yang ada di punggungnya. Grandoa tidak memiliki belalai panjang maupun telinga yang lebar, melainkan hanya memiliki lubang di hidung dan telingannya. Kepalanya berbentuk bulat. Makhluk-makhluk yang baru bermunculan ini segera menyerang semua manusia yang terlihat oleh mereka.
                King Virlu menjadi gemetar melihat merka, kemudian berkata kepada Jendral Napin “Ternyata Lord of Death memang ada...”
                “Lord of Death?” tanya Jendral Napin.
                “Ya, makhluk yang berlapiskan baju zirah yang sedang menunggangi ginger itu!” kata King Virlu, “kupikir itu Cuma mitos, tapi ternyata ia memang ada...”
                “Memangnya siapa dia?” tanya Jendral Napin.
                “Sitio memiliki 2 orang jendral yang paling setia kepadanya, salah satunya adalah Lord of Death, makhluk yang saat ini berada di hadapanmu itu! Konon katanya ia adalah kumpulan dari 10.000 roh jahat yang dikumpulkan di balik baju zirah itu! Bisa kau bayangkan betapa hebat kekuatannya... dan hanya dia yang sanggup menunggangi ginger, makhluk kegelapan tercepat yang pernah ada...” kata Gondlaf.
                “Lalu siapa jendral Sitio yang satu lagi?” tanya Napin, tetapi tiba-tiba seekor viper terbang ke arah mereka. Viper ini panjangnya sekitar 5 meter. Semua prajurit berusaha menghindarinya, tetapi tidak dengan Jendral Napin. Ia segera menyiapkan pedangnya, dan segera melompat ke atas viper itu ketika viper itu melewatinya. Setelah berhasil menaikinya, Jendral Napin segera menusuk punggung Viper tersebut. Viper itu kemudian jatuh dan terguling-guling. Jendral Napin segera melompat sebelum ia tertimpa oleh tubuh viper yang besar itu.
                Lord of Death melihat kejadian ini, dan tertarik untuk mendatangi Jendral Napin. Ia segera memacu gingernya ke arah Jendral Napin dengan cepat. Ia berpacu di antara para prajurit yang sedang berperang. Ia mengacungkan pedang hitamnya. King Virlu menyadari hal ini dan ia bermaksud memperingati Jendral Napin, tetapi terlambat. Ginger itu melaju dengan cepat dan sudah mencapai Jendral Napin. Jendral Napin menyadarinya dan segera berbalik, tetapi Lord of Death sudah menebasnya.
                Beruntung, Jendral Napin berhasil menahan tebasan Lord of Death dengan pedangnya, tetapi hal itu membuat pedangnya patah. Jendral Napin menyadari kalau ia tidak akan memenangkan pertarungan ini. Ditambah lagi para prajuritnya maupun prajurit Emperor Timouty sudah berhasil didesak oleh kera-kera itu. Maka Jendral Napin memutuskan untuk mundur. Tetapi Lord of Death mengejarnya. Tiba-tiba saja seorang prajurit melemparkan tombaknya kepada Jendral Napin karena ia menyadari pedang Jendral Napin sudah patah.
                Jendral Napin segera memanfaatkan tombak itu dan melemparkannya ke arah Lord of Death. Tetapi ternyata ia tidak mengincar Lord of Death, melainkan mengincar gingernya. Jendral Napin menyadari Lord of Death pasti bisa menangkis tombaknya, tetapi gingernya tidak akan melakukan apa-apa untuk menagkis tombak tersebut. Tombak itu berhasil menembus dada ginger tersebut sehingga ginger itu roboh dan Lord of Death terjatuh. Jendral Napin memanfaatkan kesemaptan ini untuk kabur. King Virlu merasa lega menyaksikan hal ini dan ia segera memerintahkan prajuritnya untuk mundur. Para prajurit Emperor Timouty juga sudah mulai mundur.
                Memasuki tengah malam para kera itu benar-benar sudah berhasil menembus dinding Royale Palace. Ternyata dinding besar yang sudah dibangun selama bertahun-tahun itu dapat dirubuhkan dalam semalam. Para kera itu terus menghabis orang-orang dan membakar rumah-rumah yang dilewatinya atas perintah Lord of Death. Saat ini Royale Palace benar-benar memasuki masa yang amat kritis.
***

Chapter 12 : The Emperor’s Regret
                Keesokan paginya Gondlaf pergi menemui Emperor Timouty bersama Alvin dan Viktul setelah mengirimkan berita kepada Lord Mliit tentang kejadian di Royale Palace. Di tengah perjalanan Viktul berkata “Aku tak mengerti... Mengapa hal mengerikan seperti ini harus terjadi...” Alvin terdiam mendengar hal ini.
                “Akupun tak pernah paham, mengapa manusia selalu ingin untuk saling menyakiti...” kata Gondlaf kemudian.
                Akhirnya mereka tiba di Ruangan Meja Bundar dan ternyata Emperor Timouty sedang berada di sana. Ketika Gondlaf menemuinya, ia tampak sedang memandang ke luar jendela yang menghadap ke dinding Royale Palace sebelah barat. Ia nampak bersedih dan amat kecewa melihat kotanya di hancurkan seperti ini. Di sana para prajurit masih bertarung, tapi sepertinya sudah kehilangan semangatnya.
                Tiba-tiba Gondlaf berkata dari belakang Emperor Timouty “Inikah yang kau inginkan?”                   Emperor Timouty kaget dan berbalik, dan memandang Gondlaf untuk beberapa saat, kemudian berkata “Kurasa kau benar... tapi yang jelas aku tak akan menyerahkan kerajaanku begitu saja...”
                “A...apa maksudmu? Bukankah sudah jelas apa yang seharunya kau lakukan?” kata Gondlaf.
                “Inilah jalanku, kakek tua! Jangan coba-coba untuk menghalanginya! Pembantu, siapkan baju zirah dan kuda tempurku! Aku akan segera menghabis kera-kera itu dengan tanganku sendiri!” kata Emperor Timouty.
                “Hei, jangan bodoh... Kau pikir apa yang mau kau lakukan? Membuang nyawa di medan perang itu bukanlah hal seharusnya kau lakukan...” kata Gondlaf, sambil berusaha mnenghalanginya.
                Tetapi Emperor Timouty tidak peduli. Nampaknya ia sudah kehilangan harga dirinya krean kesalahannya ini. Sepertinya ia berniat untuk menggantikannya dengan nyawanya. Ia terus saja melangkah keluar, tetapi tiba-tiba Viktul menghentikannya.
                “Apa kau benar-benar ingin melindungi negeri ini?” tanya Viktul kepada Emperor Timouty.
                “Tentu saja” balas Emperor Timouty.
                “Tetapi jika kau mati, bagaimana kau akan melindungi negeri ini?” tanya Viktul lagi dengan nada mengecam.
                Emperor Timouty terdiam mendengar hal ini, tetapi kemudian tertawa meremehkan Viktul, dan segera melangkah keluar. Tawanya kencang sekali. Ia memang memiliki harga diri yang tinggi dan ia tak akan pernah mau untuk dinasehati oleh orang yang menurutnya masih kecil atau belum berpengalaman. Viktul menjadi bingung dengan apa yang harus dilakukan. Ia bertanya pada Gondlaf, tapi Gondlaf juga segera melangkah keluar sambil berkata “Kita harus menghentikannya melakukan perbuatan bodoh itu!”
***
                Matahari tampak semakin tinggi. Para prajurit yg sudah kelelahan terus didesak oleh para kera itu. Tetapi tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki kuda yang bergerak dengan cepat dan diiringi beberapa langkah kaki kuda lainnya. Para prajurit segera mencari tahu langkah kaki kuda siapa itu. Ternyata itu adalah langkah kaki kuda milik Emperor Timouty beserta para pengawalnya! Ia terus melaju menerjang para kera yang sudah berhasil memasuki kota. Para ksatria yang melihatnya menjadi bersemangat kembali dan memutuskan untuk kembali berperang dengan semangat membara. Sementara itu Gondlaf terus mengejarnya, sedang Viktul dan Gondlaf disuruh menunggu di tempat para warga yang mengungsi. Tempat pengungsian itu amat sesak karena tidak hanya dihuni oleh warga Royale Palace, tetapi juga oleh warga Harmonia Kingdom of Taktakan.
                Akhirnya Emperor Timouty berhasil mencapai para prajurit kera yang sedang berperang tanpa terlihat lelah sedikitpun. Ia segera mengacungkan pedangnya diikuti oleh para pengawalnya, dan segera menebas kera-kera yang ada di hadapannya. Ia terus saja memacu kudanya dengan cepat sambil terus menebas kera-kera yang terlihat. Sungguh tak disangka, ternyata seorang emperor yang selama ini terus duduk di tahtanya dan memerintah dengan sombong ternyata sanggup bertarung sehebat ini.
                King Virlu menyadari hal ini karena mendengar banyak prajurit yang mengelu-elukan nama Emperor Timouty di medan perang. Ia amat kaget melihat orang itu sedang berperang bersama pasukannya. Sepengetahuan King Virlu, Emperor Tomouty adalah orang yang tidak akan pernah mau mempertaruhkan nyawanya di medan perang bersama dengan para prajuritnya. Pasti telah terjadi sesuatu yang besar yang membuatnya berubah seperti ini.
                Tetapi tiba-tiba hawa dingin mulai terasa kembali di bawah terik matahari yang panas ini. Hawa dingin ini membuat hati para prajurit yang tadinya sudah bersemangat membara-bara kembali menciut. Tidak lama muncullah sosok Lord of Death. Kali ini ia datang menunggangi gingernya. King Virlu sungguh kaget melihat hal ini. Seharusnya gingernya sudah terbunuh kemarin malam. Memang terdapat luka akibat tertusuk tombak pada dada ginger itu, tetapi anehnya ginger itu dapat berjalan dengan tenang sekarang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
                Lord of Death melangkah ke arah Emperor Timouty sambil mengangkat pedangnya. Tiba-tiba saja seluruh prajurit keranya berhenti dan mundur, seakan-akan berniat menyaksikan sebuah pertarungan sengit antara 2 orang raja. Viper-viper yang tadinya terbang membabi buta mulai terbang teratur di atas Lord of Death, sepertinya hendak menyaksikan pertarungan ini. King Virlu merasakan firasat buruk akan hal ini.
                Emperor Timouty menyadari bahwa ini adalah tantangan pertarungan. Ia segera menyuruh prajuritnya untuk mundur dan membiarkannya melakukan pertarungan satu lawan satu. Tetapi tiba-tiba Jendral Napin datang untuk memperingatkannya “Emperor Timouty, aku mohon... jangan lakukan pertarungan mematikan ini...”
                Emperor Timouty tersenyum meremehkan, kemudian berkata “Seorang raja harus berani menerima setiap tantangan pertarungan demi negerinya!” kemudian semua prajuritnya bersorak-sorak seakan-akan rajanya pasti akan memenangkan pertarungan ini.
                Jendral Timouty segera masuk ke medan pertempuran yang berada di antara barisan pasukan manusia dan kera. Kemudian Emperor Timouty menunggangi kudanya berhadapan dengan Lord of Death.
                “Aku merasakan firasat buruk... Jendral Napin, tolong carikan aku kuda! Aku harus bersiap-siap untuk segala macam kemungkinan yang akan terjadi!” kata King Virlu kepada jendralnya. Jenral Napinpun segera mencarikannya kuda.
                Kemudian, setelah berdiri berhadapan beberapa lama sambil mendengarkan sorak sorai para pendukung Emperor Timouty, tiba-tiba Lord of death mengacungkan pedangnya dan memacu gingernya ke arah Emperor Timouty. Semua orang berteriak. Ternyata Emperor Timouty berhasil menangkis serangannya dengan pedangnya. Pedangnya terbuat cukup kuat sehingga tidak patah menerima serangan pedang Lord of Death. Lalu keduanya saling berduel dengan mengadu pedangnya. Keahlian Emperor Timouty berpedang di atas kuda nampaknya dapat dibilang luar biasa. Ia berhasil bertarung seimbang dengan Lord of Death. Akhirnya pertarungan pedang ini diakhiri dengan keduanya saling menebas di saat yang bersamaan sehingga pedang keduanya bertemu dan mereka saling mendorong. Kemudian keduanya beradu kekuatan dengan mencoba untuk terus mendorong pedangnya masing-masing.
                Setelah puas mengadu kekuatan, keduanya melompat mundur dan diiringi teriakan para pendukungnya. Emperor Timouty merasa senang karena ia merasa telah bertarung seimbang dengan Lord of Death. Karena kudanya 2 kali lebih kecil dari ginger, Emperor Timouty merasa yakin bahwa ia akan memenangkan pertarungan jika mereka berdua bertarung tanpa tunggangan. Karena terlalu sombong akhirnya Emperor Timouty mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan memutar kudanya untuk memperlihatkan keuatannya kepada seluruh prajuritnya. Para prajuritnyapun berteriak memberi semangat. Tetapi ternyata Lord of Death memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Emperor Timouty. Emperor timouty menyadari serangan Lord of Death, tetapi Lord of Death bergerak terlalu cepat sehingga Emperor Timouty tak bisa berbuat apa-apa. Pedang Lord of Death berhasil menusuk jantung Emperor Timouty sehingga Emperor Timouty roboh dan terjatuh dari kudanya. Para prajuritnyapun terdiam menyaksikan hal ini.
                Kemudian Lord of Death berteriak dan seluruh kera bersorak sorai. Lalu Lord of Death memacu kudanya untuk berkeliling agar seluruh pasukannya dapat menyaksikan kemenangannya. Setelah puas berkeliling, ia memutuskan untuk kembali menyerang Emperor Timouty untuk melakukan serangan terakhir. Para prajuritnya tidak ada yang berani mencoba menolong Emperor Timouty karena merasakan hawa kengerian dari Lord of Death. Emperor Timouty tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan hal ini. Ia hanya pasrah menunggu nyawanya dicabut.
                Tetapi tiba-tiba terdengar ringkikan kuda yang dahsyat dan King Virlu muncul. Ia segera mengarahkan kudanya yang sudah dilengkapi dengan 2 buah tombak di kanan dan kiri bagian kuda itu yang sudah dipasang untuk menusuk siapapun yang ada di depannya. Ia segera memacu kudanya ke arah Lord of Death dan segera melompat ketika kuda itu menabrak ginger dan menancapkan kedua tombaknya ke tubuh ginger. Ginger itu melompat kesakitan dan segera mencakar kuda yang dinaiki King Virlu. Lord of Death terjatuh dari kudanya karena gingernya melompat. King Virlu segera berlari ke arah Emperor Timouty. Ia segera berlutut di sebelah Emperor Timouty yang sudah terkapar.
                “Apa kau baik-baik saja?” tanya King Virlu.
                Emperor Timouty tampak sulit untuk menjawab, kemudian berkata dengan susah payah “Maafkan... aku....”
                King Virlu menjadi terharu mendengar hal ini. Di tempat lain, Lord of Death sudah bangkit kembali dan mengangkat pedangnya. Ia nampak amat marah dan bermaksud untuk membunuh King Virlu dan Emperor Timouty. Seluruh prajurit keranya tiba-tiba bersiap untuk bertempur. Seluruh prajurit manusia yang ada menjadi bersiaga menghadapi hal ini.
                Lord of Death melangkah terus melangkah mendekati King Virlu dan Emperor Timouty. King Virlu tidak menghiraukannya dan ia berusaha mengangkat Emperor Timouty untuk dibawa ke tempat aman. Beberapa prajurit segera datang untuk membantunya. Prajurit yang lain ketakutan dan tidak memiliki nyali untuk maju.
                “Lindungi aku!” kata King Virlu pada prajuritnya sementara ia berusaha memapah Emperor Timouty. Maka beberapa orang prajurit segera berbaris di belakangnya menghadap Lord of Death untuk menghalanginya. Tetapi kengerian dari Lord of Death membuat para prajurit itu gentar dan sulit untuk bergerak. Kini Lord of Death sudah benar-benar mendekati mereka. Siapapun tahu bahwa para prajurit ini akan segera dibantai.
                Tetapi tiba-tiba terdengar satu lagi ringkikan kuda yang amat dahsyat. Dari balik kerumunan prajurit tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang menunggangi kuda putihnya. Ia segera mengangkat tongkatnya ke arah Lord of Death. Ia mengucapkan beberapa mantra dan muncullah sebuah bola cahaya dari ujung tongkatnya yang langsung mengenai dada Lord of Death. Lord of Death terpental hingga beberapa meter. Semua prajurit kudanya nampak marah dan mulai gusar. Lord of Death segera berdiri dan berteriak “BUNUH MEREKA SEMUA!!!!!”
                Gondlaf tidak tinggal diam. Ia segera meneriakkan mantra “Clucluc varala!” dan dari ujung tongkatnya yang bulat muncullah lidah-lidah api yang membakar dan membuat dinding api antara prajurit kera dan prajurit manusia. Api ini amat besar hingga membuat para kera tidak berani mendekat.
                “Api ini hanya akan bertahan selama beberapa saat... sebaiknya cepat mengungsikan Emperor Timouty!” kata Gondlaf kepada King Virlu.
                “Tidak... tunggu dulu!” kata Emperor Timouty yang sudah berhasil berdiri dengan susah payang sambil dipapah King Virlu “Aku ingin meminta maaf padamu, Gondlaf, dan padamu, King Virlu... Maafkan semua kesombonganku...” belum selesai Emperor Timouty berbicara, tiba-tiba ia terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Ia kehilangan pijaknya dan tubuhnya terjatuh, tetapi King Virlu tetap menahannya.
                “Sudahlah, jangan dipaksakan! Aku akan segera membawamu ke tempat aman!” kata King Virlu.
                Tetapi Emperor Timouty tetap memaksa untuk berbicara “Tidak... masih ada hal yang harus aku lakukan, sementara aku pasti akan segera mati dengan luka seperti ini... uhuk uhuk uhuk!” lagi-lagi batuknya mengeluarkan darah.
                “A... apa yang mau kau lakukan?” tanya King Virlu.
                “Aku... akan menggantikan kesalahanku selama ini...” kata emperor Timouty.
                “Bagaimana caranya?” tanya King Virlu.
                Kemudian emperor Timouty berusaha untuk berdiri tegak kembali. Usahanya ini begitu keras, sehingga membuat King Virlu terharu. Setelah berhasil berdiri tegak dengan bantuan King Virlu, kemudian ia menghadap ke seluruh prajurit dan ksatrianya, lalu dengan nafas yang tersisa ia berkata dengan lantang “Para prajuritku... dan para ksatriaku... uhuk-uhuk... Sebelumnya maafkan aku... atas segala kesalahanku...” tiba-tiba ia batuk darah lagi dan terjetuh, tetapi King Virlu menahannya.
                “Sudahlah... jangan kau paksakan...” kata King Virlu.
                “Tidak...” Emperor Timouty mulai berbicara kembali “Denganrkanlah aku para prajuritku yang pemberani.... Akulah yang menyebabkan segala kekacauan ini... Karena itu... maafkan aku... Dan untuk itu, aku mohon, bekerja samalah dengan semua manusia yang ada... Untuk mengalahkan kera-kera itu! Bertarunglah bersama pria yang ada di samping kanan... dan kirimu, siapapun dia! Uhuk uhuk...” Emperor Timouty lagi-lagi batuk, tetapi ia berusaha untuk meneruskan pidatonya “Dan untuk memastikan kalau kalian akan baik-baik saja setelah kepergianku... Aku menginginkan kalian tetap bertarung setelah ini, di bawah pimpinan seseorang yang lebih pantas... uhuk-uhuk...”
                Para prajurit terdiam mendengar hal ini. Beberapa prajurit tampak bersedih mendengarkan hal ini. Sementara itu dinding api yang diciptakan Gondlaf terus mengecil. Para kera semakin berusaha untuk melewati dinding itu. Semua orang penasaran dengan siapa orang yang telah dipilih Emperor Timouty.
                “Orang itu adalah... orang yang sekarang sedang memapahku menuju kematianku... orang itu... adalah King Virlu, sang raja yang sebenarnya!!!” semua orang kaget mendengar hal ini. King Virlu pun kaget mendengarnya.
                Dengan tidak percaya King Virlu bertanya kepada emperor Timouty “Apa kau yakin dengan keputusanmu?”
                “Tentu saja... sobat... kurasa... hanya kau... yang pantas memimpin mereka... menuju kemenangan...” tiba-tiba mata Emperor Timouty tertutup. Nafasnya terhenti. Tubuhnya terkulai lemas dan terjatuh. King Virlu berusaha menahannya tetapi tak bisa. Kali ini Emperor Timouty sendiri sudah tidak memiliki tenaga untuk tetap berdiri. King Virlu pun ikut terjatuh karena tubuh Emperor Timouty begitu berat. Seluruh prajurit yang menyaksikan hal ini begitu terkejut. Begitupun dengan King Virlu. Ia terus memandangi Emperor Timouty, tetapi ia sudah tak merasan nafas dari sang emperor.
                Melihat hal ini, tiba-tiba seluruh prajurit yang berada di sana bertekuk lutut, nampaknya sedang mendoakannya. Biarpun Emperor Timouty adalah raja yang sombong, tetapi bagi negerinya ia adalah seorang pahlawan. Rasa haru pun mencekam hati setiap prajurit yang berada di sana. Ribuan prajurit Royale Kingdom baru saja menyaksikan kematian rajanya.
                Di tengah rasa haru ini, dinding api yang diciptakan Gondlaf semakin mengecil dan sudah hampir memungkinkan para kera ini untuk lewat. Gondlaf berkata kepada King Virlu “Apa yang harus kita lakukan?”
                King Virlu terdiam sejenak, lalu berdiri dengan gagah setelah menutup mata Emperor Timouty, kemudian berkata dengan lantang “Aku tidak mau menyia-nyiakan kematian salah satu potra terhebat Bumi Serang yang pernah dilahirkan... Karena itu, MARI KITA HABISI MEREKA!!!!!” kemudian King Virlu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Seluruh prajurit yang ada di situpun berteriak dengan penuh semangat. Teriakan mereka menghancurkan semangat para kera.
Begitu dinding api itu menghilang, para prajurit manusia segera melakukan gempuran yang dahsyat. Para kera itu menjadi kewalahan menerima serangan mereka. Di tengah-tengah pertempuran yang begitu sengit, Gondlaf berkata kepada King Virlu “Sekarang seluruh prajurit sudah bertarung di bawah satu atap. Aku yakin kita akan sanggup bertahan!”
“Ya!” kata King Virlu.
“Kalau begitu sepertinya sudah saatnya bagiku untuk pergi! Aku masih harus mempersatukan negeri-negeri yang lain untuk melawan prajurit Sitio!” kata Gondlaf.
                “Baiklah! Aku doakan untuk keselamatanmu, dan juga kedua anak muda yang bersamamu! Aku yakin kalian akan baik-baik saja!” kata King Virlu.
“Terima kasih!” kata Gondlaf sambil tersenyum, kemudian berbalik dan segera melaju dengan kudanya. Dengan persatuan ini, Gondlaf yakin bahwa para manusia ini akan dapat bertahan menghadapi semua rintangan yang ada.
***
Chapter 13 : The Battle Between Men
                Di lain tempat, Alin dan Viktul masih berdiam di tempat pengungsian bersama warga yang lain. Mereka duduk-duduk di pinggiran jalan. Suasana di sana tampak ramai, apalagi setelah menjelang malam. Tetapi keramaian itu tidak menjadi masalah bagi Alvin dan Viktul. Mereka masih mengobrol untuk melepas kerinduan selama ini. Mereka memang teman yang tak terpisahkan.
                Tetapi tiba-tiba kalung mutiara hitam milik Alvin bercahaya. Kali ini Alvin tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Bisa saja kali ini Viktul terbunuh. Maka iapun memperingatkan Viktul. “Celaka! Sebaiknya kita pergi dari sini!”
                “Ada apa?” tanya Viktul.
                “Sudahlah, kita pergi saja!” kata Alvin. Mereka segera berdiri dan mencoba untuk lari, tetapi mereka melihat Jendral Yusingus dan para pengawalnya di ujung jalan. Mereka sedang berjalan menuju Alvin dan Viktul. “Celaka... ternyata orang itu masih hidup...”
                Alvin dan Viktul segera berlari ke arah yang berlawanan. Jendral Yusingus dan para pengawalnya segera mengejar mereka. Kali ini Jendral Yusingus datang bersama sekitar 30 orang pengawal. Alvin dan Viktul terus berlari di antara para pengungsi yang sedang bersitirahat. Mereka jelas membuat keributan besar. Tetapi keributan yang diciptakan Jendral Yusingus dan pengawalnya jauh lebih besar. Ditambah lagi mereka semua bersenjata. Karena semua prajurit sedang berperang, maka tidak ada yang berani menghentikan mereka.
                Alvin dan Viktul terus berlari tak tentu arah di tengah dinginnya malam yang baru saja turun. Mereka berdua terus berlari, tetapi tanpa mereka sadari mereka terus berlari ke tempat yang semakin sedikit orang yang berlalu lalang. Hal ini dimanfaatkan Jendral Yusingus untuk mempermudah pengejaran. Mereka terus berkejaran sekitar 1 jam. Akhirnya Alvin dan Viktul lelah, dan karena berlari dengan sempoyongan, tanpa sadar Viktul terselandung sebuah batu dan terjatuh. Alvin menghentikan langkahnya dan berbalik, tetapi Jendral Yusingus sudah dan pengawalnya sudah mengepung mereka.
                Viktul sudah berhasil berdiri, tetapi kemudian kaget melihat pemandangan sekitarnya “Aku tak percaya... sejak kapan kita berada di kuburan...” Alvin juga baru menyadari hal ini dan menjadi kaget, tetapi tidak ada gunanya kaget sekarang. Jendral Yusingus dan pengawalnya sudah mengepung dan bersiap-siap untuk membunuh mereka.
                “Tak akan kuserahkan Viktul maupun The Teeth padamu kali ini!” kata Alvin tegas, kemudian mencabut pedangnya.
                Jendral Yusingus tersenyum licik dan kemudian mencabut pedangnya, disusul oleh para pengwalnya mencabut pedang mereka masing-masing. Lalu Jendral Yusingus berkata “Baiklah jika kalian memang ingin mati... Aku juga tidak membutuhkan Viktul hidup-hidup lagi sekarang... lagipula sekarang tidak ada Gondlaf di sini... Siapa lagi yang akan melindungi kalian hah??? Hahahahahah.... Majuuuu!!!!” kata Jendral Yusingus dan seluruh pengawalnya bergerak maju untuk menyerang Alvin dan Viktul. Kini Alvin dan Viktul sudah tak bisa pergi ke mana-mana lagi.
                “Tunggu dulu!!! Masih ada kami!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan. Mereka semua segera menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari Kapten Gandhi! Ia dan prajuritnya telah berhasil sampai di Royale Palace. Prajuritnya yang terluka ketika diserang prajurit kera ketika berada di Sungai Danten pun kelihatannya sudah sembuh. Mereka segera berlari kemudian menyerang pengawal Jendral Yusingus.
                “Dasar pengkhianat!” kata Kapten Gandhi yang sedang berlari menuju Jendral Yusingus. Tetapi seorang prajurit tiba-tiba menghalanginya. Kaptena Gandhi terpaksa meladeni serangan prajurit ini. Di tengah-tengah pertempuran ini, Alvin dan Viktul memutuskan untuk melarikan diri. Jendral Yusingus menyadarinya dan segera mengejarnya. Akhirnya mereka bertiga berkejaran di sepanjang kuburan tersebut.
                Mereka terus berlari, tetapi Alvin tiba-tiba terpikir akan suatu hal. Ia menyadari jika mereka tidak akan pernah bisa keluar dari masalah ini jika terus berlari. Ia tahu bahwa melawan adalah satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini. Ia segera berhenti dan berbalik. Viktul kaget melihat hali ini, tetapi ia ikut berhenti. Baginya kemanapun Alvin melangkah ia akan selalu menyertainya. Jendral Yusingus tampak senang melihat hal ini. Sungguh di luar dugaannya, kedua mangsanya justru menyerahkan nyawanya padanya.
                “Cabut pedangmu sekarang! Mari kita bertarung secara adil!” kata Alvin tegang sambil mencabut pedangnya sendiri.
                Jendral Yusingus tersenyum tampak senang, kemudian tersenyum lalu mencabut pedangnya sambil berkata “Sungguh di luar dugaanku... Dua ekor tikus mnyerahkan dirinya pada kucing yang kelaparan... hahahahaha....”
                Alvin hanya diam, kemudian Viktul berkata “Aku tahu apa yang kau lakukan. Aku yakin, kau pasti bisa melakukan ini!”
                “Ya, aku pasti bisa!” kata Alvin, kemudian ia segera berlari menuju Jendral Yusingus sambil mengarahkan pedangnya.
                Akhirnya pedang mereka berdua beradu. Mereka saling menyerang dan bertahan dengan pedangnya masing-masing. Pergerakan mereka sungguh lincah. Sungguh tak diduga, Alvin dapat bertarung seimbang dengan Jendral Yusingus. Suara pedang mereka tiap kali berbenturan benar-benar memekakkan telinga. Sinar bulan yang memantul di permukaan pedang keduanya membuat seakan-akan hanya ada 2 kilatan cahaya yang saling beterbangan dan saling menyerang.
                Di tengah keraguan ini, Viktul tetap yakin kepada temannya. Ia yakin Alvin akan baik-baik saja. Tetapi tiba-tiba saja Jendral Yusingus melakukan gerakan menghindar yang hebat, kemudian melakukan tebasan kilatnya. Alvin berhasil menghindar dari serangan fatalnya, tetapi dadanya tergores dan Alvin terjatuh.
