hooy mas broo dah lama amat gak update blog ini..
hmmmm...
apa yaaah skrng,,
mungkin skrng gue mau cerita tentang gebetan nihh..
gebetannn?
ohh my goshh..
gebetann?
oh iya sebelum cerita..
pengen tau gak sih arti dari gebetan itu apa..
gebetan itu bisa di artikan sebagai calon pacar yang mungkin fifty fifty...
klo sekarang, hari ini , jam ini, menit ini, detik ini..
gue mungkin lg punya gebetan skrng..
skrng?
iya sekarang..
hahahahaha...
pusing dah gue..
awalnya sihh pengen kenalan..
tapi krn penasaran jd bbmn..
*nahlohh
jadi gebetan dehh..
kyna skrng gue agak meragukan sih..
tapi di jalananin aja lahh semuanya..
nyari kecocokan dlu..
hahaha..
eh btw mau tau gak ciri ciri gebetan gue kya gmn..
orangnya tinggi lohh.
terus yang paling penting dia tuh cewe bukan cowo..
oke ini di perjelas gebetan gue tuhh CEWE bukan COWO..
baik sihh tp agak jutek..
tp suka :D
haha, alay..
bisa di bilang banget..
apalagi klo badmood..
ughh bisa jamuran nungguin bbm..
udahan ahh..
bersambung
Rabu, 11 April 2012
THE LORD OF THE TEETH
Lord Of
The Teeth
Chapter 1 : The
Destined Man
Perang antara prajurit kera dan
manusia sudah berlangsung hingga ratusan tahun. Sebelumnya manusia dan para
kera hidup berdampingan sampai akhirnya raja kera baru yang bernama Sitio yang
kejam memutuskan untuk membinasakan umat manusia dan bermaksud menguasai
seluruh Bumi Serang. Penyerangan para kera terjadi pada tahun 2350 waktu Bumi
Serang. Tetapi para manusia tidak tinggal diam. Dengan menyatukan kekuatan,
para manusia berhasil memukul mundur para kera hingga menyudutkannya di
negerinya sendiri, di Lembah Citra Gading yang dikelilingi gunung-gunung tinggi
yang suram dan berbahaya. Hanya para keralah yang dapat melewatinya. Karena
itulah para manusia memutuskan untuk mengurung kera-kera itu dibalik pegunungan
ini.
Setelah mengalami kekalahan,
para kera ini terus berdiam di negerinya dan mengumpulkan kekuatan. Raja keraa Sitio amat sakti sehingga ia dapat hidup selama ribuan tahun. Tetapi, pada
pertarungan terakhirnya melawan manusia, giginya berhasil dipatahkan dan
disembunyikan para manusia sehingga kekuatannya melemah. Karena itulah ia terus
menunggu saat yang tepat untuk melakukan serangan balasan.
***
1000 tahun telah berlalu sejak
pertarungan besar para kera melawan manusia. Pada pertarungan sebelumnya menghabiskan
waktu 10 tahun, jadi waktu saat ini adalah tahun 3360 waktu Bumi Serang. Para
manusia sudah melupakan perang besar 1000 tahun yang lalu yang melibatkan
seluruh makhluk yang tinggal di Bumi Serang.
***
Di Bumi Serang terdapat sebuah
desa kecil bernama Desa ManggaDua. Desa ini terletak di dekat Lopang Kingdom,
kerajaan yang memimpin umat manusia 1000 tahun lalu untuk melawan para manusia
kera. Di desa manggaDua tersebut hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama
Viktul. Usianya baru sekitar 15 tahun. Ia memiliki tubuh yang kurus dan rambut
yang trendi. Ia senang sekali pergi memancing. Lalu, pada suatu sore ketika ia
memancing, tiba-tiba ia melihat sinar menyilaukan yang berasal dari hulu
sungai. Karena penasaran, maka ia segera berjalan mendekati sinar itu. Setelah
berjalan cukup jauh, akhirnya ia menemukan sinar itu berasal dari dasar sungai.
Viktul segera melompat ke dalam sungai dan mengambil benda yang menghasilkan
sinar itu.
Entah mengapa air di sekitar
sinar tersebut terasa lengket. Viktul menjadi kesulitan untuk berjalan. Air itu
pun menjadi agak bau. Lalu Viktul mencoba untuk merangkak dan meraba-raba dasar
sungai tersebut. Setelah mencari cukup lama, tiba-tiba Viktul merasakan sesuatu
yang bergejolak di dekat telapak tangannya. Ia mengikuti kekuatan itu dan
akhirnya menemukan sesuatu yang terasa bergetar di telapak tangannya.
Viktul segera mengangkat benda
tersebut dari dasar air. Ternyata benda tersebut adalah benda semacam gigi
patah! Tiba-tiba saja Viktul merasakan perasaan aneh yang belum pernah ia
rasakan sebelumnya. Ia merasa sangat ingin memasang gigi patah itu di giginya.
Perasaan itu semakin lama semakin kuat sehingga ia menjadi tak kuat lagi
menahan perasaan itu. Iapun menuruti perasaannya dan memasang benda itu di
giginya...
***
Di lain tempat, di Lembah Citra
Gading tempat para kera setinggi 2 meter dan berbadan besar itu tinggal, yang
dipimpin oleh Sitio tiba-tiba menjadi gempar. Tiba-tiba saja Sitio terbangun
dari pertapaannya dan berteriak “ GIGIKU!!!GIGIKU TELAH DITEMUKAN!!! “ Serentak
seluruh kera menjadi besar. Mereka berteriak-teriak bersama Sitio. Teriakan
mereka yang mengerikan ini bahkan tersengar ke seluruh penjuru Bumi Serang.
Gondlaf, guru daripada Viktul
yang juga penyihir hebat yang tinggal di Desa ManggaDua, mendengar teriakan ini
dan tiba-tiba menjadi ketakutan. “A...Apakah ini.... Kebangkitan dari Sitio???
Jika memang benar akan hal itu, maka dunia ini akan kembali terancam bahaya!!!”
kata Gondlaf kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengar teriakan warga desa
dari arah gerbang masuk ke desa. Gondlaf segera berlari menuju ke sana.
“Apa yang terjadi di sini?”
Gondlaf bertanya kepada salah seorang warga desa yang berada di sana, dan tanpa
diduga-duga ia melihat Viktul yang sedang mengamuk dan menggigiti orang-orang
desa yang sedang menghalanginya. Gondlaf sangat terkejut melihat hal ini,
apalagi ketika ia melihat gigi Viktul yang membesar dan berwarna berkilauan,
serta air liurnya terus mengalir ke mana-mana.
“Viktul, muridmu... Ia
menggigiti semua warga desa yang ditemuinya!!!!” kata salah seorang warga desa
yang panik.
“Celaka, jangan-jangan ini...”
Gondlaf segera berlari ke arah Viktul sambil mengangkat tongkatnya. Ketika
melihat Gondlaf mendekat, Viktul segera berlari ke arahnya hendak menggigitnya.
Tetapi si tua Gondlaf bergerak dengan cepat dan memukul gigi Viktul hingga
lepas. Viktul langsung mengerang kesakitan dan berguling-guling di atas tanah.
“Viktul!!! Sadarlah!!!” kata
Gondlaf sambil memegangi kepala Viktul. “Ambilkan aku segeelas air! Dan juga segera
bawa orang-orang yang tergigit oleh Viktul ke rumah tabib!!! Cepat!!!” kata
Gondlaf sengan ketakutan. Semakin lama kesadaran Viktul semakin menghilang.
Semakin lama semakin hilang. Akhirnya Viktul pingsan dan tak bisa mengingat
apa-apa lagi.
Keesokan
paginya, tiba-tiba Viktul terbangun di atas tempat tidurnya. Ia hendak bangun
bangun tetapi tiba-tiba giginya terasa sakit. Tiba-tiba sesosok pria tua dengan
jenggot dan kumis yang menutupi mulutnya serta berambut putih panjang masuk ke
kamar Viktul. Itu adalah Gondlaf.
“Jangan
takut, ini aku!” kata Gondlaf tersenyum.
*Untuk Gondlaf dapat dibayangkan sebagai siapa saja asalkan bukan
bagian dari 5 fali (Mliit,Virlu,Zanu,Vabalife,Rapavaxava)
“A...Apa
yang terjadi padaku???” tanya Viktul penasaran.
“Tenang
dulu, sebelumnya katakan padaku dari mana kau menemukan benda busuk ini?” tanya
Gondlaf sambil menyodorkan sebuah bungkusan kepada Viktul. Ketika Viktul
membukanya, ia melihat sebuah gigi patah di dalamnya. Gigi yang ditemukan oleh
Viktul di sungai itu kemarin. Ketika Viktul hendak menyentuhnya, Gondlaf segera
melarangnya “Hentikan, jangan sentuh benda iblis menjijikkan itu!”
“Me...Mengapa?”
tanya Viktul keheranan.
“Benda iblis itu, benda yang
digunakan oleh raja kera Sitio 1000 tahun lalu untuk menyerang para manusia.
Benda mengerikan itu memiliki kekuatan yang membuat pemegangnya menginginkan
untuk memasang benda itu di mulutnya. Hanya Sitiolah yang manpu mengendalikan
kekuatan itu!” Gondlaf mulai menjelaskan. “Semua orang selain Sition yang
memasang benda itu akan menjadi haus darah dan ingin menggigit siapapun yang
ditemuinya. Dan semua orang yang sudah tergigit akan berubah menjadi monster
mengerikan yang lebih mengerikan dari manusia kera. Dengan benda inilah Sitio
dapat menghimpun pasukan monster yang dahsyat!!!”
“A...Aku ingat! Kemarin aku
setelah aku menemukan benda itu, aku merasa ingin sekali memasangnya di gigiku!
Setelah aku memasang benda itu di gigiku, tiba-tiba aku merasa ingin menggigit
sesuatu. Saking kuatnya keinginan itu, aku jadi dapat merasakan keberadaan
manusia di sekitarku! Maka aku segera berlari ke desa, dan...dan...menggigiti
orang-orang desa...” kata Viktul kaget. “Ba...Bagaimana ini??? Apakah mereka
akan berubah menjadi monster dalam sepuluh hari???”
“Tenang saja nak, aku tahu cara
mengobati mereka. Aku akan merawat mereka selama sepuluh hari hingga mereka
sembuh.” Kata Gondlaf.”Tapi kau... Bagaimana mungkin kau bisa menemukan benda
tersebut? Jangan-jangan kau adalah orang terpilih yang mendapatkan tugas untuk
melenyapkan benda tersebut...”
“A...Aku...Tapi, bagaimana
caranya melenyapkan benda itu?” tanya Viktul keheranan.
“Tenang saja nak sekarang kau
pergilah ke Lopang Kingdom. Temui Lord Mliit dan beritahukan hal ini kepadanya!
Beritahukan juga, mungkin raja kera Sitio telah bangkit! Cepat atau lambat ia
akan segera kembali dan berusaha merebut benda ini!”kata Gondlaf. “Ia akan
memberikanmu perlindungan!”
“Ta...Tapi, bagaimana aku akan
ke sana? Jika benar Sitio akan kembali, maka ia pasti akan mengirimkan anak
buahnya untuk memburuku!” kata Viktul. “Aku harus segera mengirimkan gigi ini,
tetapi kau harus merawat orang-orang desa...”
“Tenanglah, kau akan mendapatkan
bantuan!” tiba-tiba Gondlaf berteriak ke arah toilet “ HEI KAU YANG SEDANG
BERADA DI TOILET DAN MENDENGARKAN! CEPAT KELUARLAH KE SINI!!!” Suara Gondlaf
yang membahana dan menakutkan nampaknya berhasil membuat orang yang bersembunyi
di toilet tersebut keluar. Viktul sangat kaget ketika mengetahui bahwa ada
orang yang sedang bersembunyi di toilet.
Ternyata orang tersebut adalah
Alvin si Kakek. Alvin adalah teman baik Viktul. Ia bertubuh kecil dan gemuk,
berkacamata, serta memiliki rambut yang beruban sehingga ia di sebut Alvin si
Kakek. “Ma...Maafkan aku... aku tak sengaja mendengarkan... maaf!”
“Sudahlah... lagipula aku tahu
bahwa kau adalah teman baik Viktul karena itu aku akan memohon bantuanmu untuk
menemani Viktul untuk membawa gigi ini! Lagipula aku dengar kau menguasai
sedikit ilmu pedang?” kata gondlaf dengan lembut.
“Ya...sedikit...” jawab Alvin.
“Me...mengapa dia?” tanya Viktul
keheranan.
“Kurasa hanya ialah orang yang
dapat kupercaya. Banyak warga desa yang sudah mengetahui kekuatan daripada gigi
ini. Aku rasa mereka yang berhati busuk akan memilih untuk merebutnya darimu
dan menggunakan kekuatannya! Kurasa hanya temanmu Alvinlah satu-satunya orang
yang tidak akan merebut benda ini dari tanganmu!” jawab Gondlaf “ Benar kan?”
“Ya...ya, tentu saja! Aku tidak
akan mengkhianat temanku!” jawab Alvin dengan penuh keyakinan. Gondlafpun
tersenyum.
“Kalau begitu kalian segeralah
pergi! Persiapkanlah diri kalian baik-baik! Sebaiknya kalian pergi malam ini
selagi warga yang lain masih tidur! Kalian harus pergi secara diam-diam! Aku
akan menyusul kalian 10 hari lagi!” kata Gondlaf.
“Baiklah!” kata Viktul dan Alvin
bersamaan. Kemudian Alvin segera pulang ke rumahnya dan mempersiapkan
segalanya. Alvin juga adalah anak yatim piatu seperti Viktul. Mungkin karena
inilah ia bersahabat erat dengan Viktul. Mereka berdua selalu saling tolong
menolong dan tak pernah saling mengkhianati satu sama lain. Persahabatan mereka
sangatlah tulus.
Pada sore harinya, Gondlaf
datang ke rumah Viktul setelah merawat warga desa yang terluka akibat serangan
Viktul. Lalu ia berbicara kepada Viktul “ Apakah kau sudah siap? Hari sudah
semakin gelap. Seperti yang kuperkirakan, warga desa itu terus bertanya
mengenai dirimu dan gigi itu. Sebagai gurumu tentu saja aku melindungimu!”
Tetapi Viktul diam saja. Lalu
Gondlaf pun mencarinya dan menemuinya sedang terduduk di toilet dan tampak
ketakutan. Ia terus menatap lantai. Lalu Gondlaf bertanya “Ada apa nak?”
“A...apa aku adalah orang
berhati busuk?” tanya Viktul sambil
tetapi menatap ke lantai.
“Ah, tentu saja tidak! Apa yang
membuatmu berpikir demikian?” tanya Gondlaf.
“Kau bilang, mereka yang berhati
busuklah yang akan menggunakan gigi ini...Apa...aku...”
“Tentu saja tidak! Asal kau
tahu, setiap orang pasti memiliki sisi gelap di hatinya, biarpun sedikt.
Bahkan, akupun masih memiliki sedikit sisi gelap di hatiku!” kata Gondlaf
tegas.
“Benarkah?” tanya Viktul.
“ya, dan salah satu kekuatan
dari gigi ini adalah, gigi ini akan mengembangkan sisi gelap yang ada di hati
kita sehingga hati dan pikiran kita menjadi jahat! Ini semua bukan salahmu,
mengerti?” kata Gondlaf.
“Tapi jika begitu, berarti tidak
ada masalah dengan siapa yang memegang gigi ini bukan?” tanya Viktul lagi.
“Hmmm... Tetapi kau berbeda!
Kalau orang biasa, setelah memasang gigi ini, cepat atau lambat ia pasti akan
berubah menjadi monster juga, tetapi kau lain... Kau hanya mengamuk, tetapi
itupun seperti dapat sedikit kau kendalikan! Jadi, aku yakin kalau kau adalah
orang yang tepat, lagipula aku telah membuat 2 gigi depan atasmu copot dengan
pukulanku, aku harap itu akan bisa selalu mengingatkanmu akan hal ini, jika
suatu saat nanti kau hendak memasang gigi itu dan tidak menemukan kedua gigimu
yang sudah hilang itu!” kata Gondlaf.
Viktul kemudian tampak puas dan
diam sejenak, lalu berkata “Hmmm, baiklah! Akan kuingat selalu hal ini!”
Lalu tiba-tiba Gondlaf memeluk
Viktul dan berbisik “Asal kau tahu, kau adalah murid terbaik yang pernah
kumiliki!”
***
Malampun tiba. Viktul dan Alvin
telah bersiap-siap untuk pergi. Mereka sedang berdiri di depan pintu rumah
Viktul bersama Gondlaf. Sebelum berangkat, Gondlaf memberikan sebuah kalung Mutiara
hitam kepada Alvin. “ Kalung ini akan menyala jika kejahatan mendatangimu!
Berhati-hatilah!”
“Baik!Aku pasti akan melindungi
Viktul dengan sekuat tenagaku, karena Viktul adalah...temanku!!!” kata Alvin
serius.
Gondalfpun tersenyum. Viktul dan
Alvin segera memulai perjalanannya. Perjalanan inilah yang di kemudian hari
akan mengubah dunia.
***
Chapter 2 : The
Beginning of Long Journey
Sudah 7 hari berlalu sejak
Viktul dan Alvin meninggalkan desa. Mereka harus melewati hutan lebat yang
menghubungkan Desa ManggaDua dan Lopang Kingdom. Karena perbatasan hutanyang
lebat ini jugalah, warga desa maupun warga Kerajaan jarang melakukan hubungan
apapun.
Lalu, di suatu sore, ketika
matahari sudah mulai terbenam, Viktul memutuskan untuk berhenti. Lalu ia melihat
Alvin yang sedang duduk kemudian berdiam diri. Tiba-tiba Viktul ingin
menanyakan suatu hal yang sudah ingin ia tanyakan kepada Alvin ketika mereka
meninggalkan desa. Maka, Viktul bertanya kepada Alvin “Ada apa? Kau tampak
sedih...Apa kau sedih karena telah meninggalkan desa?”
Lalu Alvin menoleh dan tampak
kaget “Eh, sedih???” kemudian Alvin tertawa-tawa “Hahahahahahahahaha....
Bagaiman mungkin aku bisa sedih??? Justru selama ini aku ingin pergi ke luar
desa, tetapi Kepala Desa selalu melarangku. Dan mungkin karena dengan pergi
menemanimu maka aku bisa pergi ke luar desa, aku langsung menyetujui untuk
menemanimu yah??? Hehehe... Kepala Desa selalu mengatakan bahwa kehidupan di
luar sini amat berbahaya! Karena itu jugalah aku belajar ilmu pedang. Hehehe...
ada-ada saja kau...”
“A...apa???Jadi kau menemaniku
hanya agar bisa pergi keluar desa???” tanya Viktul terkejut.
“I...iya...mungkin...hehehe...”
lalu tiba-tiba Viktul mendorong Alvin dan mereka jatuh terguling-guling.
Setelah itu mereka tertawa-tawa.
Tetapi, nampaknya keceriaan ini
akan segera berakhir. Tiba-tiba kalung mutiara Alvin hasil pemberian Gondlaf menyala-nyala sambil
mengeluarkan suara ngung kecil. Kalung mutiara hitam itu juga bergetar-getar.
“A...ada apa ini...” Alvin
bertanya-tanya “Celaka...jangan-jangan kita sedang berada dalam bahaya!”
“A...ap...apa...Celaka...Ayo
kita lekas pergi dari sini!”
Kemudian Viktul dan Alvin segera
mempersiapkan segalanya untuk segera berangkat. Begitu mereka mulai
melangkahkan kakinya, tiba-tiba muncul suara bergemeresik dari pepohonan dan
rerumputan yang tinggi, kemudian melompatlah beberapa sosok tak dikenal yang
mengerikan ke hadapan Viktul dan Alvin. Makhluk-makhluk itu seperti kera yang
seluruh tubuhnya diperban dan wajahnya sudah membusuk. Lalat dan belatung
mengerumuni wajah dan tubuhnya. Sepasang pedang pendek dipasangkan di kedua
punggung tangannya, seakan-akan makhluk-makhluk ini memang diciptakan untuk
membunuh.
“Gawat...jumlah mereka banyak
sekali...Ada 3...bukan, 4 ekor!”kata Alvin ketakutan “Ayo, kita segera pergi
dari sini!” kata Alvin sambil menarik tangan Viktul. Tetapi Viktul yang
ketakutan hampir tak bisa bergerak, sehingga ketika Alvin menarik tangannya, ia
malah terjatuh. Alvin tidak punya pilihan lain selain mencabut pedangnya yang
pendek dan berdiri di samping Viktul untuk melindunginya.
“Kalian tak akan kubiarkan
menyentuh temanku! Aku akan melindunginya sampai kapanpun!” kata Alvin kepada
makhluk-makhluk itu sambil memberanikan diri. Makhluk-makhluk itu kemudian
bergerak dengan cepat mengelilingi Viktul dan Alvin. Keringat dingin terus
mengalir dari tubuh Viktul. “Jangan takut! Kita akan baik-baik saja!” kata
Alvin menyemangati.
Makhluk-makhluk itu terus
mencoba mendekat dengan hati-hati. Terkadang merka mengayunkan pedang yang sudah
menyatu dengan tangannya itu ke arah Viktul dan Alvin, tetapi Alvin selalu
menghindarinya. Viktul yang masih ketakutan terus duduk dan tak bergerak.
Tiba-tiba salah satu makhlk itu melompat ke depan sambil mengarahkan pedangnya.
Alvin berhasil bergerak menghindarinya dan makhluk itu melewati Alvin. Tetapi,
tiba-tiba makhluk yang lain melompat dari belakang dan berhasil menebas lengan
kanan Alvin sehingga pedang Alvin terjatuh.
Alvin mengerang kesakitan sambil
memegangi lengan kanannya, dan kemudian terduduk. Alvin yang kesakitan sudah
merasa tak mampu untuk berbuat apa-apalagi. Tiba-tiba salah satu makhluk
melompat ke arah mereka. Alvin kemudian menutup matanya dan berbisik ke telinga
Viktul “Maafkan aku temanku...”.
Tetapi, tiba-tiba terdengar
suara erangan kesakitan dari makhluk itu. Karena penasaran maka Alvin membuka
matanya dan melihat makhluk yang melompat tadi sudah terguling-guling di tanah
dengan sebuah anak panah menancap pada punggungnya. 3 makhluk yang lain menoleh
ke arah datangnya anak panah itu, dan mendapati beberapa orang, sekitar 20
orang, sedang berjalan menuju ke arah mereka.
Orang-orang itu memakai seragam
seperti prajurit. Kemudian beberapa dari mereka mempersiapkan busurnya dan yng
lain mempersiapkan pedangnya. Makhluk-makhluk itu segera berlari ke arah
mereka, tetapi para pemanah segera melepaskan anak panahnya dan membuat 2 dari
makhluk itu terjatuh tak berdaya. Tetapi ada satu makhluk yang masih bertahan,
dengan anak panah menancap di bahunya. Ketika ia sudah berada cukup dekat dengan
para prajurit itu, ia segera melompat, tetapi tiba-tiba salah seorang prajurit
maju dengan gerakan cepat dan berhasil menancapkan pedang ke dada makhluk itu
sebelum makhluk itu sempat berbuat apa-apa.
Kemudian, setelah memastikan
makhluk-makhluk itu telah terbunuh, orang-orang itu berjalan mendekati Viktul
dan Alvin. Tetapi tiba-tiba penglihatan Alvin menjadi buram. Semakin lama ia
semakin tak bisa melihat apa-apa lagi, dan akhirnya ia jatuh pingsan. Alvin
pingsan akibat kelelahan dan darahnya banyak yang terbuang akibat terkena
sabetan pedang yang dalam dari makhluk-makhluk itu.
***
Kemudian, pada suatu siang yang
terik, Alvin terbangun dari pingsannya. Ia kaget sekali, karena ternyata ia
tidak terbangun di tengah hutan, tetapi terbangun di sebuah kamar yang megah.
Ranjangnya trasa sangat empuk dan jendela yang tampaknya berwarna emas terbuka
lebar. Banyak perhiasan indah tergantung di dinding. Alvin bingung. Ia
merasakan ada sesuatu yang menimpa kakinya. Ketika Alvin bangun dan berusaha
untuk melihatnya, ternyata itu adalah Viktul yang sedang tertidur.
Karena pergerakan Alvin, Viktul
menjadi terbangun. Alvin segera meminta maaf kepada Viktul, tetapi Viktul hanya
tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa.
Kemudian Alvin bertanya kepada
Viktul “ Di mana ini?”
“Kita berhasil! Kita sudah
sampai di Lopang Kingdom! Lihat ruangan ini! Hebat bukan? Bisakah kau menebak
kamar apa ini?” jawab Viktul.
“Hmmm... istana raja?”
“Salah!” kata Viktul tersenyum.
“Ini adalah rumah tabib!!! Hebat bukan?”
“Be...benarkah???He...hebat
sekali...hehehe...” kata Alvin kagum. “Ngomong-ngomong, sudah berapa lama aku
pingsan? Kejadian di hutan itu benar-benar mengerikan...Maafkan aku, Viktul...
Aku sama sekali tidak bisa melindungimu...”
“Tak apa! Kau sudah pingsan
selama 3 hari! Itu membuktikan bahwa kau telah berusaha sangat keras untuk
melindungiku! Huh, aku sendiri tak bisa berbuar apa-apa saat itu...Kau sangat
hebat temanku!” kata Viktul menyemangati.
“Hehe. Kau memang baik temanku!
Lain kali aku pasti akan berusaha lebih keras! Aku janji!” lalu Alvin
melanjutkan “Dan... kau bilang aku sudah pingsan selama 3 hari, itu berarti ini
adalah hari kesepuluh sejak kita pergi! Bagaimana dengan Gondlaf? Apa Ia sudah
ke sini?”
“Aku baru saja mendapat pesan
darinya. Ia baru saja berangkat setelah berhasil menyembuhkan seluruh warga
desa yang menjadi korbanku waktu itu. Hehehe...”
“Lalu...Apa kau sudah
memberitahukan pesan Gondlaf Kepada Lord Mliit? Bagaimana selanjutnya?” tanya
Alvin penasaran.
“Hmmm...kurasa itulah
masalahnya... Lord Mliit dan Jendralnya tidak mempercayai ceritaku, bahkan
setelah aku menunjukkan gigi ini... Kurasa untuk langkah selnjutnya sebaiknya
kita menunggu Gondlaf saja!” kata Viktul.
“Hmmm...Baiklah!
Ngomong-ngomong, sampai kapan aku boleh tidur di ranjang empuk ini? Hehehe...”
***
Chapter 3 : Sitio’s
First Attack
Setelah
itu, Alvin memutuskan untuk berjalan-jalan di Lopang Kingdom. Menurutnya, tak
ada gunanya mereka memaksa Lord Mliit untuk mempercayai mereka. Karena hal
itulah, Alvin memutuskan untuk menunggu Gondlaf saja. Memang benar, pemandangan
di Lopang Kingdom sangat sulit dipercaya bagi orang yang lahir dan besar di
desa. Banyak sekali bangunan-bangunan megah di sana-sini. Lopang Kingdom juga
memiliki banyak sekali jalan berliku-liku. Viktul dan Alvin pernah beberapa
kali tersesat ketika berjalan di jalan-jalan Lopang Kingdom. Menurut Alvin,
dibandingkan Desa ManggaDua, Lopang Kingdom 100 kali lebih besar dan hebat.
Viktul yang kesal karena kelakuan Alvin yang terus membanding-bandingkan antara
Lopang Kingdom dan Desa ManggaDua memilih untuk diam saja selama Alvin
mengoceh. Tetapi Alvin terus saja mengoceh tentang kehebatan Lopang Kingdom.
Di tengah-tengah Lopang Kingdom,
terdapat gedung yang amat besar dan megah. Dindingnya tampak terbuat dari emas
dan berkilauan ketika terkena terpaan matahari. Alvin benar-benar kagum dengan
hal yang sedang dilihatnya ini. Viktul yang menyadari akan hal ini kemudian
berkata “ Itu adalah Kingdom Hall. Aku sudah pernah masuk ke dalam sana. Hebat
sekali semua hal yang ada di dalam sana.”
Alvin terkejut, kemudian berkata
“ Hah??? Bagaimana mungkin? Kapan?”
“Aku masuk ke sana tempo hari
ketika kau sedang pingsan, ketika aku mengirimkan pesan yang diberikan oleh
Gondlaf!” jawab Viktul “Huh, padahal kau sudah kuajak untuk menemui Lord Mliit
di sana kemarin, tetapi kau menolak karena ingin jalan-jalan...”
Alvin menjadi merasa menyesal
“Ma...maafkan aku! Ayo sekarang kita ke sana dan memberitahukan pesan Gondlaf!”
“Huh, enak saja...sekarang aku
sedang ingin menunggu Gondlaf tahu! Aku yakin sebentar lagi ia akan datang!”
kata Viktul dengan nada meledek.
“Hah...” kata Alvin memelas.
Tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki kuda yang sedang berlari ke arah mereka. Suara langkah kaki ini
terdengar amat ringan. Viktul yang menyadari langkah kaki kuda siapa ini
tiba-tiba merasa lega dan menoleh. Tetapi sebelum Viktul sempat menoleh, si
penunggang kuda itu sudah berteriak dengan suara lantang “Hei, bocah-bocah! Aku
tidak menyuruh kalian ke sini untuk bermain-main!”, kemudian penunggang kuda putih
itu tersenyum kepada mereka.
“Gondlaf!” kata Alvin dan Viktul
bersamaan. Mereka merasa sangat senang dan berlari ke arah Gondlaf yang sudah
menghentikan kudanya.
“Bagaimana kabar kalian? Apa
kalian sudah memberitahukan pesanku?” tanya Gondlaf.
“Uh, kabar kami buruk sekali.
Kami diserang makhluk mengerikan di tengah hutan dan aku mendapatkan luka di
lenganku, dan lagi Lord Mliit juga tidak mempercayai kata-kata kami...” kata
Alvin dengan cepat “ Kurasa sebaiknya kau sendiri yang berbicara pada Lord
Mliit!”
“Hmmm, tenanglah nak! Baik, aku
akan berbicara pada Lord Mliit. Mari kita berangkat!” kata Gondlaf dengan
tenang.
Mereka segera berjalan menuju
Kingdom Hall. Alvin berjalan dengan amat bersemangat. Bukan karena untuk
memberitahukan pesan ini, tetapi karena Alvin ingin sekali melihat isi daripada
Kingdom Hall ini. Ketika sampai di gerbang depan Kingdom Hall, beberapa orang
penjaga menanyai mereka. Lalu Gondlaf berbicara kepada mereka selama beberapa
saat dan mereka membiarkannya masuk. Kemudian ketiganya masuk ke halaman depan
Kingdom Hall dan segera bergegas masuk ke dalam gedungnya.
Halaman depannya sangat indah
sehingga membuat Alvin terkejut. Banyak sekali pohon cemara di sekeliling
mereka dan udara terasa sangat sejuk.
Di tengah jalan, Viktul bertanya
kepada Gondlaf “Mengapa mereka membiarkanmu masuk dengan begitu mudah? Padahal
beberapa hari yang lalu ketika aku ke sini, mereka menanyaiku berbagai hal
terlebih dahulu, dan memeriksa semua barang bawaanku, serta kepentinganku,
barulah aku diperbolehkan masuk. Itu sudah memakan waktu berjam-jam dan aku
masih harus menunggu Lord Mliit sekitar 2 jam!”
“Haha... Asal kau tahu, aku
sudah cukup dikenal di sini! Dahulu aku tinggal di sini, sebelum memutuskan
untuk pindah ke desa untuk beristirahat!” kata Gondlaf.
“Tinggal di sini??? Untuk urusan
apa?” tanya Viktul lagi.
“Sebelum menjadi gurumu, aku
adalah guru dari Lord Mliit!” kata Gondlaf.
Viktul menjadi amat kaget dan
tercengang. Ia benar-benar tak menyangka bahwa guru yang selama ini mengajarinya
tentang kehidupan ternyata adalah seorang yang juga pernah menjadi guru dari
penguasa Lopang Kingdom. Ia sungguh kagum dan bangga terhadap Gondlaf. Gondlaf
memutuskan untuk menjadi guru sekaligus wali Viktul setelah kedua orang tua
Viktul meninggal beberapa tahun yang lalu. Kemudian, mereka melanjutkan
perjalanannya dan memasuki Kingdom Hall.
***
Ternyata Kingdom Hall amatlah
ramai. Banyak sekali petugas yang bekerja di sana. Mereka adalah orang-orang
yang dipekerjakan untuk membantu Lord Mliit dalam mengurus seluruh kerajaan.
Rombongan Gondlaf berjalan memasuki ruangan bernama “Ruangan Meja Bundar”.
Ruang ini amat besar. Ruang ini seperti Hall yang luas dengan lantai keramik
yang berkilau. Setiap negeri di Bumi Serang memiliki ruangan seperti ini yang
biasanya digunakan untuk rapat. Alvin benar-benar terkejut melihat hal ini.
Alvin tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Tiba-tiba Alvin berjalan
melompat-lompat ke sana kemari, sehingga Gondlaf berkata “Dasar anak bodoh!
Kemarilah dan lihat siapa yang ada di depanmu!”
Tiba-tiba Viktul menyadari ada
seseorang sedang berjalan menghampiri mereka. Ia bukannlah Lord Mliit. Viktul
sama sekali tidak mengenalinya. Viktul juga merasa bingung karena kali ini
ruangan ini begitu sepi. Orang ini terus berjalan menghampiri mereka dan
berhenti ketika sudah berdiri tepat di hadapan mereka. Pria ini memiliki tubuh
besar yang tampaknya lebih banyak di isi dengan daging. Ia juga memiliki rambut
yang keriting. Kemudian, pria ini berkata sambil tersenyum “Hai, perkenalkan, aku adalah Jendral
Yusingus! Aku tahu apa keperluan kalian datang ke sini. Tidak seperti Lord
Mliit, sejujurnya aku percaya pada kalian! Maka daripada itu, maka kita
menyatukan kekuatan kita. Pasukanku dan... gigi itu...”
Viktul merasa heran melihat hal
ini. Ia bertanya-tanya mengapa ia mengetahui tentang kedatangan rombongan
Gondlaf dan bahkan, yang membuatnya lebih kaget, karena Jendral itu mempercayai
mereka... Tetapi Gondlaf memperlihatkan wajah yang berhati-hati, seakan-akan
sekarang ia sedang berhadapan dengan seorang yang amat lick. Memang, kepala
Jendral yang cukup besar itu memiliki wajah yang terlihat cukup licik.
“Oh, begitu... Kalau begitu
bantulah aku dengan memanggilkan rajamu!” kata Gondlaf tenang.
“A...apa? Jelas-jelas ia tidak
mempercayaimu... Mengapa kau masih mau memanggilnya?” tanya Jendral Yusingus
kaget “Biarkan aku yang membantumu!”
Tetapi tiba-tiba pintu di
belakang mereka terbuka. Pintu itu adalah pintu yang digunakan oleh rombongan
Gondlaf untuk masuk tadi. Semuanya menengok ke arah pintu itu. Maka terlihatlah
sesosok pria tegap dengan rambut hitam yang lurusnya. Pria itu melihat
sekeliling terlebih dahulu nampaknya sedang mengawasi, kemudia ia tersenyum dan
berkata “Master Gondlaf! Sudah lama sekali kita tidak bertemu! Apa yang
membuatmu datang kemari?”
“Lord Mliit! Hahaha... Aku
senang kau tidak melupakanku! Aku datang membawa beberapa kabar untukmu kawan
sekaligus bekas muridku! Tapi sebelumnya, tolong bersihkan ruangan ini terlebih
dahulu!” jawab Gondlaf.
Lord Mliit nampaknya mengerti
dengan apa yang dimaksud Gondlaf. Kemudian ia menatap Jendral Yusingus
dalam-dalam hingga Jendral Yusingus tersentak, kemudian berkata “Jendralku yang
setia, mengapa kau masih berada di sini? Kupikir kau masih memiliki banyak
tugas penting yang harus diselesaikan?”
“U...uh...baik, aku akan segera
pergi....” lalu Jendral Yusingus segera pergi dengan langkah yang kasar.
Wajahnya nampak kesal sekali, tetapi ia tak sanggup berbuat apa-apa terhadap
Lord Mliit. Kemudia ia keluar ruangan lalu membanting pintu hingga tertutup
dengan bunyi dentuman keras.
Gondlaf bertanya “Mengapa kau
menjadikan orang seperti itu sebagai Jendral dari Lopang Kingdom? Apa kau sudah
kehabisan pria yang lebih baik? Di mana Jendral Pendi?”
Kemudian Lord Mliit menjawab “Hmh...
memang aku juga sebenarnya tidak ingin ia menjadi Jendral, tetapi ini adalah
permintaan dari almarhum Jendral Pendi... Aku juga tak mengerti sama sekali...”
“Hah??? Jendral Pendi??? Sudah
meninggal??? Ti...tidak mungkin...”
“Yah... itulah kenyataannya...
Ngomong-ngomong, bukankah anak yang di sampingmu itu adalah anak yang kemarin
datang dan mengatakan hal tentang kebangkitan Sitio itu? Apa itu benar?”
“Ya! Sitio sudah bangkit dan ia
akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan gigi mautnya itu... Dan
bahayanya, tidak hanya Sitio tetapi juga ada banyak orang-orang yang juga
mengincar benda ini, seperti Jendralmu itu!” kata Gondlaf.
Lord Mliit tampak berpikir
sejenak, kemudian berkata “Apa kau benar-benar yakin? Sitio sudah tidak pernah
terdengar sejak 1000 tahun lamanya. Seluruh umat manusia yang ada juga sudah
hampir melupakannya. Seandainya kita menyebarkan berita ini sekarangpun,
orang-orang belum tentu akan percaya...”
Tetapi tiba-tiba pintu di
belakang mereka terbuka dan seorang prajurit berlati ke dalam sambil mengangkat
sebuah gulungan surat dan berteriak “Lord Mliit! Berita darurat! Hamonia
Kingdom of Taktakan baru saja diserang pasukan kera Sitio! Ini surat yang baru
saja diterima!” kemudian prajurit itu menyerahkan surat yang ada di tangannya.
Lord Mliit pun segera
mengambilnya dan mulai membaca. Semakin lama matanya semakin melotot membaca
surat itu. Ia nampak kaget sekali “Ternyata kalian memang benar... Surat ini dikirimkan begitu
para prajurit Sitio mulai menyerang Harmonia Kingdom of Taktakan, tepatnya
kemarin malam. Hanya dalam beberapa jam pasukan kera Sitio sudah berhasil
menembus pertahanan Harmonia Kingdom of Taktakan. King Virlu segera menulis
surat ini setelah pertahanan mereka berhasil ditembus! Yah, mungkin saja hal
ini terjadi, mereka menyerang pada malam hari ketika semua orang sedang
terlelap...”
“Tidak hanya itu, kurasa mereka
memang memiliki kekuatan yang mengerikan sekarang. Kurasa Harmonia Kingdom of
Taktakan tidak akan memiliki kesempatan lagi, jadi sebelum jatuh semakin banyak
korban jiwa, aku sarankan mereka untuk mengungsi ke Royale Palace, negeri
terdekat dengan Harmonia Kingdom of Taktakan.” Kata Gondlaf.
“Hmmm... Aku setuju. Baiklah,
aku akan segera mengirim surat kepada mereka. Kurasa negeri yang lain juga setuju
dengan pendapatku. Kurasa King Virlu juga mengirim surat ini ke seluruh negeri.
Aku juga akan mengirim surat kepada Emperor Timouty agar mau menerima para
pengungsi yang datang!” kata Lord Mliit “Kurasa sebaiknya sekarang kalian
beristirahat dulu. Aku akan menyuruh pelayan untuk menyediakan kamar untuk
kalian!”
“Baiklah” kata Gondlaf, Viktul,
dan Alvin serempak. Merekapun segera keluar setelah pelayan datang untuk
menunjukkan kamar mereka. Karena kelelahan, begitu sampai di kamarnya, Viktul
dan Alvin langsung tidur di kamarnya masing-masing. Tetapi Gondlaf sepertinya
masih belum mau tidur. Ia pergi keluar setelah masuk ke kamarnya beberapa saat.
Sebelum pergi, ia menyarankan Viktul agar tetap berada di kamar agar aman.
***
Chapter 4 : The
Plan
Keesokan paginya, tiba-tiba
Alvin mengetuk-ngetuk pintu kamar Viktul sambil berteriak-teriak untuk
membangunkan Viktul. Viktul segera bangun lalu bersiap-siap. Kemudian ia keluar
dan mendapati Alvin sudah menunggunya bersama Gondlaf. Pagi ini amat cerah dan
sejuk, tetapi Gondlaf dan Alvin memperlihatkan wajah murung.
“Ayo, kita harus segera menemui
Lord Mliit! Beberapa saat yang lalu Lord Mliit menerima surat dari King Virlu
yang dikirim dengan burung elang spesialnya. Pasukan kera Sitio sudah berhasil
menguasai Kingdom Harmonia of Taktakan!”
“A...apa??? Hanya dalam 1
malam??? Lalu bagaimana dengan warga Kingdom Harmonia of Taktakan?” tanya Alvin
terkejut.
“Entahlah... Kurasa sebagian
sudah ada yang mulai mengungsi ke hutan atau Royale Palace, tetapi mungkin sebagian
sudah terbunuh... Sudahlah, ayo kita segera pergi ke gedung pertemuan!”
kemudian mereka segera bergegas pergi ke Kingdom Hall. Suasana di sana kali
tampak ramai sekali. Kemudian mereka segera memasuki Lord Room. Kali ini,
pemandangan di Lord Room berbeda jauh daripada kemarin. Banyak sekali
petinggi-petinggi negara dan perwira-perwira. Jendral Yusingus juga ada di
sana. Mereka semua tampak gagah dan bijaksana. Dan di antara pria-pria itu,
Lord Mliit adalah pria yang usianya paling muda. Mungkin usianya sekitar 25
tahun. Ini berarti ia 10 tahun lebih tua dari Viktul.
Lord Mliit melihat rombongan
Gondlaf kemudian berkata “Inilah dia Master Gondlaf yang sudah kuceritakan dari
tadi. Dan yang disebelahnya itu adalah Viktul, anak kurus yang membawa The
Teeth!” kemudian semua orang yang ada di sana menoleh ke arah rombongan
Gondlaf, termasuk Jendral Yusingus.
Lalu Alvin berbisik kepada
Viktul “Huh, menyebalkan... Lord Mliit sama sekali tidak menyebut namaku...
Padahal aku adalah orang yang berjuang keras sehingga kau berhasil sampai di
sini dengan selamat!” Viktul hanya tersenyum mendengar bisikan Alvin. Viktul
merasa bersyukur karena sekarang luka-luka Alvin sudah hampir pulih sepenuhnya
setelah diserang oleh monster-monster milik Sitio di hutan.
Kemudian para perwira dan
petinggi kerajaan di sana mulai berbicara dan berbisik-bisik. Ruangan menjadi
gaduh. Kemudian Lord Mliit berkata dengan lantang “Harap tenang! Kita harus
segera mengatur rencana untuk mengatas masalah Sitio ini!”
Kemudian mereka mulai berhenti
berbicara dan ruangan menjadi sepi sekali. Kemudian mereka berdiri di sekitar
meja bundar besar yang baru saj diletakkan di tengah ruangan. Mereka semua
berjumlah sekitar 40 orang. Meje bundar ini besar sekali, diameternya mencapai
sekitar 10 meter. Di meja itu sudah tersedia minuman dan buah-buahan. Jendral
Yusingus segera memakan buah-buah itu dengan rakusnya.