                Jendral Yusingus memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang, tetapi Alvin bangkit kembali dengan cepat. Alvin segera melompat mundur beberapa langkah. Jendral Yusingus merasa gatal karena serangannya meleset. Ia segera melakukan serangan lagi, tetapi lagi-lagi Alvin melompat ke belakang. Jendral Yusingus menjadi geram dan menyerang lagi sambil berteriak, tetapi lagi-lagi Alvin melompat mundur menghindarinya.
                Jendral Yusingus menjadi benar-benar marah kemudian berteriak “DASAR ANAK KECIL!!! JANGAN COBA-COBA UNTUK MEMPERMAINKANKU!!!” kemudian Jendral Yusingus menyerang lagi, dan lagi-lagi Alvin menghindar, tetapi kali ini Alvin menyelinap di balik lengan Jendral Yusingus yang lebar. Jendral Yusingus menjadi benar-benar marah karena diperlakukan seperti ini.
                Alvin menyadari bahwa Jendral Yusingus adalah orang yang tidak sabaran. Maka Alvin memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini. Kemudian Alvin meledek Jendral Yusingus dengan memperlihatkan tampang tolol sambil melempar-lempar dan memainkan pedangnya. Jendral Yusingus menjadi amat marah dan mengejar Alvin. Serangan Jendral Yusingus yang dilancarkan dengan penuh kemarahan dapat dihindari Alvin dengan mudah, kemudian Alvin menendang bokong Jendral Yusingus hingga terjatuh. Jendral Yusingus terjatuh hingga menyeruduk batu nisan seseorang. Ia menjadi begitu kesal dan bangkit kembali, tetapi Alvin sudah berlari menjauh.
                Jendral Yusingus segera mengejarnya. Alvin terus berlari bersama Viktul dan memasuki sebuah gedung yang ada di tengah kuburan tersebut. Mereka tidak mengetahui gedung apa itu. Ternyata itu adalah ruang penyimpanan dan pembakaran mayat! Dan mereka baru menyadari bahwa hanya ada satu pintu masuk di dalam sana. Kali ini mereka benar-benar terdesak.
                Tiba-tiba pintu terbuka dan Jendral Yusingus berada di sana. Ia menjadi amat senang, kemudian tertawa keras-keras “HAHAHAHAHHAHA...” Kemudian ia berjalan mengitari mereka, dan ia menemukan sesuatu yang bagus! Ia menemukan sebuah perapian yang besar di sampingnya. Tanpa pikir panjang ia segera menyalakannya. Api yang besar muncul dan berkobar-kobar. Kemudian ia berkata “Lihatlah itu! Kurasa kalian akan berakhir di dalam sana! Hahahahahaha!”
                Viktul dan Alvin terus berdiri memperhatikannya, kemudian Alvin bertanya pada Viktul “Apa kau mempercayaiku?”
                “Tentu saja!” kata Viktul. Alvinpun tersenyum, kemudian melangkah maju.
                “Kali ini kau benar-benar akan kuhabisi, jendral pengkhianat! Yusingus!!!” kata Alvin sambil melangkah maju.
                “Beraninya kau memanggilku seperti itu anak kecil... Kau benar-benar akan kubuat sate!!!” kata Yusingus.
                Akhirnya mereka saling berhadapan di tengah ruangan sambil memegang pedang masing-masing. Setelah berdiam sejenak, tiba-tiba Jendral Yusingus menyerang, tetapi Alvin berhasil menangkisnya. Pertarungan pedang terus terjadi. Lagi-lagi pertarungan berlangsung dengan seimbang. Tetapi sayang, Jendral Yusingus menemukan satu titik dan menendang Alvin hingga terjatuh di depan perapian yang apinya berkobar-kobar.
                Alvin menatap api itu sejenak, kemudian menatap Vitkul. Viktul masih berdiri dengan wajah yakin. Alvin menjadi percaya diri.
                Lalu Jendral Yusingus melangkah maju dan berkata sambil mengangkat pedangnya “Pergilah kau ke neraka!”
                Jendral Yusingus berlari menuju Alvin, tetapi Alvin segera bangkit. Alvin menangkis serangan terakhir ini dan bergerak dengan lincah ke belakang Jendral Yusingus, kemudian menendangnya ke arah perapian yang membara. Dalam sekejap api menyelubungi tubuh Jendral Yusingus. Jendral Yusingus berteriak kesakitan. Ia segera melompat dari perapian dan menebas Alvin dengan cepat. Begitu cepatnya Alvin tidak bisa menghindarinya dan pedangnya berhasil menebas bahu Alvin. Alvin terjatuh ke belakang, sedangkan Jendral Yusingus yang masih terbakar terjatuh dan berguling-guling di lantai.
                Setelah seluruh api yang ada di tubuhnya padam, Jendral Yusinguspun berhenti berguling-guling. Ia nampak lemas. Sepertinya ia sudah tak bernafas. Tubuhnya gosong karena terbakar. Alvin merasa lega kemudian berbaring di atas lantai. Viktul segera menghampirinya. Viktul duduk di sebelahnya dan melihat luka Alvin. Ternyata lukanya hanya tergores. Alvin akan baik-baik saja.
                “Kau hebat sekali kawan!” kata Viktul senang “Kini kau sudah menjadi seorang ahli pedang!”
                Alvin tertawa senang. Tetapi tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh yang sudah gosong berdiri di belakang Viktul sambil mengangkat pedangnya. Alvin segera berdiri dengan cepat dan mendorong Viktul menjauh. Viktul pun terjatuh. Sosok hitam itu segera menusukkan pedangnya ke tubuh Alvin sementara Alvin menusukkan pedangnya tepat ke jantung Jendral Yusingus. Setelah berdiri beberapa lama, keduanya terjatuh dengan pedang yang masih menancap di tubuh mereka masing-masing.
                “TIDAKKK!!!!!” Viktul berteriak dan menghampiri tubuh Alvin yang tidak berdaya. Alvin tampak lemas. Viktul segera memeluk tubuhnya dan berteriak “JANGAN TINGGALKAN AKUUU!!!”
***
Chapter 14 : Road to The Dwarfs
                Kapten Gandhi dan prajuritnya sudah berhasil menghabisi seluruh pengawal Jendral Yusingus. Dalam pertempuran ini Kapten Gandhi kehilangan 3 orang prajuritnya dan beberapa orang prajurit mengalami luka-luka. Kapten Gandhi amat bersedih akan hal ini, tetapi Ateng dan Kevin berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa mereka meninggal dengan kehormatan dalam menjalankan tugasnya.
                Mendengar hal ini Kapten Gandhi jadi teringat akan Alvin dan Viktul. Ia segera mencari mereka, tetapi ia tidak berhasil menemukannya. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara kuda yang bergerak cepat. Ternyata itu adalah Gondlaf yang menunggangi kudanya.
                “Gondlaf!” teriak Kapten Gandhi.
                “Hai! Sepertinya baru saja terjadi sebuah pertarungan seru di sini... Apa yang terjadi?” tanya Gondlaf.
                “Begini, ketika itu kami baru saja tiba di sini setelah melewati perjalanan panjang. Ketika kami berusaha mencari kalian, aku melihat Alvin dan Viktul yang sedang dikejar-kejar oleh Jendral Yusingus dan para pengwalnya. Kami segera mengikuti mereka dan akhirnya kami berhasil menghabisi mereka di sini! Tapi masalahnya, Kedua anak itu menghilang bersama Jendral Yusingus beberapa saat yang lalu...” kata Kapten Gandhi panjang lebar.
                “Aku merasakan firasat buruk...” kata Gondlaf.
                Tiba-tiba saja dari kejauhan muncul sesosok manusia yang menggotong manusia lainnya di bahunya.
                “Itukah mereka?” tanya Kapten Gandhi.
                “Seharusnya begitu... tetapi siapa yang menggotong dan siapa yang digotong?” kata Gondlaf.
                “Sial... ternyata aku gagal untuk melindungi mereka...” kata Kapten Gandhi yang merasa amat menyesal yang kemudian bertekuk lutut.
                “Tunggu dulu. Kita lihat saja nanti!” kata Gondlaf.
                Akhirnya Viktul datang sambil menggotong tubuh Alvin, dan ternyata mereka berdua masih hidup! Ternyata Alvin hanya pingsan selama beberapa saat. Pedang yang mengenainya hanya menyobek pinggangnya, tetapi tidak membunuhnya. Melihat hal ini Gondlaf segera menaikkan Alvin ke kudanya dan berkata “Temui aku di rumah sakit kerajaan!”. Kemudian Gondlaf segera memacu kudanya.
                “Ternyata kau baik-baik saja. Aku senang sekali!” kata Kapten Gandhi.
                Tetapi Viktul tidak menghiraukannya. Ia melihat sekeliling dan melihat 3 orang prajurit Kapten Gandhi tergeletak tak bernyawa. Ia menjadi begitu sedih menyaksikan ini. Lalu ia bertanya pada Kapten Gandhi “Bagaimana dengan mereka?”
                Kapten Gandhi diam sesaat, kemudian berkata “Inilah resiko perang... Aku akan mengirim jenazah mereka bertiga untuk dimakamkan di tanah kelahirannya... “. Kapten Gandhi dan para prajuritnya menjadi bersedih. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendoakan 3 orang temannya itu dan paginya mereka mengirimkan jenazahnya ke kampung halamannya di Lopang Kingdom.
***
                Paginya Viktul dan Kapten Gandhi datang ke rumah sakit kerajaan untuk menemui Gondlaf. Para prajurit Kapten Gandhi beristirahat di tempat lain. Sebagai prajurit mereka dapat merawat lukanya sendiri. Rumah sakit itu dipenuhi oleh orang-orang yang terluka akibat perang. Mereka segera menemui Gondlaf di bangsal tempat Alvin di rawat.
                Akhirnya Viktul tiba di tempat Alvin di rawat. Ia menemui Gondlaf di sana. Viktul begitu khawatir tetapi Gondlaf mengatakan bahwa Alvin sudah melewati masa kritisnya. Viktul merasa lega mendengar hal ini.
                Tiba-tiba Kapten Gandhi membuka topik pembicaraan  mengenai perjalanan mereka selanjutnya “Gondlaf, sekarang apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan segera berangkat ke Secang Dale? Ataukah kita akan berangkat ke Kebo Knightdom? Atau kita mau langsung menuju ke Allied of Two Ciruas?”
                “Hahaha... sabarlah kapten... Begini, kita harus melakukan itu semua satu persatu, dan aku memilih untuk pergi menuju Secang Dale terlebih dahulu, baru selanjutnya menuju ke Allied of Two Ciruas yang letaknya tidak jauh dari Secang Dale!” kata Gondlaf.
                “Mengapa kita tidak ke Kebo Plain terlebih dahulu?” tanya Kapten gandhi.
                “Itu dikarenakan menurutku para prajurit kera itu pasti sudah tersebar banyak sekali di antara Royale Palace dan Kebo Knightdom. Kurasa itu terlalu berbahaya...” kata Gondlaf.
                “Tetapi bukankah dengan pergi ke Secang Dale terlebih dahulu akan memakan waktu lebih lama?” tanya Viktul.
                “Karena itulah...” kata Gondlaf “kita hanya akan pergi ber enam! Dengan begitu kita akan tiba dengan lebih cepat!”
                “Siapa sajakah ke enam orang itu?” tanya Kapten Gandhi.
                “Tentu saja itu aku, kedua anak ini, kau, dan kedua anak buahmu yang paling setia itu!” kata Gondlaf.
                Kapten Gandhi tampak berpikir sejenak, kemudian bertanya “Ah, maafkan aku Gondlaf, tetapi mengapa kita sampai harus mengajak kedua anak ini sampai sejauh ini?”
                “Itu karena aku percaya...” kata Gondlaf “bahwa Viktul adalah orang yang terpilih untuk melindungi The Teeth dari tangan Sitio, dan Alvin adalah pelindung terbaiknya! Dan kurasa itu sudah terbukti...”
                Viktul merasa senang mendengar hal ini, tetapi kemudian ia bertanya kepada Gondlaf “Tetapi apakah kita akan meninggalkan Royale palace dalam keadaan perang seperti ini?”
                “Masalahnya adalah, kita tetap di sinipun akan sia-sia karena tidak ada yang bisa kita lakukan! Dan cepat atau lambat, Lord Mliit percaya bahwa Royale Kingdom akan jatuh ke tangan Sitio!” kata Gondlaf.
                “A...apa???” kata Viktul dan kapten Gandhi serentak.
                “Ya! Sebenarnya tugas para prajurit yang ada di sini sekarang adalah untuk menahan para prajurit Sitio itu, dengan begitu akan memberikan waktu kepada kita untuk melaksanakan tugas kita! Tugas yang sudah kita pikul sejak awal, yaitu mempersatukan seluruh negeri untuk melawan Sitio bersama-sama. Dengan begitu aku yakin seluruh negeri yang pernah direbut Sitio akan dapat kita rebut kembali!” kata Gondlaf.
                “Hmmm... jadi begitu... kalau begitu tunggu apalagi? Ayo kita berangkat!” kata Kapten Gandhi.
                “Tunggu, bagaimana dengan Alvin?” tanya Viktul.
                “Tidak apa-apa, aku sudah bisa melakukan perjalanan!”. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang mereka. Ternyata suara itu berasal dari Alvin. Sungguh tak diduga, ia sudah bisa berdiri.
Vikul kaget melihat ini, kemudian bertanya dengan takjub “Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah sembuh?”
                “Yah, begitulah... pagi ini ketika tebangun aku merasa sehat sekali... Lukaku pun sudah kering...” kata Alvin.
                “Yah, kurasa ramuan yang kuracik semalaman berguna... Hahaha... Kalau begitu, sekarang kalian siapkan segalanya! Kita akan segera berangkat!” kata Gondlaf.
                “Baik!” kata Viktul, Alvin, dan Kapten Gandhi serentak.
***
                Akhirnya mereka memutuskan untuk memulai perjalanan. Selanjutnya nasib seluruh Bumi Serang akan berada di tangan mereka. Dengan berat hati Kapten Gandhi meninggalkan para prajuritnya yang tersisa. Hanya Ateng dan Kevin yang ikut bersamanya. Sedangkan Viktul juga meninggalkan Royale Palace dengan sedikit berat hati karena ia meninggalkan negeri dalam keadaan yang masih berperang. Tetapi ia terus yakin bahwa King Virlu dan para prajuritnya akan baik-baik saja menghadapi kera-kera itu. Alvin pun yakin bahwa ia akan sanggup melindungi Viktul lebih baik lagi setelah keberhasilannya menghadapi Jendral Yusingus. Gondlaf amat senang karena ia merasa timnya begitu kompak. Dengan begini, perjalanan panjang berikutnyapun akan segera dimulai.
***
Chapter 15 : The Gate Guardian of Secang Dale
Perjalanan kali ini terasa begitu jauh bagi Viktul dan kawan-kawan. Perjalanan ini lebih jauh daripada perjalanan mereka dari Lopang Kingdom menuju Royale Palace. Mereka sudah melakukan perjalanan panjang ini dengan berkuda. Gondlaf memutuskan untuk menggunakan kuda karena ia merasa hal ini akan lebih efisien. Mereka melakukan perjalanan menyebrangi Sungai Danten kembali tetapi melalui jembatan yang berbeda. Sebenarnya ada 3 jembatan terkenal yang menghubungkan antara Bumi Serang bagian barat dan timur. Yang paling utara adalah yang digunakan Alvin dan kawan-kawan ketika menyebrang menuju Royale Palace. Kali ini mereka menggunakan jembatan yang berada di tengah-tengah. Gondlaf merasa jembatan ini lebih aman.
                Kini perjalanan mereka sudah mencapai hari yang ke-10, tetapi mereka belum kunjung sampai di Secang Dale. Semua persediaan makanan sudah hampir habis. Selama perjalanan, Gondlaf terus berkirim surat dengan Lord Mliit maupun King Virlu. Menururt kabar terakhir, para prajurit kera itu sudah berhasil menguasai seluruh Royale Palace bagian barat. Gondlaf sempat ragu jika Royale Palace akan berhasil dikuasai dengan mudah, tetapi King Virlu meyakinkan Gondlaf bahwa mereka tidak akan kalah semudah itu. Apalagi King Virlu sudah berhasil meyakinkan seluruh pengikut Jendral Yusingus untuk bertarung bersama mereka. Sekarang King Virlu memiliki 5.000 orang prajurit tambahan. Tetapi sayangnya, Sitio juga terus mengirim bala bantuan keranya untuk menyerang.Keadaan yang sulit ini membuat Gondlaf menjadi terburu-buru. Tetapi Viktul terus memaksa Gondlaf untuk tenang dan ia selalu berhasil menenangkan Gondlaf.
Selama di perjalanan, Ateng dan Kevin terus bercanda sehingga mereka berhasil menghangatkan suasana. Pada akhirnya Alvin dan Kapten Gandhi pun ikut bercanda dan bersukaria. Viktul yang pendiampun berhasil terbawa ke dalam suasana menyenangkan ini. Gondlaf pun merasa senang. Karena inilah ia merasa lebih senang melakukan perjalanan dengan orang-orang muda daripada orang-orang tua seusianya.
Akhirnya, pada hari ke-11, ketika makanan mereka benar-benar habis, mereka sudah tidak tahu harus berbuat apa. Merekapun memutuskan untuk beristirahat di bawah pepohonan. Tiba-tiba Ateng datang sambil berteriak-teriak “Aku menemukan danau di sekitar sini! Di sana ada banyak sekali pohon apel! Kita bisa mendapat makanan di sana!”
Mendengar berita menggembirakan ini, mereka segera bangkit dan menuju lokasi yang ditunjukkan Ateng. Lokasinya berjarak beberapa ratus meter dari tempat peristirahatan mereka. Akhirnya mereka tiba juga di tempat yang disebutkan Ateng. Ternyata tempat ini agak mencurigakan. Terdapat sebuah danau yang cukup besar yang dikelilingi pegunungan batu yang cukup tinggi, sekitar 10 sampai 15 meter. Hanya ada satu celah yang memungkinkan mereka memasuki dinding pegunungan batu tersebut. Atenglah yang berjasa menemukannya. Celah ini amat kecil dan dalam, sehingga hanya bisa dilewati satu persatu.
Merekapun memasuki celah ini satu persatu. Ateng masuk pertama, diikuti Alvin, lalu Viktul, Gondlaf, Kapten Gandhi, dan Kevin. Namun tiba-tiba kalung mutiara hitam milik Alvin menyala-nyala biarpun sinarnya redup sekali. Alvin segera memberitahukan hal ini pada Gondlaf. Kevin dan Kapten Gandhi pun merasakan keanehan di sini, sehingga Kevin segera menyiapkan busurnya dan Kapten Gandhi mulai mencabut pedangnya. Viktul pun merasakan ada hal yang aneh di sini.
“Apa yang kalian lakukan? Kalian aneh sekali...” kata Ateng tiba-tiba. Nampaknya ia adalah satu-satunya orang yang tidak merasakan sesuatu. Ia segera berlari menuju pohon apel terdekat dan memetiki buahnya, lalu segera memakannya.
Viktul dan yang lainnya segera bergabung dengan Ateng untuk menikmati buah apel tersebut. Kemudian mereka makan apel sambil duduk-duduk, tetapi mereka terus bersiaga kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Akhirnya mereka merasa kenyang setelah makan banyak sekali apel. Biarpun begitu mereka terus merasa seakan-akan ada yang sedang mengawasi mereka. Kalung mutiara hitam milik Alvin pun terus menyala redup.
“Aneh sekali tempat ini... apa kita akan baik-baik saja?” tanya Viktul.
“Hmmm... apa kalian tahu? Jika perhitunganku benar, maka ini adalah pintu masuk menuju Secang Dale!” kata Gondlaf.
“Benarkah??? Akhirnya... kita sampai juga!” kata Ateng gembira.
“Lihat di sana!” kata Gondlaf sambil menunjuk ke ujung lain dari danau ini. Di sana ada sebuah pintu yang terbuat dari batu yang ukurannya cukup besar. Terdapat banyak sekali ukiran tulisan di pinggiran pintu batu itu “Aku yakin, pasti itu adalah pintu masuk menuju Secang Dale... tetapi... mengapa aku terus merasakan firasat buruk...”
“Ayolah Gondlaf... jangan khawatir! Aku pasti dapat membereskan makhluk apapun yang muncul. Ayo kita ke pintu itu!” kata Alvin dengan penuh percaya diri. Gondlaf menyadari bahwa Alvin mulai menjadi sombong karena kemenangannya melawan Jendral Yusingus.
“Hati-hati nak... kadang-kadang kesombongan seseorang akan membawanya ke dalam kehancurannya sendiri!” kata Gondlaf. Alvin merasa kesal mendengar hal ini, sehingga ia berpura-pura tidak mendengar dan segera berjalan dengan cepat meninggalkan yang lainnya.
Setelah mengitari danau ini cukup jauh, akhirnya mereka tiba di salah satu dinding perbukitan batu tempat pintu batu itu berada. Danau ini diameternya sekitar 300 meter, sehingga mereka harus berjalan cukup jauh. Pintu batu ini memiliki tinggi sekitar 2,5 meter dan lebar 6 meter. Sungguh ukuran pintu yang aneh jika dibandingkan dengan ukuran tubuh para dwarf yang tingginya hanya sekitar 1 meter.
Mereka memperhatikan pintu ini sejenak dan mulai memikirkan cara membukanya. Kaptena Gandhi dan Kevin sudah mencoba untuk mendorong pintu ini tetapi pintu ini berat sekali sehingga tidak bisa digerakkan sedikitpun. “Pasti ada yang bisa kita lakukan untuk membuka pintu ini...” kata Gondlaf.
Viktul merasa lelah dan tanpa sadar ia duduk dan bersender ke pintu tersebut. Ketika ia bersender ke pintu itu, tiba-tiba pintu itu serasa bergeser. Ternyata Viktul telah menekan tombol untuk membuka pintu tersebut. Viktul menjadi kaget dan segera terlonjak berdiri.
“Berhasil... kau memang jenius temanku!” Kata Alvin sambil merangkul Viktul. Pintu batu tersebut bergeser ke samping secara perlahan-lahan hingga seluruh bagian pintu itu terbuka.
“Baiklah, ayo kita masuk!” kata Kapten Gandhi. Namun tiba-tiba terdengar semburan air dari belakang mereka. Ketika mereka menoleh ke arah danau, tampak sebuah tentakel raksasa yang panjang melesat dan melilit tubuh Kapten Gandhi, kemudian mengangkatnya. Kapten Gandhi yang kaget tidak bisa berbuat apa-apa. Di saat bersamaan kalung mutiara hitam Alvin menyala-nyala.
Kevin segera menarik busurnya dan menmbakkan anak panahnya ke tentakel sepanjang 10 meter itu dengan cepat sementara yang lainnya mashi terdiam dan menyaksikan. Tentakel itu mulai bergerak-gerak, sepertinya mulai merasa kesakitan.
Alvin sepertinya menjadi kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arah tentakel tersebut sambil menarik pedangnya. Gondlaf dan Viktul berteriak dan berusaha menghentikannya, tetapi mereka sudah terlambat. Alvin sudah berada di pinggir danau sekarang.
Baru saja ia bermaksud untuk melompat ke dalam air, tiba-tiba muncul satu lagi tentakel raksasa yang menyerangnya. Tentakel ini menyabet Alvin hingga terpental dan terguling-guling di tanah. Viktul dan Gondlaf segera berlari menghampirinya. Ternyata Alvin pingsan.
Sementara itu, Kevin terus menembaki tentakel yang melilit Kapten Gandhi. Kapten Gandhi menjadi lemas karena dililit terlalu kuat. Ia pun diam saja dan merasa lemas. Tetapi ternyata anak panah Kevin yang melesat begitu banyak berhasil membuat tentakel itu melepas lilitannya. Tentakel yang lemas itu segera terjatuh ke dalam air bersama Kapten Gandhi. Tanpa pikir panjang, Ateng segera berlari dan melompat ke dalam danau untuk menyelamatkan Kapten Gandhi. Satu tentakel yang berada di permukaan danau segera masuk ke dalam air, sepertinya sedang memburu Ateng yang baru saja masuk ke air.
Gondlaf menyadari bahwa ini akan berbahaya. Ia segera berlari ke pinggir danau sambil mengangkat tongkatnya, lalu mengeluarkan sihir tingkat atasnya. Ia meneriakkan “SHINING LIGHT” dan kemudian muncullah cahaya yang terang sekali, bahkan di siang hari, dan menerangi seluruh permukaan danau tersebut. Cahaya itu muncul selama beberapa saat dan kemudian meredup dan menghilang secara perlahan-lahan.
Semuanya tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian tiba-tiba Ateng muncul ke permukaan danau sambil membawa Kapten Gandhi yang pingsan. Kevin segera berlari menghampiri mereka dan bertanya “Apa yang baru saja terjadi?”
“Gurita raksasa... baru saja mencoba membunuh kami... “ kata Ateng terengah-engah sambil mengangkat Kapten Gandhi dan kemudian membaringkannya di sebelah Alvin “Untunglah Gondlaf bertindak tepat waktu... cahaya yang dikeluarkan tongkat sihirnya telah berhasil menakuti gurita itu... Gurita itupun segera pergi...”
“Hmmm... aku akan menyhadarkan mereka berdua. Kalian tunggulah sebentar. Setelah mereka sadar, barulah kita akan melanjutkan perjalanan!” kata Gondlaf.
Viktul dan yang lainnya setuju dengan Gondlaf. Akhirnya mereka menunggu hingga beberapa jam sampai matahari mulai terbenam. Tidak lama kemudian Alvin pun tersadar. Ia merasa bersalah karena telah bertindak sok hebat. Lalu Gondlaf mengatakan sesuatu kepadanya.
“Aku tahu kau telah berhasil mengalahkan Jendral Yusingus! Tetapi, kurasa itu juga karena ketidaksabaran Jendral Yusingus sehingga ia dapat dikalahkan olehmu. Sejujurnya, menurutku keahlian pedang Jendral Yusingus masih di atasmu! Karena itulah, aku harapkan kau untuk lebih berhati-hati di masa yang akan datang!” kata Gondlaf.
“Baik...” kata Alvin tertunduk lesu. Tidak lama kemudian Kapten Gandhi tersadar dari pingsannya. Semuanya tampak senang karena hal ini, tetapi Ateng dan Kevin terlihat yang paling gembira.
Namun tiba-tiba terdengar suara yang besar dari lorong menuju Secang Dale. Suara itu berkata “Kukira kalian akan mati dihajar gurita penjaga itu, tapi ternyata kalian lebih tangguh daripada yang kubayangkan... Hahahaha...” bersamaan dengan suara itu, muncullah sesosok tubuh pria pendek dan bulat, tingginya hanya sekitar 1 meter. Ia memakai baju zirah yang nampak kokoh, dan wajahnya ditutupi oleh kumis dan jenggot yang lebat dan berwarna coklat terang. Di balik helm perangnya terdapat rambut yang panjang dan lebat yang juga berwarna coklat terang. Ia datang sambil membawa-bawa sebuah kapak besar dengan kedua tangannya.
“Apa??? Jadi kau tahu mengenai makhluk barusan? Makhluk apa itu? Mengapa menyerang kami?” tanya Viktul tiba-tiba.
“Oh, tenang dulu. Aku akan menjelaskannya. Tapi pertama-tama, perkenalkan, namaku Rapava!” kata pria kecil itu “Aku adalah ketua dari bangsa Dwarf di sini!”
“Kemudian Viktul dan kawan-kawan memperkenalkan diri mereka masing-masing. Setelah itu Viktul menanyakan kembali mengenai makhluk yang menyerang mereka barusan. Rapava kemudian menjelaskannya dengan seksama.
“Makhluk itu, bernama Octopo. Makhluk itu sudah berada di sana sejak 1.000 tahun lalu. Sitio yang meletakkan makhluk itu di sana agar kami tidak bisa keluar masuk Secang Dale dengan mudah sehingga kami tidak bisa membantu peperangan manusia melawan kera! Saat pertama kali diletakkan di sana, makhluk itu hanya sebesar telapak tangan. Tapi siapa sangka, kini makhluk itu lebih besar dari sebuah bukit... hahaha...” Rapava tertawa sendiri. Viktul dan kawan-kawan merasa heran dengan sikap Rapava. Rapava pun terdiam dengan sendirinya setelah melihat Viktul yang keheranan. Ia segera pura-pura batukm kemudian melanjutkan ceritanya.
“Tapi tentu saja kami masih bisa keluar, karena kami tidak sebodoh yang dibayangkan Sitio edan itu! Kami membuat pintu keluar baru, sehingga kami tetapi bisa keluar masuk Secang Dale. Kini, setelah 1.000 tahun berlalu, makhluk itu akan selalu muncul begitu merasakan pintu gerbang ini terbuka, dan makhluk itu pasti akan membantai siapa saja yang terlihat olehnya, kecuali tuannya sendiri, Sitio!” kata Rapava.
“Ngomong-ngomong, siapa kalian dan untuk apa kalian jauh-jauh datang kemari?” tanya Rapava.
“Oh ya, sebenarnya kami adalah utusan dari Lopang Kingdom. Kami datang untuk mengajak kalian berjuang bersama kami sekali lagi untuk menghadapi Sitio yang sudah bangkit kembali. Kurasa Lord mliit sudah mengirim surat untuk kalian, tetapi mengapa kalian tidak segera memberi balasan terhadap surat kami?” kata Gondlaf memulai pembicaraan.