“Baik, aku akan memulai rapat
darurat ini! Pagi tadi aku menerima surat dari King Virlu, katanya mereka sudah
mulai mengungsi ke luar kota. Sebagian besar kini sedang berjalan menuju Royale
Palace. Dari serangan malam itu, setidaknya ada sekitar 5.000 orang prajurit
maupun warga yang terbunuh. Berarti, kini hanya tersisa sekitar 25.000 warga
maupun prajurit yang masih hidup.” Kata Lord Mliit “Tapi masalahnya, sepertinya
Mayor Timouti enggan menerima kedatangan King Virlu dan warganya. Tidak mungkin
ia masih tidak percaya terhadap kebangkitan Sitio. Kurasa ia sudah melakukan
suatu hubungan diam-diam dengan Lord Sitio!”
Tiba-tiba seluruh ruanan mendadak
menjadi ramai kembali. Para perwira dan petinggi negara mulai saling berbicara
lagi. Tetapi, Sitio segera menyuruh mereka untuk diam. “Nah, sekarang apa ada
di antara kalian yang memiliki ide?”
Mereka semua terdiam, tetapi
kemudian Jendral Yusingus tersenyum dan mulai berbicara sambil makan apel
“Ck... Tidak perlu susah-susah, bukankah sekarang The Teeth ada di pihak kita?
Kita serang saja Sitio!”
Tiba-tiba Lord Mliit menjadi
tampak marah dan berkata “Justru itulah yang diinginkan Sitio! Jika kita membawa
The Teeth padanya, maka ia akan merebutnya. Jika hal itu sampai terjadi, maka
habislah kita! Lagipula kita tidak bisa melakukan perang ini sendirian. Kita
harus mendapatkan dukungan dari seluruh umat manusia, seperti 1.000 tahun yang
lalu!” kemarah Lord Mliit kemudian sudah mulai menurun. “Jendral yusingus,
kuperingatkan kau. Jangan pernah menyentuh The Teeth! Jika kau melakukannya,
aku pastikan kau tidak akan hidup lebih lama lagi!”
Kemudian Jendral Yusingus
langsung terdiam dan semua orang yang ada di ruangan itu mulai berbicara lagi.
Tetapi mereka segera berhenti berbicara ketika Gondlaf mulai berbicara “Aku
mengerti. Aku sudah memikirkan apa yang harus kita lakukan! Pertama-tama,
Jendral Yusingus, kau pergilah bersama 200 orang prajurit pilihanmu untuk pergi
ke Royale Palace, kemudian peringatkan Mayor timouti!”
“Hah??? E...enak saja! Lalu apa
yang akan kau lakukan???” kata Jendral Yusingus dengan tidak senang.
“Aku, Viktul, dan Alvin akan
pergi ke tiap negeri untuk memperingatkan mereka dan mengajak mereka bersatu
menghadapi perang ini! Lord Mliit, tolong kirimkan surat kepada mereka bahwa
kami akan datang! ”
Lalu Viktul berbisik kepada
Gondlaf “Mengapa kita harus pergi ke banyak tempat itu?”
“Itu akan lebih aman! Dan lagi,
aku menyuruh Jendral Yusingus ke Royale Palace juga untuk menjauhkannya darimu.
Ia nampak sangat berbahaya.” Bisik Gondlaf ke Viktul.
Kemudian Lord Mliit berpikir
sejenak, kemudian berkata “Hmmm, baiklah, kurasa ide itu cukup bagus. Aku akan
tetap berada di sini untuk mengumpulkan prajurit dan menjaga keamanan! Kapten
Gandhi, kau bawalah 30 orang terbaikmu untuk ikut mengawal rombongan Gondlaf!
Kita tidak bisa memberi prajurit terlalu banyak karena keadaan di sini juga
amat terancam bahaya!”
Kemudian seorang pria berusia sekitar
30 tahun yang bertubuh agak kecil tetapi nampak gagah dengan kacamatanya
menjawab “Baiklah tuanku Lord Mliit!”
“Master Gondlaf, apa kau siap
melakukan tugas berat ini? Bersama kedua anak itu kau akan menjelajahi Lembah
Secang tempat tinggal para Dwarf, kemudian menuju Persekutuan 2 Ciruas yang
kabarnya sedang berselisih... Di sini kau tidak hanya akan mengajak mereka,
tetapi juga harus mendamaikan mereka! Kau juga masih harus ke padang Kebo
tempat para penguasa kerbau. Dan kalau memang para Elf itu masih ada, kau juga
masih harus meminta bantuan para Elf itu, sementara mereka tinggal jauh sekali
di ujung selatan Bumi Serang yang berbahaya!” kata Lord Mliit.
“Tentu saja aku siap! Kau
menanyakan hal itu seakan-akan kau tidak mengenalku saja... Padahal kau sudah
pernah tinggal bersamaku selama bertahun-tahun sebelumnya...” kata Gondlaf
sambil tersenyum.
“Hehe... Tentu saja aku percaya
padamu, Master! Baik, kurasa apa yang dikatakan Master Gondlaf sudah jelas!
Jendral Yusingus, segera pilih 200 orang terbaikmu dan pergilah ke Royale
Palaca untuk memperingatkan Emperor Timouty! Kau harus berangkat malam ini
juga! Master gondlaf, bersiap-siaplah untuk menghadapi perjalanan panjang ini!
Persiapkan semuanya dan pergilah besok pagi! Kapten Gandhi, lakukanlah yang
terbaik!” kata Lord Mliit “Apa masih ada pertanyaan? Sisanya besamaku
menghimpun kekuatan militer dan pertahanan di sini! Mengerti?”
“Ya, kami mengerti!” kata semua
orang yang ada di ruangan itu kecuali Jendral Yusingus yang merasa amat kesal.
Wajahnya mengatakan bahwa sekarang ia sedang merencanakan sesuatu yang licik.
Tidak lama setelah itu para petinggi dan perwira bubar dan meninggalkan tempat
itu. Gondlaf dan rombongannya juga bermaksud untuk meninggalkan tempat itu.
Ketika mereka meninggalkan tempat itu, di sana sudah tidak ada siapapun kecuali
Lord Mliit dan Kapten Gandhi.
Kemudian Lord Mliit menghampiri
Viktul “Aku tidak tahu apakah kau adalah orang yang terpilih atau apa, tetapi
mengingat Master Gondlaf sampai mempercayaimu untuk membawa The Teeth, maka aku
putuskan untuk mempercayaimu. Berusahalah sekuat tenagamu untuk menyelamatkan
Bumi Serang! Aku percaya padamu! Gandhi, aku juga percaya padamu untuk mengawal
anak ini! Apa kalian sanggup?” tanya Lord Mliit.
“YA” keduanya berteriak.
Tetapi tiba-tiba Alvin
menampakkan dirinya dan berkata dengan sebal “Yang Mulia, apakah kau sudah
melupakan aku? Akulah yang terluka sehingga Viktul bisa tiba sampai di sini
dengan selamat.”
“Hahahahaha... Anak yang aneh”
kata Lord Mliit menertawakan Alvin yang kemudian merasa malu “Tenang saja, aku
akan mengingatmu sampai kapanpun! Aku percaya bahwa semua orang pantas
dimasukkan ke dalam sejarah untuk apapun yang telah mereka capai. Satu hal
saja, aku juga percaya padamu! Jangan kecewakan aku.”
“Ba...baik!” kata Alvin senang.
Gondlaf hanya tersenyum melihat hal ini. Lord Mliit yang kemudian melihat ke
arah Gondlafpun hanya tersenyum. Kemudian rombongan Gondlaf meninggalkan tempat
itu.
***
Chapter 5 : The Kidnapping
Kini
hari sudah malam. Jendral Yusingus dan prajuritnya baru saja berangkat ke
Royale Palace. Viktul tengah mempersiapkan segalanya bersama Alvin. Gondlaf
tidak masih tidak terlihat setelah meninggalkan mereka siang hari tadi setelah
mengantar Viktul dan Alvin sampai ke kamarnya.
Di
tengah persiapan seperti biasa Alvin mulai membuka pemicaraan “Tak pernah
kubayangkan bahwa aku akan terlibat perang besar seperti ini! Hebat bukan?”
“Tidakkah
itu mengerikan” kata Viktul tanpa ekspresi.
Sebagai
teman Viktul sejak kecil, Alvin menyadari bahwa Viktul merasa takut. Kemudian
Alvin menghiburnya. “Ayolah, jika kita tidak melakukan ini, mungkin tidak akan
ada lagi masa depan bagi seluruh umat manusia. Kita harus berbangga! Sudahlah,
malam ini sebaiknya kita berjalan-jalan saja keliling kota untuk menenangkan diri.
Lagipula Jendral Yusingus juga sudah meninggalkan kota. Semua pasti akan aman
dan baik-baik saja.”
Viktul
tersenyum lalu meletakkan barang-barang yang sedang ia persiapkan. Ia segera
melangkah keluar sambil menarik lengan Alvin “Ayo bersenang-senang!” Mereka
berdua pun pergi keluar dengan perasaan senang.
***
Tak terasa mereka sudah berjalan-jalan keliling
kota yang sunyi selama hampir 2 jam. Tetapi, sejak mereka mulai berjalan-jalan,
Alvin terus merasakan perasaan yang tidak enak. Kalung mutiara Alvin juga terus
menyala biarpun redup. Tetapi karena tidak ingin meresahkan hati Viktul, ia
menyembunyikan kalung mutiaranya dan tidak mengatakan apa-apa.
Tetapi sayang, sepertinya malam
ini mereka tidak beruntung. Ketika sedang berjalan di salah satu sudut kota,
tiba-tiba beberapa orang berlari menghampiri mereka. Alvin amat kaget melihat
hal ini. Orang-orang yang berjumlah 6 orang itu mulai mencabut pedangnya
masing-masing. Alvinpun tidak kalah dan mencabut pedangnya. Orang-orang itu
maju bersamaan dan menyerang Alvin. Alvin hanya bisa menangkis beberapa
serangan kemudian pedangnya terpental karena terkena tebasan pedang lawan yang
amat kencang. Setelah pedangnya terpental, satu dari orang-orang itu meninju
pipi kiri Alvin sampai terjatuh.
Viktul yang sejak awal terus
memperhatikan Viktul tidak bisa berbuat apa-apa karena ketakutan. Alvin segera
berteriak ke arah Viktul biarpun ia masih berbaring kesakitan di tanah “Vikutl!
Larilah!” Viktul baru menyadari apa yang terjadi. IA mulai membalikkan badannya
dengan ragu karena harus meninggalkan Alvin sendirian. Tetapi ia teringat akan
Gondlaf yang mengatakan agar Viktul tetap hidup. Tetapi sayang, ketika Viktul
baru mulai berlari, satu dari orang-orang itu memukul tengkuk Viktul sehingga
Viktul pingsan.
Melihat hal ini Alvin menjadi
sangat marah. Ia segera mencoba untuk berdiri, tetapi satu dari orang-orang itu
menendang wajahnya sehingga ia meringis kesakitan. Mereka segera memasukkan
Viktul ke dalam karung dan membawanya pergi. Setelah mereka pergi Alvin baru berhasil
berdiri setelah mencoba melawan rasa sakitnya. Ia bingung harus berbuat apa. Ia
segera berlari bermaksud menyusul Viktul, tetapi mereka sudah menghilang.
Viktul yang bingung kemudian memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan menemui
Gondlaf. Ia pun segera berlari dan mencari Gondlaf.
***
Sesampainya di kamarnya, Gondlaf
dan Kapten Gandhi sudah menunggu bersama 20 orang prajurit di yang duduk-duduk
di depan kamarnya. Gondlaf menyadar bahwa baru saja terjadi sesuatu dari wajah
Alvin yang memar-memar.
“Apa yang terjadi?” tanya
Gondlaf.
“Ma...maafkan aku Gondlaf, aku
tidak melakukan tugasku dengan baik... Viktul... Viktul baru saja diculik
beberapa orang”
“A...apa??? Siapa mereka? Apa
kau melihatnya? Ke mana mereka pergi?” tanya Kapten Gandhi tiba-tiba.
“E...entahlah... aku tidak
melihatnya... gelap sekali. Tetapi mereka seperti memakai baju prajurit Lopang
Kingdom... Tapi aku juga tidak tahu pasti...” kata Alvin gugup.
“Jendral Yusingus... Ini pasti
Jendral Yusingus... Ia belum berangkat ke Royale Palace. Ia terus menunggu
untuk mendapatkan kesempatan mencuri The Teeth! Kita harus segera menyusulnya!”
kata Gondlaf marah.
Melihat ini Alvin menjadi takut
dan merasa amat bersalah. Tetapi ia memberanikan diri untuk bertanya kepada
Gondlaf “Ke mana mereka pergi?”
Lalu Gondlaf melompat menaiki
kuda putihnya dan menatap Alvin dalam-dalam. Mata seperti memancarkan kemarahan
yang mengerikan. Alvin menjadi terdiam dan tak sanggup berkata apa-apa. “Tentu
saja Royale Palace! Ayo kita segera berangkat ke sana! Kelalaianmu sulit sekali
untuk dimaafkan... Ayo segera berangkat! Semua barangmu sudah dipersiapkan!”
Kemudian ia memberi satu isyarat sehingga kuda putihnya mulai meringkik dan
bersiap untuk berjalan. Alvin melihat beberapa barang yang diangkut kuda itu. Tiba-tiba
Kapten Gandhi melemparkan sebuah tas kepada Alvin sambil tersenyum “Itu tasmu
nak!”
Selum berangkat Gondlaf
menyempatkan diri untuk menulis sebuah surat. Sepertinya surat ini ditujukan
kepada Lord Mliit. Isi surat ini sudah parti untuk memberitahukan Lord Mliit
mengenai kejadian ini. Lalu Gondlaf memasang surat itu disebuah burung merpati
yang diciptakan secara sihir oleh Gondlaf dengan menariknya dari kantong
setelah mengucapkan beberapa mantra sihir. Setelah itu, Gondlaf segera
mengisyaratkan untuk memulai perjalanan “Kapten, mari berangkat! Suruh
orang-orangmu untuk memulai pengejaran ini!” kata Gondlaf tegas.
“Baik!” kata Kapten Gandhi.
“Prajurit, ayo berangkat!” Kemudian para prajurit itu segera berdiri dan mulai
berlari-lari kecil mengikuti kuda Gondlaf yang sudah mulai berjalan sambil
berteriak bersamaan “HEI!!!” untuk membangkitkan semangat satu sama lain.
Mereka semua mulai berlari
jogging menyusuri jalan menuju ke pintu gerbang kota. Sebenarnya Alvin ragu
dapat terus menjaga staminanya berlari bersama para prajurit yang memang sudah
terlatih untuk berlari bermil-mil. Alvin sebenarnya ingin menmpang di kuda
Gondlaf, tetapi masih takut dan merasa bersalah kepada Gondlaf karena
membiarkan Viktul diculik.
Akhirnya mereka sampai di
gerbang kerajaan dan mulai keluar dari kerajaan. Sungguh ajaib, Alvin tidak
merasakan lelah sama sekali. Ia tidak merasakan apapun. Mungkin ini disebabkan
karena rasa takutnya untuk mengungkapkan perasaannya. Merekapun terus melakukan
jogging hingga beberapa jam ke depan.
***
Chapter 6 : The Chasing
Tanpa terasa hari sudah pagi.
Tiba-tiba Viktul tersadar dari tidurnya. Ketika ia tersadar, ia sudah berada di
suatu tempat yang asing dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Ia berada di
bawah pohon di tengah-tengah padang rumput. Sepanjang mata memandang memang
tampak beberapa pohon yang rindang yang letaknya saling berjauhan. Kemudian ia
baru sadar bahwa di sekitarnya ada banyak prajurit, jumlahnya sekitar 200
orang. Mereka tampak sedang beristirahat setelah berjalan jauh.
Tiba-tiba seorang pria berjalan
mendekatinya. Kemudian pria itu berkata “Akhirnya kau bangun juga tukang
tidur!”
Viktul menoleh dan melihat pria
itu, kemudian menyadari bahwa pria itu adalah Jendral Yusingus! Kali ini
Jendral itu tampak garang. Tidak ada lagi yang bisa melindungi Viktul sekarang.
“Kau pasti takut sekarang. Hahaha...
tak ada lagi yang bisa melindungimu!” kata Jendral Yusingus senang. “Tapi
tenang saja, aku tidak akan membunuhmu dan merampas The Teeth darimu!” Viktul
kaget mendengar akan hal ini. Kemudian Jendral Yusingus melanjutkan
kata-katanya. “Beberapa jam terakhir ini aku sadar bahwa aku tidak akan sanggup
membawa dan menggunakan The Teeth. Aku percaya bahwa hanya kau yang bisa
menggunakannya selain Sitio. Karena itu, bagaimana kalau kita bersatu dan
menggunakannya untuk melawan Sitio, setelah itu kita akan membentuk kerajaan
kita sendiri! Hahahaha....”
Viktul yang mulai berhasil
mengendalikan rasa takutnya kemudian berkata “Hah? Bagaimana mungkin? Kau tidak
memiliki prajurit sama sekali... Bagaimana kau bisa mengandalkan 200 orang ini?
Itupun belum tentu mereka semua setia padamu...”
“Hehe. Tentu saja mereka setia
padaku. Dari 15.000 prajurit yang ada di Lopang Kingdom, 3.000 di antaranya
adalah pengikut setiaku. 200 orang yang kupilih ini termasuk di antara 3.000
orang itu! Dan 3.000 orang itu sudah mulai meninggalkan kerajaan
sedikit-sedikit sejak tadi malam. Kami akan bertemu dan menyatukan kekuatan
kami di Sungai Danten yang ada di depan sana. Dan orang-orang yang menculikmu tadi
malam adalah salah satu dari prajuritku yang meninggalkan kerajaan tadi malam.”
kata Jendral Yusingus menjelaskan dengan panjang lebar.
”A...aku...aku tidak akan pernah
bersatu denganmu untuk berkhianat!” kata Viktul lantang.
Jendral Yusingus yang mendengar
hal ini kemudian tertawa sepertinya ia tak mempercayai keberanian Viktul ini.
“Kita lihat saja nanti!”
***
Di lain tempat tempat Gondlaf
dan rombangannya baru saja memutuskan untuk berhenti setelah Gondlaf menerima
sebuah surat yang diantarkan oleh burung sihirnya. Nampaknya surat ini berasal
dari Lord Mliit. Sejak malam tadi Gondlaf sudah berkirim surat dengan Lord
Mliit beberapa kali. Begitu mereka sampai di sebuah tempat di padang rumput,
tiba-tiba saja Alvin merasa lemas dan terjatuh. Orang-orang menjadi terkejut
dan Gondlaf segera berlari ke arahnya.
“Mengapa kau memaksakan dirimu
seperti ini?” tanya Gondlaf.
“A...aku...aku tidak boleh
bersantai-santai sekarang... Karena kelalaiankulah mereka berhasil mendapatkan
Viktul! Aku harus melakukan yang terbaik untuk membalas kesalahanku!” jawab
Alvin.
Gondlaf pun tersenyum
mendengarnya. Nampaknya kini kemarahan Gondlaf sudah menghilang dan digantikan
dengan perasaan bangganya atas kegigihan Alvin. Semua perasaan takut yang ada
di hati Alvin pun menghilang ketika melihat wajah Gondlaf yang tersenyum.
“Tidak apa. Kurasa merekapun belum jauh.”
Entah merasa senang atau
bingung, dengan perasaan bertanya-tanya Alvin hendak bertanya kepada Gondlaf.
Tetapi tiba-tiba Kapten Gandhi datang menghampiri mereka dan bertanya “Apa
maksudmu mereka belum jauh? Kita harus terus berjalan untuk dapat mengejar
mereka!”
“Begini, akan kujelaskan. Di
antara Lopang Kingdom dan Royale Palace terdapat sebuah sungai yang membatasi
kedua wilayah. Sungai ini jaraknya cukup jauh dari kedua wilayah. Jika kita
terus berjalan tanpa hentipun, mungkin kita baru bisa mencapai sungai tersebut
setelah berjalan 3 hari nonstop!”
“Lalu?” tanya Alvin tidak sabar
ketika Gondlaf berhenti berbicara sejenak untuk bernapas.
“Jadi, aku memperkirakan Jendral
Yusingus akan mengumpulkan prajuritnya di sana. Untuk ke sana akan memakan
waktu beberapa hari lagi.” Kata Gondlaf.
“Pra...prajurit??? Bukankah
Jendral Yusingus hanya membawa 200 prajurit saja ketika meninggalkan Lopang
Kingdom? Apa yang mau ia kumpulkan di sana?” tanya Kapten Gandhi.
“Tenang dulu... Mengapa kalian
terus memotong pembicaraanku...” kata Gondlaf mulai marah. Alvin dan Kapten
Gandhi segera terdiam mendengar hal ini. Kemudian Gondlaf meneruskan
pembicaraannya “Sudah lama Lord Mliit menduga Kapten Yusingus akan berkhianat.
Dugaan itu akhirnya terbukti dengan kejadian semalam dan juga, secara sedikit
demi sedikit para prajurit yang diduga pengikut Jendral Yusingus menghilang
dari kerajaan sejak semalam.”
“Hah??? Ia memiliki pengikut???
Banyakkah? Mengapa selama ini aku tidak mengetahuinya...” kata Kapten Gandhi
terkejut.
Gondlaf yang mulai kesal karena
pembicaraannya terus dipotong kemudian menunjukkan ekspresi wajah yang
mengerikan. Alvin dan Kapten Gandhi segera terdiam dengan sendirinya.
Gondlafpun melanjutkan
pembicaraannya “Menururt kabar terakhir yang aku terima dari Lord Mliit, kini
sudah ada sekitar 3.000 orang prajurit yang menghilang secara misterius. Diduga
mereka keluar kerajaan secara sedikit-sedikit dengan berkelompok sehingga
penjaga gerbang tidak curiga. Atau bahkan, si penjaga gerbang tersebut bisa
jadi adalah pengikut Jendral Mliit juga!”
“Ti...tiga ribu???” kata Kapten
Gandhi mendadak tetapi ia segera terdiam ketika tiba-tiba menyadari Gondlaf
sedang memelototi dirinya.