Rapava kemudian terdiam sejenak, kemudian berkata “Sebenarnya ada alasan mengapa kami tidak segera membalas surat dari tuanmu! Kemarilah! Sebaiknya kalian beristirahat dulu. Aku akan menceritakan alasan kami sambil kita berjalan menuju Secang Dale!” kemudian Rapava berbalik dan mulai berjalan menyusuri lorong yang dindingnya tergantung banyak obor. Viktul dan kawan-kawan berjalan mengikutinya.
“Hah? Jadi ini bukan Secang Dale?” bisik Viktul kepada Gondlaf.
“Tentu saja bukan! Ini adalah bagian yang kita sebut dengan pintu gerbang!” kata Gondlaf.
***
Chapter 16 : Secang Dale
                “Begini... sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu...” kata Rapava mengawali ceritanya dengan tampang serius. Tampak konyolnya yang ia tampilkan sejak tadi kini sudah menghilang. “Kami bangsa Dwarf, adalah bangsa yang suka menggali. Suatu ketika, karena kami  menggali terlalu dalam, tanpa tersengaja kami membangkitkan sang setan api yang tertidur di pusat bumi yang amat panas. Sejak saat itulah, ia selalu keluar tiap malam karena tidak bisa tidur dan ia terus menumpahkan kekesalannya dengan membunuhi kami para Dwarf! Sekarang, si setan api itu sudah membantai hampir setengah dari bangsa Dwarf yang ada di sini! Dan karena mengurusi masalah setan api inilah, sampai sekarang kami belum bisa membantu para manusia dalam menghadapi Sitio... Maafkan aku!”
“Tidak apa... Tetapi, apa setan api yang kau maksud itu adalah... Doom Bringer The Fire Demon ? Si setan api yang kabarnya membantu Sitio dalam peperangan, tetapi kemudian bersembunyi setelah kekalahan Sitio?” tanya Gondlaf.
“Yah mungkin saja. Lagipula aku tidak hidup pada 1.000 tahun yang lalu. Tapi bagaimana kau bisa tahu? Kau memang tampak tua dan berpengetahuan luas...” kata Rapava.
“Apa kau tidak tahu? Ia adalah Master Gondlaf, guru dari Lord Mliit! Dan aku yakin ia bisa membantumu menghadapi setan api itu!” kata Kapten Gandhi tiba-tiba.
Rapava tampak tercengang mendengar hal itu. Ia segera meminta maaf sambil bertekuk lutut pada Gondlaf “Master Gondlaf, maafkan atas ketidaksopananku barusan. Seharusnya aku juga tidak meragukan kemampuanmu dalam menghadapi Octopo... Maafkan aku...”
Viktul tertawa melihat aksi Rapava yang aneh ini. Alvin dan Ateng juga tertawa melihatnya. Nampaknya Mereka bertiga memiliki selera humor yang sama.
                Akhirnya, tidak lama kemudian, sampailah mereka di Secang Dale. Rapava memperkenalkan Secang Dale dengan bangga kepada mereka “Inilah Secang Dale, kota legendaris yang berada di bawah tanah!”
                Dari ujung lorong tempat mereka masuk, nampak pemandangan kota Secang Dale yang luar biasa. Ribuan Dwarf masih sibuk menggali dan mengukir tembok-tembok tanah di sana. Mereka menggali bumi hingga dalam sekali, hingga kota mereka lebih tampak seperti jurang yang mengerikan. Menurut mitos, para Dwarf menyukai penggalian karena tubuh mereka yang pendek, sehingga mereka takut ketinggian, maka mereka memutuskan untuk amat menyukai kedalaman. Tapi tetap saja kedalaman itu sama seperti ketinggian jika Viktul berdiri di puncak teratas dari Secang Dale. Tembok-tembok dan pilar-pilar di sana tinggi sekali. Sungguh mengherankan jika memikirkan ini adalah hasil kerja para Dwarf.
                “Sekarang kalian beristirahatlah! Sebaiknya kita pikirkan cara untuk menghadapi setan api itu besok!” kata Rapava. Kemudian mereka segera pergi ke kamar yang ditunjukan Rapava dan segera pergi tidur.
                Tetapi ternyata Viktul belum tidur. Ia mendatangi Gondlaf pada malam hari. Sebenarnya Viktul tidak yakin jika itu adalah malam hari, karena di Secang Dale sinar matahari tidak bisa masuk. Dwarf menerangi Secang Dale dengan obor yang berbahan bakar minyak. Para Dwarf mengambil minyak yang tidak habis-habis itu dari dalam bumi. Para Dwarf juga memiliki tumbuhan khusus yang bisa tumbuh dan berbuah di bawah tanah. Tumbuhan ini ada berbagai jenis dan para Dwarf menamainya dengan kata ‘Dwarf’, seperti jeruk dwarf, apel dwarf, dan lain sebagainya.
                Akhirnya Viktul sampai di kamar Gondlaf, tetapi tidak ada yang menjawab ketukan pintu Viktul. Lalu Viktul memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Ia menyaksikan ratusan dwarf yang tanpa lelahnya terus menggali dan bekerja. Beberapa di antara mereka sedang menangisi keluarga dan teman-temannya yang dibunuh oleh Doom Bringer. Si setan api benar-benar sudah menyebarkan teror yang mengerikan terhadap para dwarf. Kengerian itu nampak dari dinding-dinding yang menghitam karena gosong, akibat terkena bara api si setan. Banyak juga dwarf yang selamat dari serangan setan api, tetapi ia menderita luka bakar seumur hidup.Para dwarf itu nampaknya tidak memperhatikan Viktul, biarpun beberapa dwarf terus melotot ke arah Viktul. Sepertinya ini adalah kali pertamanya melihat manusia.
                Namun tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berisik dari belakang “VIKTUL!!! TUNGGU AKU!!!”. Viktul menyadari bahwa ini adalah suara Alvin. Semua dwarf yang ada di sana ikut menoleh, nampaknya terganggu, tetapi tidak mengatakan apa-apa pada Alvin. Mereka hanya menggerutu dan kembali bekerja. Viktul mengerti keadaan ini. Nampaknya dwarf-dwarf itu amat kelelahan hingga malas untuk berbicara. Padahal faktanya, dwarf adalah makhluk paling cerewet yang ada di Bumi Serang.
                “Alvin... kau belum tidur...” kata Viktul kepada Alvin. Viktul berbicara sambil terus berjalan. Alvin ikut berjalan dengan napas yang tersengal-sengal karena ia telah berlari-lari untuk mengejar Viktul.
                “Viktul... maafkan kecerobohanku siang tadi... kupikir aku sudah hebat... tapi ternyata aku salah... aku hampir saja kehilangan nyawaku dengan sia-sia siang tadi...” kata Alvin kemudian.
                “Tak apa... aku mengerti perasaanmu... aku juga kadang melakukan hal bodoh ketika terlalu percaya diri!” kata Viktul sambil tersenyum.
                “Viktul... kau baik sekali!” kata Alvin, kemudian segera memeluk Viktul dengan erat hingga Viktul terjatuh. Merekapun tertawa-tawa. Para dwarf yang ada di sana kembali menggerutu karena merasa terganggu oleh mereka. Alvin dan Viktul menyadari hal ini dan segera memutuskan untuk pergi. Akhirnya mereka menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan, dan mereka baru pulang setelah merasa lelah dan mereka memutuskan untuk tidur. Tetapi baru tidur sesaat, Kevin datang untuk membangunkan mereka berdua.
                “HEI!!! BANGUN!!!” teriak Kevin.
                Dengan kesal, Alvin dan Viktul bangun dan mendatangi Kevin.
                “Ayolah... kurasa sekarang sudah pagi...” kata Kevin.
                “Sudah pagi? Masih gelap sekali di sini...” kata Viktul.
                “Di sini memang selalu gelap! Ayo cepat, kita cari Gondlaf!” kata Kevin.
                Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari Gondlaf dengan rasa kantuk yang parah sekali. Tetapi mereka tidak menemukan Gondlaf di manapun. Mereka mendatangi Rapava, tetapi ia juga belum bertemu Gondlaf. Ia menyimpulkan bahwa Gondlaf masih memikirkan suatu rencana. Mereka juga tidak menemukan siapapun di kamar Gondlaf.
                “Sepertinya Gondlaf masih sibuk... Sebenarnya aku ingin mengajak kalian jalan-jalan mumpung kalian ada di sini, tapi aku juga masih sibuk makan... heheheh...” lagi-lagi Rapava tertawa  sendiri. Kalian pergilah ke arah selatan dari sini...”
                “Selatan????” kata Kapten Gandhi kaget.
                “Oh ya, maaf... di sini memang sulit untuk menentukan arah... Kalian pergi saja ke arah sana!” kata Rapava sambil menunjuk ke belakang mereka. Di sana terdapat jalan menurun dan banyak dwarf membawa ember air dari sana. “Mata air dwarf... Di sana ada Kapten Aldo, pemimpin prajurit dwarf yang tertinggi! Kurasa kalian akan terhibur di sana... Kalian juga bisa berenang...”
                “Berenang???” kata Kapten Gandhi kaget sekali lagi.
                “Oh ya, sekali lagi maaf... kami para dwarf memang terbiasa meminum air apapun, bahkan yang sudah dipakai untuk berenang. Kan yang penting minum... hahahahahahaha.... pergilah.... hahahahaha....” kali ini Rapava tertawa terus. Viktul dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi.
                Mereka berlima pergi ke arah yang ditunjukkan Rapava sambil membicarakan keanehan Rapava yang suka tertawa sendiri. Mereka menemui banyak sekali dwarf yang membawa ember berisi air. Akhirnya mereka menemukan sebuah kolam yang cukup besar. Banyak sekali dwarf wanita yang menimba air di sana. Para dwarf wanita ini juga memiliki kumis dan jenggot sehingga sulit sekali untuk membedakannya dengan dwarf pria. Tetapi yang jelas keduanya adalah petarung yang tangguh.
                Di salah satu sisi kolam, ada puluhan dwarf sedang berbaris dan membawa senjata. Mereka dipimpin oleh seorang dwarf bermuka bulat dan berambut, kumis, serta jenggot hitam. Wajahnya hampir menyerupai Rapava. Memang sulit membedakan para dwarf. Kapten Gandhi menyimpulkan bahwa ia adalah Kapten Aldo. Ia segera menemuinya bersama Kevin.
Sementara itu, Alvin segera membuka bajunya dan dan melompat ke dalam kolam, tetapi langsung berteriak kedinginan. Ateng yang penasaran juga segera melepas bajunya dan melompat ke kolam. Tetapi ateng tidak berteriak justru bergidik dan merasa hangat.
“Mengapa kau begitu tenang dan justru merasa hangat?” tanya Alvin.
“Baru saja aku buang air kecil di sini... hangat sekali ” kata Ateng. Alvin menjadi ketakutan dan segera berenang menjauh, tetapi Ateng mengejarnya sambil tertawa-tawa.
Viktul hendak ikut berenang, tetapi keanehan terjadi. Tiba-tiba ia mendengar suara mengerikan dari arah belakangnya. Ia segera berbalik dan melihat sesosok tubuh kurus,kecil,dan  hitam sekali berdiri di hadapannya. Makhluk itu hanya sedikit lebih tinggi dari dwarf atau mungkin terlihat lebih tinggi karena tubuhnya yang kurus sekali. Ia hanya mengenakan celana dalam. Entah mengapa tiba-tiba suasana di sana terasa sepi. Kini hanya suara makhluk itu yang terdengar.
“Berikan padaku... the teeth... milikku yang berharga...” makhluk itu berjalan mendekati Viktul secara perlahan. Viktul terus melangkah mundur. Makhluk itu terus berjalan sambil mengulang kata-kata yang sama “Berikan padaku... the teeth... milikku yang berharga... ”
Tiba-tiba makhluk hitam legam itu melompat ke arah Viktul dengan ganas. Viktul terdorong jatuh. Ia segera berusaha berdiri, tetapi makhluk itu sudah menghilang. Tiba-tiba Alvin memangilnya.
“Hei, sedang apa kau berguling-guling di tanah seperti itu? Ayo berenang bersama kami!” kata Alvin. Viktul yang masih kebingungan akhirnya memutuskan bahwa itu hanyalah halusinasinya dan ia segera berenang bersama Alvin dan Ateng.
***
Chapter 17 : The Game Plan
                Sudah hampir seminggu sejak Viktul dan kawan-kawan berada di sana. Tanpa disadari mereka juga sudah memiliki banyak teman dwarf seperti Kapten Aldo, si kembar ahli membuat bangunan Jimmy dan Jimmoy, dan masih banyak lagi. Awalnya para dwarf menganggap para manusia itu aneh, tetapi setelah Rapava  memperkenalkan mereka sebagai utusan Lord Mliit untuk membantu menghadapi si setan api, mereka mulai tenang, apalagi Gondlaf sang penyihir putih legendaris ada bersama mereka. Tetapi, sampai sekarang Gondlaf masih belum juga terlihat. Para dwarf mulai cemas tetapi Rapava terus berusaha menenangkan mereka.
                Hingga pada suatu hari, ketika Viktul dan kawan-kawan sedang berlatih mengukir batu bersama para dwarf, tiba-tiba terdengar bunyi dentuman keras yang mengerikan. Suara menggelegar berasal dari bawah tanah. Tiba-tiba para dwarf ketakutan. Mereka mulai berteriak-teriak dan mengangkat senjata masing-masing.
                “Tenang! Tenang! Jangan gegabah!” kata Rapave menenangkan.
                “Tidak bisa! Kali ini kita harus menghabisinya!” kata salah satu dwarf. Dwarf yang lain mengiyakan tapi beberapa menolak.
                Viktul awalnya bingung, tetapi akhirnya ia menyadari bahwa suara dentuman-dentuman keras ini pasti berasal dari kemunculan Doom Bringer. Para dwarf menjadi panik. Para wanita dan anak-anak segera melarikan diri ke tempat aman yang sudah disepakati. Para prajurit dan pria dwarf segera bersiap untuk melakukan peperangan. Segala macam senjata seperti kapak, panah, dan arit mereka keluarkan.
                “Celaka... Doom Bringer... Kali ini mungkin ia akan memusnahkan kita semua jika Gondlaf tidak segera datang...” kata Rapava.
                Namun tiba-tiba terdengar suara yang sudah dinanti-nantikan sejak tadi “Tenanglah, aku ada di sini!” akhirnya Gondlaf muncul dengan penuh gaya “Maafkan karena aku menghilang beberapa hari ini, tetapi aku berusaha memikirkan cara untuk mengalahkan Doom Bringer, dan aku sudah menemukan cara itu!”
                “Benarkah? Asal kau tahu, kau tidak bisa sembarangan! Selama ini kami tidak bisa mengalahkannya karena semua senjata yang kami kerahkan selalu terbakar ketika mengentuh tubuhnya yang membara... lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Rapava yang tidak yakin.
                “Kita pancing dia... ke mata air dwarf!” kata Gondlaf yakin.
                “Benar juga... air di sana dingin sekali!” kata Ateng.
                “Ya... begitu apinya yang membara mati, maka kesempatan kita untuk menghabisinya!” kata Viktul meneruskan.
                “Tepat sekali! Masalahnya sekarang, bagaimana kita membawa ia ke mata air ini...” kata Rapava.
                “Aku sudah memikirkannya! Lihatlah jembatan yang terbuat dari lempengan batu tipis di atas sana!” Gondlaf menunjuk suatu jembatan batu di atas sana “jembatan batu itu, tepat berada di atas mata air dwarf! Jika kita bisa membawanya ke sana dan menghancurkan jembatan batu itu, kita bisa menenggelamkannya di mata air dwarf!”
                “Tetapi jembatan itu tinggi sekali... terlalu sulit untuk membuatnya mau naik hingga setinggi itu...” kata Rapava.
                “Karena itulah, kita hanya butuh beberapa orang, agar Doom Bringer tidak tertarik untuk membunuh dwarf yang lain!” kata Gondlaf “siapa yang berani mengambil misi untuk memancing Doom Bringer?”
                Tiba-tiba saja para dwarf terdiam. Sepertinya mereka masih trauma akibat pembantaian teman-teman mereka oleh Doom Bringer. Namun di antara kebisuan ini terdengarlah satu suara yang lantang dan menenangkan “AKU!” ternyata si kurus Viktul lah yang berbicara!
                Gondlaf kaget sekaligus senang. Ia tak takut jika Viktul akan kehilangan nyawa di sini, tetapi ia juga senang atas keberanian muridnya tersebut. Kemudian ia berkata “Apakah kau yakin? Apa kau tidak takut terbunuh? Ingatlah, kau adalah sang pembawa gigi! Kau tidak boleh mati di sini!”
                Viktul terdiam, namun tiba-tiba muncul suara yang membelanya “Tenanglah! Jika Viktul mati di sini, lalu apa gunanya diriku ini?” Alvin berkata dengan yakinnya. Kemudian Viktul tersenyum kepada Alvin dan Alvin juga tersenyum kepada Viktul.
                Gondlaf tersenyum menyaksikan 2 anak ini. Rapava kaget sekaligus merasa malu. Sungguh tak bisa dibayangkan, keberaniannya dikalahkan oleh 2 anak manusia ini. Maka akhirnya iapun memutuskan untuk berbicara “Aku juga ikut! Sungguh memalukan jika keberanian kita para dwarf dikalahkan oleh keberanian 2 anak manusia ini... Hahaha...”
                “Tapi tuan, bagaimana jika kau terbunuh...” kata Kapten Aldo.
                “Ingatlah, tugasku sebagai pemimpin adalah untuk melindungi kalian, bukannya dilindungi oleh kalian! Hahaha... Tenanglah, aku akan baik-baik saja. Kau pimpin saja pasukanmu untuk menyerang Doom Bringer ketika ia sudah masuk ke dalam perangkap!” kata Rapava. Kapten Aldo terdiam.
                “Gondlaf, sejak awal tugasku adalah melindungi  Viktul si pembawa gigi. Maka aku akan iktu dalam misi ini! Ateng, Kevin, bagaimana dengan kalian?” kata Kapten Gandhi.
                “Tentu saja kami ikut, karena tugas Kapten Gandhi adalah tugas kami juga!” kata Kevin lantang dan Ateng mengiyakan.
                “Baik, tentu saja aku juga ikut! Aku tidak mau hanya menjadi kakek tua yang berdiam diri di rumah... hehehe... ayo, kita berangkat!” kata Gondlaf.
                “YAAAA!!!!!” kata semua orang yang ada di sana.
***
                Kemudian ke tujuh orang tersebut segera pergi ke lorong tempat Doom Bringer biasa muncul, sementara para dwarf yang lain bersembunyi dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Rapava menjadi penunjuk jalan bagi mereka. Mereka terus berjalan menuju suatu lorong yang letaknya paling dalam. Rapava mengatakan mereka bermaksud membuat lorong yang dapat digunakan untuk menembus bumi, tetapi rencana ini gagal dengan bangkitnya Doom Bringer. Rapava benci untuk mengakuinya, tetapi nyatanya kesombongan para dwarf yang menganggap diri mereka sebagai penggali terbaik telah membuat para dwarf ini kehilangan keluarga dan teman-temannya.
                Kemudian Gondlaf berkata kepada Viktul “Hebat... kau telah berhasil membangkitkan keberanian mereka dengan keberanianmu... sekarang aku percaya bahwa kau memang orang yang terpilih!”
                “Benarkah... kupikir mereka memang pemberani sejak awal... Justru aku merasa bahwa akulah satu-satunya penakut di sini... hehehe...” kata Viktul.
                Kemudian Gondalf tersenyum kepada Viktul.
Mereka terus berjalan melalui lorong yang semakin gelap saja. Suara dentuman langkah kaki itupun terdengar semakin keras. Lorong ini terus miring ke dalam. Tiba-tiba terdengar auman dahsyat yang mengerikan “GROOOOAAARRRRR” yang membuat ke tujuh pria pemberani ini agak sedikit ketakutan.
                “Suara mengerikan apa ini...” kata Kevin.
                “Sssssttttt...” kata Rapava.
                Namun tiba-tiba lorong di depan mereka menjadi terang sekali, seakan-akan ada obor raksasa yang meneranginya. Suara dentuman langkah kaki itupun semakin keras saja.
                “Itukah dia... Doom Bringer...” kata Alvin.
                “Ya!” kata Rapava.
                Tiba-tiba muncullah sesosok mengerikan yang berasal dari kegelapan. Makhluk ini tubuhnya diselimuti oleh api yang membara. Tubuhnya besar dan tingginya sekitar 7 meter. Wajahnya seperti sapi yang merah mengerikan dengan tindik besi di hidungnya. Biarpun berkepala sapi, ia berjalan dengan 2 kaki dan tangan kanannya memegang pedang besi besar dengan api yang berkobar-kobar, sementara tangan kirinya memegang cambuk yang talinya terbuat dari api yang membara. Ia juga mengenakan baju perang yang menyala-nyala. Ia juga memiliki ekor yang kokoh. Kemudian ia berteriak “GROOOAAAAA”.
                “Jadi inilah yang disebut setan...” kata Viktul takjub.
                Doom Bringer melihat Viktul dan kawan-kawan kemudian ia menarik napas panjang, setelah itu ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan dari mulutnya tersembur bola api raksasa yang mengarah langsung ke Viktul dan kawan-kawan.
                “Shield Force!” kata Gondlaf lalu muncul pelindung berwarna biru yang menghalangi api itu menyentuh mereka. “Apinya panas sekali... aku tidak akan bisa menahannya lebih lama... Begitu ia selesai menembakkan apinya, kalian pergilah!”
                Tidak lama napas Doom Bringer habis sehingga ia berhenti mengehmbuskan napas apinya. Viktul dan kawan-kawan segera berbalik dan berlari. Doom Bringer mengayunkan cemetinya tetapi meleset, sehingga cemetinya menghantam tanah. Tanah itu langsung terbakar begitu terkena cemeti.
                “Mengerikan sekali... jika sampai terkena benda itu...” kata Alvin.
                Doom Bringer segera mengejar mereka. Suara dentuman langkahnya begitu keras. Ia terus berlari sambil mengaum. Tiba-tiba ia sepasang sayap tumbuh di punggungnya. Sayap ini amat tipis sehingga tidak bisa membuatnya terbang, tetapi sayap ini dapat menambah kecepatan larinya jika ia mengepak-ngepakkan sayapnya.
                Kemudian Doom Bringer berhenti dan menyemburkan apinya sekali lagi. Viktul dan yang lainnya sudah berhasil keluar dari lorong sehingga api ini tidak mengenai mereka.
                “Ke atas sana!” kata Gondlaf sambil menunjuk sebuah jembatan batu yang tingginya ratusan meter diatas mereka.
                Mereka segera memanjat batu-batu yang ada di sana. Doom Bringer sudah keluar dari lorong dan segera mengincar mereka. Ia segera berlari ke arah mereka. Sekali lagi Doom Bringer mengayunkan cemetinya, tetapi cemetinya kurang panjang sehingga tidak mengenai Viktul dan kawan-kawan yang sudah memanjat cukup tinggi. Batuan-batuan di bawah mereka segera terbakar.
                Doom Bringer segera melompat dengan bantuan sayapnya dan mengejar mereka. Hawa panas yang berasal dari tubuh Doom Bringer yang membara dapat dirasakan oleh Viktul dan yang lainnya.
                Dengan keahliannya, Kevin sudah berhasil memanjat paling tinggi berbalik dan mengarahkan anak panahnya ke Doom Bringer. Ia segera melesatkan panahnya, tetapi panahnya langsung terbakar begitu menyentuh tubuh Doom Bringer.
                “Api itulah... yang menjadi pelindung terkuat Doom Bringer!” kata Rapava, yang berada paling bawah. Tubuh pendek dan gemuknya membuatnya sulit untuk mendaki batuan ini. Hal ini memang aneh, untuk apa para dwarf membangun jurang-jurang seperti ini, padahal mereka sendiri sulit untuk melewatinya.
                Doom Bringer sudah semakin dekat. Gondlaf menyadari bahaya ini. Ia segera meneriakkan mantar “Frost Streak!” Sebuah cahaya es keluar dari ujung tongkatnya dan bergerak cepat mengenai Doom Bringer. Es ini segera menguap begitu mengenai tubuh Doom Bringer, tetapi berhasil membuat Doom Bringer terjatuh setelah ia berhasil memanjat cukup tinggi. Ketika ia terjatuh ke tanah menghasilkan suara dentuman yang begitu keras.
                “Bagus! Gunakan mantra es itu sekali lagi!” kata Rapava senang.
                “Tidak bisa... es yang tadi adalah es tingkat tertinggi... menggunakannya terlalu banyak akan menghabiskan tenagaku, sementara aku memerlukannya untuk menghancurkan jembatan itu!” kata Gondlaf.
                Viktul dan kawan-kawan segera memanjat lebih cepat. Doom Bringer sudah bangkit kembali dan mulai memanjat, tetapi kali ini lebih lincah. Kevin dengan keahliannya sudah berhasil mencapai puncak dari jurang yang curam ini, sementara yang lainnya masih di bawah. Kevin menyadari Doom Bringer yang semakin mendekat. Kemudian ia mengeluarkan bubuk peledaknya yang dimasukkan ke dalam kantong. Bubuk ini adalah pemberian Gondlaf, yang akan langsung meledak jika membentur sesuatu. Kevin mengikatkan kantong kecil itu ke anak panahnya dan membidik Doom Bringer. Ia segera menembakkan anak panahnya, tetapi ternyata ia mengincar batuan tempat Doom Bringer berpijak sehingga batuan itu meledak. Doom Bringer tidak terluka sama sekali akibat ledakan itu, tetapi batuan yang pecah membaut Doom Bringer terperosok dan sekali lagi jatuh, kali ini ia juga tertimpa batuan yang pecah akibat ledakan barusan.
                Sayangnya ledakan ini juga menghilangkan keseimbangan Rapava sehingga ia terpeleset. Viktul yang melihatnya segera melompat ke bawah dan menarik tangan Rapava, sehingga mereka berdua terperosok cukup jauh ke bawah. Akhirnya Viktul berhasil berpegangan dan menarik Rapava naik, tapi sekarang Viktul dan rapava berada cukup jauh di bawah Gondlaf dan yang lainnya.
                Viktul menyadari bahwa Doom Bringer sudah bangkit kembali. Ia segera menarik tangan Rapava dan berkata “Cepat, kita harus naik!”
                Akhirnya Gondlaf, Kapten Gandhi, Alvin, dan Ateng berhasil sampai di puncak, sementara Viktul dan Rapava masih di bawah. Doom Bringer berusaha naik lagi, tetapi ia menancapkan pedangnya di setiap langkahnya untuk menahan tubuhnya agar ia tidak terjatuh. Ia mulai mencambuk Viktul dan Rapava dari bawah, tapi tidak kena. Batuan di bawah Vikul dan Rapava mulai terbakar.
                “Nak, cepat naiklah tanpa aku! Aku hanya akan memperlambatmu!” kata Rapava pasrah.
                “Aku tidak akan meninggalkanmu!” kata Viktul.
                Hawa panas semakin menyelimuti. Rapava dan Viktul mulai merasa lemas karena hawa panas ini, tetapi tidak ada satu orangpun yang mampu berbuat apa-apa. Viktul menjadi bingung harus berbuat apa. Namun tiba-tiba ia teringat akan suatu hal. Ia segera memegang The Teeth yang tergantung di lehernya. Kemudian ia memejamkan mata dan meminta bantuan The Teeth. Lalu ia membuka matanya kembali dan mengangkat The Teeth. Cahaya kegelapan keluar dari The Teeth. Cahaya yang amat gelap ini mengubah api yang membara itu menjadi berwarna hitam. Doom Bringer menjadi kesakitan karena terbakar oleh api kegelapan ini. Doom Bringer segera terjatuh ketika api yang menyelimuti tubuhnya ikut berubah warnanya menjadi hitam. Ia terjatuh dan berguling-guling di tanah.
                “Ke... kekuatan apa ini...” kata Rapava takjub.
                “Celaka... Rapava, sadarkan Viktul sebelum ia memakai gigi itu!” kata Gondlaf terburu-buru. Alvin jadi teringat Viktul ketika menyerang warga desa setelah memakai gigi itu. Ia segera melompat turun menuju ke arah Viktul. Gondlaf mencoba menghentikannya tetapi terlambat. Ateng juga hendak menyelamatkan Viktul tetapi Kapten Gandhi menahannya.
                “Apa yang harus kulakukan...?” kata Rapava bingung. Di satu sisi ia merasa kekuatan The Teeth ini mengntungkan, tetapi di sisi lain ia takut akan kekuatan kegelapan ini.
                Tiba-tiba Viktul merasa ingin sekali mengenakan The Teeth di giginya. Secara perlahan-lahan ia mulai mengangkat The Teeth, tetapi kemudian ia sadar sesaat dan menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Viktul segera berteriak keras-keras “AAAAAAAAAAAAAAAAAAA” tetapi kekuatan kegelapan kembali menyelimuti dirinya. Ia kembali berniat memakai The Teeth. Rapava bingung melihat Viktul yang seperti ini.
                Namun beruntung, Alvin datang tepat waktu dan segera memukul wajah Viktul. Untunglah giginya tidak copot seperti ketika Gondlaf memukul wajahnya. Viktul pingsan dan kekuatan kegelapan itupun lenyap. Api yang berwarna hitam itu kembali berwarna merah dan api yang menyelimuti tubuh Doom Bringer juga kembali berwarna merah. Doom Bringer akhirnya sanggup berdiri lagi dan menatap Viktul, kemudian memanjat lagi. Alvin segera menggendong Viktul dan menaiki batuan itu dengan lincah. Rapava mengikutinya dari belakang.