Gondlaf segera melanjutkan
“Jumlah itu berarti sekitar satu per lima bagian dari total prajurit Lopang
Kingdom yang berjumlah 15.000 orang. Tentu saja tidak mudah untuk menyatukan
prajurit sebanyak itu yang sudah terlanjur tersebar ke mana-mana. Jendral
Yusingus pasti sudah memilih satu tempat untuk mengumpulkan mereka. Tempat yang
strategis karena berada di antara Lopang Kingdom dan Royale Palace. Dan tempat
itu haruslah dapat menyediakan persediaan air dan makanan yang cukup banyak
banyak untuk mereka. Dengan memperhatikan hal tersebut maka dapat dipastikan
tempat itu adalah Sungai Danten!” Alvin dan Kapten Gandhi menjadi terkejut
mendengar hal ini.
“Lalu untuk apa Jendral Yusingus
pergi ke Royale Palace? Ia hanya akan mengorbankan prajuritnya di sana...” kata
Viktul.
“Yah! Menurut dugaanku dan Lord
Mliit, ia bermaksud untuk mengumpulkan pengikutnya yang berada di Royale
Palace. Sudah bukan rahasia lagi jika Jendral Yusingus sering melakukan
perjalan ke Royale Palace. Dan diduga tujuan perjalanan itu adalah untuk
mengumpulkan pengikut yang telah dijanjikan kekuasaan jika bekerja sama
dengannya untuk berkhianat!” kata Gondlaf.
“Jadi begitu... Setelah
mengumpulkan prajurit maka orang itu mau menyerang Lopang Kingdom...” kata
Kapten Gandhi.
“Entahlah... Aku belum tahu
pasti apa rencananya yang selanjutnya... Tapi yang jelas, sekarang kita harus
menolong Viktul!” kata Gondlaf.
“YA!” kata Kapten Gandhi dan
Alvin. “Aku akan segera menyiapkan prajurit! Alvin, kau beristirahatlah
sejenak! Sebaiknya kita berangkat sebentar lagi...” . Alvinpun mengangguk, lalu
Kapten Gandhi berlari ke arah anak buahnya untuk mempersiapkan mereka. Kemudian
Alvin minum air dan terbaring sejenak, tetapi lama-kelamaan matanya menjadi
terasa berat dan akhirnya tertidurlah ia.
***
Baru saja terlelap, tiba-tiba
seperti ada yang menggerak-gerakkan pundak Alvin hingga Alvin terbangun. Ia
adalah Kevin. Kevin adalah salah satu dari prajurit kepercayaan Kapten Gandhi.
Usianya hanya berbeda sekitar 3 tahun lebih tua dari Alvin. Usianya masih muda
tetapi Kapten Gandhi amat mempercayainya. Ia juga memiliki rambut beruban
sepeti Alvin. Ia mengenakan kacamata bundar di matanya. Tubuhnya besar dan
gemuk. Dengan penuh senyum ia membangunkan Alvin.
Alvin kaget sehingga ia langsung
merasa segar. Kemudian ia berdiri dan menanyakan waktu kepada Kevin. Kevin
mengatakan bahwa Alvin telah tidur selama satu jam. Hal ini sungguh mengejutkan
padahal ia hampir tak merasakan apa-apa. Tetapi, kenyataannya ia merasa segar
sekali sekarang, seakan-akan ia siap untuk berjalan bermil-mil lagi. Kemudian
Gondlaf memanggil Alvin dan Kevin untuk makan bersama prajurit-prajurit yang
lain. Setelah makan mereka beristirahat sejenak untuk menenangkan perut mereka.
Setelah dirasa cukup siap untuk berjalan kembali, mereka memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan.
Hari sudah semakin siang.
Matahari juga mulai ditutupi awan gelap. Tetapi dengan semangat yang membara
Alvin terus melakukan perjalanan. Gondlaf juga terus berkirim surat dengan
menggunakan burung sihir dengan Lord Mliit. Menurut kabar terakhir yang
diterima Gondlaf, sekarang sudah tidak ada lagi prajurit yang keluar dari
kerajaan. Perhitungan akhir menyatakan bahwa pengikut Jendral Yusingus hanya
sekitar 3.000 orang.
Akhirnya Alvin dan kawan-kawan
berhenti dan beristirahat setelah matahari mulai terbenam. Kali ini Alvin
benar-benar merasa lelah. Setelah memakan 2 buah roti ia segera berbaring. Rasa
kantuk menyelimuti dirinya. Merekapun beristirahat untuk malam itu dan mereka
segera kembali melakukan perjalanan pagi-pagi sekali.
***
Keesokan harinya di tempat
keberadaan Jendral Yusingus, sedang melakukan kesibukan yang luar biasa.
Beberapa kelompok prajurit sudah menggabungkan diri dengannya. Sekarang jumlah
mereka sekitar 500 orang. Para prajurit yang sudah berkumpul dengannya adalah
para pelari cepat yang dapat berlari selama 24 jam tanpa beristirahat. Sebagai
buktinya, mereka bisa sampai ke tempat Jendral Yusingus lebih dulu daripada
Alvin dan kawan-kawan.
Viktul yang kelelehan hanya bisa
terus mengikuti mereka. Ia terus berbaring sambil menyaksikan Jendral Yusingus
berbicara di depan prajuritnya. Ia terus menyemangati prajuritnya dan
menjanjikan kekayaan dan kekuasaan kepada mereka. Menurut Jendral Yusingus, mereka
akan tiba di Sungai Danten 2 hari lagi. Para prajurit itu nampaknya senang.
Viktul yang kelelahan kembali tertidur. Para prajurit itu terpaksa
menggotongnya agar Viktul mau berjalan.
***
Di lain tempat, Alvin dan
kawan-kawan sedang membicarakan rencana untuk menyelamatkan Viktul. Gondlaf pun
mulai berbicara “Setelah kita ikuti jejak prajurit Jendral Yusingus baik-baik,
aku menduga mereka akan sampai di Sungai Danten 3 hari lagi, dan kita akan tiba
di sana pada tengah malam. “Kemungkinan mereka akan beristirahat dulu di sana
sambil menunggu pasukannya yang lain. Kita dapat memanfaatkan saat itu untuk
beristirahat juga. Rasanya tidak mungkin jika kita langsung mencoba
menyelamatkan Viktul. Kita harus melihat keadaan dulu!”
“Ya, aku setuju denganmu.
Sebaiknya kita segera berangkat sekarang. Mari bersiap-siap!” kata Kapten
Gandhi dan semua prajurit segera bangkit dan bersiap-siap, lalu berangkat
sekitar setengah jam kemudian.
***
3 hari kemudian mereka sudah
benar-benar berada dekat sekali dengan para prajurit Jendral Yusingus. Hal ini
terbukti dari beberapa ekor rusa yang terbunuh dan tampak sudah tercabik-cabik
dengan pedang di sepanjang jalan. Ini pasti perbuatan para prajurit Jendral
Yusingus yang kelelahan dan merasa kesal. Darah rusa-rusa ini masih segar jadi
Gondlaf menyimpulkan para prajurit Jendral Yusingus melewati tempat ini
beberapa jam yang lalu.
Ketika matahari mulai terbenam,
Alvin dan kawan-kawan memutuskan untuk beristirahat sekitar 2 jam, kemudian
melanjutkan perjalanan. Mereka terus melanjutkan perjalanan hingga tengah
malam. Bulan purnama di malam ini tampak indah. Alvin jadi teringat saat-saat
ia memandangi bulan bersama Viktul. Saat itu malam ketika orang tua Alvin baru
saja dimakamkan setelah dibantai para perompak. Alvin yang kesepian di makam
kedua orang tuanya bertemu dengan Viktul yang juga sedang mengunjungi makam
orang tuanya. Di sanalah mereka bertemu dan untuk pertama kalinya mereka
memandangi bulan bersama-sama. Sejak saat itu pulalah mereka menjadi sahabat
yang sangat akrab dan tak terpisahkan, bahkan setelah Viktul diculik oleh
Jendral Yusingus.
Tiba-tiba saja air mata mulai
membasahi pipi Alvin. Di tengah-tengah nostalgianya ini, tiba-tiba Gondlaf
mengisyaratkan untuk berhenti dan berkata “Kita sudah sampai!”
Alvin segera menghapus air
matanya dan bertanya ke Gondlaf “Hah? Di mana mereka? Aku tidak melihat apapun,
aku hanya mendengar suara-suara.....” tiba-tiba Alvin berhenti sejenak sambil
terus mendengarkan dan berkata dengan semangat “Suara itu! Suara itu! Itu pasti
suara dari para prajurit Jendral Yusingus!”
“Benar. Suara itu pasti berasal
dari balik bukit itu, di mana terletak Sungai Danten.” Kata Kapten Gandhi
sambil menunjuk bukit yang ada di sebelah barat mereka. “Gondlaf, apa yang
harus kita lakukan sekarang?”
“Entahlah... kau kaptennya!”
kata Gondlaf.
Kapten Gandhi terdiam sejenak
kemudian berkata “Baiklah, mari kita periksa apa yang ada di balik bukit itu.
Gondlaf dan Alvin, kurasa kalian tertarik untuk iktu denganku. Kevin, Ateng,
kalian juga iktulah denganku. Yang lainnya, tetap di sini dan beristirahatlah.
Tetaplah diam dan berhati-hati agar keberadaan kalian tidak diketahui oleh
pasukan pengintai Jendral Yusingus!” kata Kapten Gandhi penuh semangat. Para
prajurit itupun segera bergegas untuk beristirahat.
***
Chapter 7 : Blood
In The Night
Bersama 2 orang prajurit
kepercayaan Kapten Gandhi, Alvin dan Gondlaf mulai berjalan pelan-pelan
melewati bukit tinggi itu untuk melihat keadaan. Ateng adalah prajurit
kepercayaan Kapten Gandhi yang kedua. Ia memiliki rambut keriting dan tubuh
yang agak pendek, tetapi tidak sependek Alvin. Tubuhnya juga agak bundar,
tetapi Kapten Gandhi mengatakan bahwa ia bisa diandalkan dalam peperangan.
Dengan Kapten Gandhi yang
memimpin perjalanan, mereka terus melanjutkan perjalanan. Rasa rindu Alvin
terhadap Viktul mengalahkan hawa dingin malam itu. Setelah berjalan sekitar 1
jam, akhirnya mereka tiba di puncak bukit dan mereka terkejut dengan apa yang
mereka lihat di sana. Prajurit Jendral Yusingus menyalakan banyak obor dan
mendirikan banyak tenda di tepi Sungai Danten. Beberapa prajurit sedang
berusaha menambah jembatan untuk menyebrang. Sebelumnya hanya ada satu jembatan
yang biasa digunakan untuk menyebrangi Sungai Danten. Banyak sekali prajurit di
sana. Sepertinya sudah terkumpul sekitar 1.000 orang prajurit. Dari kejauhan
terus terlihat beberapa orang prajurit yang datang dan bergabung dengan mereka.
Prajurit-prajurit itu datang tiap beberapa saat. Aktivitas di sana nampak
sangat sibuk. Para Kapten terus mendata jumlah prajurit yang telah bergabung
dengan mereka.
Dari kejauhan Alvin terus
mencari Viktul, tetapi terlalu sulit baginya untuk menemukan Viktul. Dengan
prajurit sebanyak ini sepertinya sulit sekali untuk menemukan seorang Viktul.
“Tidak mudah untuk mengorganisir
prajurit sebanyak ini. Kelihatannya mereka akan berada di sini untuk beberapa
hari. Sebaiknya kita gunakan kesempatan ini untuk istrirahat sambil
menunggu`saat yang tepat untuk menyelamatkan Viktul.” Kata Gondlaf. Kemudian
merekapun kembali ke tempat peristirahatan para prajurit Kapten Gandhi. Alvin
amat gelisah karena takut terjadi apa-apa pada Viktul selagi mereka
beristirahat. Tetapi, rasa lelah berhasil mengalahkan rasa gelisah Alvin. Ia
segera terlelap begitu tiba di tempat peristirahatan.
***
Sejak semalam prajurit Kapten
Gandhi masih beristirahat di antara semak-semak sambil bersembunyi. Saat ini,
beberapa prajurit sedang mencari ikan di sungai. Alvin juga suka mencari ikan.
Karena itu, ia ikut para prajurit itu ke sungai. Alvin pergi bersama 5 orang
prajurit termasuk Kevin dan Ateng.
Sungai Danten benar-benar sungai
yang amat besar. Sungai ini melintang dari utara ke Selatan sehingga memisahkan
negeri barat dan timur. Negeri yang berada di sebelah barat sungai ini adalah
Harmonia Kingdom of Taktakan, Royale Palace, dan Kebo Land. Sedangkan negeri
yang berada di sebelah timur sungai ini adalah Lopang Kingdom, Secang Dale, dan
Allied of Two Nation, atau sering disebut juga persekutuan 2 Ciruas. Desa
ManggaDua termasuk dalam Negeri sebelah timur.
Sungai Danten juga kaya akan
ikan. Karena itulah, walaupun baru memancing beberapa saat tetapi Alvin sudah
mendapatkan banyak ikan. Untuk sesaat Alvin melupakan Viktul berkat kesenangan
ini. Tetapi di tengah-tengah kesenangan ini tiba-tiba kalung mutiara hitam
milik Alvin menyala-nyala. Ia menjadi waspada dan segera melihat ke
sekelilingnya. Baru sekarang ia menyadari ada sesuatu yang sepertinya mengawasi
mereka sejak tadi. Belum sempat Alvin berkata sesuatu, tiba-tiba muncul 4 ekor
kera dengan baju perang berwarna hitam. Mereka bersenjatakan pedang dari besi
berwarna hitam. Kera-kera yang tingginya sekitar 2 meter ini segera berlari ke
arah mereka sambil mengacungkan pedangnya.
“Awas!” Kevin segera mengambil
busurnya dengan sigap lalu melesatkan anak panahnya ke salah satu kera, dan
kera itu langsung jatuh terguling-guling begitu tertusuk anak panah Kevin.
Ketiga kera yang lain sudah berhasil berlari mendekati Alvin dan para prajurit,
tetapi Alvin dan para prajurit sudah siap dengan pedangnya masing-masing. Ateng
segera menghadapi seekor kera dengan kelihaian tangannya memainkan pedang,
tetapi kera itu masih lebih hebat sehingga kera itu berhasil menebas lengan
kanan Ateng sehingga Ateng terjatuh. Setelah berhasil menjatuhkan Ateng, kera
itu menjadi lengah. Alvin memanfaatkan kesempatan ini dan menyerangnya dari
samping. Pedang Alvin berhasil menusuk kera ini. Kevin sekali lagi menancapkan
anak panahnya ke seekor kera. Sekarang hanya tinggal satu kera tersisa yang
sedang dihadapi oleh 3 orang prajurit yang tersisa. Kera ini amat ahli
memainkan pedang sehingga ia berhasil menjatuhkan seorang prajurit dengan
sekali tebas. Kevin melesatkan anak panahnya sekali lagi, tetapi kera ini
menahan panah itu dengan lengan kirinya. Ia menjadi lengah, sehingga ia tidak
menyadari ada seorang prajurit yang berlari menghunuskan pedang kepadanya. Kera
itupun terjatuh setelah mendapat luka parah akibat tusukan pedang prajurit itu.
Kera-kera sudah berhasil
dikalahkan, tetapi ini berarti pertanda buruk. Alvin memutuskan untuk segera
memberitahu Gondlaf, tetapi sebelum pergi Kevin berinisiatif untuk membuang
mayat-mayat kera ini ke sungai agar mayatnya tidak diketemukan kera yang lain.
Setelah membuang mayat-mayat kera ini ke sungai, mereka segera berlari menemui
Gondlaf dan Kapten Gandhi. Kevin menggotong Ateng bersama seorang prajurit.
Sesampainya di tempat
persembunyian Kaptern Gandhi dan prajuritnya, Alvin segera berteriak “Gondlaf,
kami baru saja diserang beberapa ekor kera! Ateng terluka!”
Gondlaf, Kapten Gandhi dan para
prajurit segera keluar. Setelah melihat Ateng, Kapten Gandhi segera memerintahkan
para prajurit untuk merawat Ateng. Kapten Gandhi tampaknya marah sekali karena
anak buah kepercayaannya terluka prah. Kemudian Alvin menceritakan seluruh
kejadiannya.Gondlaf berpikir sejenak.
“Sial... tak kusangka kera-kera
ini mengetahui keberadaan kita...” kata Kapten Gandhi gusar.
“Tidak... kurasa bukan kita yang
mereka incar. Jika bisa menemukan kita, seharusnya mereka sudah menemukan
prajurit Jendral Yusingus sejak kemarin.” Kata Gondlaf.
“Jadi?” tanya Alvin.
“Kurasa mereka sedang mengawasi
para prajurit Jendral Yusingus yang cukup banyak itu, tetapi tidak sengaja
bertemu dengan kalian. Mungkin mereka menyangka kalau kalian adalah prajurit
Jendral Yusingus, sehingga mereka menyerang kalian...” kata Gandhi. “Dan jika
dugaanku benar, maka peperangan akan segera terjadi antara kera-kera itu dan
prajurit Jendral Yusingus. Dan masih ada yang lebih parah...”
“A...apa itu?” tanya Kapten
Gandhi tidak sabar.
“Jika kera-kera itu bahkan sudah
ada di sini, kemungkinan besar mereka sudah mengepung Royale Palace!” kata
Gondlaf.
“A... apa????” kata Alvin dan
Gondlaf terkejut.
“Kita harus cepat menuju Royale
Palace dan memperingatkan mereka... Jika dibiarkan, Royale Palace mungkin akan
jatuh sebentar lagi... Mereka juga sepertinya belum mengetahui hal ini...” kata
Gondlaf.
Mereka kemudian berdiskusi
sebentar dan memutuskan bahwa prioritas utama saat ini adalah menyelamatkan
Viktul dan pergi ke Royale Palace.
***
Beberapa jam kemudian matahari
sudah terbenam. Alvin baru saja terbangun setelah tertidur sejak siang tadi.
Tiba-tiba Gondlaf berlari menghampirinya. “Cepat bangun! Ayo bersiap-siap!
Keadaan darurat!”
Alvin mendengar seperti suara
yang ramai sekali di balik bukit. Suara ini benar-benar mengerikan. Alvin
berpikir sejenak, kemudian menyadari bahwa ini adalah suara perang! Alvin
segera bertanya kepada Gondlaf “Apa yang terjadi?”
“Entahlah, suara ini baru saja
terdengar... Tetapi kurasa kera-kera itu sudah menyerang prajurit Jendral
Yusingus!” kata Gondlaf “Kita harus cepat! Ayo kita lihat apa yang terjadi!”
“Baik!” kata Alvin beiarpun ia
masih kaget. Ia amat ketakutan kalau-kalau Viktul terbunuh dalam perang itu.
Merekapun segera berlari ke puncak bukit untuk melihat apa yang terjadi.
Setelah berlari sekitar setengah jam, akhirnya mereka sampai di puncak bukit
tersebut. Dibandingkan kemarin malam, mereka membutuhkan waktu lebih singkat
untuk mencapai puncak bukit tersebut.
Begitu sampai di puncak bukit
tersebut, suara peperangan ini terdengar semakin kencang. Di sana mereka
menyaksikan hal yang luar biasa sekali. Ribuan prajurit kera tengah berperang
dengan prajurit Jendral Yusingus yang nampaknya sudah terkumpul hampir 3.000
orang. Tetapi para prajurit Jendral Yusingus ini tampaknya masih lelah setelah
berlari selama berhari-hari untuk mencapai tempat tersebut. Karena kelelahan
ini, prajurit kera dapat dengan mudah menumbangkan mereka satu persatu.
Prajurit-prajurit kera ini membakar tenda dan membunuh siapa saja yang mereka
temui. Alvin gemetaran melihat pemandangan mengerikan ini. Ratusan orang maupun
kera terbunuh dalam perang ini. Malam ini benar-benar diwarnai dengan darah.
***
Di
lain tempat, Viktul masih tertidur ketika perang ini terjadi. Tiba-tiba ia
terbangun ketika mendengar teriakan-teriakan prajurit. Tak lama kemudian perang
besar pun terjadi. Viktul masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Tiba-tiba tenda tempat ia disekap robek ketika ada seorang prajurit yang
merobeknya dengan pedangnya dan masuk. Ia tampak terluka parah. Viktul kaget
melihatnya. Kemudian ia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Viktul terus
memperhatikannya beberapa saat, kemudian terlintas ide di kepalanya. Ia segera
merangkak ke arah prajurit itu, kemudian meraih pedangnya dan menggunakannya
untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Setelah itu ia menggunakan
pedangnya untuk melepaskan tali yang mengikat kedua kakinya. Kemudian ia
mencoba berdiri tetapi ia merasa amat kesulitan karena kakinya kesemutan
setelah diikat selama berhari-hari.
Setelah Berhasil berdiri, ia
melihat apa yang terjadi di luar melalui lubang yang dibuat oleh prajurit
tersebut. Kali ini ia melihat pemandangan yang amat menakutkan, bisa jadi yang
paling menakutkan semasa hidupnya. Para manusia dan kera saling membunuh satu
sama lain. Mereka saling penggal kepala maupun mencabik-cabik tubuh lawannya.
Viktul terdiam selama beberapa
saat karena shock. Tetapi tiba-tiba ia kaget karena ia mendengar seseorang
masuk ke dalam tendanya. Ia segera memalingkan wajahnya dan melihat Jendral
Yusingus di sana. Ia kaget, tetapi segera memutuskan untuk lari. Ia segera
membuang pedangnya dan melompat keluar tenda melalui lubang yang ada. Ia segera
berlari tanpa arah untuk menyelamatkan diri dari Jendral Yusingus. Ia berlari
sambil terus berharap agar tidak ada satupun prajurit yang menyerangnya. Ia terus
berlari sambil menundukkan badannya untuk menghindari peperangan. Suara
dentuman pedang yang beradu, cabikan-cabikan pedang di tubuh, dan teriakan para
manusia maupun kera yang kesakitan terus terngiang di telinganya. Viktul
sungguh ketakutan, tetapi terus berlari. Beberapa tenda sudah terbakar sehingga
semakin memanaskan pertarungan. Tiba-tiba Viktul berhenti berlari ketika
tiba-tiba seseorang mendorongnya hingga terjatuh. Kemudian ia berbalik dan
melihat seekor kera berhasil menusuk tubuh seorang prajurit. Viktul baru
mengerti bahwa yang tadi mendorongnya adalah prajurit itu guna menyelamatkan
Viktul dari serangan kera tersebut. Tetapi konsekuensinya, prajurit itulah yang
terkena tusukan pedang kera itu.