                Akhirnya Alvin dan Rapava berhasil sampai di puncak. Tiba-tiba Viktul tersadar dan batuk-batuk. Kemudian ia menatap Gondlaf dan berkata “Maafkan aku....” Viktul merasa Gondlaf akan marah besar.
                Gondlaf menatapnya dalam-dalam, tapi kemudian tersenyum dan berkata “Tidak apa... jika aku berada dalam posisi yang sama denganmu, kurasa aku juga akan melakukan hal yang sama...” Viktul menjadi lega dan senag mendengar hal ini.
                Tanpa disadari Doom Bringer sudah hampir sampai di puncak. Mereka segera berlari melewati jembatan batu. Akhirnya Doom Bringer sampai di puncak juga. Viktul dan yang lainnya sudah sampai di seberang jembatan, tetapi Gondlaf masih berdiri di tengah-tengah jembatan seakan-akan menantang Doom Bringer untuk berduel.
                “Gondlaf, apa yang kau lakukan?” teriak Kapten Gandhi.
                “Aku sudah menghitungnya selama beberapa hari ini... hanya dari posisikulah aku dapat menghancurkan jembatan ini!” kata Gondlaf.
                “Tenanglah... aku percaya, Gondlaf selalu tahu apa yang ia lakukan!” kata Viktul menenangkan Kapten Gandhi, tetapi Kapten Gandhi tetapi tidak tenang.
                “Jembata itu... dibuat dari salah satu batu terbaik... bagaimana ia akan menghancurkannya?” kata Rapava. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Rapava, yang dapat diartikan bahwa tidak ada satupun dari mereka yang tahu.
                Akhirnya Doom Bringer berdiri berhadap-hadapan dengan Gondlaf. Ia tampak menakutkan. Duel ini seperti sesuatu yang tidak adil antara kakek tua dan makhluk raksasa setinggi 7 meter. Doom Bringer mengangkat pedangnya dan menusukkannya ke jembatan. Dalam sekejap jembatan itu dipenuhi dengan api yang panas.
                Gondalf membalasnya dengan menusukkan tongkatnya ke jembatan dan meneriakkan mantra “Aero!” kemudian angin yang besar sekali berhembus dari tongkat Gondlaf dan membuat api yang membakar jembatan itu padam.
                Doom Bringer marah dan mengaum lagi, tetapi Gondlaf segera mengangkat tongkatnya lagi dan menusukkannya ke jembatan ke arah yang sama sambil meneriakkan mantra “Fatal Break!” kemudian jembatan itupun segera retak, biarpun hanya di bagian permukaan tempat Gondlaf berada.
                “Jadi begitu... ia akan menghancurkannya dengan cara itu...” kata Kapten Gandhi.
                Doom Bringer memutar-mutar cemetinya kemudian mulai menyerang Gondlaf, tetapi Gondlaf menangkisnya dengan tongkatnya. Sungguh gerakan yang luar biasa yang berasal dari seorang kakek tua. Gondlaf segera menusukkan tongkatnya ke tempat yang sama sambil mengucap mantra penghancurnya dan jembatan itu mulai retak sedikit lagi.
                Doom Bringer menyerang dengan cemetinya lagi, sehingga Gondlaf melompat mundur untuk menghindarinya kali ini. Api yang amat besar membara, tetapi Gondlaf segera melompat ke depan dan menusukkan tongkatnya lagi dengan mantra ‘Aero’nya, sehingga api itu segera padam. Dengan lihai Gondlaf menggunakan mantra penghancur tanahnya lagi. Kali ini ia berhasil membuat jembatan itu bergoyang. Doom Bringer kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Berat badannya membuat jembatan ini semakin remuk.
                “Baiklah... rasakanlah serangan terakhirku!” kemudian menagngakat tongkatnya dan menusukkannye ke jembatan denga seluruh kekuatannya. Melihat hal ini, Doom Bringer segera menyemburkan apinya ke arah Gondlaf. Gondlaf kehilangan konsentrasinya kerena api ini. Seluruh tenaga yang sudah ia alirkan pada tongkatnya terlepas dan hanya setengahnya yang menghantam jembatan. Tetapi ia berhasil membuat jembatan ini semakin retak, dan dalam keadaan seperti ini jembatan ini akan runtuh cepat atau lambat. Batu-batu mulai terlepas dari jembatan ini dan jembatan ini semakin rapuh.
                Sayangnya, Gondalf sudah tidak memiliki kekuatan lagi yang tersisa. Ia berusaha bangkit, tetapi kesulitan setelah ia tersembur oleh api neraka milik Doom Bringer. Doom Bringer mulai berusaha berjalan dan melangkah mendekati Gondlaf. Ia mengayunkan cemetinya ke arah Gondlaf. Gondlaf berhasil menangkisnya tetapi ia terpental ke belakang.
                “Celaka... kalau begini terus Gondlaf bisa mati... apa yang harus kita lakukan?” tanya Alvin.
                “Inilah saatnya kita beraksi!” Kata Viktul “berikan pedangmu!”
                Alvin terdiam sejenak, kemudian mengeluarkan pedangnya kemudian berkata “Baiklah, mari kita lakukan bersama!” sepertinya Alvin sanggup membaca pikiran Viktul.
                Kemudian Alvin mengangt pedangnya dengan tangan kanannya dan Viktul memegang pedang Alvin dengan tangan kirinya. Lalu Alvin menggenggam tangan kiri Viktul dengan tangan kirinya, dan Viktul memegang tangan kiri Alvin dengan tangan kanannya. Akhirnya mereka menggenggam pedang itu dengan kedua tangan mereka. Di tempat lain, Viktul sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk bangkit, sementara Doom Bringer sekarang sudah berdiri di hadapannya.
                Kapten Gandhi menyadari apa yang mau dilakukan Viktul dan Alvin. Ia segera mencegah mereka “Jangan melakukan hal bodoh seperti itu!”
                “Kami harus melakukan ini atau kehilangan Gondlaf untuk selamanya...” kata Viktul, kemudian ia menatap Alvin. Alvin tersenyum kepada Viktul, dan Viktulpun tersenyum.
                Dengan mengerahkan seluruh keberanian yang mereka miliki mereka segera berlari ke arah jembatan tersebut. Kevin, Ateng, dan Rapava kaget melihat hal itu. Kapten Gandhi merasa pasrah dan mencoba untuk yakin kepada kedua anak tersebut.
                Sambil berteriak mereka terus berlari sambil memegangi pedang itu “HIAAAAAAAAAAAHH” mereka melesat bagaikan angin. Gondlaf menyadari hal ini dan segera menoleh ke arah mereka dan berusaha mencegahnya “Hentikan!” tapi sudah terlambat.
                Akhirnya Viktul dan Alvin sampai tepat di hadapan Doom Bringer dan segera menusukkan pedang itu bersama-sama tempat Gondlaf menusukkan tongkatnya tadi. Mereka menusukkan pedang itu dengan seluruh kekuatan dan keberanian mereka. Doom Bringer terdiam sejenak memperhatikan mereka, tetapi tidak terjadi apa-apa. Akhirnya Doom Bringer memutuskan untuk membunuh mereka dan mengangkat pedangnya hendak menebas mereka berdua sekaligus. Dapat dibayangkan apa jadinya jika dengan besar sepanjang 3 meter menghantam mereka. Gondlaf sudah merasa putus asa.
                Namun tiba-tiba terdengar suara retakan dari jembatan besar itu. Jembatan sepanjang 20 meter itu mulai mengeluarkan suara gemuruh yang hebat, dan mulai meiring. Sedikit demi sedikit batuan yang menyusun jembatan itu mulai runtuh dan jembatan itu juga mulai runtuh.
                Bagian tempat Doom Bringer berpijak mulai amblas sehingga Doom Bringer terjatuh tepat di hadapan Viktul dan Alvin. Kapten Gandhi segera berlari ke jembatan bersama Ateng dan mengangangkat Gondlaf sebelum jembatan itu roboh.
                “Selamatkan 2 anak itu!” kata Gondlaf.
                “Maaf... sudah terlambat!” kata Kapten gandhi.
                Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras sekali tepat ketika Kapten Gandhi berhasil menyelamatkan Gondlaf. Jembatan itu bergeser dan mulai hancur sedikit demi sedikit. Tiba-tiba jembatan tempat Viktul, Alvin, dan Doom Bringer berpijak runtuh dan membuat mereka bertiga terjatuh. Doom Bringer berteriak dan mulai mengepak-ngepakkan sayanpnya tapi percuma, sayapnya tidak bisa digunakan untuk terbang. Tubuhnya terlalu berat. Sementara itu Viktul dan Alvin tetap berpegangan pada pedang itu walaupun mereka sedang terjatuh. Hal ini menandakan betapa eratnya hubungan mereka berdua.
                Akhirnya mereka menghantam mata air dwarf yang amat dingin. Asap segera mengepul-ngepul dari tubuh Doom Bringer yang membara. Ia berteriak kedinginan. Tiba-tiba saja air tempat Viktul dan Alvin berada mulai terasa hangat. Hal ini membuktikan betapa panasnya tubuh Doom Bringer. Ternyata Doom Bringer bisa berenang! Ia melepaskan pedang dan cambuknya yang sudah padam, dan mencoba membunuh Viktul dan Alvin. Akhirnya mereka berdua segera berenang menuju pinggir kolam. Ternyata kolam ini terasa cukup besar ketika mereka berada di tengah-tengah kolam ini.
                Tetapi tubuh Doom Bringer yang panjang memudahkannya untuk berenang menyusul Viktul dan Alvin. Ia hampir mendapatkan 2 anak itu.
                “Habislah kita...” kata Alvin sambil berenang.
                “Tidak... KITA TIDAK AKAN MATI DI SINI!!!” Viktul berteriak.
                Tiba-tiba sebuah batang kayu besar dengan ujungnya yang tajam meluncur ke arah mereka. Viktul dan Alvin segera mesuk ke dalam air, sehingga batang itu langsung menembus tubuh Doom Bringer. Doom Bringer berteriak kesakitan. Saking kencangnya, Viktul dan Alvin yang sedang berada di bawah air dapat mendengarnya. Tetapi terdengar suara lain di luar sana. Seperti suara gemuruh ratusan orang. Viktul dan Alvin segera naik ke permukaan dan menyaksikan ratusan bahkan ribuan dwarf sedang mengelilingi kolam sambil terus menyerang Doom Bringer dengan melempari kapak atau menembakkan anak panah.
                “Kurasa kita harus pergi dari sini!” kata Alvin. Mereka berduapun segera berenang menjauhi Doom Bringer. Ternyata si setan apipun tak berdaya tanpa apinya. Ia merasa kesakitan karena terus diserang. Akhirnya ia kehabisan tenaganya setelah darah terus mengalir dari tubuhnya. Ia sudah tidak mampu berenang lagi dan mulai tenggelam. Ia terus turun ke dasar kolam. Dari dalam kolam keluar gelembung-gelembung mungkin sisa-sisa napas Doom Bringer.
                Tetapi lama-lama gelembung itu semakin banyak dan air tempat Doom Bringer tenggelam menyala-nyala berwarna merah. Para dwarf ketakutan melihat hal ini.
                “Kita tidak akan kalah di sini...” kata Viktul yang sudah berhasil berenang ke pinggir kolam.
                Gelembung itu semakin banyak dan terdengar suara buih-buih yang kencang. Lalu tiba-tiba muncul sesosok bayangan api yang besar sekali dengan suara memekik yang mengerikan disertai gelembung-gelembung panas. Bayangan api itu terus memekik dan teus bergerak naik, lalu melakukan pekikan terakhirnya yang amat kencang hingga membuat telinga para dwarf itu kesakitan, kemudian bayangan itu menghilang. Yang tersisa hanya sedikit percikan-percikan api yang kemudian lenyap di udara.
                Para dwarf yang menyaksikan ini terdiam melongo, hingga akhirnya salah satu dwarf berteriak “Kita berhasil... kita... kita... KITA MENGALAHKAN DOOM BRINGER SI SETAN API!!!!”
                “YEEEEAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHH” teriak para dwarf yang lain. Kemudian mereka berteriak bersahut-sahutan. Mereka sungguh senang, akhirnya mereka berhasil mengalahkan makhluk yang selama 2 tahun ini terus menghantui mereka.
                Kemudian Viktul dan Alvin naik ke pinggir kolam. Mereka sungguh lelah sehingga mereka terjatuh dan tertidur di sana, sambil mendengarkan teriakan bahagia para dwarf.
***
Chapter 18 : New Company
                Viktul baru terbangun 24 jam kemudian. Pengalaman panjang seperti ini benar-benar tak akan pernah ia lupakan. Begitu ia bangun, Alvin segera berlari memasuki kamar dan memeluk Viktul. Ia merasa senang sekali.
                Setelah beristirahat, keesokan harinya Rapava mengundang mereka untuk berpidato di depan seluruh bangsa dwarf untuk menyampaikan berita kemenangan ini, sekaligus memberitahukan keputusan Rapava untuk membantu para manusia menghadapi Sitio.
                “Saudara-saudara, para manusia yang baik hati ini telah berhasil membantu kita dari masalah sulit ini... maka sudah sepantasnya bagi kita untuk membantunya! Kalian semua setuju???” itu adalah salah satu bagian dari pidatonya. Para dwarf segera berteriak dengan antusias dan mengatakan setuju. Pada acara itu Viktul dan kawan-kawan menjadi tamu kehormatan.
                Perayaan ini sungguh meriah dan tak terlupakan. Ratusan pria dan wanita dwarf menari. Sungguh sulit untuk membedakan mereka.
                Beberapa hari setelah itu, Gondlaf pergi ke tempat Octopo sendirian selama satu hari penuh, dan akhirnya kembali dengan wajah yang ceria, dan mengetakan “Octopo sudah kubereskan... tak ada lagi yang harus dicemaskan!”. Ia mengatakannya dengan santai. Tak ada satupun yang tahu persis bagaimana Gondlaf menghadapi Octopo tesebut, tetapi yang pasti sejak saat itu Octopo tidak pernah muncul lagi.
***
                Akhirnya, beberapa hari kemudian, Viktul dan rombongannya mengucapkan salam perpisahan kepada Rapava ditemani dengan puluhan warga dwarf. Mereka melakukan salam perpisahan di pintu gerbang menuju Secang Dale yang satunya, yang menghadap langsung ke Allied of Two Ciruas.
                “Senang sekali berkenalan dengan kalian! Aku akan segera mengirimkan prajuritku ke Royale Palace untuk membantu mereka menghadapi prajurit kera Sitio!” kata rapava.
                “Jangan! Menurut berita terakhir yang kuterima kemarin, Royale Palace sudah hampir jatuh! Kini para prajurit masih bertahan adi sana hanyak sampai para warga berhasil di evakuasi!” kata Gondlaf.
                “Jadi kami harus mengirim prajurit ke mana?” tanya Rapava.
                “Kirimlah prajuritmu ke Lopang Kingdom! Kami berencana mengumpulkan kekuatan di sana! Setelah seluruh prajurit yang ada Royale Palace mundur, rencananya meeka akan menyatukan kekuatan di Lopang Kingdom! Kami juga sedang mengumpulkan para prajurit serta suku-suku kecil yang tersebar di seluruh Bumi Serang. Sejauh ini, kami sudah mengumpulkan 3.000 prajurit dari sana!” kata Gondlaf.
                “Yah, ditambah prajurit kami, aku yakin kalian akan memiliki jumlah yang cukup untuk menghabisi kera-kera tolol itu!” kata Rapava.
                “Belum... sampai kami berhasil menyatukan Allied of Two Ciruas dan Kebo Knightdom!” kata Gondlaf.
                “Yah baiklah kalau begitu... aku doakan supaya kau berhasil dengan selamat! Dan kau juga, 2 anak pemberani!” kata Rapava ke Viktul dan Alvin. Mereka tersenyum mendengar hal ini.
                Kapten Gandhi yang sudah bersahabat dengan Kapten Aldo juga melakukan salam perpisahan. Sedangkan Ateng dan Kevin juga melakukan salam perpisahan dengan para prajurit dwarf yang sudah bersahabat dengan mereka. Kemudian Viktul dan Alvin melakukan salam perpisahan dengan si kembar Jimmy dan jimmoy dan berterima kasih karena mereka telah mengajari Vktul dan Alvin mengukir dan bertukang.
                Kemudian merekapun pergi dengan kuda mereka masing-masing yang mereka tinggalkan ketika mereka berhadapan dengan Octopo. Gondlaf berhasil menemukannya kembali ketika kuda-kuda itu mulai berpisah dan mencari makan sendiri-sendiri.
                “Sampai jumpa di Lopang Kingdom!” kata Viktul dan yang lainnya sambil melambaikna tangannya dan para dwarf itu membalasnya. Perpisahan ini terasa begitu menyedihkan mengingat mereka sudah tinggal di Secang Dale cukup lama, tidak seperti ketika mereka pergi ke Royale Palace yang hanya beberapa hari karena terjadi beberapa konflik mengerikan.
***
                Matahari sudah mulai terbenam, ketika mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.
                “Menyedihkan sekali, harus berpisah dengan mereka...” kata Alvin.
                “Tenanglah, kita akan bertemu mereka lagi di Lopang Kingdom!” kata Kevin.
                “Yah, di Lopang Kingdom ketika kita akan mengadu nyawa di sana...” kata Ateng sedih.
                “Ayolah... yakinlah bahwa kalian tidak akan apa-apa!” kata Viktul menyemangati.
                Tiba-tiba Gondlaf datang. Sepertinya ia membawa suatu berita. “Dengar, berita terakhir yang kudapatkan sore ini mengatakan, Royale Palace sudah hampir jatuh sedikit lagi... Lord of Death semakin mengamuk dan menunjukkan kekuatannya. Dan yang paling penting, ada dugaan bahwa Nathanael adalah tangan kiri Sitio, dengan Lord of Death sebagai tangan kanannya!” kata Gondlaf murung.
                “Siapa itu Nathanael?” tanya Kapten Gandhi yang baru saja datang menghampiri mereka.
                “Dia... adalah muridku yang paling berbakat, satu-satunya muridku yang paling berpotensi menjadi penyihir yang lebih hebat dariku!” kata Gondlaf. Serentak Viktul dan yang lainnya kaget.
                “Bagaimana mungkin?” tanya Viktul.
                “Entahlah... ia pergi meninggalkanku 25 tahun yang lalu, ketika ia baru berusia 20 tahun. Saat itu ia sudah dapat dibilang sebagai penyihir yang cukup hebat. Kami berpisah karena perbedaan pendapat kami, sehingga ia pergi... tak kusangka ia pergi ke jalan kegelapan... Aku benar-benar merasa sedih... padahal aku telah mengasuhnya sejak ia berumur 5 tahun ketika orang tuanya meninggal...” kata Gondlaf.
                “Hmmm... kisahnya seperti Viktul...” kata Alvin.
                “Yah, tetapi ada perbedaan pada jalan mana yang ia tempuh!” kata Gondlaf menanggapi.
                Namun tiba-tiba terdengar kepakan burung yang datang ke arah mereka. Rupanya itu adalah burung sihir pembawa berita milik Gondlaf. Gondlaf segera membaca pesan yang dibawanya. Pesan itu berasal dari King Virlu. Gondlaf membaca surat itu selama beberapa saat, kemudian mengerutkan keningnya, sepertinya ia menjadi bingung.
                “Berita buruk... akhirnya Sitio membangkitkan para Najgul nya...” kata Gondlaf.
***
Chapter 19 : The Two Groups
                Kapten Gandhi kaget mendengar berita ini. Tetapi orang-orang yang lainnya tidak mengerti sama sekali.
                “Apa itu Najgul?” tanya Alvin.
                “Jika Lord of Death adalah jendral besar mereka, maka Najgul dapat diartikan sebagai 9 penunggang naga yang bertugas sebagai pengawal pribadi Sitio. Ke 9 penunggang naga ini akan memiliki kekuatan yang setara dengan Sitio jika mereka menyatukan kekuatannya. Dan biasanya, jika Sitio mengirimkan pengawal pribadinya ini ke medan perang, itu merupakan pertanda bahwa Sitio menginginkan suatu kemenangan mutlak!” Gondlaf menjelaskan panjang lebar.
                “Jadi... maksudmu... Sitio mengirimkan 9 Najgul ini ke Royale Palace... dan mengharapkan kemenangan mutlak?” kata Ateng gugup.
                “Tepat sekali! Setelah Najgul ini muncul siang tadi, King Virlu memutuskan untuk mengevakuasi seluruh warga secepatnya dan segera menarik pasukannya. Karena itu, kita juga harus bergerak cepat!” kata Gondlaf.
                “Ya, aku setuju! Allied of Two Ciruas berada tidak jauh dari sini... Kita harus bergerak ke sana secepatnya!” kata Kapten Gandhi.
                “Tapi masalahnya, bagian Ciruas mana yang akan kita datangi? Yakavali Town yang dipimpin High Leader Zanuqoyaqo atau Hamavapaqu Town yang dipimpin oleh High Leader Vabalife?” tanya Kevin.
                “Inipun suatu masalah besar... Kabarnya kedua Ciruas ini sedang mengalami bentrok... Kita tak akan bisa melihat pemasalahan secara subyektif jika kita hanya mendatangi salah satu tempat! Dari sini kita harus membagi 2 kelompok untuk mempelajari masing-masing tempat!” kata Gondlaf “Aku, Alvin, dan Viktul akan pergi ke Yakavali Town, sedangkan Kapten Gandhi, Kevin, dan Ateng akan pergi ke Hamavapaqu Town!”
                “Lalu bagaimana kita berkomunikasi?” tanya Alvin.
                “Begini... jangan pernah menginap di sana! Kita harus bertemu tiap malam untuk membicarakan permasalahan ini! Menginap di sana akan membuat mereka berpikir bahwa kau mendukung pihaknya! Sebagai pihak netral, kita tidak boleh hanya membela salah satu!” kata Gondlaf.
                “Hmmm... Baiklah, aku mengerti!” kata Kapten Gandhi, dan kemudian yang lainnya menyetujui rencana Gondlaf. Kemudian Gondlaf berbicara lagi.
                “Allied of Two Cirua berjarak cukup dekat dari sini, mungkin kita akan sampai antara 1 sampai 2 hari jika kita terus berkuda! Sebenarnya aku ingin beristirahat sedikit lebih lama, tetapi keadaan memaksa kita untuk bergerak cepat! Karena itu, sekarang istirahatlah, kita akan mulai berkuda sekitar 3 jam lagi!” kata Gondlaf.
                “Hah??? 3 jam lagi berarti tepat tengah malam...” keluh Ateng.
                “Dasar tukang mengeluh... Sebaiknya sekarang kau cepat tidur!” perintah Kapten Gandhi. Atengpun menurut dan segera tidur. Rombongan yang lainpun segera tidur.
                3 jam kemudian, Viktul dan kawan-kawan segera berangkat. Alvin masih saja membicarakan soal kehebatannya dan Viktul ketika menghadapi Doom Bringer. Cerita Alvin membuat Kevin dan Ateng merasa muak selama di perjalanan. Pagi harinya, mereka kembali beristirahat. Mereka hanya beristirahat selama 2 jam, kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Pada siang hari mereka beristirahat lagi, dan melanjutkan perjalanan sore harinya.
                Lalu, saat matahari mulai terbenam, mereka tiba di suatu perbatasan wilayah. Mereka melihat papan kayu yang bertuliskan “Allied of Two Ciruas, 2 km di depan”, tetapi papan kayu ini tulisannya dirusak seseorang, kelihatannya seseorang yang sudah benar-benar tidak menginginkan 2 Ciruas untuk bersatu lagi. Viktul mulai berbicara.
                “Tak kusangka... kebencian mereka sudah sampai seperti ini...” kata Viktul.
                “Yah... tetapi mereka tertutup sekali sehingga tidak ada pihak luar yang mengetahui sebab perselisihan mereka...” kata Kapten Gandhi.
                “Yah, karena itulah kita akan mencari tahu! Bagaimana kalau tempat ini kita jadikan tempat untuk berkumpul? Besok pagi kita akan pergi ke kedua Ciruas itu, dan malamnya kita akan berkumpul kembali di sini, oke?” kata Gondlaf. Seluruh rombongan menyetujui usul Gondlaf, dan segera beristirahat di tempat tersebut.
                Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 4 pagi, mereka sudah bangun dan bersiap untuk pergi ke Ciruas. Gondlaf mengatakan sebaiknya mereka pergi lebih pagi untuk bisa mengamati tempat itu secara lebih leluasa. Kemudian mereka membagi 2 kelompok dan pergi ke masing-masing tempat yang sudah disetujui.
                Gondlaf, Alvin, dan Viktul melakukan perjalanan sejauh 3 km menuju ke Yakavali Town, dan rombongan Kapten Gandhi juga menempuh jarak yang sama menuju Hamavapaqu Town. Mereka berkuda melalui jalan setapak yang terbelah dua ke masing- masing kota.
                Akhirnya kedua kelompok sampai di tempat yang dituju masing-masing setelah berkuda selama sekitar 15 menit.
***
Chapter 20 : Yakavali Town and High Leader Zanuqoyaqo
                Gondlaf, Alvin, dan Viktul sampai di Yakavali Town pada pagi hari ketika matahari belum terbit. Ketika mau memasuki Yakavali Town, mereka melewati pos penjagaan yang kosong. Hal ini sungguh mengherankan. Keadaan kota juga nampak kotor dan berantakan. Hal ini benar-benar menunjukkan bahwa kota ini sedang berada dalam keadaan perang. Sepertinya para penduduk kota sudah tidak punya waktu lagi untuk mengurus kebersihan. Nampaknya mereka terlalu disibukkan oleh perang ini.
                Ketika matahari mulai terbit, warga kota mulai bermunculan satu persatu. Mereka segera membereskan jalanan yang kotor. Kemudian seorang pemuda datang dengan berlari-lari sambil meneriakkan suatu kabar “PERANG PECAH! PERANG PECAH! PULUHAN KORBAN BERJATUHAN TADI MALAM!”. Pemuda itu terus mengulangi berita itu sambil terus berlari menjauh. Para penduduk justru merasa puas dan senang mendengar berita ini. Sepertinya mereka memang sudah menunggu pecahnya perang ini dan berharap dapat menghancurkan saudara-saudaranya di Hamavapaqu Town.
                “Kurasa kita harus segera menemui pemimpin kota ini...” kata Gondlaf “sebelum semuanya terlambat...”
                “Ya!” kata Viktul.
                Kemudian mereka segera menanyakan keberadaan High Leader Zanuqoyaqo kepada warga. Para warga mengatakan bahwa mungkin ia sedang berada di medan perang untuk saat ini.
                “Celaka... kurasa menemuinya di medan perang akan merepotkan...” kata Alvin. Gondlaf dan Viktul tidak menghiraukannya dan segera pergi menuju medan perang setelah menanyakannya kepada warga. Medan perang itu berada di perbatasan kedua kota. Kabarnya, medan perang itu berupa ladang pertanian yang amat subur.
                Setelah berkuda sekitar 3 jam dan berputar-putar, akhirnya mereka tiba di medan perang yang disebutkan. Mereka bertiga sempat tersesat ketika mencari tempat itu. Ternyata benar, medan perang itu berupa ladang pertanian, tetapi tidak terlihat kesuburannya. Memang nampak padi yang menguning di sebagian tempat, tetapi terdapat tanaman-tanaman yang bekas terbakar di tempat lain. Ladang yang luas ini sepertinya bekas dijadikan medan perang semalam. Terdapat darah-darah yang tercecer. Tidak jauh dari sana, nampak ratusan prajurit sedang beristirahat. Karena medan perang ini menempel dengan kota mereka, sepertinya ribuan prajurit yang lain memutuskan untuk beristirahat di rumah masing-masing, sedangkan ratusan prajurit ini adalah para prajurit yang bertempat tinggal cukup jauh dari medan pertempuran.
                Kemudian Gondlaf mendatangi salah seorang prajurit bertubuh kecil dan berkulit hitam. Ia memiliki rambut keriting. Kemudian Gondlaf bertanya “Maaf, aku mau bertanya, di mana High Leader Zanuqoyaqo berada?”
                Tetapi prajurit itu nampak tidak senang, lalu memandangi Gondlaf dengan aneh, kemudian memandangi Viktul, kemudian Alvin. Setelah itu ia berkata dengan nada suara tinggi dan cempreng “Siapa kalian ini? Tahukah kalian sedang berbicara dengan siapa?”
                “Memangnya siapa kau? Prajurit kecil bertubuh hitam?” kata Alvin keceplosan.
                “APAAAA??? KURANG AJAR KALIAN!!! AKU ADALAH KAPTEN PRAJURIT YANG PALING DISEGANI DI SINI!!! AKU ADALAH KAPTEN LOKOLLO!!!” prajurit itu berteriak kepada Alvin dan kawan-kawan. Alvin menjadi menyesal karena telah salah bicara. Tetapi kenyataannya, ia tidak seperti Kapten yang disegani. Justru para prajurit yang ada di sana mengeluh dan merasa terganggu karena suaranya yang keras, bahkan kemudian ada suara yang asalanya tak jelas berkata “Berisik! Dasar kutu kupret!” Semua prajurit yang ada di sana langsung tertawa membahana begitu mendengar hal ini. Kapten ini menjadi merasa jengkel dan malu, kemudian berkata “Sudahlah... ada urusan apa kalian datang ke sini?”
                Alvin hendak berbicara lagi, tetapi Gondlaf segera menahannya karena ia takut Alvin salah bicara lagi. Gondlaf segera berbicara “Sebelumnya maafkan kelakuan muridku yang buruk... Sebenarnya aku datang karena ingin meminta bantuan pemimpinmu yang begitu tangguh, dan tentu saja aku ingin meminta bantuan kepada prajurit Yakavali Town yang kabarnya adalah para pemberani dan tangguh!”
                Ternyata taktik memuji Gondlaf berhasil, dan Kapten Lokollo segera berkata “Baiklah, aku akan membawa kalian menemui High Leader Zanuqoyaqo, tapi berjanjilah kalian tidak akan berbuat macam-macam!”  Gondlaf hanya tersenyum. Karena Kapten Lokollo sudah termakan kata-kata Gondlaf sejak awal, ia segera membawa Viktul dan kawan-kawan ke tempat High Lord Zanuqoyaqo berada.
                Kemudian Kapten Lokollo membawa mereka ke sebuah tenda besar di tengah-tengah tenda para prajurit. Kemudian ia masuk saja tanpa pemberitahuan dan diikuti oleh Viktul dan kawan-kawan. Kapten Lokollo segera berkata dengan kencang “Ada tamu yang menginginkan bantuan kita! Bolehkah ia masuk?”
                “Kau sudah membiarkan mereka masuk sejak tadi... mengapa bertanya lagi...” kata seorang pria bertubuh tinggi dan tegak. Ia terlihat begitu gagah dengan baju perangnya yang berwarna merah. Usianya sekitar 25 tahun, sama seperti Lord Mliit. Di ruangan itu terdapat beberapa perwira tinggi Yakavali Town. Kapten Lokollo segera melihat ke arah Viktul dan kawan-kawan, lalu ia menjadi kaget. Ia menjadi tampak marah dan malu. Viktul mengerti, seharusnya tadi ia tak ikut masuk.
                Kemudian pria gagah itu memperkenalkan dirinya “Hai! Perkenalkan, namaku High Leader Zanuqoyaqo! Ada urusan apa datang kemari?”
                Kemudian Gondlaf menjawab “Kami adalah utusan dari Lopang Kingdom! Namaku Gondlaf, lalu anak ini adalah Viktul dan Alvin! Kami datang untuk meminta bantuan serta memperingatkan kalian terhadap suatu bahaya!”
                High Lord Zanuqoyaqo nampak tertarik dan berkata “Bahaya macam apa yang mengancam kami?”
                “Sitio!” kata Gondlaf “Dan tidak hanya mengancam kalian, tetapi juga saudara kalian di Hamavapaqu Town!”
                “Hah??? Yang benar saja... justru mereka yang terus mengancam kami...” kata High Leader Zanuqoyaqo “dan lagi... siapa itu Sitio?”
                “Kau tidak mengetahuinya??? Sudah kuduga, ini pasti dari perang kalian yang berkepanjangan... asal kau tahu saja, Sitio ini bermaksud menghancurkan seluruh manusia, dan satu-satunya jalan untuk mengalahkannya adalah dengan menyatukan kekuatan! Karena itulah, aku bermaksud meminta bantuan kalian sebelum seluruh manusia dihancurkan olehnya!” kata Gondlaf.
                “Yang benar saja... aku tidak tahu mengenai hal ini... sepertinya perang ini benar-benar membuatku sibuk... memangnya siapa yang sudah menjadi korbannya?” tanya High Leader Zanuqoyaqo.
                “Ribuan orang di Harmonia Kingdom of Taktakan dan Royale Palace sudah menjadi korban kekejaman Sitio... dan mungkin kita akan menjadi korban selanjutnya... karena itu, aku harap kalian bisa membantu, dan juga bersatu dengan saudara kalian di Hamavapaqu Town untuk menyempurnakan persatuan!” kata Gondlaf.
                “Jika hanya membantu kalian, itu bisa kami lakukan, tetapi bersatu dengan orang-orang licik itu, kurasa tidak bisa kami lakukan...” kata High Leader Zanuqoyaqo.
                “Mengapa sulit sekali bagi kalian untuk berdamai?” tiba-tiba Viktul angkat bicara.
                Semua orang yang ada di sana memandangi Viktul sesaat, kemudian seorang pria angkat bicara “Tentu saja...  maaf, sebelumnya, perkenalkan, aku adalah Jendral Ricco!” kemudian ia melanjutkan “begini, tidak mudah bagi kami untuk berdamai dengan mereka. Sudah 10 tahun kami mengalami perang dingin, dan semalam perang benar-benar terjadi, dengan pihak mereka melakukan serangan pertama!” Jendral Ricco adalah seorang pria gagah. Kulitnya berwarna kuning. Usianya sekitar 30-an.
                 “Perang dingin selama 10 tahun... gila...” kata Alvin berbisik, namun Gondlaf segera meukul kepala Alvin dengan tongkatnya sehingga Alvin terdiam.
                “Begini, memangnya apa penyebab peperangan ini?” tanya Viktul lagi.
                “Hmmm... sebenarnya ini bermula sekitar 11 tahun yang lalu... tiba-tiba orang-orang Hamavapaqu Town mengakui ladang-ladang kami sebagai wilayah mereka, dan memintanya. Karena kami tidak mau menerima permintaan mereka, mereka mulai membakar ladang-ladang kami sedikit demi sedikit... Awalnya kami masih bisa memaafkan, tetapi suatu ketika mereka membakar lumbung padi kami, tetapi masalahnya di sana terdapat seorang ayah dan anak perempuannya. Akhirnya mereka terbakar hidup-hidup...” kata Jendral Ricco. Viktul terperanjat mendengar cerita ini.
                “Karena itulah, setelah menerima teror mereka selama sekitar 1 tahun, kami menyatakan permusuhan, karena jika dibiarkanpun, akhirnya kami akan menderita kelaparan karena mereka terus membakari ladang kami. Tetapi kami masih mengingat bahwa mereka adalah saudara jauh kami. Karena itulah, kami memutuskan perang dingin. Tetapi ternyata mereka melancarkan perang yang sesungguhnya semalam. Untunglah kami dapat mengantisipasinya sehingga mereka tidak berhasil menyerang kota kami semalam!” kata Jendral Ricco panjang lebar. Gondlaf mengangguk-angguk mendengar ceritanya.
                Akhirnya, setelah membicarakan mengenai kisah Yakavali Town dan High Leader Zanuqoyaqo menyetujui memberi bantuan kepada Lopang Kingdom tetapi tidak bersatu dengan Hamavapaqu Town, Gondlaf dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi. Setelah mengucap selamat tinggal, Viktul dan kawan-kawan segera pergi dari sana. Kapten Lokollo mengantar mereka hingga kelyuar dari area prajurit. Kemudian Viktul dan kawan-kawan berterima kasih dan mengucapkan selamat tinggal kepada Kapten Lokollo.
Tetapi sebelum kembali, Alvin memohon kepada Gondlaf untuk berjalan-jalan terlebih dahulu. Gondlaf mengerti sifat Alvin yang menyukai jalan-jalan, sehingga ia memperbolehkan Alvin berjalan-jalan terlebih dahulu. Akhirnya mereka kembali pada malam hari.
***
Chapter 21 : Hamavapaqu Town and High Leader Vabalife
                Pada hari yang sama, pada pagi harinya, Kapten Gandhi dan kedua anak buahnya pergi menuju Hamavapaqu Town. Tak disangka, suasana di sana juga berantakan. Pos-pos penjagaan juga kosong seperti di Yakavali Town. Mereka tidak bertemu siapapun pada pagi hari, tetapi menjelang matahari terbit, warga mulai bermunculan dari rumah masing-masing. Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin terus berputar-putar di kota hingga siang. Mereka keenakan sehingga mereka malah memilih untuk sarapan di restoran dan berjalan-jalan terlebih dahulu.
                “Ateng, Kevin... kurasa sudah cukup main-mainnya...” kata Kapten Gandhi ketika mereka berdua sedang melihat-lihat buah melon. Mereka memang tidak akan membeli melon tersebut, tetapi Kevin dan Ateng tertarik dengan melon di daerah ini yang berukuran lebih besar dari semangka.
                “Ayolah... ini adalah pertama kalinya aku melihat meln seperti ini... lagipula kita informasi itu bisa kita dapatkan di mana saja kan...” kata Ateng malas.
                Namun tiba-tiba datang seorang pembeli, kemudian pria itu berkata pada pedagang itu “Aku dengar tadi malam para prajurit kita yang pemberani sudah mengambil langkah tepat dengan melakukan serangan dahsyat ke Yakavali Town...”
                Pedagang itu kaget, namun kemudian ia tersenyum “Benarkah??? Akhirnya... kita dapat memberi orang-orang bodoh itu suatu pelajaran... hahaha...”
                Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin merasa kaget dan tertarik dengan pembicaraan ini. Kemudian mereka mulai menguping pembicaraan kedua orang ini. Ternyata ada seorang pembeli lagi yang sejak tadi sedang memilih-milih melon, kini tertarik dengan pembicaraan itu, kemudian ikut mendengarkan. Ia adalah seorang wanita yang berkerudung warna hitam serta bercadar, sehingga wajahnya tidak terlihat. Hanya matanya saja yang terlihat, tetapi rasa keingintahuannya mengenai berita ini terlihat dari matanya yang hitam dan bercahaya.
                “Menurutmu kita akan berhasil menaklukkan tikus-tikus itu dalam berapa lama?” tanya pedagang itu.
                “Hmmm... Mungkin dalam satu bulan ke depan... Kau tahu, tidak mudah menumpas tikus yang pandai bersembunyi...” serentak kedua orang itu tertawa keras-keras. Ateng menjadi jengkel mendengar hal ini. Bagi Ateng mereka berdua adalah orang bodoh yang tidak tahu bahwa negeri mereka sedang dalam bahaya.
                “Hei kalian... yang benar saja... sebentar lagi Sitio akan datang kemari dan kalian dalam bahaya besar, tetapi bisa-bisanya kalian malah berperang dengan saudara kalian sendiri...” tiba-tiba Ateng yang sudah tidak sabar angkat bicara. Kapten Gandhi dan Kevin mencoba mencegahnya, tetapi tidak sempat.
                Kedua pria itu menjadi kesal dan melihat ke arah Ateng, kemudian pedagang berkata “Anak muda... siapa kau? Rasanya aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini... Kurasa kau bukan penduduk sini... Ah... jangan-jangan kau adalah orang dari Yakavali town...”
                “Aku memang bukan penduduk sini, tetapi aku juga bukan penduduk dari Yakavali Town!” kata Ateng.
                “Lalu siapa kau dan dari mana? Dan juga mau apakau ke sini? Sudah begitu mengatakan bahwa kita dalam bahaya... Siapa kau???” tanya pria yang satunya.
                “Oh, maafkan kelakuan anak muda ini... Perkenalkan, aku adalah Gandhi, dan kedua orang ini adalah anak buahku... sebenarnya kami adalah utusan dari Lopang Kingdom untuk menghadap High Leader Vabalife...” kata Kapten Gandhi. Tiba-tiba wanita bercadar itu kaget mendengar perkataan Kapten Gandhi.
                “Oh... begitu... memangnya mau apa? Kalian mau menyerang negeri kami?” tanya pedagang itu.
                “Tentu tidak... kami justru mau mendamaikan kalian!” kata Kevin ikut bicara. Serentak kedua orang itu tertawa keras-keras. Ateng menjadi kesal mendengarnya. Tetapi wanita itu justru semakin tertarik dengan Kapten Gandhi dan kedua anak buahnya.
                “Sudahlah... tidak ada gunanya kalian di sini... sebaiknya kalian pergi saja dari sini, sebelum terjadi apa-apa pada kalian... hahahaha...” kata pria itu dan pedagang itu tertawa lagi.
                Ateng menjadi benar-benar kesal, tetapi Kevin menarik tubuh Ateng agar ia tidak bicara macam-macam. Kemudian Kapten Gandhi berpamitan dengan mereka “Baiklah kalau begitu... sebaiknya kami pergi dulu... kami ada urusan lain yang harus diselesaikan... sampai jumpa...”
                “Huh, pergilah!!! Harusnya kalian pergi sejak tadi... hahahaha...” kata pedagang itu dan pria itu tertawa. Kemudian Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin pergi dengan kesal.
                Kemudian ketiga orang itu memutuskan untuk langsung pergi menemui High Leader Vabalife, tetapi Ateng merasa ragu. “Jika rakyatnya saja sudah bersikap seperti itu, bagaimana pemimpinnya... tak bisa kubayangkan...”
                “Ayolah, jangan menyerah secepat itu! Kita tidak akan tahu sebelum kita menemui High Leader Vabalife...” kata Kevin memberikan semangat kepada Ateng. Tetapi Ateng tetap lesu. Namun tiba-tiba ada yang berbicara kepada mereka dari belakang.
                “Jika sekarang kalian pergi menemui High Leader Vabalife, kalian tidak akan punya kesempatan untuk menemuinya karena ia sedang sibuk sekali sekarang... Tetapi kurasa besok bisa...” ternyata ia adalah wanita bercadar yang di kios melon tadi. Serentak ketiga prajurit itu kaget.
                “Hah... maaf, tetapi jika boleh tahu, siapakah anda ini?” tanya Kapten Gandhi.
                “Oh, aku hanya seorang wanita biasa...” kata wanita itu. Tetapi Kapten Gandhi tidak percaya. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan. Ditambah lagi sepertinya wanita ini tidak menyetujui peperangan yang sedang terjadi. “Tapi apa benar kalian mau mendamaikan kedua Ciruas? Lalu apa yang kalian maksud dengan negeri kami menghadapi bahaya besar? Memang benar negeri kami menghadapi bahaya kehancuran jika terus berperang, tetapi apa ini adalah bahaya yang lain?”
                “Ya, benar... kurasa sebaiknya kita berbicara di suatu tempat yang nyaman!” kata Kapten Gandhi. Kemudian wanita itu memutuskan untuk mengajak mereka ke kedai teh terdekat, kemudian mereka membicarakan tentang hal ini di sana.
                Tetapi kemudian Ateng berbisik kepada Kapten Gandhi “Kurasa wanita ini memang bukan wanita biasa...”
                “Mengapa?” tanya Kapten Gandhi.
                “Kedai teh ini... kurasa bukanlah kedai teh murah yang bisa didatangi oleh wanita biasa...” bisik Ateng.
                “Diam kau... dasar bodoh...” kemudian Kevin mengetuk kepala Ateng sehingga Ateng berkata ‘Aduh’, sehingga wanita itu melihat ke arah Ateng, tetapi Kevin tersenyum dan berpura-pura tidak pernah terjadi apapun.
                Seorang pelayan datang dan menuangkan teh teh ke cangkir masing-masing, kemudian meninggalkan teko teh itu di sana. Ateng segera minum dengan lahap, tetapi kepanasan sehingga berkata lagi ‘Aduh’. Wanita itu tersenyum melihat tingkah Ateng. Kemudian Kapten Gandhi bepura-pura batuk, sehingga perhatian wanita itu mengarah ke Kapten Gandhi, kemudian Kapten Gandhi mulai berbicara.
                “Apa kau tahu tentang Sitio?” kata Kapten Gandhi.
                “Tentu saja... raja kera yang memulai perang dengan manusia 1.000 tahun yang lalu...” kata wanita itu “apa ia mau menyerang kami.
                Namun tiba-tiba Kevin berkata “Uh... maaf... ngomong-ngomong, boleh kami tahu namamu? Kurasa sejak tadi kita belum sempat berkenalan... Hai... namaku Kevin, lalu anak bodoh ini adalah Ateng, dan ini adalah Kapten Gandhi!”
                Tetapi wanita itu nampak kebingungan dan berpikir sejenak, barulah menyebutkan sebuah nama “Mell!”
                “Mell... nama yang indah...” kata Kapten Gandhi, tetapi Ateng menyadari bahwa Kapten Gandhi hanya berbasa basi, sehingga bergumam sambil tersenyum ‘huh... benar saja...’ . Kevin mendengar hal ini sehingga mengetuk kepala Ateng lagi, dan lagi-lagi Ateng mengatakan ‘Aduh!’ sehingga Mell tersenyum lagi melihat Kapten Gandhi. Kemudian Kapten Gandhi mulai berbicara lagi setelah berpura-pura batuk.
                “Yah, memang benar, ia adalah raja kera itu... Dan asal kau tahu, ia sudah bangkit! Dan sejak sekitar satu setengah bulan yang lalu, ia telah memulai peperangan dan sudah 2 negeri jatuh ke tangannya, negeri itu adalah Harmonia Kingdom of Taktakan, dan Royale Palace! Oh, maaf... maksudku Royale Palace hampir berhasil dijatuhkan olehnya...”
                Mell tampak terkejut mendengar hal ini, lalu berkata “Hah... sudah 2 negeri... aku tidak tahu... ini pasti akibat kami terlalu berkonsentrasi pada peperangan dengan saudara kami sendiri... cepat atau lambat kami pasti akan hancur jika peperangan ini terus berlanjut...”
                “Perang saudara memang mengerikan...” kata Ateng mendadak, tetapi tidak seorangpun yang mempedulikannya sehingga Ateng menjadi kesal. Ateng memang memiliki satu sifat yang sama dengan Alvin, yaiut menjadi cepat kesal jika tak dipedulikan.
                “Jadi... apa Sitio akan menyerang kedua negeri Ciruas?” tanya Mell.
                “Pasti! Cepat atau lambat, ia pasti akan datang ke sini...” kata Kapten Gandhi.
                “Ukh...” Mell tampak kebingungan “kita harus segera menyelesaikan masalah perang saudara ini...”
                “Ya, tentu saja! Tapi ngomong-ngomong, apa penyebab perang saudara ini?” tanya Kapten Gandhi, kemudian menyerutup tehnya. Seperti sebuah isyarat saja, tiba-tiba Kevin dan Ateng ikut mnyerutup tehnya. Mell yang bingung tanpa sadar ingin ikut menyerutup tehnya. Ia baru saja memegang cangkirnya, tetapi ia tersadar dan tidak jadi minum. Kapten Gandhi menyadari ada seuatu yang aneh di sini.
                Kemudian Mell berbicara lagi “Sebenarnya sejak ratusan tahun yang lalu sudah pernah terjadi banyak perselisihan antara kami... jadi sebenarnya tidak aneh jika sekarang terjadi lagi... Tetapi perselisihan kali ini kalau tidak salah, mungkin penyebabnya adalah perebutan ladang pertanian di perbatasan kedua Ciruas...”
                “Begitu ya... jadi masalah tanah... ini tidak akan mudah...” kata Kapten Gandhi.
                Kemudian Mell tersadar akan sesuatu, lalu berbicara “Ah, maaf, aku ada urusan sekarang... kurasa aku harus pergi... ngomong-ngomong, temuilah High Leader Vabalife besok! Aku yakin ia bisa menemui kalian besok...”
                “Lalu bagaimana dengan tehnya?” tanya Ateng. Kevin menjadi kesal karena itngkah Ateng sejak tadi sehingga ia memukul hidung Ateng sehingga Ateng kesakitan. Mell berpikir sejenak.
                “Biar aku yang bayar... baiklah, kalau begitu aku pergi dulu!” kemudian Mell bersalaman dengan ketiga prajurit itu kemudian Mell pergi meninggalkan kedai teh tersebut.
                Setelah Mell sudah keluar dan tak terlihat lagi, Kapten Gandhi mulai berbicara “Memang ada yang aneh padanya... Ia lupa kalau ia memakai cadar... Itu berarti ia tidak terbiasa memakainya...”
                “Berarti ia memang memakainya sesekali, dengan alasan tertentu...” kata Kevin.
                “Mungkinkah untuk menutupi wajahnya?” tanya Ateng. Kemudian Kapten Gandhi dan Kevin saling berpandangan, kemudian tersenyum.
                “Yah, dan jika memang begitu, berarti ia bukan wanita biasa dan pasti ada hubungannya dengan High Leader Vabalife!” kata Kapten Gandhi bersemangat.
                “Benar sekali... selain prajurit tangguh kita juga adalah detektif hebat!!! Yess!” kata Kevin kegirangan. Kedua prajurit yang lainnya juga nampak senang dan bersemangat.
                Akhirnya, setelah menghabiskan teh mereka, mereka memutuskan untuk kembali menemui Gondlaf, setelah berjalan-jalan lagi tentunya. Lagipula Mell mengatakan bahwa percuma saja menemui Hign Leader Vabalife sekarang. Akhirnya, setelah matahari mulai terbenam mereka kembali ke tempat yang disepakati.
***
Chapter 22 : The Allied of Two Ciruas History
                Malamnya, seluruh rombongan kembali bertemu di tempat yang ditentukan, tempat dimana jalan setapak dari Yakavali Town dan Hamavapaqu Town bertemu. Mereka begitu kelelahan setelah berkeliling kota seharian. Begitu bertemu dengan Viktul dan Alvin, Ateng segera menceritakan pengalamannya di sana. Kapten Gandhi juga segera menceritakan tentang Yakavali Town, penduduknya, juga Mell, wanita yang mereka temui di yakavali Town. Sementara itu Kevin sedang berusaha untuk membuat api unggun guna membakar ayam liar yang ia tangkap di jalan.
                Setelah cukup lama mendengarkan cerita Ateng, Viktul memutuskan untuk buang air kecil. Kemudian ia segera pergi meninggalkan rombongan dan mencari tempat yang cukup tersembunyi di bawah sebuah pohon yang cukup besar. Viktul sudah berjalan sekitar 100 meter untuk menemukan tempat ini. Kemudian ia segera membuka calananya dan buang air kecil. Viktul merasa lega sekali setelah itu.
                Namun tiba-tiba terdengar suara-suara aneh lagi yang ia dengar ketika di Secang Dale “Berikan padaku... the teeth... milikku yang berharga...” . Viktul menyadari makhluk hitam yang waktu itu pasti datang lagi. Viktul segera mencarinya. Setelah menjalani berbagai pengalaman yang pernah dialaminya semenjak melakukan perjalanan membawa The Teeth, kini Viktul menjadi seorang pemuda yang pemberani. Ia tidak takut sama sekali pada makhluk kecil hitam yang waktu itu.
                “Anak bodoh... kau melihat ke mana... aku ada di atas sini...” kata suara-suara itu. Viktul segera melihat ke atas pohon dan melihat makhluk itu berada di atas sana. Tiba-tiba makhluk itu melompat ke arah Viktul ketika Viktul melihatnya. Viktul segera melompat mundur dan makhluk hitam itu menubruk tanah. Makhluk itu segera bangkit dan melihat ke arah Viktul. Sungguh aneh, makhluk itu tidak kesakitan sama sekali.
                Viktul bergerak mundur dan memutuskan untuk meminta bantuan Gondlaf dan yang lainnya. Viktul segera berbalik untuk berlari, tetapi makhluk itu melompat ke arah Viktul lagi sehingga Viktul terjatuh. Viktul segera berbalik dan menyikut kepala makhluk itu sehingga makhluk itu terjatuh berguling-guling di tanah. Viktul segera bangkit kembali dan mulai berlari. Makhluk hitam itu juga ikut bangkit dan segera mengejar Viktul.
                Viktul berlari begitu cepat sehingga akhirnya makhluk itu memutuskan untuk berhenti mengejar Viktul, tetapi ia tidak menyerah. Ia seperti bergumam membaca mantra kemudian di telapak tangan kirinya mulai tercipta sebuah bola api. Setelah terbentuk bola api sebesar bola pingpong, ia melemparkannya ke arah Viktul. Bola api itu mengenai tanah di depan Viktul sehingga tanah itu meledak dan Viktul terkena efek ledakannya dan terlempar ke belakang.
                Viktul beusaha berdiri, tetapi tubuhnya terasa sakit karena ledakan barusan. Maka ia memutuskan untuk berbalik dan menghadapi makhluk itu. Kemudian Viktul bertanya “Siapa kau?” Viktul bertanya dalam kebimbangan. Viktul berharap makhluk itu menjawab dan tidak jadi melukai Viktul.
                Tetapi makhluk itu tidak menjawab dan terus mengatakan “Berikan padaku... the teeth... milikku yang berharga... “
                Kemudian makhluk itu mengangkat tangan kanannya ke arah Viktul dan memperlihatkan kuku-kukunya yang panjang dan tajam. Ia tersenyum mengerikan dan hendak mencengkram leher Viktul dan mengambil The Teeth. Makhluk itu tersenyum kemudian tertawa-tawa sendiri, karena merasa sudah hampir berhasil mendapatkan The Teeth. Viktul memanfaatkan kelengahan makhluk itu, kemudian ia segera bangkit dan menendang makhluk itu hingga terpental ke belakang. Viktul segera berbalik dan berlari, tetapi makhluk itu bangkit dengan cepat dan melompat ke arah Viktul, kemudian mencakar pungguh Viktul hingga Viktul terjatuh. Darah Viktul mulai mengalir deras. Viktul merasakan kesakitan.
                “Cakaran bagong... akan membuatmu merasakan kesakitan selama berhari-hari... hihihihihi...” kata makhluk itu. Kemudian makhluk itu bersiap untuk mencengkram leher Viktul lagi. Kali ini Viktul sudah merasa pasrah. Makhluk itupun segera melompat ke arah Viktul.
                Namun tiba-tiba sebuah anak panah melesat ke dadanya hingga ia terjatuh dan berguling-guling. Viktul segera melihat dari mana anak panah itu berasal. Ternyata itu adalah anak panah milik Kevin. Alvin yang juga berada di sana segera berlari ke arah Viktul.
                “Apa kau baik-baik saja? Tadi mendadak kalung mutiara hitamku menyala... Jadi kami segera datang ke sini!” kata Alvin.
                “Yah... aku tidak apa-apa...” kata Viktul senang.
                Makhluk itu segera bangkit lagi, kemudian tanpa merasakan apa-apa ia mencabut anak panah yang menancap di dadanya. Semuanya kaget melihat hal ini.
                “Makhluk apa ini...” kata Kapten Gandhi.
                “Kurasa ia adalah bagong, sang peri kegelapan...” kata Gondlaf “tenang saja, yang ada di sini hanya bayangannya saja.... Dengan bayangannya bagong bisa berada di mana saja dan ia dapat melakukan berbagai serangan sihir, serta tubuhnya tak bisa dibunuh. Tetapi bayangan ini akan lenyap sebentar lagi!”
                Bagong tersenyum mengerikan kaena merasa kesal rencananya gagal. Kemudian tubuhnya menghilang perlahan-lahan ketika angin bertiup sambil berkata “Tidak lagi...”
                Gondlaf segera menghampiri Viktul yang terkapar. Gondlaf melihat lukanya, kemudian berkata “Alvin, cepat bawa dia ke tenda! Aku akan segera mengobatinya... Luka seperti ini akan terasa hingga berhari-hari...”
                “Seberbahaya itukah?” tanya Alvin.
                “Jika yang mencakarnya adalah bagong asli, maka lukanya akan terasa seumur hidup!” kata Gondlaf. Alvin kaget mendengarnya dan ia segera membawa Viktul ke tenda.
                Di tenda, Alvin segera membantu Gondlaf mengobati Viktul. Alvin dan Gondlaf sudah mendapat banyak pelajaran mengenai pengobatan dari Gondlaf. Ternyata ilmu itu berguna sekarang. Setelah diberi obat dan beberapa mantra, luka itu sudah tidak terasa sakit lagi. Viktul pun duduk bersama yang lain di api unggun.
                “Makhluk apa yang menyerangku barusan?” tanya Viktul.
                “Kurasa itu adalah bagong, sang peri yang memasuki jalan kegelapan sehingga ia dikutuk ke dalam bentuk yang mengerikan seperti itu...” kata Gondlaf “dan kurasa ia mengincar sesuatu darimu, dan itu pasti The Teeth!”
                “Yah, memang benar...” kata Viktul.
                “Yah, lain kali kau harus hati-hati...” kata Gondlaf. Kemudian Viktul mengangguk. Semua orang yang berada di sana juga menyesal dan berjanji untuk menjaga Viktul lebih baik lagi, karena Viktul adalah sang pembawa gigi. Kemudian Gondlaf berbicara lagi “Ngomong-ngomong, tadi aku sempat menanyakan sejarah tentang Ciruas kepada para orang tua yang ada di sana!”
                “Hah??? Kapan???” tanya Alvin.
                “Ketika kau sedang bermain-main di sana! Asal kau tahu, aku tidak ingin membuang-buang waktuku seperti kau, maka aku memutuskan untuk menambah pengetahuanku!” kata Gondlaf. Alvin jadi merasa malu.
                “Lalu bagaimana sejarahnya?” tanya Kapten Gandhi.
                “Baiklah, aku akan mulai. Kurasa ini juga akan berguna bagi kita yang mau mendamaikan kedua Ciruas... Oke, sejarah berdirinya Ciruas dimulai sekitar 1.000 tahun yang lalu, ketika para manusia baru saja berhasil mengalahkan Sitio dan para keranya. Ketika itu seluruh kota yang ada di Bumi Serang telah hancur, dan ada satu keluarga besar yang juga kehilangan tempat tinggalnya di Lopang Kingdom. Mereka adalah Keluarga Ilfa.”
                “Ilfa... nama yang aneh... seperti Mell...” kata Ateng tiba-tiba. Alvin tertawa, tetapi yang lainnya diam sehingga Alvin menjadi malu. Kemudian Godlaf melanjutkan ceritanya.