Kemudian kera berbulu hitam
lebat itu berbalik arah dan menatap Viktul dalam-dalam. Nafsu membunuh nampak
di matanya. Viktul amat ketakutan sehingga ia bahkan sulit untuk bangun
berdiri. Kera itu terus berjalan mendekatinya. Viktul terus berusaha untuk
bangkit tapi tidak bisa. Kini kera itu tinggal berjarak beberapa langkah lagi
dari Viktul. Lalu kera itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi hendak menebas
tubuh Viktul. Di tengah ketakutan ini tiba-tiba Viktul merasa pasrah. Ia sudah
tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Bahkan, Viktul tidak bisa memejamkan matanya
sendiri.
Namun tiba-tiba perut kera itu
ditembus oleh sebilah pedang dari belakang. Kera itu berteriak kesakitan, lalu
terjatuh ketika pedang itu dicabut dari tubuhnya. Nampaklah Jendral Yusingus
yang sedang menunggangi kudanya. Jendral Yusingus nampak sangat marah kemudian
berkata “Gunakan The Teeth! Maka kita dapat mengalahkan kera-kera ini!”
“Ti...tidak akan pernah!” kata
Viktul setelah berhasil mengumpulkan segenap keberanian untuk berbicara.
“Huh...” nampak senyum amarah di
bibir Jendral Yusingus, kemudian Jendral Yusingus memacu kudanya ke arah Viktul
kemudian memukul wajahnya dengan sarung pedang sehingga Viktul pingsan. Ia
segera mengikat Viktul ke seekor kuda, lalu menarik kuda itu unuk mengikuti
kuda Jendral Yusingus. Kemudian ia bekata “Ayo, sebaiknya kita pergi sekarang.
Biarkan prajurit-prajurit ini yang membereskan peperangan ini! The Teeth harus
sampai di Royale Palace dengan selamat!” kemudian ia memacu kudanya dengan
cepat dan diikuti kuda yang digunakan untuk mengikat Viktul, lalu diikuti oleh
para pengawalnya. Jumlah mereka sekitar 300 orang. Mereka semua adalah para
prajurit berkuda.
***
Dari kejauhan Gondlaf dan Viktul
terus memperhatikan peperangan ini. Seluruh medan perang sudah dibasahi oleh
darah dan dijilati oleh api yang membara. Tiba-tiba Gondlaf menyadari kepergian
Jendral Yusingus. Ia melihat Jendral Yusingus memacu kudanya melewati jembatan
Sungai Danten diikuti sekitar 300 orang pengawal berkudanya. Gondlaf
menggunakan teropongnya dan menyadari Viktul terikat di kuda yang terus berlari
mengikuti Jendral Yusingus.
“Akhirnya kutemukan... Alvin,
ayo naik ke kudaku! Kita harus segera mengejal Viktul!” kata Gondlaf.
“A... apa? Jadi kau sudah
menemukan Viktul?” tanya Alvin senang.
“Sudahlah, ayo cepat naik!
Kapten Gandhi, sebaiknya kau lihat dulu situasi di sini. Setelah itu susulah
kami di Royale Palace!”
“Baik!” kata Kapten Gandhi.
Gondlafpun segera memacu kudanya
dengan cepat untuk mengikuti rombongan Jendral Yusingus.
***
Chapter 8 : Race to
Royale Palace
Di tempat lain, di Royale
Palace, tepatnya di sebuah altar Istana, tampak 2 orang pria sedang berdebat.
Perdebatan ini kelihatan seru sekali seakan-akan sedang mempertaruhkan nyawa
ribuan orang. Memang benar, mereka adalah 2 orang pemimpin tertinggi dari
wilayah mereka masing-masing. Mereka adalah King Virlu dari Harmonia Kingdom of
Harmonia dan Emperor Timouty dari Royale Palace. King Virlu adalah seorang raja
yang gagah yang berusia hampir 40 tahun. Ia memiliki mata yang indah dan kulit
yang putih, serta rambut hitam yang keren. Sedangkan Emperor Tomouty adalah
raja dengan perawakan yang kurus, tetapi memiliki mata yang tajam dan rambutnya
berwarna pirang. Ia juga memiliki kulit yang putih. King Virlu sedang
mengenakan baju zirah sedangkan Emperor Timouty mengenakan baju rajanya yang
bertabur emas. Mereka terus membicarakan hal penting berdua saja.
“Kurasa sebaiknya kau segera
meminta bantuan ke Lopang Kingdom! Lopang Kingdom adalah negeri terdekat dari
sini. Aku yakin, para kera itu sudah mengelilingi seluruh Royale Palace!” kata
King Virlu dengan nada agak emosi.
Dengan wajah tenang Emperor
Timouty pun menjawab “Tenang saja. Tidak seperti kau, aku tidak akan kehilangan
kerajaanku hanya dalam semalam! Lagipula, tidak ada gunanya meminta bantuan ke
Lopang Kingdom!”
“A... apa maksudmu???” tanya
King Virlu.
“Seperti halnya 1.000 tahun
lalu... setelah berhasil mengalahkan Sitio, Lopang Kingdomlah yang mendapatkan
kejayaannya. Jika aku meminta bantuan mereka sekarang, bisa-bisa kejadian 1.000
tahun lalu terulang kembali... Itulah yang tertulis dalam ramalan mereka...
Ketika semua negeri telah jatuh ke dalam tangan kegelapan, maka merekalah yang
akan muncul untuk mengalahkan kegelapan tersebut. Padahal faktanya, mereka
mengalahkan kegelapan itu dengan bantuan kekuatan dari seluruh negeri... Mereka
memang benar-benar busuk...” kata Emperor Timouty.
“Tidak, kau salah! Isi ramalan
itu tidak seperti itu... Ramalan tersebut mengatakan bahwa ketika semua negeri
telah jatuh ke tangan kegelapan, akhirnya mereka baru sadar bahwa mereka harus
bersatu melawan kegelapan tersebut bersama-sama. Akhirnya mereka memutuskan
untuk bersatu di bawah naungan satu negeri...” King Virlu belum selesai
berbicara, tetapi Emperor Timouty sudah menyelanya.
“Dan negeri itu adalah Lopang
Kingdom... Cih, itu adalah cerita lama..”
“Aku belum selesai bicara...
Asal kau tahu, negeri terpilih itu bisa negeri mana saja, bahkan mungkin sebuah
desa. Yang membuatnya menjadi negeri terpilih adalah keyakinan meeka akan
persatuan. Lihat saja buktinya, ketika Harmonia Kingdom of Taktakan diserang,
siapa yang menawarkan bantuan terlebih dahulu???” kata King Virlu.
“Huh, itu hanya trik mereka.
Lagipula, mereka hanya sekedar menawarkan bantuan. Kenyataannya, Royale Palace
lah yang sekarang menampung kalian dengan senang hati hingga kini tidak ada
tempat kosong lagi di negeri kami! Dan lagi, jika memang mereka peduli, mengapa
mereka masih belum memberi bantuan apapun, seperti pasukan bantuan misalnya???”
kata Emperor Timouty panjang lebar.
“Itu... aku yakin mereka pasti
punya alasan yang bagus.” Kata King Virlu.
“Cih, omong kosong... aku
pergi!” kemudian Emperor Timouty melangkah keluar ruangan, tetapi tiba-tiba
King Virlu menghentikannya dengan sebuah pertanyaan.
“Bagaimana dengan kere-kera
itu?”
Emperor Timouty diam sejenak
sambil berpikir, kemudian menjawab “Aku mampu membereskan mereka sendiri.
Seandainya mereka datang, kusarankan agar prajuritku saja yang menangani
mereka. Suruh saja seluruh rakyatmu untuk lari dan bersembunyi!
Hahahahahah....” Emperor Timouty terus tertawa sambil melanjutkan berjalan
keluar.
King Virlu merasa amat geram
mendengar kata-kata Emperor Timouty, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Biar
bagaimanapun Emperor Timouty telah banyak membantunya dengan membiarkan
rakyatnya tinggal di Royale Palace.
***
Di lain tempat, Gondlaf dan
Alvin terus melakukan pengejaran mereka. Mereka sudah berkuda hampir 24 jam.
Mereka hanya berhenti untuk beristirahat selama beberapa menit, kemudian
berkuda kembali. Mereka terus mengikuti Jendral Yusingus dari jauh. Jarak
antara Royale Palace dengan Sungai Danten lebih dekat daripada jarak Lopang
Kingdom dengan Sungai Danten. Karena itulah, mereka sudah hampir tiba di Royale
Palace. Lagipula, kali ini mereka bergerak begitu cepat dengan menggunakan
kuda. Dibandingkan yang sebelumnya, mereka hanya berlari perlahan untuk
mengejar Jendral Yusingus.
Gondlaf dan Alvin terus menunggu
kesempatan untuk menyelamatkan Viktul, tetapi kesempatan itu tidak kunjung
datang. Prajurit berkuda Jendral Yusingus terus memacu kudanya dengan cepat.
Mereka terus berpacu hampir tanpa istirahat. Mereka bahkan tidak mempunyai
cukup waktu untuk memejamkan mata.
Akhirnya, setelah terus berpacu
selama 36 jam, mereka tiba juga di Royale Palace. Gondlafpun berkata kepada
Alvin “Lihatlah di depan sana! Dinding yang tinggi itu adalah dinding dari
Royale Palace!” kata Gondlaf sambil menunjuk sebuah dinding yang besar, saking
besarnya dinding itu bisa terlihat dari jauh. Alvin amat terpukau melihat
dinding ini. Begitu tingginya, Alvin sampai tidak bisa melihat
bangunan-bangunan yang ada di baliknya.
Namun tiba-tiba saja Gondlaf
memperlambat laju kudanya. Alvinpun bertanya “Ada apa?”
“Jendral Yusingus... Mereka
sudah memasuki Royale Palace!” kata Gondlaf. Kemudian perhatian Alvin kembali
tertuju kepada prajurit Jendral Yusingus. Mereka sudah mulai memasuki Royale
Palace satu persatu. Kelihatannya mereka memiliki pengikut di penjagaan gerbang
tersebut.
“Kalau begitu kita sebaiknya
segera masuk juga!” kata Alvin.
“Tidak bisa! Kurasa Jendral
Yusingus sudah mempersiapkan prajuritnya di gerbang itu untuk mencegah
kehadiran pengganggu seperti kita!” kata Gondlaf.
“Jadi apa yang harus kita
lakukan?” tanya Alvin.
Tiba-tiba Gondlaf mengeluarkan
sebuah kantung kecil miliknya, kemudian membukanya dan mengambil sesuatu dari
dalamnya. Ternyata itu adalah sebuah serbuk berwarna hijau. Ia menaburkan
serbuk itu di sekitar kuda yang sedang mereka tunggangi. Kemudian Gondlaf
memejamkan matanya, lalu merapalkan mantra-mantra. Kemudian Gondlaf membuka
matanya, kemudian berkata “Inilah yang akan kita lakukan.... RALUBAVAK!”
Tiba-tiba serbuk itu seperti
beterbangan dan menghalangi pemandangan di sekitar mereka. Serbuk itu mulai
berputar-putar dan membuat Alvin pusing. Serbuk itu terus mengitari mereka
selama beberapa saat, kemudian menghilang perlahan-lahan. Setelah serbuk itu
mulai menghilang, Alvin baru menyadari apa yang terjadi. Kini mereka sudah
berada di suatu tempat yang tinggi. Di situ angin berhembus kencang menerpa
wajah mereka. Dari sana terlihat pemandangan bangunan-bangunan dari batu yang
amat banyak. Bangunan ini menggunakan atap-atap dari genting, tetapi terlihat
amat kokoh.
Tiba-tiba Gondlaf berkata dengan
gembira “Sial... Sepertinya aku melakukan sedikit kesalahan... Saat ini
sepertinya kita sedang berada di puncak sebuah gedung di Royale Palace...
Hehehe... Nampaknya akan sulit untuk turun dari sini...”
Alvin baru menyadari bahwa
mereka sedang berada di atap sebuah bangunan. Jadi inilah Royale Palace.
Dinding yang besar sekali membentang begitu panjang sehingga Alvin sulit sekali
untuk melihat batasnya. Dinding ini membentang melindungi seluruh bangunan yang
ada di dalamnya. Di tengah-tengah Royale Palace ada sebuah sungai yang membelah
Royale Palace menjadi dua dan mengalir dari utara ke selatan. Gondlaf
mengatakan bahwa sungai itu adalah anak sungai dari Sungai Danten. Sungai ini
tidak begitu besar, tetapi nampak besar. Lebarnya sekitar 5 meter. Di atas
sungai itu dibuat banyak jembatan. Bagian dinding yang dilalui sungai itu
dibuat dinding di bagian bawahnya, tetapi dipasangi jeruji besi hingga 3 lapis.
Ini menunjukkan betapa kokohnya pertahanan di Royale Palace.
Alvin masih menikmati
pemandangan dari atas sana, tetapi Gondlaf berkata “Sudah cukup
bersenang-senangnya! Sekarang kita harus memikirkan cara untuk turun dan mulai
mencari Viktul!” Alvin tersenyum dan menyetujui Gondlaf.
***
Chapter 9 : Three
Side In One Nation
Tidak mudah untuk turun dari
atap gedung tersebut. Beruntung sekali gedung itu beratap rata, sehingga Alvin
dan Gondlaf dapat berdiri di atasnya. Sebenarnya masalah sudah teratasi sejak
awal ketika mereka bermaksud untuk menurunkan kuda putih Gondlaf. Ketika mereka
berusaha mendorong kuda putih itu untuk turun, tiba-tiba kuda itu melompat
meninggalkan Alvin dan Gondlaf di atap. Kuda itu melompat cukup tinggi, dari
sekitar lantai 6. Kuda itu jatuh berguling-guling di tanah tetapi dapat segera
bangkit. Kini mereka hanya perlu memikirkan cara untuk turun dari sana. Alvin
memutuskan untuk melompat ke sebuah beranda di depan jendela sebuah kamar di
bawah mereka. Begitu Alvin hendak melompat, tiba-tiba Gondlaf mendorongnya
hingga ia jatuh terjerembap di atas beranda tersebut. Kemudian Gondlaf ikut
melompat. Karena kakinya yang agak licin, Gondlaf tergelincir menimpa Alvin.
Mungkin inilah yang disebut dalam peribahasa sudah jatuh tetimpa tangga.
Kejadian ini membuat penghuni
kamar itu kaget. Maka, setelah meminta maaf pada penghuni kamar tersebut Alvin
dan Gondlaf segera pergi dan menemui kuda putih milik Gondlaf. Mereka
memutuskan untuk segera mencari Viktul. Mereka sempat berkeliling sebentar di
jalanan Royale Palace yang amat ramai. Kemudian ketika melihat seorang pedagang
buah di pinggir jalan, Gondlaf segera melangkah ke arahnya dan menanyakan
apakah ia melihat sekelompok prajurit asing yang lewat sini beberapa saat yang
lalu. Pedagang itu sepertinya tidak tahu apa-apa. Gondlaf menjadi agak kecewa
mendengar jawabannya. Jika ia yang sepanjang hari berada di sana saja tidak
melihatnya, bagaimana orang-orang yang terus berlalu lalang sejak tadi.
Tetapi tiba-tiba suara seorang
pria yang menggema terdengar dari belakang mereka “Tidak perlu repot-repot
mencari, aku sudah ada di sini!” Spontan Alvin dan Gondlaf segera menoleh.
Ternyata dia adalah Jendral Yusingus. Ia tengah berdiri bersama 3 orang
pengawalnya.
Mendadak Alvin menjadi amat
kesal. Ia segera berkata dengan lantang “Di mana kau sembunyikan Viktul????”
Tetapi Jendral Yusingus hanya
tersenyum dan berkata “Tenang dulu nak... Saat ini ia sedang berada di suatu
tempat yang aman. Aku dapat menjaminnya. Tapi sebelumnya, aku mau mengucapkan
selamat kepada kalian. Jadi kalian berdua berhasil mengikuti kami sampai ke
sini ya... Hehehehe... Sungguh luar biasa!”
“Sudah cukup omong kosongnya! Di
mana Viktul?” kata Alvin mendadak.
“Santai dulu nak... Hehehe...
Kau benar-benar tidak sabaran... Begini, sebenarnya aku hanya ingin menawarkan
kerjasama!” kata Jendral Yusingus.
“Kerjasama? Apa maksudmu?” tanya
Gondlaf.
“Begini, sekarang aku baru
menyadari tidak mungkin aku menggunakan kekuatan The Teeth. Kurasa hanya Viktul
yang bisa menggunakannya. Maka, kuharap kau mau membantuku membujuknya untuk
menggunakan kekuatan hebat itu untuk melawan para kera milik Sitio!” kata
Jendral Yusingus.
“Huh, enak saja!!! Tak akan
kubiarkan kau memperlakukan Sitio seperti alat bertarung seperti itu...” kata
Alvin dengan nada sangat emosi.
“Huh... yang benar saja... dasar
anak kecil...” kata Jendral Yusingus.
“Huh... begitu... Yang jelas aku
tak akan pernah mau bersatu denganmu untuk mengkhianati Lopang Kingdom, tetapi
kurasa sekarang ini kita memang harus bekerja sama...” kata Gondlaf.
Alvin begitu kaget mendengar hal
ini dan Jendral Yusingus segera tersenyum senang. Ia merasakan kemenangan.
Alvin yang bingung segera bertanya “Apa-apaan ini???”
Lalu Gondlaf berkata “Aku yakin
saat ini ribuan pasukan kera sudah mengepung Royale Palace dan mereka bisa
menyerang kapan saja. Saat ini semua orang yang ada di sini harus menyatukan
kekuatan jika ingin tetap bertahan hidup. Dan Yusingus, kurasa sekarang bukan
kami yang harus bekerja sama denganmu, tetapu kaulah yang harus bekerja sama
dengan kami!”
“A...apa????”
“Apa kau lupa dengan penyerangan
para kera ke prajuritmu tempo hari? Asal kau tahu, aku mengetahui hal itu! Dan
aku yakin, masih ada banyak kera yang bersiap untuk menyerang Royale Palace!”
kata Gondlaf. “Saat ini di sini ada sisa-sisa prajurit Harmonia Kingdom of
Taktakan, prajurit Royale Palace, dan para pengikutmu! Jika ketiga kekuatan ini
bergerak sendiri-sendiri, aku yakin ketiganya akan musnah saat itu juga!”
Jendral Yusingus tampak
terdesak, lalu setelah berpikir sejenak berkata “Baiklah, tapi Viktul tidak
akan kukembalikan begitu saja! Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Hmmm... Sekarang ikutlah
denganku menemui King Alpin dan Emperor Timouty. Kita akan bicarakan semuanya
di sana bersama mereka. Kurasa saat ini mereka ada di istana... Mari kita ke
sana!” kata Gondlaf. Kemudian mereka mulai berjalan menuju istana Royale
Palace. Alvin masih kesal karena Gondlaf memutuskan untuk bekerja sama dengan
mereka.
***
Di tengah perjalanan, Alvin
bertanya kepada Gondlaf “Mengapa kau mengajak orang-orang seperti itu untuk
bekerja sama?”
“Aku sudah menerima surat dari
Lord Mliit. Ia tak bisa mengirimkan bantuan ke sini karena kondisi yang gawat.
Jika kera-kera itu sudah berkeliaran di Sungai Danten, maka ada kemungkinan
mereka juga sudah mengepung Lopang Kingdom. Karena itulah, kita harus
melindungi Royale Palace dengan segenap kekuatan yang ada sekarang!”
Alvin nampaknya masih kesal,
tetapi tetap diam. Jendral Yusingus
terus mengikuti mereka dengan berhati-hati, kalau-kalau mereka dijebak. Mereka
terus berjalan melewati jalanan Royale Palace yang amat ramai. Banyak sekali
orang yang berlalu lalang. Itu karena mereka sedang melewati tempat perdagangan
paling besar di Royale Palace, yaitu Royal Street. Mereka terus berjalan ke
sebuah istana megah di tengah-tengah Royale Palace. Istana ini begitu besar dan
tampak kokoh. Dindingnya terbuat dari batuan-batuan terpilih yag berwarna
kecoklatan yang bercahaya. Istana ini memiliki pintu gerbang selebar 10 meter
dan memiliki ketinggian 4 meter. Istana ini benar-benar luar biasa.
Ketika mereka mau memasuki
istana, tiba-tiba beberapa orang penjaga mencegat mereka. Gondlaf mengatakan
kalau mereka adalah utusan langsung Lord Mliit. Mendengar nama ini mereka
segera memperbolehkan rombongan Gondlaf untuk masuk. Setelah masuk beberapa
langkah, tiba-tiba seorang pria besar dengan baju zirahnya berjalan ke arah
mereka sambil berteriak.
“Salam sejahtera untuk semuanya!
Kalian pasti utusan Lord Mliit bukan? Dan kau adalah Gondlaf sang penyihir
putih, lalu kau adalah Jendral Yusingus yang terkenal itu. Hahahaha...”
demikianlah ia berkata kepada mereka.
“King Alpin, terimalah rasa
hormatku!” tiba-tiba Gondlaf menunduk sambil diikuti oleh Jendral Yusingus dan
pengawalnya. Tetapi Alvin tidak menundukkan kepalanya karena tidak mengerti,
sehingga Gondlaf mencengkram kepalanya dan membuatnya menunduk dengan
dorongannya.
“Hahahah... Kuterima rasa hormat
kalian dengan senang hati. Mari, masuklah ke istana!” kemudian ia berbalik dan
memanggil seorang penjaga, kemudian menyuruhnya untuk memberitahukan kedatangan
Gondlaf kepada Emperor Timouty. King Virlu juga menyuruh penjaga untuk
memanggil jendral besarnya, Jendral Napin. Setelah itu mereka mulai berjalan
dan melewati alun-alun yang besar di dalam istana tersebut. Alun-alun ini
berbentuk persegi dan dikelilingi bangunan besar yang bertingkat-tingkat.