                “Keluarga Ilfa memutuskan untuk pergi dari Lopang Kingdom setelah rumah dan perkebunan milik mereka dihancurkan para kera. Mereka bermaksud mencari lahan baru untuk pertanian. Akhirnya mereka melakukan perjalanan panjang dengan seluruh keluarga dari kakek buyut hingga cucu. Ada 4 generasi di dalam keluarga itu saat itu... Jumlah mereka saat itu sekitar 40 orang...” kata Gondlaf.
                “40 orang dalam satu keluarga... Jumlah yang besar... Aku bahkan tidak memiliki ayah dan ibu...” kata Viktul mendadak. Semuanya jadi terhanyut dalam kesedihan Viktul, tetapi Gondlaf melanjutkan.
                “Keluarga Ilfa terbiasa tinggal berdekatan sehingga anggota keluarga mereka banyak sekali. Akhirnya setelah melakukan perjalanan panjang melewati Secang Dale, mereka tiba di tanah ini, tanah yang amat subur, karena itu mereka menamai tanah ini Ciruas, yang artinya ‘kesuburan’. Mereka mulai membangun rumah-rumah dan terbentuklah desa kecil di sini. Ketika desa ini terbentuk, sang kakek buyut sudah meninggal, tetapi terlahir para generasi baru, sehingga saat itu sudah ada sekitar 100 orang anggota Keluarga Ilfa.” Kata Gondlaf. Gondlaf senag sekali karena tidak ada yang mengganggunya selama becerita, kemudian ia melanjutkan ceritanya “Kemudian, dengan dipimpin seorang pemimpin pada tiap generasinya, Keluarga Ilfa terus mengembangkan desanya dan semakin lama desanya semakin besar dan terbentuklah kota kecil. Karena kesuburan tanah di sini, Keluarga Ilfa mendapat cukup makanan dan berbagai macam obat-obatan tumbuh sehingga angka kematian mereka amat kecil. Akhirnya orang-orang yang ingin mencari tempat tinggal baru mulai berdatangan setelah beberapa ratus tahun. Anggota Keluarga Ilfa mulai membaur dan melakukan perkawinan dengan para pendatang dari luar. Sekitar 400 tahun sejak Desa Ciruas terbentuk, masyarakat selalu hidup damai. Tetapi, akhirnya tiba masanya ketika seluruh Ciruas diperintah oleh 2 pemimpin kembar bernama Yakavali dan Hamavapaqu!”
                “Hah... Seperti nama kota ini saja...” kata Alvin.
                “Yah, itu tidak aneh jika menjadikan nama pemimpin hebat mereka sebagi nama kota...” kata Kapten Gandhi.
                “Maka di sinilah awal perselisihan panjang ini. Karena semakin banyak Keluarga Ilfa yang menikahi pendatang baru, darah murni Keluarga Ilfa mulai menghilang. Hamavapaqu sendiri kesal karena ayahnya yang berdarah murni menikah dengan gadis pendatang sehingga ia berdarah campuran. Karena itulah, setelah ayahnya meninggal, ia membunuh ibunya dan menyatakan bahwa ia adalah Keluarga Ilfa dengan darah murni. Kemudian ia mengumpulkan ribuan Keluarga Ilfa berdarah murni. Saat itu jumlah Keluarga Ilfa memang sudah mencapai ribuan!” kata Gondlaf “Maka ia memutuskan untuk menjadikan setiap pendatang maupun Keluarga Ilfa berdarah campuran sebagai budak. Yakavali tidak bisa menerima hal ini, karena pada kenyataanya sejak pendatang pertama kali tiba di Ciruas, anak cucu mereka telah melakukan hubungan dengan Keluarga Ilfa sehingga amat sulit untuk menemukan seorang anggota Keluarga Ilfa berdarah murni! Bahkan ayah merekapun, belum tentu memiliki darah murni. Tetapi Hamavapaqu tidak peduli dan terus berusaha melenyapkan para pendatang dan darah campuran!”
                “Pada akhirnya seluruh kota terpecah menjadi dua, yaitu kelompok Hamavapaqu dan Yakavali. Sebagai kakak, Yakavali tidak ingin berperang dengan adiknya, tetapi adiknya terus menyerang dan memperlakukan para pendatang baru dan Ilfa berdarah campuran sebagai budak sehingga Yakavali menjadi marah. Akhirnya mereka membagi 2 negeri mereka, dan menamai negeri masing-masing dengan nama mereka sendiri, dan sejak saat itu dimulailah perang panjang antara darah murni dan darah campuran!” kata Gondlaf panjang lebar. Gondlaf nampak kelelahan karena terus berbicara. Kemudian Gondlaf berhenti dan diam sejenak.
                “Oh... jadi penduduk Yakavali Town adalah orang-orang berdarah campuran... Pantas saja Kapten Lokollo berkulit hitam sekali, tidak seperti penduduk yang lain...” kata Alvin tiba-tiba. Semuanya langsung tertawa mendengar hal ini. Gondlafpun tersenyum. Kemudian Gondlaf melanjutkan ceritanya.
                “Akhirnya kedua saudara itu terus berperang hingga akhir hayatnya. Kedua Ciruas terus berperang hingga masa anak kedua pemimpin kembar itu, cucu mereka, bahkan cicit mereka. Tetapi setelah 100 tahun, ketika kedua negeri dipimpin oleh cicit dari kedua pemimpin kembar itu, terjadi perubahan! Kedua pemimpin itu memiliki nama yang sama seperti kakek buyut mereka, dengan harapan mereka dapat menyelesaikan peperangan yang dimulai kakek buyut mereka. Setiap negeri mengharapkan negerinyalah yang keluar sebagai pemenang dan menyelesaikan peperangan. Kemudian peperangan memang berakhir di masa kedua pemimpin itu, tetapi bukannya dengan saling menghancurkan satu sama lain...” kata Gondlaf “Peperangan berakhir dengan perdamaian dari kedua belah pihak. Pada saat itu Yakavali maupun Hamavapaqu menyadari negeri mereka akn hancur pada masa mereka setelah kedua negeri berperang selama 100 tahun. Lagipula ada rumor yang mengatakan bahwa kedua pemimpin itu berteman dan dipertemukan secara kebetulan, sehingga mereka menjalin persahabatan yang dalam, seperti saudara. Dan karena wajah mereka mirip, entah kebetulan atau tidak, mereka jadi terlihat seperti saudara kembar. Orang-orang mengira bahwa mereka berdua memang titisan dari Yakavali dan hamavapaqu yang bertugas untuk menyelesaikan peperangan yang pernah mereka ciptakan!”
                “Luar biasa... karena namanya sama, wajahnya bisa menjadi sama...” kata Kevin.
                “Seandainya namaku adalah Mliit, mungkin wajahku akan setampan Lord Mliit yah... hahaha...” kata Ateng sambil tertawa. Semuanya iktu tertawa mendengar candaan Ateng.
                “Kemudian, kedua Ciruas berdamai, tetapi negeri mereka tetap terbagi menjadi dua. Kemudia mereka mulai membangun lagi negeri mereka yang sudah hampir hancur bersama-sama. Hingga sekitar 500 tahun kemudian, negeri merek sudah menjadi seperti sekarang...” kata Gondlaf “Tapi sepertinya peperangan ini dimulai lagi sejak 11 tahun yang lalu, entah kenapa...”
                “Hah... padahal kedua pemimpin tersebut tidak memiliki nama Yakavali ataupun Hamavapaqu...” kata Viktul.
                “Tidak juga... sebenarnya perang kembali terjadi sebelum mereka berdua berkuasa. Hal ini terjadi pada masa ayah dari High Leader Zanuqoyaqo berkuasa, ia bernama Yakavali. Dan perang terjadi ketika Hamavapaqu, adik dari ayah High Leader Vabalife berkuasa untuk mengisi jabatan yang kosong ketika ayah High Leader Vabalife terbunuh dengan penyebab yang tidak jelas... Karena itulah orang-orang menduga Hamavapaqu lah pelakunya. Karena dugaan itulah posisinya di bangku kepemimpinan menjadi lemah dan ia digantikan tepat setahun kemudian ketika High Leader Vabalife berkuasa. Dan saat itu sudah terjadi perselisihan antara kedua negeri...” kata Gondlaf mengakhiri ceritanya. Ia tampak kelelahan kemudian minum air.
                Kemudian Kevin mengambil sepotong ayam bakar yang baru saja matang. Ia membakarnya ketika Gondlaf sedang bercerita. Kemudian ia berkata “Lalu bagaimana sekarang? Jika kedua negeri baru bisa berdamai ketika diperintah oleh pemimpin bernama Yakavali dan Hamavapaqu... Berarti harus menunggu seorang bayi lahir lalu menamainya Yakavali dan Hamavapaqu, kemudian mengangkat mereka berdua menjadi pemimpin...”
                “Kita tidak punya waktu sebanyak itu. Sitio akan membunuh ibunya terlebih dahulu seblum bayinya lahir...” kata Kapten Gandhi.
                “Kalau begitu bagaimana jika kita mengubah nama kedua pemimpin yang sekarang?” kata Alvin memberi usul.
                “Kau semakin aneh saja... apa karena berteman dengan Ateng...” kata Kevin kepada Alvin. Ateng merasa terhina, tetapi kemudian Viktul angkat bicara.
                “Ayolah, Kevin sudah berteman lama dengan Ateng tetapi tidak ada masalah kan?” kata Viktul.
                Kevin bermaksud untuk bicara lagi, tetapi Kapten Gandhi menyadari ini akan menjadi pertengkaran yang panjang. Karena itu, ia segera mengubah topik pembicaraan “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, gondlaf?”
                “Tentu saja mendamaikan mereka. Sejujurnya, aku yakin perdamaian bisa tercipta, asalkan ada kemauan dari kedua belah pihak. Apa kau tahu pendapatku mengenai kedua pemimpin yang bernama sama itu? Kurasa orang-orang hanya memanfaatkan sejarah itu untuk tetap berperang, dengan meyakinkan masyarakat bahwa perang tidak akan berhenti jika kedua pemimpin tidak bernama sama!” kata Gondlaf.
                “Ya, aku setuju denganmu Gondlaf! Karena itulah, ayo kita berusaha sekuat tenaga!” kata Viktul.
                “YAAA!!!” semuanya menjawab ajakan Viktul dengan begitu bersemangat.
                Kemudian mereka memutuskan untuk tidur karena sudah terlalu lelah.
***
Chapter 23 : Move Quickly
                Keesokan paginya, mereka bangun agak siang karena malamnya mereka mendengarkan cerita Gondlaf. Mereka segera bersiap-siap untuk berangkat. Tepat ketika Gondlaf mau berangkat, tiba-tiba sebuah burung pengantar pesan datang. Gondlaf segera membacanya, lalu mulai berbicara.
                “King Virlu sudah kehilangan setengah dari Royale Palace bagian timur... Seluruh warga sudah berhasil dievakuasi dari Royale Palace, tetapi mereka masih belum aman karena mereka bisa saja diserang di perjalanan. Karena itu King Virlu memutuskan untuk menarik seluruh prajuritnya untuk melindungi para warga yang sedang berpindah ke Lopang Kingdom.” Kata Gondlaf.
                “Huh... akhirnya Royale Palace jatuh...” kata Kapten Gandhi lesu.
                “Jendral Lopang Kingdom yang baru juga sudah dipilih. Ia adalah Jendral Dozan! Ia adalah orang dengan pangkat militer tertinggi setelah Jendral yusingus...” kata Gondlaf.
                “Yah, ia pernah menjadi kaptenku ketika aku pertama kali menjadi prajurit. Kemudian ia naik pangkat setahun kemudian dan aku dipilih menjadi sersan muda untuk mengisi posisi sersan yang naik pangkat menjadi kapten yang baru!”
                “Dan setahun kemudian ketika Kapten yang baru itu terbunuh dalam satu pertarungan melawan bandit, kau dipilih menjadi sersan tinggi yang bertugas mewakili kapten prajurit yang baru, ketika wakilnya mengisi posisinya. Dan ketika kapten baru itu naik pangkat setahun kemudian, kau diangkat menjadi kapten baru! Kau memang hebat... Menjadi kapten hanya dalam 3 tahun...” kata Kevin memuji.
                “Kemudian setahun kemudian kami bergabung dalam divisimu... Kaptenmu yang dulu memintamu untuk menjadi wakilnya, tetapi kau menolak karena melihat potensi dalam diri kami berdua, sehingga terus membimbing kami selama 3 tahun lamanya, hingga kami berhasil menjadi sersan muda... hehehe... Kau menjadi kapten dalam 3 tahun, tetapi kami hanya berhasil menjadi sersan muda dalam 3 tahun...” kata Ateng menambahi.
                “Hahaha... tidak apa... kalian hanya kurang pengalaman saja... Kalian kan masuk kemiliteran saat berusia 14 tahun... Tapi aku melihat potensi dan kesetiaan kalian, karena itu aku terus mendidik kalian! Aku tahu lebih baik melatih 1 orang yang berkeinginan kuat untuk belajar dari pada melatih 10 orang yang tidak mau belajar! Biarpun pangkat kalian sekarang hanyalah sersan muda, tetapi bagiku pangkta kalian lebih tinggi dari itu, jika dilihat dari kesetiaan dan perjuangan kalian bagi negeri kita!” kata Kapten Gandhi menyemangati.
                “Terima kasih kapten!” kata Ateng dan Kevin bersamaan.
                “Hahaha... kurasa sudah cukup nostalgianya... aku akan memberitahukan berita berikutnya...” kata Gondlaf memotong pembicaraan mereka.
                “Ah... maaf...” kata Kapten Gandhi.
                “Baik... begini... setelah memberikan kepercayaan untuk melindungi Lopang Kingdom kepada Jendral Dozan, Lord Mliit memutuskan untuk melakukan perjalanan ke selatan untuk meminta bantuan para elf!” kata Gondlaf.
                “A... apa??? Lord Mliit sendiri yang akan melakukan perjalanan???” tanya Viktul kaget.
                “Hahaha... jangan kaget seperti itu... jangan kau kira ia adalah raja payah yang hanya bisa memerintah dari kursi rajanya... Dahulu, ia juga sering melakukan perjalanan bersamaku, seperti yang sedang kau lakukan sekarang!” kata Gondlaf.
                “Tapi mengapa ia sampai harus turun tangan sendiri? Apa ia tidak mempercayai kita?” tanya Kapten Gandhi.
                “Masalahnya bukan ia tak mempercayai kita, tetapi apakah para elf itu mempercayai kita... Sejak ratusan tahun yang lalu sejak mengalahkan Sitio, para elf pergi ke selatan karena sudah tidak mempercayai para manusia lagi... Tetapi, dulu Lord Mliit pernah mendapatkan kepercayaan mereka lagi, sebelum menjadi raja... Karena itulah ia bermaksud mencari elf itu sendiri...” kata Gondlaf.
                “Oh... jadi karena itu para elf tidak pernah membalas surat dari para manusia... Bahkan mereka tidak percaya bahwa Lord Mliit yang mengirimnya...” kata Kapten Gandhi.
                “Yah, begitulah para elf. Sebenarnya mereka baik, tetapi sekali dikhianati oleh seseorang, ia akan membenci dan tidak mempercayai orang itu selamanya, bahkan sampai anak cucunya...” kata Gondlaf.
                “Memangnya kesalahan apa yang telah dilakukan para manusia kepada para elf itu ?” tanya Viktul.
                “Dahulu, setelah mengalahkan Sitio, para manusia berjanji untuk tidak berperang lagi dan selalu berbuat baik. Tapi pada kenyataannya, para manusia adalah makhluk yang menyukai kekerasan dan perang... Karena itulah, para elf itu tidak mempercayai para manusia, sama seperti mereka tidak mempercayai Sitio...” kata gondlaf.
                “Tapi apakah kita harus meminta bantuan para elf itu?” tanya Kevin.
                “Yah... mereka adalah pemanah yang tangguh. Tidak ada satupun tembakan mereka yang meleset... Dan kurasa kita memang membutuhkan bantuan mereka untuk melindungi Viktul untuk menghancurkan the Teeth!” kata Gondlaf.
                “A... apa??? Menghancurkannya???” kata Viktul kaget.
                “Ya... ternyata ada banyak sekali yang menginginkan The Teeth, seperti Jendral Yusingus dan si Bagong itu... Untuk ke depannya, kurasa akan ada lebih banyak yang mengincar The Teeth... Kita memerlukan perlindungan dari orang-orang berhati murni seperti para elf itu...” kata Gondlaf.
                “Jadi maksudmu kita tidak berhati murni?” kata Alvin tersinggung.
                “Bukan itu maksudku... Maksudku, hati para elf yang murni itu membuat mereka memiliki kekuatan untuk menangkal sihir, kekuatan yang amat kita butuhkan!” kata Gondlaf. Alvin masih merasa tersinggung.
                “Tapi bagaimana cara menghancurkan The Teeth?” tanya Viktul.
                “Ada sebuah cara... akan kuberi tahu nanti, tapi sekarang kita tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Kita harus segera mendamaikan kedua Ciruas. Rencananya Lord Mliit akan mulai bergerak dan menemui kita sekitar 1 minggu dari sekarang. Dan aku harap kita sudah menyelesaikan misi kita 1 minggu lagi, ketika Lord Mliit tiba. Dengan begitu kita bisa langsung meneruskan perjalanan!” kata Gondlaf.
                “Tapi Gondlaf... Bukankah jika kita bisa mempertahankan The Teeth maka kita tidak akan perlu menghancurkannya?” tanya Viktul yang penasaran.
                “Bagi Sitio, The Teeth seperti nyawanya. Tetapi tidak ada satupun benda di bumi ini yang dapat menghancurkan The Teeth. Karena itulah Sitio tidak akan bisa mati. Tetapi jika The Teeth bisa dihancurkan, aku pastikan Sitio akan binasa untuk selama-lamanya!” kata Gondlaf.
                “Hmmm, baiklah!” kata Viktul.
                “Oke, kalau begitu sebaiknya kita cepat berangkat untuk menyelesaikan masalah ini! Kami akan segera menemui High Leader Vabalife seperti yang disarankan Mell. Sedangkan kau, apa yang akan kau lakukan, Gondlaf?” tanya Kapten Gandhi.
                “Entahlah... kurasa kami akan ikut denganmu... lagipula kita belum menngetahui alasan Hamavapaqu Town untuk berperang...” kata Gondlaf.
                “Oke, kalau begitu ayo kita bergerak dengan cepat!” kata Kapten Gandhi penuh semangat dan semua orang bersorak untuk meningkatkan semangat mereka masing-masing.
                Akhirnya seluruh rombongan pergi menuju ke Hamavapaqu Town. Mereka tiba di sana pada siang hari ketika matahari bersinar terik sekali. Sesampainya di sana, mereka segera pergi menuju Istana High Leader Vabalife. Setelah bertanya kepada orang-orang dan berkeliling, akhirnya mereka tiba juga di istana itu. Sebuah istana yang megah dengan dinding dari marmer yang berkilauan. Halamannyapun amatlah luas.
Kemudian rombongan Gondlaf segera memasuki istana itu dan mengatakan bahwa mereka adalah utusan dari Lopang Kingdom dan ingin menemui pemimpin mereka untuk urusan yang amat penting. Penjaga itupun memperbolehkan mereka untuk masuk, tetapi mereka masih harus menunggu untuk 2 jam sebelum diperbolehkan menemui pemimpin mereka.
                “Huh... sepertinya orang ini benar-benar sibuk berperang sampai harus membuat kita menunggu seperti ini...” kata Ateng yang kesal karena menunggu.
                “Hei, jaga mulutmu!” kata Kevin.
                Namun tiba-tiba seorang petugas datang dan mengatakan kepada mereka bahwa sekarang mereka sudah bisa menemui High Leader Vabalife. Mereka segera mengiktui petugas itu untuk menemui High Leader Vabalife di ruangannya.
                “Huh... aku ingin tahu seperti apa orang yang amat sibuk ini...” Ateng berbisik kepada Viktul, tetapi Viktul hanya diam.
                Akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan besar di tengah istana. Dindingnya terbuat dari marmer putih berkilauan dan lantainya dialasi karpet biru yang amat lembut. Langit-langitnyapun diberi lukisan-lukisan bidadari yang indah. Di hadapan mereka berdiri seorang raja gagah yang mengenakan baju kebesarannya yang berwarna perpaduan antara biru dan putih. Tubuhnya agak gemuk dan kulitnya agak kecoklatan. Rambutnya agak keriting, tapi nampak keren. Ia juga mengenakan kacamata bulat.
                Kemudian raja itu berkata “Selamat datang, para utusan dari Lopang Kingdom... Ada apa kalian datang kemari?”
                “Sebelumnya perkenalkan, aku adalag Gondlaf, lalu yang ini Kapten Gandhi, Ateng, Kevin, Viktul, dan Alvin...” kata Gondlaf.
                “Kenapa namaku selalu disebut terakhir...” Alvin berbisik ke Viktul dengan kesal.
                “Begini, kami datang untuk menyampaikan berita mengenai kebangkitan Sitio yang ingin menghancurkan seluruh manusia di Bumi Serang... dan aku mengajakmu untuk bergabung bersama Lopang Kingdom dan negeri-negeri yang lain untuk bersatu melawan Sitio!” kata Gondlaf.
                “Hmmm... aku tahu Sitio... Apa kau yakin ia bangkit kembali? Karean ialah kami Keluarga Ilfa mengungsi ke negeri ini... Sepertinya ini akan berbahaya...” kata High Leader Vabalife.
                “Yah... dan kurasa hanya persatuanlah yang bisa mengalahkannya...” kata Gondlaf.
                “Yah, dan kurasa kita semua akan hancur jika kita tak bersatu dengan seluruh saudara kita...” kata Viktul menambahi.
                Sepertinya High Leader Vabalife yang terkenal akan kecerdasannya menagkap apa yang dimaksudkan Viktul, lalu berkata “Merekalah yang tidak mau bekerjasama... orang-orang Yakavali itu...”
                “Maaf, tapi mengapa kau bisa berkata seperti itu?” tanya Gondlaf.
                “Sudah sejak lama, sejak kami berdamai... namun, tiba-tiba 11 tahun yang lalu mereka mulai berbuat licik dengan merampas ladang-ladang pertanian kami satu persatu. Mereka merebutnya dengan segala cara, dari membunuh pemiliknya ataupun mengambil ladang mereka sebagai ganti daripada mereka yang tidak sanggup membayar hutang...” kata High Leader vabalife “Awalnya memang sedikit, tetapi lama-lama menjadi banyak sekali, sehingga kami sudah kehilangan hampir setengah dari ladang kami...”
                “Dan kalian mulai membakari ladang-ladang yang mereka rampas satu persatu?” tanya Gondlaf.
                “Sebenarnya, memang begitulah adanya... Sebenarnya, sebelumnya kami sudah pernah mengirimkan beberapa utusan untuk membicarakan ini, tetapi utusan itu tidak pernah kembali ke sini... Karena itulah, kami memutuskan melakukan dengan cara seperti ini...” kata High Leader Vabalife. Gondlaf berpikir sejenak dan mulai memikirkan hubungan antara cerita dari kedua belah pihak.
                “Mereka memang bermaksud menghancurkan kami...” kata seorang pria yang baru masuk secara tiba-tiba “Perkenalkan, aku adalah Jendral Ryanto! Dan kuberitahukan kepada kalian, jalan perundingan tidak akan pernah berhasil terhadap orang-orang Yakavali itu...”
                “Jadi begitu... akh, maaf, kami masih ada urusan lain setelah ini... Kami harus segera pergi... Tapi kami harap, pikirkanlah hal ini baik-baik, agar peperangan ini tidak menghancurkan diri kalian masing-masing...” kata Gondlaf.
                “Hmmm... yah, baiklah... terima kasih atas peringatannya!” kata High Leader Vabalife. Kemudian rombongan Gondlaf segra pergi.
                “Hmmm... aku mulai mengerti... sekarang kita harus pergi ke Yakavali Town untuk mengetahui alasan mereka mengambil ladang-ladang itu!” kata Gondlaf.
***
Chapter 24 : The Third Side
                Keesokan harinya, Gondlaf, Alvin, dan Viktul pergi menemui High Leader Zanuqoyaqo lagi, sedangkan Kapten Gandhi dan kedua anak prajurit kesayangannya pergi ke Hamavapaqu Town lagi untuk melihat-lihat keadaan.
                Di Yakavali Town, rombongan Gondlaf bemaksud segera menemui  high Leader Zanuqoyaqo, tetapi lagi-lagi mereka bertemu Kapten lokollo di perkemahan prajurit. Kemudian kapten itu menyapa mereka.
                “Hai! Tak kusangka kalian datang lagi... Yang jelas kami tidak akan berdamai dengan mereka... lalu mau apa kalian datang kemari?” kata Kapten Lokollo.
                “Kami ingin menemui pemimpinmu sekali lagi, untuk memastikan segalanya... seorang pria sejati harus memastikan segalanya!” kata Gondlaf.
                “Kau benar... mari, akan kuantar!” lagi-lagi Kapten Lokollo termakan omongan Gondlaf. Kemudian Kapten Lokollo mengantar mereka ke tempat High Leader Zanuqoyaqo berada. Mereka segera masuk setelah High Leader Zanuqoyaqo mempersilakan mereka.
                “Hai, selamat siang! Kami datang lagi untuk menanyakan sesuatu!” kata Viktul.
                “Apa yang masih kalian bingungkan? Sudah kukatakan aku akan membantu kalian melawan Sitio, tapi kami tidak akan berdamai dengan Hamavapaqu Town!” kata High Leader Zanuqoyaqo tegas.
                “Maaf, tuan, tapi seorang pria sejati harus memastikan segalanya!” bisik Kapten Lokollo ke High Leader Zanuqoyaqo. High Leader Zanuqoyaqo tampak kesal mendengar kata-kata Kapten Lokollo. Kapten Lokollo menyadari hal ini dan ia segera terdiam.
                “Begini, tetapi apakah benar kalian pernah merebut ladang-ladang pertanian milik penduduk Hamavapaqu?” tanya Gondlaf kemudian.
                “Apa??? Yang benar saja... kami sudah memiliki tanah pertanian yang cukup luas... untuk apa merebutnya... Biar kutebak, kalian pasti sudah mendatangi Hamavapaqu Town dan mendengar cerita bohong ini dari mereka...” kata High Leader Zanuqoyaqo.
                “Cerita bohong? Bagaimana ini, Gondlaf?” tanya Kapten Gandhi.
                Gondlaf berpikir sejenak, kemudian berkata “Kurasa ada pihak ketiga di sini!” Semuanya kaget mendengar hal ini, termasuk Jendral Ricco yang baru saja datang.
***
                Sementara itu, Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin sedang asyik berjalan-jalan, hingga akhirnya mereka bertemu lagi dengan Mell yang sedang berjalan-jalan juga. Kemudian Mell menyapa mereka, dan mereka membalas sapaannya. Kemudian mereka memutuskan pergi ke restoran untuk makan siang bersama. Kemudian mereka mulai mengobrol setelah memesan makanan.
                “Apa kalian sudah menemui High Leader Vabalife? Lalu bagaimana?” tanya Mell.
                “Luar biasa... Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya ia setuju untuk berdamai dengan Yakavali Town!” kata Kapten Gandhi. Ateng bingung dengan apa yang dimaksud Kapten Gandhi dan hendak memprotes, tapi Kevin menahan dan menutup mulut Ateng.
                Mell tampak tidak percaya, kemudian berkata “Apa maksudmu? Oh, maksudku, benarkah? Luar biasa sekali...”
                Tetapi tiba-tiba Kapten Gandhi dan Kevin menunjukkan mata curiga. Ateng masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kemudian Kapten Gandhi mulai berbicara.
                “Apa yang kau maksud dengan ‘Apa maksudmu’? Sepertinya seakan-akan kau sudah tahu kalau ia menolaknya... Sebenarnya sikap seperti itu masih bisa diterima jika kau adalah pecinta perang yang kesal karena akhirnya sang pemimpin menyetujui perdamaian... Tetapi kau telah salah bersikap dan mengatakan kalau itu adalah hal yang luar biasa... Dari sini aku dapat mengatakan bahwa kau melihat pembicaraan kami dengan High Leader Vabalife!” kata Kapten Gandhi dengan nada bicara seperti detektif. Ateng baru mengerti dengan apa yang terjadi. Mell tampak terdesak.
                “Dan lagi, sepertinya kau menggunakan cadar itu hanya ketika mau bertemu dengan seseorang untuk menemui jati dirimu yang sebenarnya... Buktinya adalah 2 hari yang lalu kau hampir minum teh dengan masih mengenakan cadar itu, seakan-akan kau lupa jika kau memakai cadar, dan itu hanya terjadi pada seseorang yang baru beberapa kali memakai cadar! Singkat kata, jujur saja, katakan siapa dirimu yang sebenarnya!” kata Kapten Gandhi panjang lebar.
                “Singkat kata? Hahaha... Ia memang sudah mengatakan hal yang panjang sekali...” kata Ateng. Kevin yang kesal dengan candaan Ateng yang menurutnya jayuz, segera menyikut hidung Ateng sehingga Ateng kesakitan.
                Mell tampak terdesak, lalu akhirnya ia bekata “Baiklah, aku akan berkata yang sejujurnya... aku adalah Melissa, istri dari High Leader Vabalife, ratu dari Hamavapaqu Town!” Serentak ketiga prajurit itu kaget mendengar hal ini. Tak mereka sangka bahwa sekarang mereka sedang berbicara dengan seorang ratu.