Setelah mereka memasuki alun-alun itu, mereka memasuki sebuah gedung yang tepat
berhadapan dengan pintu gerbang tadi. Pintu ini adalah yang paling besar.
Setelah memasuki pintu menuju bangunan paling besar itu, mereka segera menaiki
tangga hingga ke lantai teratas, kemudian masuk ke satu-satunya ruangan yang
ada di lantai tersebut. Ruangan ini benar-benar sama dengan Ruangan Meja Bundar
untuk rapat yang ada di Lopang Kingdom. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat
meja bundar yang lebih besar daripada yang ada di Lopang Kingdom.
Kemudian King Virlu mulai
berbicara “Apa kalian tahu, setiap negeri di Bumi Serang memiliki meja bundar
seperti ini. Meja bundar ini adalah simbol bahwa semua penghuni negeri-negeri
di Bumi Serang akan selalu bermusyawarah dan bekerja sama untuk menyelesaikan
suatu masalah. Tapi sayangnya, kini orang-orang nampaknya tak menghargai meja
bundar ini lagi.”
“Ya, kurasa kau benar” Kata
Gondlaf sambil menatap ke arah Jendral Yusingus, yang kemudian merasa tidak
enak dan memalingkan wajahnya.
“Dan karena hal itu pulalah
Sitio menjadi musuh abadi bagi seluruh penghuni negeri-negeri di Bumi Serang”
lalu King Virlu melanjutkan “Ia satu-satunya raja yang menggunakan kursi
emasnya untuk memerintah. Itu menyimbolkan bahwa kekuasaannya amat besar
sehingga tidak ada satupun yang boleh membangkangnya! Dan karena itu pulalah
perang ini terjadi, ketika ia mencoba menguasai negeri-negeri yang lain di
bawah kursi emasnya...”
Kemudian King Virlu berhenti dan
merasa sedih sambil menatap meja bundar tersebut, lalu bergumam “Kerajaan yang
sudah dipercayakan padaku... ukh... mengapa jadi begini...”
Tiba-tiba pintu di belakang
mereka terbuka, masuklah Emperor Timouty dengan 44 orang ksatrianya yang
terkenal itu dan diikuti oleh Jendral Napin dan 2 orang pengawalnya. Jendral
Napin adalah seorang Jendral gagah yang berusia sekitar 20 tahun. Ia adalah adik
dari King Virlu. Biarpun ia dan King Virlu adalah saudara lain ibu, tetapi King
Virlu tetap menghormatinya dan menganggapnya sebagai adik kandungnya sendiri.
Jendral Napin memiliki keahlian pedang maupun memanah yang tinggi, dan ia juga
memiliki kecerdasan dan ketampanan yang luar biasa.
Kemudian mereka berdiri
mengitari meja bundar, dan Emperor Timouty berbicara “Jadi akhirnya datang juga
utusan dari Lopang Kingdom. Tapi aku heran, mengapa Lopang Kingdom hanya
mengirim seorang kakek tua, seorang anak kecil, dan seorang jendral yang
katanya telah membunuh jendral sebelumnya untuk dapat naik tahta... hehehe...”
Tiba-tiba Jendral Yusingus
menjadi geram sekali mendengar hal ini, tetapi Gondlaf sudah berbicara “Asal
kau tahu, Lopang Kingom juga berpeluang amat besar untuk diserang oleh
kera-kera ini! Kami harus terus berjaga-jaga di sana...”
Tiba-tiba saja Emperor Timouty
memotong kata-kata Gondlaf “Kalau begitu mengapa kau tidak tinggal saja di sana
dan menolong para prajuritmu untuk berjaga? Di sini aku sudah memiliki banyak
prajurit untuk melawan kera-kera itu. Kurasa sebaiknya kau pulang saja kakek
tua, dan jangan lupa bawa orang-orang buangan dari Harmonia Kingdom of Taktakan
itu!”
Tiba-tiba saja Jendral Napin
menjadi kesal dan berteriak “TUTUP MULUTMU, BRENGSEK!”, tetapi King Virlu
segera menahannya, “Tenanglah, mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan...”.
Jendral Napin pun menjadi sedikit tenang sekarang.
Tetapi tiba-tiba Jendral
Yusingus tertawa dan berkata “Hahahahaha... apa maksudmu dengan prajuritmu?
Bukankah seharusnya ‘prajuritmu dengan sebagian besar prajuritku di dalamnya’?”
“Hah? Apa maksudmu?” tanya
Emperor Timouty kaget.
“Kalau begitu tanya saja dengan
10 orang ksatria hebatmu yang ada di sana, siapa tuannya!” kata Jendral
Yusingus sambil tertawa-tawa dan menunjuk ke 10 orang tersebut.
Emperor Timouty segera menoleh
ke arah mereka dan menjadi amat marah “Ku...kurang ajar kau... Aku berjanji,
aku pasti akan membunuhmu!”
“Coba saja” kata Jendral Timouty
sambil tersenyum-senyum.
Gondlaf menyadari kalau situasi
di sini berbeda jauh dari apa yang ia harapkan. Mereka bahkan sama sekali tidak
membicarakan mengenai cara mengalahkan prajurit Sitio, tetapi malah saling
menjelekjelekkan satu sama lain. Di tengah keadaan yang makin runyam ini ketika
para ksatria itu mulai bertengkar satu sama lain karena terdapat 10 orang
pengkhianat, tiba-tiba Alvin berkata dengan lantang “KALIAN TENANGLAH!!!!”
tiba-tiba saja mereka menjadi teriam mendengar teriakan dahsyat Alvin.
“Mungkin saja kalian yang ada di
sini saling membenci satu sama lain. Tetapi, mau tak mau, kalian yang ada di
sini harus menyadari jika kalian semua akan memiliki takdir yang sama! Cepat
atau lambat, prajurit Sitio pasti akan menyerang Royale Palace. Dan jika hal
itu tejadi ketika kalian masih meributkan hal bodoh seperti ini, aku jamin
tidak ada satupun dari kalian yang akan selamat!” kata Alvin bersemangat.
Orang-orang yang ada di ruangan
itu terdiam dan memikirkan itu untuk beberapa saat. Gondlafpun tersenyum
melihat Alvin. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Alvin akan mengatakan hal
seperti itu. Tetapi keheningan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara pintu yang
mendadak terbuka. Seorang prajurit berlari ke arah mereka dan berkata “Para
prajurit kera itu... Mereka sudah ada di dinding Royale Palace sebelah barat!!!
Jumlahnya sekitar 20.000 ekor!!!”
Semua orang yang ada di situ
kaget setengah mati. Biar bagaimanapun jumlah itu begitu besar, dan mereka
semua juga menyadari bahwa hanya dengan menyatukan prajuritlah mereka dapat
menandingi pasukan itu. Tetapi mereka yang masih kesal satu sama lain tidak
berkata apa-apa. Tiba-tiba keheningan itu kembali dipecahkan oleh suara
menggelegar yang dahsyat. Semua orang yang ada di situ segera melihat ke arah
barat melalu jendela kaca besar bundar yang ada di ruangan itu. Tampak sebuah
bunga api yang besar sekali telah menyerang dinding kota itu, dan membuat
dinding itu runtuh!!!”
***
Chapter 10 : Fall
Of Western Wall
Emperor Timouty segera
mengisyaratkan seluruh ksatrianya untuk bertempur. Ia terus memberi perintah
untuk menyiapkan seluruh prajurit yang ada. Para ksatria itu segera berhamburan
keluar ruangan dan mngumpulkan para prajuritnya. King Virlu dan Jendral Napin
juga segera keluar untuk mengumpulkan prajuritnya guna melakukan pertahanan. Ia
tak mau jika Royale Palace mengalami nasib yang sama seperti Harmonia Kingdom
of Taktakan.
Ketika yang lain sedang
bersiap-siap melakukan pertahanan, Gondlaf menyadari bahwa Jendral Yusingus
masih berdiri dan berbicara dengan para pengawalnya. Ia segera berjalan ke arah
mereka dan berkata “Apa yang kalian lakukan di sini??? Kurasa sebaiknya kalian
membantu melakukan pertahanan kota ini jika masih ingin hidup!”
“Dasar kakek tua berisik!
Sekarangpun kami tengah bermaksud untuk pergi ke Royale Palace bagian barat.
Asal kau tahu, Virlu kami tahan di sana!” kata Jendral Yusingus.
“Apa katamu???” Alvin segera
berlari ke arah Jendral Yusingus sambil mengacungkan pedangnya. Tetapi sayang,
kemampuan Jendral Yusingus begitu tinggi sehingga serangan Alvin dapat dipatahkan
bahkan Jendral Yusingus berhasil melakukan serangan balasan tetapi Alvin segera
melompat ke belakang sehingga tidak terkena sabetan pedang Jendral Yusingus.
“Hehe, hebat juga kau nak” kata
Jendral Yusingus yang sedang bersiap untuk menyerang Alvin, sedangkan Alvin
juga bersiap untuk menyerang.
“HENTIKAN OMONG KOSONG INI!!!”
tiba-tiba Gondlaf berteriak dengan kesal. Alvin maupun Jendral Yusingus segera
terdiam.
Jendral Yusingus nampak tidak
senang, tetapi kemudian berkata “Huh, ya sudahlah... Lagipula ia Cuma
anak-anak... Kakek tua, sekarang terserah kau saja. Silakan saja jika kau ingin
melakukan sesuatu, tetapi aku akan segera membawa prajuritku keluar dari kota
ini, dan tentu saja Viktul akan ikut denganku! Sejak awal aku memang tidak
berniat membantu...”
“Dasar bodoh, kera-kera itu
pasti sudah mengepung kita. Keluar dari sini sama saja masuk ke dalam kepungan
mereka. Di sinilah tempat pertahanan terbaik!” kata Gondlaf.
“Omong kosong” kemudian Jendral
Yusingus segera keluar bersama para pengawalnya.
“Lalu apa yang akan kita lakukan
Gondlaf?” tanya Alvin.
“Kita ikuti Jendral Yusingus.
Terpaksa kita lakukan dengan jalur kekerasan!” kata Gondlaf.
Dalam waktu singkat para
prajurit Royale Palace maupun Harmonia Kingdom of Taktakan sudah berkumpul di
tembok barat untuk melakukan pertahanan. Para kera terus mencoba menghancurkan
dinding dengan meriam-meriam besar. Para penduduk yang panik terus berusaha
melarikan diri dan pergi ke Royale Palace bagian timur. Royale Palace bagian
barat dan timur dibatasi oleh anak Sungai Danten dan hanya memiliki beberapa
jembatan penyebrangan. Hal ini membuat jalanan menjadi amat sesak. Dalam
situasi ini Alvin dan Gondlaf jadi kesulitan untuk mengikuti Jendral Yusingus.
Tetapi berkat kuda milik Gondlaf, mereka dapat melewati kerumunan orang dengan
mudah.
Akhirnya Alvin dan Gondlaf
menemukan Jendral Yusingus. Sungguh mengejutkan, Jendral Yusingus terus berlari
ke arah tembok barat. Ia hanya berlari bersama 2 orang pengawal. Sepertinya
pengawalnya yang lain sedang mengumpulkan pengikutnya. Ia terus berlari ke arah
perang yang sedang berkecamuk. Beberapa bagian dinding besar itu sudah berhasil
dilubangi, biarpun lubangnya kecil sekali, hanya bisa dilalui oleh satu ekor
kera. Tetapi kera-kera yang tangguh ini terus mencoba masuk melalui lubang itu.
Karena begitu banyak prajurit,
setelah berlari berputar-putar, akhirnya Jendral Yusingus behenti pada sebuah
pos penjaga gerbang Royale Palace. Puluhan prajurit tengah menahan ratusan kera
yang mencoba membobol pintu gerbang itu. Jendral Yusingus mencoba masuk ke
dalam pos itu. Alvin menyadari bahwa Viktul berada di sana. Tetapi tiba-tiba
pos itu meledak akibat terkena tembakan meriam para kera. Jendral Yusingus yang
baru mencoba masuk terpental keluar. Setelah terguling-guling, Jendral Yusingus
mencoba untuk berdiri kembali.
Alvin yang menyaksikan ini
segera berlari ke arah pos penjagaan yang sudah terbakar itu. Gondlaf mencoba
menghentikannya tetapi tidak berhasil. Alvin segera melompati puing-puing
gedung dengan lincah. Ia terus mencari-cari Viktul. Kemudian ia menemukan anak
tangga untuk menuju ke lantai atas. Tanpa pikir panjang Alvin segera menaiki
anak tangga tersebut. Sambil menahan panasnya kobaran api, Alvin terus berusaha
untuk naik. Akhirnya Alvin berhasil mencapai lantai teratas, sebuah ruangan
persegi dengan sepasang jendela besar yang saling berhadapan, masing-masing
menghadap ke luar tembok dan satu lagi menghadap ke dalam kerajaan. Tiba-tiba
Alvin menyadari ada seseorang terikat di atas lantai tersebut. Alvin segera
menghampirinya, dan tiba-tiba saja Alvin merasa haru, sedih, senang, dan lega.
Orang itu adalah Viktul.
Tetapi Viktul masih belum
sadarkan diri, sehingga Alvin terus menggoyang-goyang kepalanya hingga akhirnya
Viktul tersadar. Setelah Viktul sadar, akhirnya Viktul menyadara bahwa orang
yang sekarang sedang berada di depannya adalah Alvin. Viktul merasa sedih dan
tiba-tiba memeluk Alvin sambil menitikkan beberapa tetes air mata. Untuk
beberapa saat mereka tenggelam ke dalam kerinduan mereka.
Sayang sekali, tiba-tiba batu
mutiara hitam Alvin menyala-nyala. Terdengar suara langkah-langkah kaki menuju
ruangan tempat mereka berada. “Ini pasti Jendral Yusingus... Ayo lari!” kata
Alvin kepada Viktul. Mereka segera bangkit dan berlari menuju tangga yang
menghubungkan mereka ke atas dinding besar kerajaan. Ternyata bagian atas dari
dinding tersebut cukup lebar, lebarnya sekitar 5 meter. Kemudian Alvin melihat
ke arah luar, dan ia melihat pemandangan yang amat menakutkan. Ribuan prajurit
kera tengah menunggu giliran mereka untuk memasuki Royale Palace.
Di tengah ketegangan ini
tiba-tiba Jendral Yusingus melompat naik dari tangga. Bersama beberapa
pengawalnya, ia bersiap untuk menyerang Viktul dan Alvin. “Serahkan The Teeth!
Ternyata aku sama sekali tidak bisa mengandalkanmu, anak kurus!” kata Jendral
Yusingus kepada Viktul.
“Tidak akan! Kali ini aku
bertekad untuk benar-benar menjaga Viktul! Aku tidak gagal kali ini!” kata
Alvin bersemangat. Alvin merasa malu karena ia telah membuat Viktul terancam
bahaya 2 kali, yaitu ketika dikepung oleh monster-monster Sitio di perjalanan
menuju Lopang Kingdom dan ketika Viktul diculik di Lopang Kingdom. Karena
inilah, kali ini Alvin bertekad mengorbankan jiwa dan raganya untuk melindungi
Viktul, apalagi ia sangat tidak menginginkan terjadi sesuatu pada Viktul kali
ini, setelah Alvin dengan besusah payah menemukannya.
Jendral Yusingus tersenyum licik
sejenak, kemudian maju sambil memberi perintah kepada pengawalnya “BUNUH
KEDUANYA!!!”. Jendral Yusingus dan pengawalnya segera berlari ke arah Viktul
dan Alvin, tetapi tiba-tiba muncul cahaya hijau yang berputar-putar di antara
mereka dan muncullah Gondlaf dengan jubah putihnya. Ia segera mengangkat
tongkatnya dan dari tongkat itu keluarlah lidah-lidah api yang segera membakar
lantai antara Gondlaf dan Jendral Yusingus. Dinding api ini membuat Jendral
Yusingus terhenti.
Kemudian Gondlaf berkata dengan
lantang ke arah Jendral Yusingus “Wahai Jendral Besar dari Lopang Kingdom,
apakah yang sekarang sedang kau lakukan??? Lihatlah ke kanan dan kirimu, dan
sadarilah, prajurit kera Sitio telah mengepung kita! Jika tak bekerja sama,
kita semua pasti akan mati!”
Kemudian Jendral Yusingus
melihat ke bawah ke arah para prajurit sedang berperang. Pemandangan ini
sungguh mengerikan. Mereka saling menusuk dan membunuh. Jendral Yusingus tampak
sedikit ngeri, tetapi kemudian berkata sambil tersenyum “Aku tidak akan pernah
bekerja sama denganmu, kakek tua!”
Gondlaf tampak agak kecewa,
kemudian bergerak mundur ke arah Viktul dan Alvin, kemudian menebarkan bubuk
berwarna hijau di sekeliling mereka, dan segera membaca mantra. Jendral
Yusingus merasakan hal yang buruk, maka tanpa pikir panjang ia segera melompat
melewati api sambil menghunuskan pedangnya, tetapi Viktul dan yang lainnya
sudah dikelilingi cahaya hijau yang berputar-putar. Begitu Jendral Yusingus
sudah berhasil melewati kobaran api dan hendak menebaskan pedangnya, Viktul dan
yang lainnya sudah menghilang. Jendral Yusingus menjadi amat kesal, lalu ia
berteriak keras sekali ke arah langit, seakan-akan langit amat membencinya.
***
Chapter 11 : The
Slaughtering
Tiba-tiba saja Viktul dan yang
lainnya sudah berada jauh sekali, di Royale Palace bagian timur. Dari kejauhan
mereka menyaksikan matahari yang mulai terbenam di antara tembok-tembok yang mulai
rubuh. Pemandangan ini benar-benar memperlihatkan mereka pada seberapa banyak
darah yang ditumpahkan di medan pertempuran itu. Warga mulai berdesak-desakkan
melalui jembatan untuk mengungsi ke bagian timur kerajaan. Semakin gelap,
semakin banyak warga yang mencoba mengungsi, dan semakin banyak juga prajurit
yang tewas terbunuh.
“Sepertinya para prajurit kera
itu akan berhasil memasuki kota malam ini... Sekarang aku mengerti mengapa
Harmonia Kingdom of Taktakan bisa ditaklukan semudah itu...” kata Gondlaf.
“Jadi apa yang sebaiknya kita
lakukan sekarang?” tanya Alvin.
“Mungkin sebaiknya kita
beristirahat dulu... Lagipula saat ini tak ada yang bisa kita lakukan...” kata
Gondlaf. Merekapun memutuskan untuk mencari tempat di sudut-sudut kota bersama
warga lainnya untuk beristirahat sejenak. Alvin dan Viktul yang masih
merindukan satu sama lain mengobrol sejenak, kemudian mereka tertidur karena
kelelahan. Bagi Alvin hari ini benar-benar terasa panjang. Ia baru saja tiba di
Royale Palace tapi sudah mengalami berbagai kejadian. Tidak heran jika ia
tertidur begitu cepat. Tetapi tidak dengan Gondlaf. Sepertinya ia masih mencari
kuda kesayangannya yang tadi ia tinggalkan ketika hendak menyelamatkan Alvin
dan Viktul.
***
Di lain tempat di perbatasan
dinding tempat terjadinya pertempuran, King Virlu dan prajuritnya masih
bertarung dengan gigih melawan kera-kera itu. Bersama jendralnya, King Virlu
terus menghantam kera-kera yang sudah berhasil memasuki kota. Sebenarnya
prajurit King Virlu dan Emperor Timouty sedang bertarung berdampingan, tetapi
sama sekali tidak tampak rasa bekerja sama di antara mereka. Mereka membiarkan
prajurit mereka satu sama lain terbunuh di medan perang tanpa berusaha untuk
menolongnya.
Hal ini dimanfaatkan oleh para
prajurit kera Sitio. Dengan mudah para prajurit kera ini berhasil menghabisi
setiap prajurit yang berusaha melindungi kota dan juga para warga yang belum
sempat menyelamatkan diri. Para prajurit kera ini juga mulai membakar
rumah-rumah yang mereka lewati. King Virlu dan Jendral Napin bersama pasukannya
terus berusaha melawan, tetapi mereka tidak sanggup untuk menghadapi kera-kera
ini tanpa bantuan Emperor Timouty.
Tiba-tiba saja King Virlu dan
semua prajurit yang sedang berada di medan perang merasakan hawa dingin yang
menakutkan. Awalnya mereka mengira bahwa hawa ini adalah hawa yang berasal dari
angin malam, tetapi ternyata mereka salah. Tidak lama kemudian muncullah
sesosok tubuh besar dengan memakai baju zirah dan memakai topeng di wajahnya.
Pada topengnya terukir wajah yang mengerikan, seperti wajah yang berasal dari
neraka. Ia datang mengendarai seekor ginger. Ginger adalah makhluk yang seperti
perpaduan antara kuda dan anjing. Tubuhnya berukuran 2 kali lebih besar dari
kuda biasa dan berwarna hitam kegelapan. Wajahnya lebih menyerupai anjing yang
terkena rabies dengan matanya yang merah. Makhluk ini juga tidak memiliki
telapak kaki kuda, melainkan telapak kaki dengan cakar-cakar yang besar. Dari
kepala, punggung, hingga ekornya terdapat rambut panjang berwarna hitam yang terus
melambai-lambai seperti tertiup angin. Air liur terus mengalir di antara
giginya yang besar dan tajam dan terus menetes-netes.
Kemudian sesosok orang yang
menunggangi ginger tersebut mengangkat pedang kitamnya tinggi-tinggi dan
berteriak “BUNUH MEREKA SEMUA!!!”. Para prajurit kera itupun menanggapinya
dengan berteriak keras-keras dan bertarung dengan semakin liar. Sesosok
penunggang ginger itu memiliki pedang hitam dengan mantra-mantra yang sudah
terukir di permukaannya. Pedang itu seperti sebuah isyarat kepada para prajurit
kera. Tidak lama setelah pedang itu diangkat, muncullha makhluk-makhluk lainnya
seperti viper, yaitu ular hitam yang bersayap dan tubuhnya tidak terlalu
panjang sehingga ia tidak bisa meliuk-liuk. Selain itu muncul juga grandoa, makhluk
yang ukurannya 2 kali lebih besar dari gajah dan mengangkut 2 buah meriam di
punggungnya. Makhluk ini ditunggangi oleh 2 kera, yang satu bertugas
mengendalikannya, dan yang satu bertugas menembakkan meriam yang ada di
punggungnya. Grandoa tidak memiliki belalai panjang maupun telinga yang lebar,
melainkan hanya memiliki lubang di hidung dan telingannya. Kepalanya berbentuk
bulat. Makhluk-makhluk yang baru bermunculan ini segera menyerang semua manusia
yang terlihat oleh mereka.
King Virlu menjadi gemetar
melihat merka, kemudian berkata kepada Jendral Napin “Ternyata Lord of Death
memang ada...”
“Lord of Death?” tanya Jendral
Napin.
“Ya, makhluk yang berlapiskan
baju zirah yang sedang menunggangi ginger itu!” kata King Virlu, “kupikir itu
Cuma mitos, tapi ternyata ia memang ada...”
“Memangnya siapa dia?” tanya
Jendral Napin.
“Sitio memiliki 2 orang jendral
yang paling setia kepadanya, salah satunya adalah Lord of Death, makhluk yang
saat ini berada di hadapanmu itu! Konon katanya ia adalah kumpulan dari 10.000
roh jahat yang dikumpulkan di balik baju zirah itu! Bisa kau bayangkan betapa
hebat kekuatannya... dan hanya dia yang sanggup menunggangi ginger, makhluk
kegelapan tercepat yang pernah ada...” kata Gondlaf.
“Lalu siapa jendral Sitio yang
satu lagi?” tanya Napin, tetapi tiba-tiba seekor viper terbang ke arah mereka.
Viper ini panjangnya sekitar 5 meter. Semua prajurit berusaha menghindarinya,
tetapi tidak dengan Jendral Napin. Ia segera menyiapkan pedangnya, dan segera
melompat ke atas viper itu ketika viper itu melewatinya. Setelah berhasil
menaikinya, Jendral Napin segera menusuk punggung Viper tersebut. Viper itu
kemudian jatuh dan terguling-guling. Jendral Napin segera melompat sebelum ia
tertimpa oleh tubuh viper yang besar itu.
Lord of Death melihat kejadian
ini, dan tertarik untuk mendatangi Jendral Napin. Ia segera memacu gingernya ke
arah Jendral Napin dengan cepat. Ia berpacu di antara para prajurit yang sedang
berperang. Ia mengacungkan pedang hitamnya. King Virlu menyadari hal ini dan ia
bermaksud memperingati Jendral Napin, tetapi terlambat. Ginger itu melaju
dengan cepat dan sudah mencapai Jendral Napin. Jendral Napin menyadarinya dan
segera berbalik, tetapi Lord of Death sudah menebasnya.
Beruntung, Jendral Napin
berhasil menahan tebasan Lord of Death dengan pedangnya, tetapi hal itu membuat
pedangnya patah. Jendral Napin menyadari kalau ia tidak akan memenangkan
pertarungan ini. Ditambah lagi para prajuritnya maupun prajurit Emperor Timouty
sudah berhasil didesak oleh kera-kera itu. Maka Jendral Napin memutuskan untuk
mundur. Tetapi Lord of Death mengejarnya. Tiba-tiba saja seorang prajurit
melemparkan tombaknya kepada Jendral Napin karena ia menyadari pedang Jendral
Napin sudah patah.
Jendral Napin segera
memanfaatkan tombak itu dan melemparkannya ke arah Lord of Death. Tetapi
ternyata ia tidak mengincar Lord of Death, melainkan mengincar gingernya.
Jendral Napin menyadari Lord of Death pasti bisa menangkis tombaknya, tetapi
gingernya tidak akan melakukan apa-apa untuk menagkis tombak tersebut. Tombak
itu berhasil menembus dada ginger tersebut sehingga ginger itu roboh dan Lord
of Death terjatuh. Jendral Napin memanfaatkan kesemaptan ini untuk kabur. King
Virlu merasa lega menyaksikan hal ini dan ia segera memerintahkan prajuritnya untuk
mundur. Para prajurit Emperor Timouty juga sudah mulai mundur.
Memasuki tengah malam para kera
itu benar-benar sudah berhasil menembus dinding Royale Palace. Ternyata dinding
besar yang sudah dibangun selama bertahun-tahun itu dapat dirubuhkan dalam semalam.
Para kera itu terus menghabis orang-orang dan membakar rumah-rumah yang
dilewatinya atas perintah Lord of Death. Saat ini Royale Palace benar-benar
memasuki masa yang amat kritis.
***
Chapter 12 : The
Emperor’s Regret
Keesokan paginya Gondlaf pergi
menemui Emperor Timouty bersama Alvin dan Viktul setelah mengirimkan berita
kepada Lord Mliit tentang kejadian di Royale Palace. Di tengah perjalanan
Viktul berkata “Aku tak mengerti... Mengapa hal mengerikan seperti ini harus
terjadi...” Alvin terdiam mendengar hal ini.
“Akupun tak pernah paham,
mengapa manusia selalu ingin untuk saling menyakiti...” kata Gondlaf kemudian.
Akhirnya mereka tiba di Ruangan
Meja Bundar dan ternyata Emperor Timouty sedang berada di sana. Ketika Gondlaf
menemuinya, ia tampak sedang memandang ke luar jendela yang menghadap ke
dinding Royale Palace sebelah barat. Ia nampak bersedih dan amat kecewa melihat
kotanya di hancurkan seperti ini. Di sana para prajurit masih bertarung, tapi
sepertinya sudah kehilangan semangatnya.
Tiba-tiba Gondlaf berkata dari
belakang Emperor Timouty “Inikah yang kau inginkan?” Emperor Timouty kaget dan berbalik, dan memandang
Gondlaf untuk beberapa saat, kemudian berkata “Kurasa kau benar... tapi yang
jelas aku tak akan menyerahkan kerajaanku begitu saja...”
“A...apa maksudmu? Bukankah
sudah jelas apa yang seharunya kau lakukan?” kata Gondlaf.
“Inilah jalanku, kakek tua!
Jangan coba-coba untuk menghalanginya! Pembantu, siapkan baju zirah dan kuda
tempurku! Aku akan segera menghabis kera-kera itu dengan tanganku sendiri!”
kata Emperor Timouty.
“Hei, jangan bodoh... Kau pikir
apa yang mau kau lakukan? Membuang nyawa di medan perang itu bukanlah hal
seharusnya kau lakukan...” kata Gondlaf, sambil berusaha mnenghalanginya.
Tetapi Emperor Timouty tidak
peduli. Nampaknya ia sudah kehilangan harga dirinya krean kesalahannya ini.
Sepertinya ia berniat untuk menggantikannya dengan nyawanya. Ia terus saja
melangkah keluar, tetapi tiba-tiba Viktul menghentikannya.
“Apa kau benar-benar ingin
melindungi negeri ini?” tanya Viktul kepada Emperor Timouty.
“Tentu saja” balas Emperor
Timouty.
“Tetapi jika kau mati, bagaimana
kau akan melindungi negeri ini?” tanya Viktul lagi dengan nada mengecam.
Emperor Timouty terdiam
mendengar hal ini, tetapi kemudian tertawa meremehkan Viktul, dan segera
melangkah keluar. Tawanya kencang sekali. Ia memang memiliki harga diri yang
tinggi dan ia tak akan pernah mau untuk dinasehati oleh orang yang menurutnya
masih kecil atau belum berpengalaman. Viktul menjadi bingung dengan apa yang
harus dilakukan. Ia bertanya pada Gondlaf, tapi Gondlaf juga segera melangkah
keluar sambil berkata “Kita harus menghentikannya melakukan perbuatan bodoh
itu!”
***
Matahari
tampak semakin tinggi. Para prajurit yg sudah kelelahan terus didesak oleh para
kera itu. Tetapi tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki kuda yang bergerak
dengan cepat dan diiringi beberapa langkah kaki kuda lainnya. Para prajurit
segera mencari tahu langkah kaki kuda siapa itu. Ternyata itu adalah langkah
kaki kuda milik Emperor Timouty beserta para pengawalnya! Ia terus melaju
menerjang para kera yang sudah berhasil memasuki kota. Para ksatria yang
melihatnya menjadi bersemangat kembali dan memutuskan untuk kembali berperang
dengan semangat membara. Sementara itu Gondlaf terus mengejarnya, sedang Viktul
dan Gondlaf disuruh menunggu di tempat para warga yang mengungsi. Tempat
pengungsian itu amat sesak karena tidak hanya dihuni oleh warga Royale Palace,
tetapi juga oleh warga Harmonia Kingdom of Taktakan.
Akhirnya Emperor Timouty
berhasil mencapai para prajurit kera yang sedang berperang tanpa terlihat lelah
sedikitpun. Ia segera mengacungkan pedangnya diikuti oleh para pengawalnya, dan
segera menebas kera-kera yang ada di hadapannya. Ia terus saja memacu kudanya
dengan cepat sambil terus menebas kera-kera yang terlihat. Sungguh tak
disangka, ternyata seorang emperor yang selama ini terus duduk di tahtanya dan
memerintah dengan sombong ternyata sanggup bertarung sehebat ini.
King Virlu menyadari hal ini
karena mendengar banyak prajurit yang mengelu-elukan nama Emperor Timouty di
medan perang. Ia amat kaget melihat orang itu sedang berperang bersama
pasukannya. Sepengetahuan King Virlu, Emperor Tomouty adalah orang yang tidak
akan pernah mau mempertaruhkan nyawanya di medan perang bersama dengan para
prajuritnya. Pasti telah terjadi sesuatu yang besar yang membuatnya berubah
seperti ini.
Tetapi tiba-tiba hawa dingin
mulai terasa kembali di bawah terik matahari yang panas ini. Hawa dingin ini
membuat hati para prajurit yang tadinya sudah bersemangat membara-bara kembali
menciut. Tidak lama muncullah sosok Lord of Death. Kali ini ia datang
menunggangi gingernya. King Virlu sungguh kaget melihat hal ini. Seharusnya
gingernya sudah terbunuh kemarin malam. Memang terdapat luka akibat tertusuk
tombak pada dada ginger itu, tetapi anehnya ginger itu dapat berjalan dengan
tenang sekarang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Lord of Death melangkah ke arah
Emperor Timouty sambil mengangkat pedangnya. Tiba-tiba saja seluruh prajurit
keranya berhenti dan mundur, seakan-akan berniat menyaksikan sebuah pertarungan
sengit antara 2 orang raja. Viper-viper yang tadinya terbang membabi buta mulai
terbang teratur di atas Lord of Death, sepertinya hendak menyaksikan
pertarungan ini. King Virlu merasakan firasat buruk akan hal ini.
Emperor Timouty menyadari bahwa
ini adalah tantangan pertarungan. Ia segera menyuruh prajuritnya untuk mundur
dan membiarkannya melakukan pertarungan satu lawan satu. Tetapi tiba-tiba
Jendral Napin datang untuk memperingatkannya “Emperor Timouty, aku mohon...
jangan lakukan pertarungan mematikan ini...”
Emperor Timouty tersenyum
meremehkan, kemudian berkata “Seorang raja harus berani menerima setiap
tantangan pertarungan demi negerinya!” kemudian semua prajuritnya bersorak-sorak
seakan-akan rajanya pasti akan memenangkan pertarungan ini.
Jendral Timouty segera masuk ke
medan pertempuran yang berada di antara barisan pasukan manusia dan kera.
Kemudian Emperor Timouty menunggangi kudanya berhadapan dengan Lord of Death.
“Aku merasakan firasat buruk...
Jendral Napin, tolong carikan aku kuda! Aku harus bersiap-siap untuk segala
macam kemungkinan yang akan terjadi!” kata King Virlu kepada jendralnya. Jenral
Napinpun segera mencarikannya kuda.
Kemudian, setelah berdiri berhadapan
beberapa lama sambil mendengarkan sorak sorai para pendukung Emperor Timouty,
tiba-tiba Lord of death mengacungkan pedangnya dan memacu gingernya ke arah
Emperor Timouty. Semua orang berteriak. Ternyata Emperor Timouty berhasil
menangkis serangannya dengan pedangnya. Pedangnya terbuat cukup kuat sehingga
tidak patah menerima serangan pedang Lord of Death. Lalu keduanya saling
berduel dengan mengadu pedangnya. Keahlian Emperor Timouty berpedang di atas
kuda nampaknya dapat dibilang luar biasa. Ia berhasil bertarung seimbang dengan
Lord of Death. Akhirnya pertarungan pedang ini diakhiri dengan keduanya saling
menebas di saat yang bersamaan sehingga pedang keduanya bertemu dan mereka
saling mendorong. Kemudian keduanya beradu kekuatan dengan mencoba untuk terus
mendorong pedangnya masing-masing.
Setelah puas mengadu kekuatan,
keduanya melompat mundur dan diiringi teriakan para pendukungnya. Emperor
Timouty merasa senang karena ia merasa telah bertarung seimbang dengan Lord of
Death. Karena kudanya 2 kali lebih kecil dari ginger, Emperor Timouty merasa
yakin bahwa ia akan memenangkan pertarungan jika mereka berdua bertarung tanpa
tunggangan. Karena terlalu sombong akhirnya Emperor Timouty mengangkat
pedangnya tinggi-tinggi dan memutar kudanya untuk memperlihatkan keuatannya
kepada seluruh prajuritnya. Para prajuritnyapun berteriak memberi semangat.
Tetapi ternyata Lord of Death memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang
Emperor Timouty. Emperor timouty menyadari serangan Lord of Death, tetapi Lord
of Death bergerak terlalu cepat sehingga Emperor Timouty tak bisa berbuat
apa-apa. Pedang Lord of Death berhasil menusuk jantung Emperor Timouty sehingga
Emperor Timouty roboh dan terjatuh dari kudanya. Para prajuritnyapun terdiam
menyaksikan hal ini.
Kemudian Lord of Death berteriak
dan seluruh kera bersorak sorai. Lalu Lord of Death memacu kudanya untuk
berkeliling agar seluruh pasukannya dapat menyaksikan kemenangannya. Setelah
puas berkeliling, ia memutuskan untuk kembali menyerang Emperor Timouty untuk
melakukan serangan terakhir. Para prajuritnya tidak ada yang berani mencoba
menolong Emperor Timouty karena merasakan hawa kengerian dari Lord of Death.
Emperor Timouty tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan hal ini. Ia hanya pasrah
menunggu nyawanya dicabut.
Tetapi tiba-tiba terdengar ringkikan
kuda yang dahsyat dan King Virlu muncul. Ia segera mengarahkan kudanya yang
sudah dilengkapi dengan 2 buah tombak di kanan dan kiri bagian kuda itu yang
sudah dipasang untuk menusuk siapapun yang ada di depannya. Ia segera memacu
kudanya ke arah Lord of Death dan segera melompat ketika kuda itu menabrak
ginger dan menancapkan kedua tombaknya ke tubuh ginger. Ginger itu melompat
kesakitan dan segera mencakar kuda yang dinaiki King Virlu. Lord of Death
terjatuh dari kudanya karena gingernya melompat. King Virlu segera berlari ke
arah Emperor Timouty. Ia segera berlutut di sebelah Emperor Timouty yang sudah
terkapar.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya
King Virlu.
Emperor Timouty tampak sulit
untuk menjawab, kemudian berkata dengan susah payah “Maafkan... aku....”
King Virlu menjadi terharu
mendengar hal ini. Di tempat lain, Lord of Death sudah bangkit kembali dan
mengangkat pedangnya. Ia nampak amat marah dan bermaksud untuk membunuh King
Virlu dan Emperor Timouty. Seluruh prajurit keranya tiba-tiba bersiap untuk
bertempur. Seluruh prajurit manusia yang ada menjadi bersiaga menghadapi hal
ini.
Lord of Death melangkah terus
melangkah mendekati King Virlu dan Emperor Timouty. King Virlu tidak
menghiraukannya dan ia berusaha mengangkat Emperor Timouty untuk dibawa ke
tempat aman. Beberapa prajurit segera datang untuk membantunya. Prajurit yang
lain ketakutan dan tidak memiliki nyali untuk maju.
“Lindungi aku!” kata King Virlu
pada prajuritnya sementara ia berusaha memapah Emperor Timouty. Maka beberapa
orang prajurit segera berbaris di belakangnya menghadap Lord of Death untuk
menghalanginya. Tetapi kengerian dari Lord of Death membuat para prajurit itu
gentar dan sulit untuk bergerak. Kini Lord of Death sudah benar-benar mendekati
mereka. Siapapun tahu bahwa para prajurit ini akan segera dibantai.
Tetapi tiba-tiba terdengar satu
lagi ringkikan kuda yang amat dahsyat. Dari balik kerumunan prajurit tiba-tiba
muncul seorang kakek tua yang menunggangi kuda putihnya. Ia segera mengangkat
tongkatnya ke arah Lord of Death. Ia mengucapkan beberapa mantra dan muncullah
sebuah bola cahaya dari ujung tongkatnya yang langsung mengenai dada Lord of
Death. Lord of Death terpental hingga beberapa meter. Semua prajurit kudanya
nampak marah dan mulai gusar. Lord of Death segera berdiri dan berteriak “BUNUH
MEREKA SEMUA!!!!!”
Gondlaf tidak tinggal diam. Ia
segera meneriakkan mantra “Clucluc varala!” dan dari ujung tongkatnya yang
bulat muncullah lidah-lidah api yang membakar dan membuat dinding api antara
prajurit kera dan prajurit manusia. Api ini amat besar hingga membuat para kera
tidak berani mendekat.
“Api ini hanya akan bertahan
selama beberapa saat... sebaiknya cepat mengungsikan Emperor Timouty!” kata
Gondlaf kepada King Virlu.
“Tidak... tunggu dulu!” kata
Emperor Timouty yang sudah berhasil berdiri dengan susah payang sambil dipapah
King Virlu “Aku ingin meminta maaf padamu, Gondlaf, dan padamu, King Virlu...
Maafkan semua kesombonganku...” belum selesai Emperor Timouty berbicara,
tiba-tiba ia terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Ia kehilangan
pijaknya dan tubuhnya terjatuh, tetapi King Virlu tetap menahannya.
“Sudahlah, jangan dipaksakan!
Aku akan segera membawamu ke tempat aman!” kata King Virlu.
Tetapi Emperor Timouty tetap
memaksa untuk berbicara “Tidak... masih ada hal yang harus aku lakukan,
sementara aku pasti akan segera mati dengan luka seperti ini... uhuk uhuk
uhuk!” lagi-lagi batuknya mengeluarkan darah.
“A... apa yang mau kau lakukan?”
tanya King Virlu.
“Aku... akan menggantikan
kesalahanku selama ini...” kata emperor Timouty.
“Bagaimana caranya?” tanya King
Virlu.
Kemudian emperor Timouty
berusaha untuk berdiri tegak kembali. Usahanya ini begitu keras, sehingga
membuat King Virlu terharu. Setelah berhasil berdiri tegak dengan bantuan King
Virlu, kemudian ia menghadap ke seluruh prajurit dan ksatrianya, lalu dengan
nafas yang tersisa ia berkata dengan lantang “Para prajuritku... dan para
ksatriaku... uhuk-uhuk... Sebelumnya maafkan aku... atas segala kesalahanku...”
tiba-tiba ia batuk darah lagi dan terjetuh, tetapi King Virlu menahannya.
“Sudahlah... jangan kau
paksakan...” kata King Virlu.
“Tidak...” Emperor Timouty mulai
berbicara kembali “Denganrkanlah aku para prajuritku yang pemberani.... Akulah
yang menyebabkan segala kekacauan ini... Karena itu... maafkan aku... Dan untuk
itu, aku mohon, bekerja samalah dengan semua manusia yang ada... Untuk
mengalahkan kera-kera itu! Bertarunglah bersama pria yang ada di samping
kanan... dan kirimu, siapapun dia! Uhuk uhuk...” Emperor Timouty lagi-lagi
batuk, tetapi ia berusaha untuk meneruskan pidatonya “Dan untuk memastikan
kalau kalian akan baik-baik saja setelah kepergianku... Aku menginginkan kalian
tetap bertarung setelah ini, di bawah pimpinan seseorang yang lebih pantas...
uhuk-uhuk...”
Para prajurit terdiam mendengar
hal ini. Beberapa prajurit tampak bersedih mendengarkan hal ini. Sementara itu
dinding api yang diciptakan Gondlaf terus mengecil. Para kera semakin berusaha
untuk melewati dinding itu. Semua orang penasaran dengan siapa orang yang telah
dipilih Emperor Timouty.
“Orang itu adalah... orang yang
sekarang sedang memapahku menuju kematianku... orang itu... adalah King Virlu,
sang raja yang sebenarnya!!!” semua orang kaget mendengar hal ini. King Virlu
pun kaget mendengarnya.
Dengan tidak percaya King Virlu
bertanya kepada emperor Timouty “Apa kau yakin dengan keputusanmu?”
“Tentu saja... sobat...
kurasa... hanya kau... yang pantas memimpin mereka... menuju kemenangan...”
tiba-tiba mata Emperor Timouty tertutup. Nafasnya terhenti. Tubuhnya terkulai
lemas dan terjatuh. King Virlu berusaha menahannya tetapi tak bisa. Kali ini
Emperor Timouty sendiri sudah tidak memiliki tenaga untuk tetap berdiri. King
Virlu pun ikut terjatuh karena tubuh Emperor Timouty begitu berat. Seluruh
prajurit yang menyaksikan hal ini begitu terkejut. Begitupun dengan King Virlu.
Ia terus memandangi Emperor Timouty, tetapi ia sudah tak merasan nafas dari
sang emperor.
Melihat hal ini, tiba-tiba
seluruh prajurit yang berada di sana bertekuk lutut, nampaknya sedang
mendoakannya. Biarpun Emperor Timouty adalah raja yang sombong, tetapi bagi
negerinya ia adalah seorang pahlawan. Rasa haru pun mencekam hati setiap
prajurit yang berada di sana. Ribuan prajurit Royale Kingdom baru saja menyaksikan
kematian rajanya.