                “Lalu mengapa kau berada di sini?” tanya Kevin.
                “Aku berada di sini untuk mencari sebuah kebenaran, kebenaran tentang penyebab perang ini... Dan 2 hari yang lalu aku bertemu dengan kalian yang berkata bahwa kalian ingin menyelesaikan perang ini... Maka aku tertarik untuk membawa kalian ke menemui suamiku... Kalian akan ditolak jika langsung menemuinya 2 hari yang lalu. Karena itulah aku menyuruh kalian datang keesokan harinya dan malamnya aku membicarakan hal ini padanya sehingga ia mau menerima kalian sebagai tamu...” kata Ratu Mellisa.
                “Jadi... Ratu Mellisa...” kata Kevin gugup.
                “Sudahlah, panggil saja aku Mell, seperti biasa!” kata Mellisa.
                “Yah, baiklah Mell... begini, apa kau sudah berhasil mengetahui kebenaran itu?” tanya Kevin.
                “Yah... dan kurasa aku tahu apa penyebab peperangan ini... Adanya pihak ketiga! Dan aku mencurigai Jendral Ryanto... Dulu, ia adalah pengikut setia Hamavapaqu... Dan ia marah sekali ketika Hamavapaqu diturunkan dari jabatannya...” kata Mellisa.
                “Lalu... apa penyebab Jendral Ryanto melakukan semua ini?” tanya Kevin.
                “Entahlah... tapi aku rasa ia menginginkan kekuasaan penuh atas kedua Ciruas... Setelah keduanya saling menghancurkan tentunya!” kata Mell. Ketiga prajurit itu mendengarkan dengan serius.
***
Chapter 25 : Civil War Begun
                “Pihak ketiga!” kata Gondlaf pada malam harinya ketika mereka bertemu lagi dengan kelompok Kapten Gandhi di perkemahan.
                “Ya, aku setuju, pihak ketiga!” kata Kapten Gandhi.
                “Tapi siapa dan mengapa...” kata Viktul.
                “Entahlah... tapi yang jelas sepertinya pihak ketiga itulah yang merebut ladang-ladang penduduk Hamavapaqu Town dengan mengatasnamakan Yakavali Town...” kata Gondlaf.
                “Dan pihak ketiga itu juga menculik dan mungkin membunuh semua utusan yang dikirim High Leader Vabalife...” kata Kapten Gandhi.
                “Seandainya saat itu High Leader Vabalife berangkat sendiri ke yakavali Town, demi menjaga kesalahpahaman itu, mungkin ia akan dihabisi oleh pihak ketiga tersebut...” tambah Viktul.
                “Tapi siapa dia?” tanya Alvin.
                “Menurut dugaan Ratu Mellisa, ia adalah Jendral Ryanto!” kata Kapten Gandhi. Semuanya kaget mendengar ini. Kemudian Kapten Gandhi menceritakan siapa sebenarnya Mell dan semua dugaannya mengenai siapa pihak ketiga tersebut.
                “Hmmm... mungkin saja begitu... dan kita harus segera menyelesaikan semuanya... tapi untuk saat ini, kurasa sebaiknya ktia tidur dulu! Kata gondlaf. Akhirnya mereka semua mulai tertidur karena kelelahan.
***
                Pada malam harinya menjelang pagi, ketika semua tertidur lelap, tiba-tiba terdegar suara ledakan seperti suara ledakan bom. Suara itu begitu keras sehingga mereka semua terbangun. Dari jauh terlihat bara api yang membara di sekitar perladangan tersebut. Tanah pertanian itu diselimuti oleh api. Mereka dapat melihatnya karena tempta mereka tidur cukup tinggi sehingga dapat melihat cahay api itu.
                “Kurasa perang yang sebenarnya sudah dimulai...” kata Kevin.
                “Sial... kita harus segera ke sana dan menghentikannya!” kata Viktul yang mulai bersiap-siap.
                “Ya, kau benar... Kapten Gandhi, aku percayakan kau untuk meyakinkan High Leader Vabalife, setidaknya untuk menghentikan perang, biarpun sesaat... Aku akan mencoba hal yang sama pada High Leader Zanuqoyaqo!” kata Gondlaf. Kapten Gandhi segera mengiyakannya.
                Kemudian mereka segera pergi ke tujuan mereka masing-masing. Rombongan Gondlaf maupun rombongan Kapten Gandhi memacu kudanya dengan cepat, sehingga mereka sampai di tujuan dalam waktu singkat.
***
                Rombongan Gondlaf segera melaju melewati kota yang mulai terbangun akibat ledakan barusan. Para warga mulai terbangun dan keluar untuk melihat keadaan. Akhirnya rombongan Gondlaf tiba di perkemahan para prajurit Yakavali Town. Mereka sedang mempersiapkan prajurit untuk melakukan penyerangan. Puluhan orang terluka karena ledakan barusan, dan para ahli medis sedang mengevakuasi mereka. Rombongan Gondlaf tiba dengan kudanya yang melaju denga cepat. Mereka bertemu dengan Kapten Lokollo yang berteriak kepada mereka.
                “LIHATLAH APA YANG TELAH DILAKUKAN SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG BAIK! MENGEBOM TEMPAT INI DENGAN BOLA API MEREKA!!!” teriak Kapten Lokollo yang marah.
                Gondlaf segera turun dan bertanya kepadanya dengan terburu-buru “Di mana High Leader Zanuqoyaqo? Cepat, aku harus berbicara padanya!”
                Namun tiba-tiba terdengar suara yang sudah mereka kenali, dan berkata dengan nada marah “Kurasa kobaran itu sudah cukup membuktikan bahwa kami memang sudah seharusnya berperang dengan mereka!”
                Gondlaf kaget melihat hal ini. Gondlaf sadar tidak ada yang bisa ia lakukan jika keadaannya seperti ini. Ia segera berkata “Aku mohon tunggulah, aku akan mengirim surat untuk Hamavapaqu Town untuk meminta penjelasan mereka!”
                “Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi!” tiba-tiba Jendral Ricco muncul “Aku sudah memerintahkan seluruh prajurit untuk menyerang dalam 1 jam!”
                Gondlaf menyadari bahay ini dan memutuskan untuk pergi dari sana. Kemudian ia segera menulis surat dan mengirimkannya ke Kapten Gandhi.
***
                Di saat yang sama, Kapten Gandhi telah tiba di Hamavapaqu Town, tetapi ia menemukan pemandangan yang amat mengejutkan. Keadaan kota ini sangat sepi, seakan-akan tidak sdang terjadi apa-apa. Di saat yang sama, ia menyadari bahwa serangan tadi adalah pancingan agar pasukan Yakavali menyerang Hamavapaqu Town. Tidak lama datanglah burung pembawa berita milik gondlaf. Kapten Gandhi segera membacanya dan terkaget-kaget mengetahui Yakavali akan mengirimkan prajuritnya ke Hamavapaqu.
                “Celaka! Kita harus segera menemui High Leader Vabalife! Ayo cepat, kita harus menghentikan semua ini!” kata Kapten Gandhi, dan kemudian mereka memacu kudanya ke istana.
                Kemudian mereka behasil sampai dengan cepat. Istana ini nampak sepi. Para penjaganyapun sedang tidur di pos jaga. Kapten Gandhi dan prajuritnya segera masuk tanpa pemberitahuan dan mencari High Leader Vabalife. Akhirnya ia berhasil menemukannya ketika ia memasuki ruang tengah yang mereka datangi 2 hari yang lalu. Kapten Gandhi segera memperingatkan High Leader Vabalife.
                “Hei, mungkin sebentar lagi prajurit Yakavali akan tiba, tetapi kau tidak boleh terjebak... Kau tidak boleh meladeni peperangan ini...” kata Kapten Gandhi, tetapi ia terdiam ketika High Leader Vabalife mulai berkata dengan sedih.
                “Perang memang akan terjadi... Orang-orang Yakavali itu... telah menculik istriku... Ratu Melissa...” kata High Leader vabalife.
                “A... apa... lalu... di mana Jendral Ryanto?” tanya Kevin.
                “Entahlah... ia menghilang sejak semalam...” jawab High Leader Vabalife.
                “Celaka... ini sudah tak tertolong... perang akan terjadi... satu-satunya cara adalah dengan menemukan Ratu Mellisa...” kata Kapten Gandhi. Merekapun segera pergi keluar dan meninggalkan High Leader vabalife yang sedang bersedih sendirian.
                “Oke, sekarang kita harus cepat mencari Ratu Melissa!” kata Kevin.
                “Tapi bagaimana caranya?” tanya Ateng.
                “Inilah untungnya kita melakukan perjalanan bersama Gondlaf!” kemudian Kapten Gandhi mengeluarkan sepotong lilin hitam. “Pegang aku erat-erat!”
                “Apa itu?” tanya Ateng.
                “Ini adalah ‘lilin pencari’! Seperti bubuk teleportasi milk Gondlaf, tetapi yang ini lebih canggih dan praktis! Cukup memikirkan nama dan orang yang kau cari, kemudian mematahkan lilin ini sehingga serbuk teleportasinya keluar, maka kita akan sampai pada orang itu!” kata Kapten Gandhi.
                Tanpa pikir panjang Kevin dan Ateng segera memegang bahu Kapten Gandhi. Kapten Gandhi segera menutup matanya dan memikirkan Ratu Melissa. Kemudian ia mematahkan lilin itu. Serbuk hijua keluar dari dalam lilin hitam itu dan mulai mengelilingi mereka dan mereka mulai bepindah tempat. Tetapi Ateng tiba-tiba teringat akan sesuatu dan segera berbicara.
                “Tapi Ratu Melissa selalu memakai cadar... Bagaimana kau dapat memikirkan wajahnya?” tanya Ateng tiba-tiba.
                Tiba-tiba perjalanan mereka terganggu. Tanah tempat mereka berpijak tiba-tiba bergoyang. Kevin sadar kata-kata Ateng tadi telah menggoyahkan konsentrasi Kapten Gandhi. Maka Kevin segera berteriak “TETAPLAH KONSENTRASI KAPTEN! KAMI PERCAYA PADAMU!!!!”
                Tiba-tiba mereka seperti terguncang keras, dan terlempar, lalu terjatuh di lantai batu yang dingin. Pemandangan di sekitar mereka sudah berubah. Mereka jatuh dengan keras sekali, sehingga mereka langsung kesakitan.
                “Aduhhh... di mana ini?” tanya Ateng.
                “Diamlah... ini semua berkat kau... dasar bodoh...” kata Kevin kesal.
                Namun tiba-tiba terdengar suara dari belakang mereka “Kapten Gandhi, Ateng, Kevin... Apa yang kalian lakukan di sini?”
                Mereka mengenali suara siapa itu. Itu adalah suara Ratu Mellisa! Mereka segera menoleh, dan tampak seorang gadis cantik dengan rambut berwarna hitam dan bermata hitam yang indah. Gadis itu kedua tangan dan kakinya terikat, dan tergeletak di lantai.
                Kapten Gandhi merasa senang sekali “Untunglah aku terus mengingat matamu yang indah... Jadi aku berhasil sampai di sini!”
                Mereka segera berlari menuju Ratu Melisa dan bermaksud untuk melepaskan ikatannya, tetapi tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ratu Melissa segera berkata “Cepat bersembunyi! Jangan sampai kalian ketahuan!”
                Mereka bertiga segera bersembunyi di 3 tempat yang berbeda. Tanpa pikir panjang Ateng segera bersembunyi di belakang drum air di dekat Ratu Melissa, sedangkan Kevin dan Kapten Gandhi bersembunyi di balik gerobak jerami di ujung ruangan. Mereka terus menunggu siapa yang datang.
                Akhirnya orang itu muncul juga. Ia segera berdiri menghadap Ratu Mellisa. Ratu Melissa kaget melihat orang ini, lalu ia berkata “Jendral Ryanto... sungguh tak kusangka... mengapa kau melakukan hal ini?” Jendral Ryanto hanya berdiri dan tampak kebingungan dan terus menatap Ratu Melissa. Ia mulai mendekati Ratu Mellisa, dan tangannya hendak menyentuh Ratu Mellisa, tetapi Ratu Mellisa terus menggeliat dan berkata “Jangan sentuh aku... seharusnya kau tidak boleh melakukan ini!”
                Melihat ini, Kevin segera beraksi. Ia segera melesatkan anak panahnya yang tajam, namun Jendral Ryanto menyadarinya dan berhasil menghindarinya. Namun Ateng segera melompat dan menubruk Jendral Ryanto dari belakang sehingga Jendral Ryanto terjatuh. Ateng terus memegangi tangannya sehingga Jendral Ryanto tak bisa bergerak, kemudian menggertak “Jangan macam-macam atau akan kubunuh kau!” Selanjutnya Kapten Gandhi dan Kevin muncul dan segera melepaskan ikatan Ratus Mellisa dan ikut memegangi tangan Jenral Ryanto.
                Tetapi kemudian Jendral Ryanto berkata “Kalian salah paham... Aku sama sekali tidak bermaksud melukai Ratu Mellisa... dan aku juga tidak menculiknya... justru aku ke sini untuk menyelamatkannya!”
                “Hah?” kata ketiga prajurit itu serempak.
***
Chapter 26 : The Rescue
                Kemudian ketiga prajurit itu melepaskan tangan Jendral Ryanto dan Jendral Rytanto mulai menceritakan segalanya “Sebenarnya sudah lama aku menduga ada pihak ketiga dalam peperangan ini... Dan aku juga mencium gelagat buruk di kalangan istana, khususnya Letnan Husein... Dan ternyata kecurigaanku terbukti keika tadi malam aku melihatnya menculik Ratu Mellisa bersama beberapa anak buahnya. Mungkin Ratu Mellisa tidak melihat wajahnya karena ia menyerangmu dari belakang... Aku sadar tidak akan bisa menyelamatkanmu di sana karena aku kalah jumlah, dan sejak awal aku sudah dicurigai banyak pihak, sehingga sulit bagiku untuk membuat mereka percaya bahwa kau diculik Letnan husein...”
                “Hmmm... ceritamu masuk akal...” kata Ateng.
                “Maka dari itu, aku bermaksud mengikuti mereka sampai ke tempat ini! Dan ketika aku mau menyelamatkan ratu, tiba-tiba kalian menyerangku...” kata ryanto melanjutkan.
                “Hahahaha... itu memang salahmu... kau sih tidak mengatakan apa-apa ketika mendekati ratu, jadi kami kira kau adalah penjahat... hahaha...” kata Kevin tertawa karena merasa bersalah dan tidak enak karena sudah melesatkan anak panahnya ke arah Ryanto dengan niat untuk membunuhnya. Kevin merasa bersyukur karena anak panahnya tidak kena.
                “Jadi, kurasa sebaiknya kita segera keluar dari sini sambil memikirkan cara untuk menghentikan perang!” kata Kapten Gandhi.
***
                Di tempat lain, ketika hari mulai pagi, Gondlaf menemukan cara untuk menunda peperangan. Ia segera menemui High Leader Zanuqoyaqo yang sudah hampir mengirim seluruh prajuritnya ke medan peperangan.
                “Maaf, tuan, tapi aku ada sedikit usul!” kata Gondlaf. High Leader Zanuqoyaqo merasa terganggu, tetapi tetap mendengarkan. “Begini, biar bagaimanapun kedua Ciruas adalah saudara... Karena itu sesama saudara sebaiknya kalian berhadapan satu lawan satu secara adil... dengan begitu...”
                “Maksudmu kau memintaku menunggu prajurit Hamavapaqu sampai mereka siap?” kata Heigh Leader Zanuqoyaqo memotong kata-kata Gondlaf.
                “Yah, kurang lebih begitu...” kata Gondlaf. High Leader Zanuqoyaqo nampak keberatan atas usul Gondlaf. Namun tiba-tiba Viktul angkat bicara.
                “Bukankah memenangkan pertempuran yang dilakukan secara adil dengan saling berhadapan adalah sikap seorang pria sejati?” kata Viktul mendadak. Hiah Leader Zanuqoyaqo tercengang mendengar hal ini. Gondlaf merasa taktik seperti ini tidak akan berhasil kepada seorang pemimpin setingkat High Leader Zanuqoyaqo, dan ia juga khawatir sang pemimpin tersebut akan merasa terhina karena dinasehati seorang anak muda. Namun di luar dugaan, High Leader Zanuqoyaqo menanggapi kata-kata Viktul.
                “Yah... kurasa kau benar... itulah yang seharusnya dilakukan pria sejati...” kata High Leader Zanuqoyago, kemudian ia berkata kepada jendralnya dan kedua kapten yang mendengarkan pembicaraan mereka “Jendral Ricco, tahan dulu para prajurit itu... Kita tunggu prajurit Hamavapaqu Town muncul! Akan kita kalahkan mereka secara jantan! Lalu Kapten Lokollo, Kapten Greg Denmark, kalian juga beritahu kapten yang lain untuk menahan pasukannya!”
                “Lalu apa kami harus menahan pasukan kami juga?” Kapten Lokollo menanyakan pertanyaan bodoh sehingga High Leader Zanuqoyaqo tampak kesal, dan memelototi Kapten Lokollo, sehingga Kapten Lokollo sadar dengan yang telah ia perbuat. Kapten Lokollo segera pergi bersama Kapten Greg Denmark setelah mengatakan “Siap Tuan!”
                Gondlaf merasa lega dengan semua ini. Tetapi ia terus mengkhawatirkan rombongan Kapten Gandhi, ia takut jika mereka gagal.
***
                Di tempat lain, Kapten Gandhi dan prajuritnya serta Jendral Ryanto sedang berusaha menyelamatkan Ratu Melissa. Mereka menyusuri lorong-lorong gelap bawah tanah tempat persembunyian gerombolan Letnan Husein. Mereka terus memikirkan sebuah jalan keluar, tetapi pada akhirnya mereka hanya menemukan satu jalan keluar.
                “Dengan semua kesalahpahaman ini, kedua pemimpin Ciruas akan bertemu di medan perang... dan kurasa mereka akan saling menyalahkan... Nah, itulah kesempatan terbaik kita untuk menyelesaikan ini!” kata Ratu Melissa sambil berlari-lari. Ialah yang mencetuskan ide ini.
                “Apa maksudmu? Bukankah itu buruk?” tanya Ateng. Ia terus berlari sambil berbicara.
                “Tidak, justru jika aku muncul di saat itu, maka secara otomatis seluruh kesalahpahaman akan terselesaikan!” kata Ratu Melissa, namun Ratu Melissa terjatuh karena kakinya tersandung batu. Jendral Ryanto segera menghampirinya dan berusaha menolongnya.
                “Apa kau masih bisa berjalan Ratu Mellisa? Kita harus segera membenarkan seluruh kesalahpahaman ini...” kata Kevin.
                “Jangan terburu-buru!” tiba-tiba terdengar suara keras dari depan mereka. Muncullah sekitar 6 orang prajurit di hadapan mereka.
                “Letnan Husein... ternyata benar, kaulah penyebab semua ini...” kata Jendral Ryanto.
                Jendral Ryanto bermaksud untuk melarikan diri dan menoleh ke belakang, tetapi ternyata ada 6 orang prajurit lagi di belakang mereka. Mereka sudah terkepung.
                “Celaka... bagaimana ini... kita terkepung di lorong yang sempit ini...” kata Ateng.
                “Tenanglah... justru lorong sempit ini menguntungkan... ada berapapun jumlah mereka, mereka tetap harus menghadapi kita satu persatu karena lorong sempit ini!” kata Kapten Gandhi menyemangati. Yang lainnya hanya terdiam dan terus mengawasi para prajurit itu yang terus mendekati mereka. Lorong ini memang begitu sempit hanya bisa dilalui oleh 2 orang dewasa yang berjalan berdampingan.
                “Tunggu dulu, Letnan Husein... sebelumnya aku ingin memastikan satu hal... Apa kau yang menyebabkan ledakan-ledakan hebat di perladangan Yakavali Town beberapa saat yang lalu?” tanya Jendral Ryanto.
                “Ya, benar sekali!” kata Letnan Husein. Semuanya sudah menduga bahwa ialah pelakunya.
                “Lalu, aku ingin menanyakan satu hal lagi...” kata Jendral Ryanto sambil tetapi mengawasi para prajurit itu agar tidak mendekati Ratu Mellisa.
                “Sebenarnya aku tidak suka dengan orang-orang yang banyak bicara, tetapi berhubung kau akan mati sebentar lagi, maka aku akan dengan senang hati menjawab pertanyaanmu...” kata Letnan Husein.
                “Baiklah kalau begitu... jadi, apa kau merencanakan semua ini sendirian? Dan seandainya kedua Ciruas hancur, bagaimana kau akan mengambil alih kedua negeri?” tanya Letnan Husein.
                “Tentu saja aku tidak merencanakan ini sendiri... Ayahkulah yang memulai rencana ini, ia adalah paman dari pemimpinmu yang sekarang, ia adalah Hamavapaqu!” kata Letnan Husein.
                “A...apa.. jadi kau anaknya... bagaimana mungkin...kukira kau adalah anak berbakat yang ditemukan High Leader Vabalife di pinggir hutan...” kata Jendral Ryanto.
                “Yah, sebenarnya aku adalah anak hasil dari hubungan gelap Hamavapaqu dengan seorang gadis yang tinggal di hutan. Tetapi ia begitu menyayangiku hingga ia lebih mementingkan urusanku daripada kerajaan. Mungkin itu disebabkan karena ia tidak bisa punya anak dari 2 orang istri pertamanya...” kata Letnan Husein panjang lebar.
                “Dan, menururt dugaanku, Hamavapaqu berusaha untuk menguasai seluruh Cirus untuk diberikan padamu?” tanya Jendral Ryanto.
                “Ya, tepat sekali... karena itulah, ia membunuh kakaknya sendiri! Tetapi sayang, posisinya lengser dengan mudah setahun kemudian dan akhirnya ia meninggal setelah diasingkan di hutan selama kurang lebih 5 tahun!” kata Letnan Husein “Dan aku baru mengetahui semua rencananya 1 tahun setelah ia meninggal, sekitar 5 tahun yang lalu. Ketika itu salah seorang pengikut setia ayahku yang mengatakan padaku...”
                “Bu... bukankah High Leader Vabalife yang menemukanmu di hutan?” tanya Jendral Ryanto.
                “Yah, tetapi dengan bantuan pengikut setia itulah High Leader Vabalife menemukanku. Pengikut setia itu bernama Lovrin. Lovrinlah yang membantuku mencapai pangkat Letnan dalam kurun waktu 5 tahun... dan posisiku yang tinggi ini memudahkanku untuk melakukan segalanya!” kata Letnan Husein.
                “Tetapi... Siapakah prajuritmu ini?” tanya Jendral Ryanto.
                “Mereka adalah orang-orang yang sudah direkrut ayahku secara pelan-pelan sejak ayahku muda. Awalnya ayahku merekrut teman-temannya, lalu kemudian semakin banyak. Tetapi perekrutan ini dilakukan secara diam-diam sehingga tidak ada seorangpun yang mengetahuinya... Dan kini, setelah kedua Ciruas kehilangan para prajuritnya dalam peperangan, para prajuritku inilah yang akan muncul berikutnya!” kata Letnan Husein, kemudian ia tertawa keras sekali “HAHAHAHAHHAHAHAHAHA!!!!!!”
                “Rasanya aku pernah melihat orang seperti ini sebelumnya...” bisik Ateng kepada Kevin.
                “Yah, ia adalah Jendral Yusingus... di setiap negeri memang selalu ada pemberontak...” kata Kevin menanggapi.
                “Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Ratu Melissa.
                “Kalahkan mereka!” kata Kapten Gandhi “Kevin, kau adalah petarung jarak jauh dan di sini bukanlah keahlianmu... jadi kau lindungilah Ratu Melissa!”
                “Baik!” kata Kevin.
                “Ateng dan aku akan membuka jalan di depan, sementara Jendral Ryanto, mampukah kau menahan para prajurit yang berada di belakang kita hingga aku dan Ateng bisa mengalahkan Letnan Husein dan 5 orang prajuritnya itu?” tanya Kapten Gandhi.
                “Tidak masalah!” kata Jendral Ryanto.
                “Baiklah kalau begitu... AYO MAJUUU!!!” teriak Kapten Gandhi dan ia bersama Ateng segera menyerbu Letnan Husein, sementara Jendral Ryanto menahan para prajurit yang datang dari belakang. Pertarungan serupun tak terhindarkan lagi. Keempat orang prajurit itu harus bertarung mati-matian untuk melindungi sang ratu. Para prajurit Letnan Husein memang tidak begitu hebat, kemampuan meeka masih di bawah kemampuan keempat prajurit tersebut. Tetapi Letnan Husein adalah seorang ahli pedang yang hebat. Sangat sulit untuk mengalahkannya, walaupun Kapten Gandhi dan Ateng menyatukan kekuatan.
                Dalam hitungan menit, seluruh pengawal Letnan Husein sudah berhasil di kalahkan. Letnan Husein tampak gemetar begitu mengetahui seluruh prajuritnya sudah dikalahkan. Kapten Gandhi dan Ateng segera memojokkannya. Tiba-tiba Letnan Husein menyerang dengan cepat ke arah Kapten Gandhi, tetapi Ateng segera menahannya dengan menancapkan pedangnya ke perut Letnan Husein. Letnan Husein terdiam sesaat. Sepertinya ia tidak bisa menerima kekalahannya. Kemudian Ateng mencabut pedangnya. Letnan Husein terus memandangi Ateng, kemudian berkata dengan lemah.
                “Percuma saja... sebentar lagi perang akan terjadi... Perang ini sudah tak terhindarkan...” kemudian Letnan Husein terjatuh dan pingsan. Ratu Mellisa nampak ketakutan melihat tubuh-tubuh yang sekarat dan bergelimpangan tersebut, tetapi Jendral Ryanto segera menarik lengannya dan mengajaknya keluar dari sana.
                Mereka terus berlari mencari jalan keluar. Selama di perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa prajurit yang kebetulan sedang melintas dan segera menghabisi mereka. Ateng terus menghitung mereka, dan ia mencatat sudah ada 50 orang prajurit yang mereka hadapi. Namun Kevin tidak mempercayainya.
                Namun tidka lama kemudian alarm tanda bahaya berburnyi. Kelihatannya pertarungan-pertarungan yang terjadi secara singkat ini telah diketahui oleh para prajurit yang lain. Mereka segera menyalakan alarm tanda bahaya. Ateng dan Ratu Mellisa menjadi gusar.
                “Tidak perlu khawatir... aku tahu tempat ini... sebentar lagi kita akan keluar...” kata Jendral Ryanto. Mereka terus berlari mengikuti Jendral Ryanto. Akhirnya mereka tiba di tikungan trakhir di sebuah lorong, kemudian Jendral Ryanto berkata “Itu dia jalan keluarnya!”
                Kemudia mereka berbelok dan seberkas cahaya nampak dari kejauhan. Mereka segera berlari ke arah cahaya itu. Akhirnya mereka berhasil keluar dari lorong-lorong gelap itu. Ternyata mereka baru saja keluar dari sebuah goa di tengah-tengah tanah pertanian. Hamparan padi tampak menguning. Matahari terlihat sudah bersinar. Tanpa terasa hari sudah pagi. Namun pemandangan di sana tidak mengenakkan. Sekitar 200 orang prajurit mengepung mereka. Mereka mengenakan baju perang berwarna putih, seperti yang dikenakan Letnan Husein. Sepertinya ini adalah baju perang resmi mereka.
                “Celaka... mereka sudah mengetahui kalau kita sudah melarikan diri...” kata Kevin. Rasa takut mulai menghantui mereka. 4 orang prajurit rasanya sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengalahkan 200 orang prajurit.
                “Tenanglah... jangan takut... kau pikir seorang jendral besar sepertiku tidak punya satu orang prajuritpun?” kata Jendral Ryanto tiba-tiba sambil tersenyum. Semuanya melihat ke arahnya dan tidak mengerti dengan apa yang ia maksud. Namun ia tetap tersenyum, lalu mengangkat pedangnya dan berteriak “SEMUANYA, SERANG!!!!”
                Tiba-tiba ratusan orang prajurit bermunculan dari celah-celah padi yang menguning. Mereka mengenakan baju perang Hamavapaqu Town. Akhirnya Kapten Gandhi mengerti bahwa mereka adalah prajurit milik Jendral Ryanto. Seluruh prajurit itu segera menyerang para prajurit milik Letnan Husein. Peperangan besar segera terjadi di tanah pertanian tersebut.
                “Ratu... aku mohon, jangan menyaksikan peristiwa berdarah ini... sebaiknya kua segera menemui High Leader Vabalife di medan perang!” kata Jendral Ryanto “Aku akan mengurus yang di sini... Kapten Gandhi, Kevin, Ateng, tolong bawa ratu dengan selamat sampai ke tempat High Leader Vabalife berada...”
                “Tidak masalah!” kata Kapten Gandhi, kemudian segera menarik lengan Ratu Mellisa dan pergi dari sana. Kini hanya Jendral Ryanto yang berada di sana dengan ratusan prajurit yang sedang bertempur. Namun tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara. Jendral Ryanto segera menoleh ke arah goa itu dan melihat Letnan Husein yang sedang berjalan ke luar bersama belasan orang prajurit. Ternyata ia tidak terbunuh oleh tusukan pedang Ateng.
                “Percuma saja... apa lagi yang kau perjuangkan? Lovrin sudah ada di medan perang sekarang, dan aku pastikan ia akan memastikan perang tetap berjalan!” kata Letnan Husein, kemudian ia menunjuk ke arah burung-burung gagak yang mulai berdatangan dan berbicara dengan tersenyum “Lihatlah burung-burung itu... Itu adalah pertanda bahwa perang besar sudah tidak terhindarkan lagi!”
                Jendral Ryanto melihat ke angkasa dan melihat burung-burung gagak yang beterbangan di angkasa. Burung gagak memang biasanya menjadi pertanda bahwa hal yang buruk akan segera terjadi. Jendral Ryanto hanya bisa berharap agar Kapten Gandhi, Kevin, dan Ateng berhasil menyelesaikan misinya. Kemudian ia menatap Letnan husein dan para pengawalnya kemudian mengangkat pedangnya.
                “Matilah kalian semua!” kata Jendral Ryanto, lalu berlari ke arah Letnan Husein dan para pengawalnya seorang diri. Jendral Ryanto segera menyerang dengan ganas sehingga para pengawal Letnan Husein kewalahan. Letnan Husein sendiri berusaha menyingkir dari medan pertempuran karena ia sedang terluka.
                Sementara itu para prajurit Jendral Ryanto masih bertarung sengit dengan para prajurit Letnan Husein.
***
Chapter 27 : On The Battle Field
                Matahari sudah semakin tinggi. Akhirnya para prajurit dari kedua belah pihak sudah berdiri saling berhadap-hadapan. Mereka berdiri di tanah-tanah pertanian yang bekas terbakar. Hanya ada sebagian kecil padi yang masih berdiri tegak. Dari sebuah puncak bukit yang tidak begitu jauh, Gondlaf, Alvin dan Viktul sedang mengamati mereka.
                “Tidak adakah yang bisa kita perbuat sekarang?” tanya Alvin.
                “Kurasa tak ada...” jawab Gondlaf.
                “10.000 prajurit Yakavali Town dan 10.000 prajurit Hamavapaqu Town saling berhadapan sekarang... sebelumnya aku sudah melihat banyak perang, tetapi baru sekarang aku melihat peperangan antar manusia...” kata Viktul merasa sedih.
                “Memang benar, hal yang paling menakutkan adalah ketika para manusia saling membunuh satu sama lain...” kata Gondlaf “sekarang sebaiknya kita berdoa agar terjadi suatu mukjizat...”
                Kemudian Alvin dan Viktul menutup mata mereka dan mulai berdoa. Angin yang kering mulai berhembus. Burung-burung gagak mulai beterbangan di atas mereka. Suasana ini semakin menguatkan jiwa peperangan para prajurit yang berada di medan perang.
                Di kubu Yakavali, High Leader Zanuqoyaqo sedang membicarakan strategi perang dengan Jendral Ricco sambil duduk di atas kuda. Biarpun kedua orang ini naik di atas kuda dan para prajurit yang lainnya berdiri, tetapi kedua orang ini tetap sanggup menghimpun semangat para prajurit karena kedua orang ini berdiri di garis depan.
                Sama halnya dengan High Leader Vabalife yang berkuda di garis depan bersama Letnan Lovrin. Letnan Lovrin adalah orang ketiga yang dipercaya High Leader Vabalife dalam bidang militer setelah Jendral Ryanto dan Letnan Husein. Sayangnya, kedua letnan kepercayaan tersebut adalah 2 orang pengkhianat yang sedang bersiap untuk mengambil alih kekuasaan kedua Ciruas.
                Setelah berbicara cukup lama dengan Jendral Ricco, Jendral Ricco menyarankan kepada High Leader Zanuqoyaqo untuk berbicara terlebih dahulu kepada High Leader Vabalife sebelum berperang. High Leader Zanuqoyaqo awalnya tidak menyetujui usul ini tetapi mengingat Jendral Ricco adalah jendral kepercayaannya, akhirnya ia menyetujui hal ini.
                Sesaat kemudian sebuah bendera isyarat dikibarkan dari arah tentara Yakavali Town pertanda pihak Yakavali menginginkan perundingan kedua pemimpin sebelum berperang. High Leader Hamavapaqu segera saja menerima tawaran ini. Letnan Lovrin sadar bahwa pembicaraan ini bisa berbahaya. Mungkin saja semua kesalahpahaman terselesaikan. Akhirnya ia memutuskan untuk mengawal rajanya ke perundingan itu.
                Akhirnya, kedua pemimpin berkuda ke tengah medan perang ditemani satu orang kepercayaan masing-masing. Bersama Jendral Ricco, akhirnya High Leader Zanuqoyaqo tiba di tengah medan perang. Kemudian High Leader Vabalife sampai bersama Letnan Lovrin di sampingnya. Keduanya salign berhadap-hadapan.
                “Apa kau yakin ingin memulai peperangan ini? Kita akan saling membunuh, kawan...” kata High Lader Zanuqoyaqo.
                “Kawan? Kawan macam apa yang menculik istri temannya???” balas High Leader Vabalife. High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco kaget mendengar hal ini.
                “Apa maksudmu? Kami sama sekali tidak pernah menyentuh istrimu... Kami memang menginginkan perang, tetapi perang secara adil... kami tidak akan melakukan hal sekotor itu!” kata Jendral Ricco.
                “Ya, buktinya saja kami mau menunggu kalian mempersiapkan para prajurit... Jika kami mau dan menyerang kalian tadi malam, mungkin siang ini Hamavapaqu Town sudah jatuh ke tangan kami!” tambah High Leader Zanuqoyaqo.
                High Leader Vabalife menyadari bahwa perkataan kedua orang itu ada benarnya juga. Ia sempat berpikir sejenak. Letnan Lovrin menyadari bahwa hal ini akan berakibat buruk pada rencananya. Ia segera turut bicara.
                “Tuan, pikirkanlah baik-baik... Apa seorang pencuri akan mengakui perbuatannya?” kata Jendral Lovrin tiba-tiba. Namun pada saat itulah High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco menyadari ada yang tidak beres.
                “Atas nama para pendahuluku... aku bersumpah aku tidak pernah melakukan hal seperti itu...” kata High Leader Zanuqoyaqo. Tetapi nampaknya api kemarahan sudah menyelimuti High Leader Vabalife. Ia menelan perkataan Letnan Lovrin begitu saja.
                “Jika kalian memang tidak menculik istriku, lalu di mana ia sekarang?” tanya High Leader Vabalife. High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco kebingungan untuk menjawabnya. Pertanyaan ini sungguh aneh mengingat kedua orang itu belum bertemu dengan Ratu Mellisa untuk waktu yang lama, tetapi kebingungan kedua orang itu dianggap sebagai kebingungan para penculik oleh High Leader Vabalife.
                “Penculik tetaplah penculik... kecuali aku menemukan istriku, perang akan tetap berlangsung!” kata High Leader Vabalife pelan kemudian berbalik dan menuju ke arah tentaranya. Letnan Lovrin hendak mengikuti, tetapi ia tersenyum licik terlebih dahulu ke arah High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco, kemudian pergi.
                Kemudian High Leader Zanuqoyaqo juga berbalik dan kembali. Di tengah jalan ia berkata kepada Jendral Ricco “Ada yang tak beres... Letnan itu... aku merasakan hawa kelicikan darinya...”
                “Ya... lidah ular... sekarang kurasa kita harus benar-benar bertempur...” kata Jendral Ricco.
                Kemudian kedua pemimpin sudah kembali ke barisan masing-masing. Letnan Lovrin merasa puas dengan hasil kerjanya. Tetapi High Leader Vabalife mulai terpikir akan kata-kata High Leader Zanuqoyaqo.
                “Apa menurutmu mereka tidak menculik Ratu Mellisa?” tanya High Leader Vabalife kepada Letnan Lovrin. Letnan Lovrin tampak terkejut.
                “Percayalah tuan... aku yakin itu hanya tipu-tipuan mereka... Pasti mereka yang menculik ratu!” kata Letnan Lovrin meyakinkan.
                “Tetapi jika mereka ingin mengalahkanku dengan menculik ratu, mengapa ia tidak menggunakannya untuk mengancamku sehingga aku menyerah?” tanya High Leader Vabalife lagi. Letnan Lovrin kebingungan menjawab pertanyaan ini. Ia sempat berpikir sejenak, kemudian menemukan satu jawaban.
                “Karena mereka ingin membuat kau berpikir mereka tidak menculiknya, sehingga kau merasa bersalah dan tidak tega menyerang mereka... Maka mereka akan dapat memenangkan pertarungan ini!” kata Letnan Lovrin. High Leader Vabalife berpikir sejenak, akhirnya ia setuju dengan Letnan Lovrin.
                “Ya, kau benar! Perang memang harus terjadi dan aku harus menang sebagai pemenang!” kata High Leader Vabalife bersemangat. Letnan Lovrin nampak senang sekali.
                Namun kesenangan Letnan Lovrin terhenti ketika mendengar keributan para prajurit yang baru saja muncul. Entah mengapa para prajurit tersebut berkata ‘Itu Ratu Mellisa!’. Para prajurit terus mengatakan hal itu. High Leader Vabalife menjadi penasaran dan segera mencari-cari ke sekelilingnya. Akhirnya pandangan terhenti kepada 4 orang yang sedang berlari dari kejauhan. Mereka adalah 3 orang prajurit dan... Ratu Mellisa!
                High Leader Vabalife amat senang melihat hal ini. Sebagian prajurit juga lga karena berpikir perang akan dibatalkan. Tetapi tidak dengan Jendral Lovrin. Ia menjadi begitu marah. Tetapi ia tetap tenang. Sepertinya ia mempunyai rencana berikutnya. Sekilas senyum nampak si bibirnya.
                Semua prajurit sudah merasa lega, begitu juga dengan High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco. Mereka senang ternyata Ratu Mellisa tidak apa-apa dan tuduhan bahwa mereka menculik Ratu Mellisa tidak terbukti.
                High Leader Vabalife senang sekali dan bermaksud menghampiri Ratu Mellisa yang masih berlarian ke arahnya. Namun tiba-tiba hal buruk terjadi. Sebuah anak panah tak dikenal melesat dengan cepat dari arah para prajurit Yakavali. Panah itu melesat begitu cepat dan menancap tepat di dada Ratu Mellisa. Kapten Gandhi, Ateng, maupun Kevin terlambat menyadari hal itu sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa. High Leader Vabalife melotot memandangi peristiwa mengenaskan ini. Ia menjadi begitu geram. Kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Para prajurit menjadi ketakutan melihat pemimpinnya seperti ini. Lalu pria gagah inipun segera berteriak dengan lantang “BUNUH MEREKA! JANGAN SEKALIPUN KALIAN BERI MEREKA AMPUN! JANGAN ADA SATUPUN YANG LOLOS! SERBUUUU!!!!!!”
                Teriakannya diikuti suara sangkakala dan teriakan para prajurit. Prajurit-prajurit ini mulai mengangkat senajta mereka dan segera berlari menyerbu para prajurit Yakavali. 10.000 orang sudah berlari dan serasa membuat bumi bergoyang.
                High Leader Zanuqoyaqo masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia menjadi marah sekali karena ada prajuritnya yang berani melakukan hal memalukan seperti ini. Ia bemaksud menangkap pelakunya dan menghentikan perang, namun sudah terlamabat. Para prajurit Hamavapaqu sudah berada di depan mereka dan mereka sudah tidak bisa lari lagi. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan berperang. Akhirnya High Leader Zanuqoyaqo berteriak dengan ragu “SERANGGGG!!!!”
                “Celaka...” kata Gondlaf “kita harus segera ke sana dan menyelamatkan ratu!” Gondlaf segera memacu kudanya ke arah Ratu Mellisa terjatuh. Ateng dan Viktul mengikuti.
Pertarungan besarpun terjadi. Para prajurit yang berada di garus depan saling bertabrakan dan mendorong. Mereka saling menusuk dengan tombak mereka masing-masing. Dengan kudanya, High Leader Zanuqoyaqo segera menyerang orang-orang yang berusaha untuk membunuhnya. Tetapi di tengah perang dan kekacauan ini, ia sibuk mencari High Leader Vabalife.
Seperti yang ia duga, High Leader Vabalife sedang meuju ke arah Ratu Mellisa dan mencoba menolongnya. High Leader Zanuqoyaqo bemaksud memacu kudanya ke sana, namun tiba-tiba Letnan Lovrin muncul di hadapannya dan berusaha menghalanginya.
“Mau ke mana kau, hah???” kata Letnan Lovrin. High Leader Zanuqoyaqo segera mempersiapkan pedangnya hendak menyerang, namun tiba-tiba Jendral Ricco datang.
“Biar aku yang menghadapinya, kau pergilah mencari sahabatmu itu!” kata Jendral Ricco, lalu ia segera menyerang Letnan Lovrin. Terjadi pertarungan pedang yang seru di atas kuda. Keduanya memiliki kemampuan yang seimbang. High Leader Zanuqoyaqo segera memacu kudanya. Ia terus berusaha mencari Ratu Mellisa. Ia terus mencari namun tanpa hasil. Terlalu banyak prajurit di sana sehingga ia amat kesulitan. Ini seperti mencari 1 buah jarum di tumpukan 20.000 jerami.
Namun usahanya tudak sia-sia. Ia menemukan High Leader Vabalife sedang menunduk dan di depannya ada sesosok tubuh yang tergeletak lemas. High Leader Zanuqoyaqo segera mendatanginya dan turun dari kudanya. Ia segera berlutut dan melihat keadaan Ratu Mellisa, kemudian terdiam. Ratu Mellisa nampak amat menderita dan kesakitan.
“Mengapa kau lakukan ini...” kata High Leader Vabalife pelan.
“Aku tidak pernah melakukan hal ini... Tidak akan pernah!” kata High Leader Zanuqoyaqo meyakinkan.
“OMONG KOSONG!” teriak High Leader vabalife dan mendadak awan kelam mulai menutupi matahari. Medan perang itu menjadi gelap dan nampak suram. High Leader Vabalife segera berdiri dan menghadap ke arah High Leader Zanuqoyaqo. Kemdian ia mengangkat pedangnya. High Leader Zanuqoyaqo menyadari pertarungan akan benar-benar terjadi. Ia segera bersiap. Kemudian High Leader Vabalife berkata “tak pernah kusangka... orang yang selama ini kuanggap teman... sampai melakukan hal ini...”
“HIAAAAHHHH!!!!” High Leader Vabalife berteriak dan segera menerjang High Leader Zanuqoyaqo. Bersamaan dengan itu, hujan deras tiba-tiba turun. Pertarungan sengitpun terjadi di antara kedua pemimpin tersebut. Mereka terus beradu pedang sementara para prajuritnya saling membunuh.
Di lain tempat Jendral Ricco masih bertarung sengit melawan Letnan Lovrin. Semua sabetan pedang Letnan Lovrin dapat dipatahkan, tetapi Jendral Ricco juga tak mendapat kesempatan untuk melakukan serangan. Letnan Lovrin semakin terdesak, namun tiba-tiba seekor kuda yang terluka parah akibat serangan pedang meringkik dan datang berlarian ke arah 2 orang itu. Kuda yang kesakitan itu segera menghantam Jendral Ricco yang hampir memenangkan pertempuran. Jendral Ricco terpental beberapa meter dan jatuh terguling-guling. Kuda itu terus menghantam setiap prajurit yang ada di depannya, namun salah seorang prajurit berhasil menyabet kakinya hingga putus dan kuda itupun terjatuh. Lalu prajurit lainnya segera menghabisi kuda itu.
Jendral Ricco merasa kesulitan untuk bangun. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Letnan Lovrin segera berjalan ke arahnya, lalu berbicara sedikit.
“Tamatlah riwayatmu! Seluruh Ciruas... akan menjadi milikku!” kata Letnan Lovrin.
“Sudah kuduga... kaulah dalang di balik semua ini...” kata Jendral Ricco. Ia mencoba berdiri tetapi kesulitan. Sementara itu Letnan Lovrin mulai mengacungkan pedangnya hendak menghabisi Jendral Ricco. Hujan turun semakin deras. Jendral Ricco merasa kebingungan.
Kemudian Letnan Lovrin tersenyum sekilas dan segera mengayunkan pedangnya. Namun tiba-tiba petir menghantam. Petir itu tepat mengenai Letnan Lovrin. Jendral Ricco dan para prajurit yang berada di sekelilingnya terlempar cukup jauh. Suara kencang baru terdengar menggelegar. Petir itu begitu kuat sehingga tubuh Letnan Lovrin langsung lenyap begitu tersambar petir. Yang tersisa hanya selembar kain bajunya saja yang sudah gosong. Jendral Ricco kaget dan kelelahan, sehingga ia langsung pingsan setelah itu.
***
Hujan turun makin deras. Awan hitam terus menggulung-gulung. Sementara itu kedua pemimpin itu masih saling bertarung dan berusaha untuk membunuh satu sama lain. Kedua pedang mereka terus beradu di bawah langit kelam. Kilatan-kilatan cahaya selalu nampak setiap pedang mereka berdua saling berbenturan.
Di tengah keributan perang ini, Gondlaf tengah kebingungan mencari Ratu Mellisa. Gondlaf berharap agar dapat melakukan sesuatu. Ia terus berkuda di antara ribuan prajurit yang tengah berperang.
Sementara itu High Leader Vabalife terus mendesak High Leader Zanuqoyaqo. High Leader Zanuqoyaqo semakin kepayahan dan gagal menahan salah satu serangan sehingga lengan kanannya terluka dan ia menjatuhkan pedangnya. High Leader Vabalife segera menendang perut High Leader Zanuqiyaqo sehingga High Leader Zanuqoyaqo terjatuh. Kini sang pemenang sudah terlihat. High Leader Vabalife berdiri dengan gagahnya dan bermaksud melakukan serangan akhir dan menebas tubuh High Leader Zanuqoyaqo.
Keadaan sudah semakin mendesak. Peperangan di bawah hujan ini berkembang menjadi makin mengerikan. Kini rakyat Yakavali Town sudah hampir kehilangan pemimpin mereka yang tercinta. High Leader Vabalife terus menatap High Leader Zanuqoyaqo yang sudah terkapar. Kemudian ia memejamkan kedua matanya selama beberapa saat. Nampaknya ia sedang mengenang berbagai hal yang telah terjadi. Kemudian ia membuka matanya kembali yang dipenuhi dengan kemarahan. Ia segera menusuk dengan pedangnya sambil berteriak “AAAAAAAAKKKHHHHHHH!!!!”
Pedang sang pemimpin itupun langsung menembus bahu High Leader Zanuqoyaqo. High Leader Zanuqoyaqo tidak berteriak, namun merasakan rasa sakit yang amat sangat. High Leader Zanuqoyaqo menyadari ada yang tidak beres, lalu berusaha berbicara dengan kesulitan “Mengapa? Mengapa kau tidak langsung membunuhku?”
“Ukh... biar bagaimanapun... kau adalah...” kata High Leader Vabalife dengan penuh keraguan “tetapi... itu semua adalah masa lalu... serangan yang barusan karena aku masih mengingat persahabatan kita... “
“Yah... persahabatan indah itu... tak kusangka harus berakhir di sini...” kata High Leader Zanuqoyaqo tersenyum. Darahnya mengalir ketika tersiram air hujan. “apakah ini takdir yang mempertemukan kita sebagai musuh...”
“Yah... mungkin ini memang takdir... karena itulah... sebagai teman, maukah kau menyerahkan nyawamu kepadaku?” tanya High Leader Vabalife.
High Leader Zanuqoyaqo kaget sesaat, kemudian tersenyum “Yah, ambillah! Terus hidup dalam pertempuranpun rasanya tidak ada bedanya dengan kematian... hahaha...”
“Baiklah...” kata High Leader Vabalife. Kemudian ia segera mencabut pedangnya dari bahu High Leader Zanuqiyaqo, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi hendak melakukan tusukan terakhir. High Leader Zanuqoyaqo pun menutup kedua matanya. Nampaknya ia sedang berusaha mengenang ingatan masa lalunya. Kemudian tusukan terakhir itu dilancarkan disertai teriakan penuh keinginan membunuh dari High Leader vabalife.
Namun serangan terakhir itu tiba-tiba terhenti ketika seseorang berteriak ke arah mereka “HENTIKAN SEMUA INI!!!” Kedua pemimpin itu segera mengenali suara siapa ini. Suara yang indah yang berasal dari seorang wanita cantik. Suara ini adalah suara Ratu Mellisa!.
Kedua pemimpin itu segera melihat ke arah Ratu Mellisa. Sungguh keajaiban, ia masih hidup. Para prajurit yang berada di sekeliling mereka juga menghentikan pertempuran ketika melihat wanita ini. Mereka mulai berbisik-bisik dan saling berbicara. Berita mengenai Ratu Mellisa inipun tersebar begitu cepat ke seluruh medan perang. Ribuan prajurit yang tengah berperang itupun mulai menghentikan pertempurannya satu demi satu.
“Ka...kau masih hidup...” kata High Leader Vabalife sambil menatap Ratu Mellisa.
“Syukurlah...” kata High Leader Zanuqoyaqo yang masih terkapar.
Namun tiba-tiba Ratu Mellisa berkata dengan lantang “Apa-apaan kalian ini? Mengapa saling bertarung seperti ini, padahal kita adalah saudara??? Suamiku, yang menyerangku barusan barusan bukanlah prajurit Yakavali...”
High Leader vabalife kaget dan menoleh ke arah High Leader Zanuqoyaqo yang sedang terkapar, lalu menyadari bahwa ia memang bersalah. Ia segera menoleh ke arah Ratu Mellisa lagi dan bertanya “Lalu siapa yang menyerangmu? Dan mengapa kau masih hidup?”
“Ini semua perbuatan dua orang letnan kepercayaanmu, Husein dan Lovrin! Dan yang menyerangku barusan adalah salah satu dari anak buah mereka yang berada di antara pasukan Yakavali. Dan mereka jugalah yang terus merampas ladang-ladang kita dengan mengatasnamakan penduduk Yakavali selama ini!” kata Ratu Mellisa panjang lebar.
“Yah, itulah kenyataannya! Untunglah aku datang tepat waktu sehingga masih dapat mengobati luka istrimu!” kata Gondlaf.
High Leader Vabalife terpaku mendengarkan kenyataan ini. Tiba-tiba ia merasakan rasa bersalah yang amat sangat besar. Ratusan orang kehilangan nyawa karena kecerobohannya ini. Ia sungguh tidak bisa menahan perasaannya lagi. Baginya, memenggal kepalanya sendiri adalah jalan yang terbaik untuk memaafkan dirinya sendiri.
“Sudah kukatakan padamu sebelumnya! Aku tidak pernah menculiknya!” kata High Leader Zanuqoyaqo mendadak sambil terkapar.
“Ma...maafkan aku!” kata High Leader vabalife.
“Huh, sudahlah... tidak apa... lagipula aku juga mau minta maaf karena sampai ikut menyebabkan perang ini...” kata High Leader Zanuqoyaqo “Mulai sekarang, maukah kita semua berdamai, bukan hanya untuk saat ini, tetapi untuk selamanya?”
High Leader Vabalife tersenyum mendengar hal ini, kemudian berkata “Tentu saja!”
Seketika itu juga terdengar suara yang bergemuruh. Ribuan prajurit mendadak bersuka hati karena perdamaian ini. Biarpun selama ini mereka tampaknya saling membenci, namun sekarang terlihat bahwa mereka sudah lama sekali menginginkan perdamaian. Para prajurit itu kini saling berpelukan dan menangis, dan bernyanyi dengan gembira. Perangpun berakhir.
***
Chapter 28 :
                Beberapa hari setelah perang itu berakhir, penduduk dari kedua negeri Ciruas mulai saling berhubungan dan berdamai. Mereka merasa menyesal atas apa yang mereka perbuat selama ini. Dalam 1 tahun terakhir ketika perang semakin memanas, hampir 1.000 orang prajurit yang berjatuhan menjadi korban peperangan, entah dari Yakavali maupun Hamavapaqu. Kini, dengan semangat perdamaian yang baru, mereka bermaksud membangun kembali negeri mereka bersama-sama. Namun rasa suka cita ini tak bisa bertahana cukup lama, karena ancaman dari Sitio. Karena itulah, siang ini pemimpin dari kedua Ciruas melakukan pertemuan dengan rombongan Gondlaf.
                “Besok adalah hari yang sudah dijanjikan Lord Mliit... Ia akan tiba di sini besok...” kata Gondlaf mengawali pembicaraan “Kita harus mulai memikirkan keberangkatan selanjutnya!”
                “Yah, keadaan di sini juga sudah aman... kedamaian sudah tercapai... kami akan segera mengirimkan bantuan ke Lopang Kingdom secepatnya!” kata High Lader Vabalife.
                “Hmmm... terima kasih kalau begitu! Sekarang para pengungsi dari Royale Palace sudah berhasil diselamatkan, dan para prajurit dari Royale Palace juga sudah sampai di Lopang Kingdom. Ditambah bantuan para dwarf dan kalian, kurasa kita sudah menghimpun sebuah kekuatan yang cukup besar!” kata Kapten Gandhi.
                “Tidak, itu hanya sedikit lebih banyak dari setengahnya... kurasa seluruh kekuatan yang berada di pihak kita sekarang baru 5/8 bagian dari seluruh kekuatan yang ada yang kita butuhkan untuk melawan Sitio...” kata Gondlaf tiba-tiba. Semua menjadi kaget mendengar hal ini.
                “Maksudmu, prajurit kami ini lemah?” tanya High Leader Zanuqoyaqo mendadak.
                “Tidak, bukan itu maksudku... tapi, di antara ras manusia, negeri yang memiliki laskar prajurit paling kuat adalah Kebo Knightdom! Sedangkan para Elf juga memeganga pengaruh kekuatan yang cukup besar karena kemampuan memanah mereka yang tak tertandingi!” kata Gondlaf menjelaskan panjang lebar.
                “Jadi sekarang bagaimana rencananya?” tanya Alvin.
                “Baiklah akan kujelaskan!” kata Gondlaf “Aku akan pergi berdua bersama Lord Mliit ke selatan mencari para elf, sedangkan Viktul, Alvin, Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin, kalian pergilah ke Kebo Knightdom!”
                “Hah??? Yang benar saja??? Kau hanya pergi berdua?” tanya Viktul.
                “Yah, begitulah para elf itu... Saking tidak percayanya pada manusia, mereka biasanya hanya membiarkan beberapa orang utusan saja yang memasuki wilayah mereka... Kalian tenang saja. Lord Mliit mengatakan bahwa ia membawa sejumlah pasukan, jumlahnya sekitar 200 orang, untuk melindungi Viktul! Jadi kurasa kalian akan tetap aman tanpa aku...” kata Gondlaf.
                “Bukan itu yang aku khawatirkan... bagaimana denganmu?” tanya Viktul lagi. Gondlaf tersenyum mendengar pertanyaan ini. Ia hendak menjawab, namun seseorang mendahuluinya dalam menjawab.
                “Kalau begitu biarkan aku menemani Gondlaf dan Lord Mliit!” kata High Leader Zanuqoyaqo. Semuanya kaget mendengar hal ini. Kemudian ia melanjutkan perkataannya “Jujur saja, asal kalian tahu, sebenarnya aku juga berdarah elf!”
                Semua kaget mendengar hal ini. Kemdian High Leader Zanuqoyaqo yang menyadari kekagetan mereka berbicara lagi “Jujur saja, ayahku pernah punya wanita simpanan di hutan, dan wanita itu adalah seorang elf! Hahaha... aku malu menceritakannya, tetapi sebenarnya aku adalah seorang yang mereka sebut ‘anak haram’!”
                “Huh, itu tidak masalah! Menurutku kemuliaan hatimulah yang menentukan siapa engkau, dan aku kira kau adalah seorang anak yang terlahir untuk membawa kedamaian bagi tanah Ciruas!” kata High Leader vabalife “Dan lagi, jika memang begitu, lalu bagaimana dengan seluruh prajurit Yakavali?”
                “Aku percayakan mereka padamu!” kata High Leader Zanuqoyaqo sambil tersenyum. High Leader Vabalife tersentuh karena menerima kepercayaan ini.
                “Hmmm... begitu ya... asal-usulmu menarik juga... kurasa kau dapat membantu!” kata Gondlaf kepada High Leader Zanuqoyaqo.
                “Satu lagi...” kata pemimpin itu “Karena kita akan melakukan perjalanan panjang bersama, tolong jangan panggil aku dengan sebutan tuan dan sebagainya... Panggil saja aku Zanu! Kurasa itu lebih mengakrabkan kita!”
                “Baiklah tuan... Oh, maaf, maksudku, Zanu!” kata Gondlaf dan mereka semua tertawa. “Kurasa Lord Mliit juga akan lebih senang jika dipanggil dengan namanya saja...”
                “Baiklah kalau begitu... Sepertinya rencana sudah matang... Tapi aku ada satu pertanyaan... Di mana kita akan bertemu lagi berikutnya?” tanya Alvin kepada Gondlaf.
                “Lopang Kingdom!” kata Gondlaf dengan nada penuh keyakinan. “Dan di sana jugalah pertarungan terakhir itu mungkin akan terjadi...”
                Semuanya terdiam mendengar hal ini. Viktul pun segera merenunginya. Tak pernah ia sangka, ia akan segera kembali lagi ke Lopang Kingdom dan menghadapi pertarungan terakhir secepat ini. Selama ini ia memang sudah melalui berbagai hal yang amat sulit. Iapun yakin bahwa ia akan dapat menyelesaikan kesulitan yang berikutnya.

Mengenai Saya

Foto saya
serang, banten, Indonesia
saya adalah mahasiswa yang selalu ingin menjadi lebih baik dari orang lain..