Di tengah rasa haru ini, dinding
api yang diciptakan Gondlaf semakin mengecil dan sudah hampir memungkinkan para
kera ini untuk lewat. Gondlaf berkata kepada King Virlu “Apa yang harus kita
lakukan?”
King Virlu terdiam sejenak, lalu
berdiri dengan gagah setelah menutup mata Emperor Timouty, kemudian berkata
dengan lantang “Aku tidak mau menyia-nyiakan kematian salah satu potra terhebat
Bumi Serang yang pernah dilahirkan... Karena itu, MARI KITA HABISI MEREKA!!!!!”
kemudian King Virlu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Seluruh prajurit yang
ada di situpun berteriak dengan penuh semangat. Teriakan mereka menghancurkan
semangat para kera.
Begitu
dinding api itu menghilang, para prajurit manusia segera melakukan gempuran
yang dahsyat. Para kera itu menjadi kewalahan menerima serangan mereka. Di
tengah-tengah pertempuran yang begitu sengit, Gondlaf berkata kepada King Virlu
“Sekarang seluruh prajurit sudah bertarung di bawah satu atap. Aku yakin kita
akan sanggup bertahan!”
“Ya!”
kata King Virlu.
“Kalau
begitu sepertinya sudah saatnya bagiku untuk pergi! Aku masih harus
mempersatukan negeri-negeri yang lain untuk melawan prajurit Sitio!” kata
Gondlaf.
“Baiklah! Aku doakan untuk
keselamatanmu, dan juga kedua anak muda yang bersamamu! Aku yakin kalian akan
baik-baik saja!” kata King Virlu.
“Terima
kasih!” kata Gondlaf sambil tersenyum, kemudian berbalik dan segera melaju
dengan kudanya. Dengan persatuan ini, Gondlaf yakin bahwa para manusia ini akan
dapat bertahan menghadapi semua rintangan yang ada.
***
Chapter 13 : The
Battle Between Men
Di lain tempat, Alin dan Viktul
masih berdiam di tempat pengungsian bersama warga yang lain. Mereka duduk-duduk
di pinggiran jalan. Suasana di sana tampak ramai, apalagi setelah menjelang
malam. Tetapi keramaian itu tidak menjadi masalah bagi Alvin dan Viktul. Mereka
masih mengobrol untuk melepas kerinduan selama ini. Mereka memang teman yang
tak terpisahkan.
Tetapi tiba-tiba kalung mutiara
hitam milik Alvin bercahaya. Kali ini Alvin tidak mau melakukan kesalahan yang
sama. Bisa saja kali ini Viktul terbunuh. Maka iapun memperingatkan Viktul.
“Celaka! Sebaiknya kita pergi dari sini!”
“Ada apa?” tanya Viktul.
“Sudahlah, kita pergi saja!”
kata Alvin. Mereka segera berdiri dan mencoba untuk lari, tetapi mereka melihat
Jendral Yusingus dan para pengawalnya di ujung jalan. Mereka sedang berjalan
menuju Alvin dan Viktul. “Celaka... ternyata orang itu masih hidup...”
Alvin dan Viktul segera berlari
ke arah yang berlawanan. Jendral Yusingus dan para pengawalnya segera mengejar
mereka. Kali ini Jendral Yusingus datang bersama sekitar 30 orang pengawal.
Alvin dan Viktul terus berlari di antara para pengungsi yang sedang
bersitirahat. Mereka jelas membuat keributan besar. Tetapi keributan yang
diciptakan Jendral Yusingus dan pengawalnya jauh lebih besar. Ditambah lagi
mereka semua bersenjata. Karena semua prajurit sedang berperang, maka tidak ada
yang berani menghentikan mereka.
Alvin dan Viktul terus berlari
tak tentu arah di tengah dinginnya malam yang baru saja turun. Mereka berdua
terus berlari, tetapi tanpa mereka sadari mereka terus berlari ke tempat yang
semakin sedikit orang yang berlalu lalang. Hal ini dimanfaatkan Jendral
Yusingus untuk mempermudah pengejaran. Mereka terus berkejaran sekitar 1 jam.
Akhirnya Alvin dan Viktul lelah, dan karena berlari dengan sempoyongan, tanpa
sadar Viktul terselandung sebuah batu dan terjatuh. Alvin menghentikan
langkahnya dan berbalik, tetapi Jendral Yusingus sudah dan pengawalnya sudah
mengepung mereka.
Viktul sudah berhasil berdiri,
tetapi kemudian kaget melihat pemandangan sekitarnya “Aku tak percaya... sejak
kapan kita berada di kuburan...” Alvin juga baru menyadari hal ini dan menjadi
kaget, tetapi tidak ada gunanya kaget sekarang. Jendral Yusingus dan
pengawalnya sudah mengepung dan bersiap-siap untuk membunuh mereka.
“Tak akan kuserahkan Viktul
maupun The Teeth padamu kali ini!” kata Alvin tegas, kemudian mencabut
pedangnya.
Jendral Yusingus tersenyum licik
dan kemudian mencabut pedangnya, disusul oleh para pengwalnya mencabut pedang
mereka masing-masing. Lalu Jendral Yusingus berkata “Baiklah jika kalian memang
ingin mati... Aku juga tidak membutuhkan Viktul hidup-hidup lagi sekarang... lagipula
sekarang tidak ada Gondlaf di sini... Siapa lagi yang akan melindungi kalian
hah??? Hahahahahah.... Majuuuu!!!!” kata Jendral Yusingus dan seluruh
pengawalnya bergerak maju untuk menyerang Alvin dan Viktul. Kini Alvin dan
Viktul sudah tak bisa pergi ke mana-mana lagi.
“Tunggu dulu!!! Masih ada
kami!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan. Mereka semua segera
menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari
Kapten Gandhi! Ia dan prajuritnya telah berhasil sampai di Royale Palace.
Prajuritnya yang terluka ketika diserang prajurit kera ketika berada di Sungai
Danten pun kelihatannya sudah sembuh. Mereka segera berlari kemudian menyerang
pengawal Jendral Yusingus.
“Dasar pengkhianat!” kata Kapten
Gandhi yang sedang berlari menuju Jendral Yusingus. Tetapi seorang prajurit
tiba-tiba menghalanginya. Kaptena Gandhi terpaksa meladeni serangan prajurit
ini. Di tengah-tengah pertempuran ini, Alvin dan Viktul memutuskan untuk
melarikan diri. Jendral Yusingus menyadarinya dan segera mengejarnya. Akhirnya
mereka bertiga berkejaran di sepanjang kuburan tersebut.
Mereka terus berlari, tetapi
Alvin tiba-tiba terpikir akan suatu hal. Ia menyadari jika mereka tidak akan
pernah bisa keluar dari masalah ini jika terus berlari. Ia tahu bahwa melawan
adalah satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini. Ia segera berhenti dan
berbalik. Viktul kaget melihat hali ini, tetapi ia ikut berhenti. Baginya
kemanapun Alvin melangkah ia akan selalu menyertainya. Jendral Yusingus tampak
senang melihat hal ini. Sungguh di luar dugaannya, kedua mangsanya justru
menyerahkan nyawanya padanya.
“Cabut pedangmu sekarang! Mari
kita bertarung secara adil!” kata Alvin tegang sambil mencabut pedangnya
sendiri.
Jendral Yusingus tersenyum
tampak senang, kemudian tersenyum lalu mencabut pedangnya sambil berkata
“Sungguh di luar dugaanku... Dua ekor tikus mnyerahkan dirinya pada kucing yang
kelaparan... hahahahaha....”
Alvin hanya diam, kemudian
Viktul berkata “Aku tahu apa yang kau lakukan. Aku yakin, kau pasti bisa
melakukan ini!”
“Ya, aku pasti bisa!” kata
Alvin, kemudian ia segera berlari menuju Jendral Yusingus sambil mengarahkan
pedangnya.
Akhirnya pedang mereka berdua
beradu. Mereka saling menyerang dan bertahan dengan pedangnya masing-masing.
Pergerakan mereka sungguh lincah. Sungguh tak diduga, Alvin dapat bertarung
seimbang dengan Jendral Yusingus. Suara pedang mereka tiap kali berbenturan
benar-benar memekakkan telinga. Sinar bulan yang memantul di permukaan pedang
keduanya membuat seakan-akan hanya ada 2 kilatan cahaya yang saling beterbangan
dan saling menyerang.
Di tengah keraguan ini, Viktul
tetap yakin kepada temannya. Ia yakin Alvin akan baik-baik saja. Tetapi
tiba-tiba saja Jendral Yusingus melakukan gerakan menghindar yang hebat,
kemudian melakukan tebasan kilatnya. Alvin berhasil menghindar dari serangan
fatalnya, tetapi dadanya tergores dan Alvin terjatuh.
Jendral Yusingus memanfaatkan
kesempatan ini untuk menyerang, tetapi Alvin bangkit kembali dengan cepat.
Alvin segera melompat mundur beberapa langkah. Jendral Yusingus merasa gatal
karena serangannya meleset. Ia segera melakukan serangan lagi, tetapi lagi-lagi
Alvin melompat ke belakang. Jendral Yusingus menjadi geram dan menyerang lagi
sambil berteriak, tetapi lagi-lagi Alvin melompat mundur menghindarinya.
Jendral Yusingus menjadi
benar-benar marah kemudian berteriak “DASAR ANAK KECIL!!! JANGAN COBA-COBA
UNTUK MEMPERMAINKANKU!!!” kemudian Jendral Yusingus menyerang lagi, dan
lagi-lagi Alvin menghindar, tetapi kali ini Alvin menyelinap di balik lengan
Jendral Yusingus yang lebar. Jendral Yusingus menjadi benar-benar marah karena
diperlakukan seperti ini.
Alvin menyadari bahwa Jendral
Yusingus adalah orang yang tidak sabaran. Maka Alvin memutuskan untuk
menggunakan kesempatan ini. Kemudian Alvin meledek Jendral Yusingus dengan
memperlihatkan tampang tolol sambil melempar-lempar dan memainkan pedangnya.
Jendral Yusingus menjadi amat marah dan mengejar Alvin. Serangan Jendral
Yusingus yang dilancarkan dengan penuh kemarahan dapat dihindari Alvin dengan
mudah, kemudian Alvin menendang bokong Jendral Yusingus hingga terjatuh. Jendral
Yusingus terjatuh hingga menyeruduk batu nisan seseorang. Ia menjadi begitu
kesal dan bangkit kembali, tetapi Alvin sudah berlari menjauh.
Jendral Yusingus segera
mengejarnya. Alvin terus berlari bersama Viktul dan memasuki sebuah gedung yang
ada di tengah kuburan tersebut. Mereka tidak mengetahui gedung apa itu.
Ternyata itu adalah ruang penyimpanan dan pembakaran mayat! Dan mereka baru
menyadari bahwa hanya ada satu pintu masuk di dalam sana. Kali ini mereka
benar-benar terdesak.
Tiba-tiba pintu terbuka dan
Jendral Yusingus berada di sana. Ia menjadi amat senang, kemudian tertawa
keras-keras “HAHAHAHAHHAHA...” Kemudian ia berjalan mengitari mereka, dan ia
menemukan sesuatu yang bagus! Ia menemukan sebuah perapian yang besar di
sampingnya. Tanpa pikir panjang ia segera menyalakannya. Api yang besar muncul
dan berkobar-kobar. Kemudian ia berkata “Lihatlah itu! Kurasa kalian akan
berakhir di dalam sana! Hahahahahaha!”
Viktul dan Alvin terus berdiri
memperhatikannya, kemudian Alvin bertanya pada Viktul “Apa kau mempercayaiku?”
“Tentu saja!” kata Viktul.
Alvinpun tersenyum, kemudian melangkah maju.
“Kali ini kau benar-benar akan
kuhabisi, jendral pengkhianat! Yusingus!!!” kata Alvin sambil melangkah maju.
“Beraninya kau memanggilku
seperti itu anak kecil... Kau benar-benar akan kubuat sate!!!” kata Yusingus.
Akhirnya mereka saling
berhadapan di tengah ruangan sambil memegang pedang masing-masing. Setelah
berdiam sejenak, tiba-tiba Jendral Yusingus menyerang, tetapi Alvin berhasil
menangkisnya. Pertarungan pedang terus terjadi. Lagi-lagi pertarungan
berlangsung dengan seimbang. Tetapi sayang, Jendral Yusingus menemukan satu
titik dan menendang Alvin hingga terjatuh di depan perapian yang apinya
berkobar-kobar.
Alvin menatap api itu sejenak,
kemudian menatap Vitkul. Viktul masih berdiri dengan wajah yakin. Alvin menjadi
percaya diri.
Lalu Jendral Yusingus melangkah
maju dan berkata sambil mengangkat pedangnya “Pergilah kau ke neraka!”
Jendral Yusingus berlari menuju
Alvin, tetapi Alvin segera bangkit. Alvin menangkis serangan terakhir ini dan
bergerak dengan lincah ke belakang Jendral Yusingus, kemudian menendangnya ke
arah perapian yang membara. Dalam sekejap api menyelubungi tubuh Jendral
Yusingus. Jendral Yusingus berteriak kesakitan. Ia segera melompat dari
perapian dan menebas Alvin dengan cepat. Begitu cepatnya Alvin tidak bisa
menghindarinya dan pedangnya berhasil menebas bahu Alvin. Alvin terjatuh ke
belakang, sedangkan Jendral Yusingus yang masih terbakar terjatuh dan
berguling-guling di lantai.
Setelah seluruh api yang ada di
tubuhnya padam, Jendral Yusinguspun berhenti berguling-guling. Ia nampak lemas.
Sepertinya ia sudah tak bernafas. Tubuhnya gosong karena terbakar. Alvin merasa
lega kemudian berbaring di atas lantai. Viktul segera menghampirinya. Viktul
duduk di sebelahnya dan melihat luka Alvin. Ternyata lukanya hanya tergores.
Alvin akan baik-baik saja.
“Kau hebat sekali kawan!” kata
Viktul senang “Kini kau sudah menjadi seorang ahli pedang!”
Alvin tertawa senang. Tetapi
tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh yang sudah gosong berdiri di belakang Viktul
sambil mengangkat pedangnya. Alvin segera berdiri dengan cepat dan mendorong
Viktul menjauh. Viktul pun terjatuh. Sosok hitam itu segera menusukkan
pedangnya ke tubuh Alvin sementara Alvin menusukkan pedangnya tepat ke jantung
Jendral Yusingus. Setelah berdiri beberapa lama, keduanya terjatuh dengan
pedang yang masih menancap di tubuh mereka masing-masing.
“TIDAKKK!!!!!” Viktul berteriak
dan menghampiri tubuh Alvin yang tidak berdaya. Alvin tampak lemas. Viktul
segera memeluk tubuhnya dan berteriak “JANGAN TINGGALKAN AKUUU!!!”
***
Chapter 14 : Road
to The Dwarfs
Kapten Gandhi dan prajuritnya
sudah berhasil menghabisi seluruh pengawal Jendral Yusingus. Dalam pertempuran
ini Kapten Gandhi kehilangan 3 orang prajuritnya dan beberapa orang prajurit
mengalami luka-luka. Kapten Gandhi amat bersedih akan hal ini, tetapi Ateng dan
Kevin berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa mereka meninggal dengan
kehormatan dalam menjalankan tugasnya.
Mendengar hal ini Kapten Gandhi
jadi teringat akan Alvin dan Viktul. Ia segera mencari mereka, tetapi ia tidak
berhasil menemukannya. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara kuda yang
bergerak cepat. Ternyata itu adalah Gondlaf yang menunggangi kudanya.
“Gondlaf!” teriak Kapten Gandhi.
“Hai! Sepertinya baru saja
terjadi sebuah pertarungan seru di sini... Apa yang terjadi?” tanya Gondlaf.
“Begini, ketika itu kami baru
saja tiba di sini setelah melewati perjalanan panjang. Ketika kami berusaha
mencari kalian, aku melihat Alvin dan Viktul yang sedang dikejar-kejar oleh
Jendral Yusingus dan para pengwalnya. Kami segera mengikuti mereka dan akhirnya
kami berhasil menghabisi mereka di sini! Tapi masalahnya, Kedua anak itu
menghilang bersama Jendral Yusingus beberapa saat yang lalu...” kata Kapten
Gandhi panjang lebar.
“Aku merasakan firasat buruk...”
kata Gondlaf.
Tiba-tiba saja dari kejauhan
muncul sesosok manusia yang menggotong manusia lainnya di bahunya.
“Itukah mereka?” tanya Kapten
Gandhi.
“Seharusnya begitu... tetapi
siapa yang menggotong dan siapa yang digotong?” kata Gondlaf.
“Sial... ternyata aku gagal
untuk melindungi mereka...” kata Kapten Gandhi yang merasa amat menyesal yang
kemudian bertekuk lutut.
“Tunggu dulu. Kita lihat saja
nanti!” kata Gondlaf.
Akhirnya Viktul datang sambil
menggotong tubuh Alvin, dan ternyata mereka berdua masih hidup! Ternyata Alvin
hanya pingsan selama beberapa saat. Pedang yang mengenainya hanya menyobek
pinggangnya, tetapi tidak membunuhnya. Melihat hal ini Gondlaf segera menaikkan
Alvin ke kudanya dan berkata “Temui aku di rumah sakit kerajaan!”. Kemudian
Gondlaf segera memacu kudanya.
“Ternyata kau baik-baik saja.
Aku senang sekali!” kata Kapten Gandhi.
Tetapi Viktul tidak
menghiraukannya. Ia melihat sekeliling dan melihat 3 orang prajurit Kapten
Gandhi tergeletak tak bernyawa. Ia menjadi begitu sedih menyaksikan ini. Lalu
ia bertanya pada Kapten Gandhi “Bagaimana dengan mereka?”
Kapten Gandhi diam sesaat,
kemudian berkata “Inilah resiko perang... Aku akan mengirim jenazah mereka
bertiga untuk dimakamkan di tanah kelahirannya... “. Kapten Gandhi dan para
prajuritnya menjadi bersedih. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendoakan 3
orang temannya itu dan paginya mereka mengirimkan jenazahnya ke kampung
halamannya di Lopang Kingdom.
***
Paginya Viktul dan Kapten Gandhi
datang ke rumah sakit kerajaan untuk menemui Gondlaf. Para prajurit Kapten
Gandhi beristirahat di tempat lain. Sebagai prajurit mereka dapat merawat
lukanya sendiri. Rumah sakit itu dipenuhi oleh orang-orang yang terluka akibat
perang. Mereka segera menemui Gondlaf di bangsal tempat Alvin di rawat.
Akhirnya Viktul tiba di tempat
Alvin di rawat. Ia menemui Gondlaf di sana. Viktul begitu khawatir tetapi
Gondlaf mengatakan bahwa Alvin sudah melewati masa kritisnya. Viktul merasa
lega mendengar hal ini.
Tiba-tiba Kapten Gandhi membuka
topik pembicaraan mengenai perjalanan
mereka selanjutnya “Gondlaf, sekarang apa yang akan kita lakukan? Apakah kita
akan segera berangkat ke Secang Dale? Ataukah kita akan berangkat ke Kebo
Knightdom? Atau kita mau langsung menuju ke Allied of Two Ciruas?”
“Hahaha... sabarlah kapten...
Begini, kita harus melakukan itu semua satu persatu, dan aku memilih untuk
pergi menuju Secang Dale terlebih dahulu, baru selanjutnya menuju ke Allied of
Two Ciruas yang letaknya tidak jauh dari Secang Dale!” kata Gondlaf.
“Mengapa kita tidak ke Kebo
Plain terlebih dahulu?” tanya Kapten gandhi.
“Itu dikarenakan menurutku para
prajurit kera itu pasti sudah tersebar banyak sekali di antara Royale Palace
dan Kebo Knightdom. Kurasa itu terlalu berbahaya...” kata Gondlaf.
“Tetapi bukankah dengan pergi ke
Secang Dale terlebih dahulu akan memakan waktu lebih lama?” tanya Viktul.
“Karena itulah...” kata Gondlaf
“kita hanya akan pergi ber enam! Dengan begitu kita akan tiba dengan lebih
cepat!”
“Siapa sajakah ke enam orang
itu?” tanya Kapten Gandhi.
“Tentu saja itu aku, kedua anak
ini, kau, dan kedua anak buahmu yang paling setia itu!” kata Gondlaf.
Kapten Gandhi tampak berpikir
sejenak, kemudian bertanya “Ah, maafkan aku Gondlaf, tetapi mengapa kita sampai
harus mengajak kedua anak ini sampai sejauh ini?”
“Itu karena aku percaya...” kata
Gondlaf “bahwa Viktul adalah orang yang terpilih untuk melindungi The Teeth
dari tangan Sitio, dan Alvin adalah pelindung terbaiknya! Dan kurasa itu sudah
terbukti...”
Viktul merasa senang mendengar
hal ini, tetapi kemudian ia bertanya kepada Gondlaf “Tetapi apakah kita akan
meninggalkan Royale palace dalam keadaan perang seperti ini?”
“Masalahnya adalah, kita tetap
di sinipun akan sia-sia karena tidak ada yang bisa kita lakukan! Dan cepat atau
lambat, Lord Mliit percaya bahwa Royale Kingdom akan jatuh ke tangan Sitio!”
kata Gondlaf.
“A...apa???” kata Viktul dan
kapten Gandhi serentak.
“Ya! Sebenarnya tugas para prajurit
yang ada di sini sekarang adalah untuk menahan para prajurit Sitio itu, dengan
begitu akan memberikan waktu kepada kita untuk melaksanakan tugas kita! Tugas
yang sudah kita pikul sejak awal, yaitu mempersatukan seluruh negeri untuk
melawan Sitio bersama-sama. Dengan begitu aku yakin seluruh negeri yang pernah
direbut Sitio akan dapat kita rebut kembali!” kata Gondlaf.
“Hmmm... jadi begitu... kalau
begitu tunggu apalagi? Ayo kita berangkat!” kata Kapten Gandhi.
“Tunggu, bagaimana dengan
Alvin?” tanya Viktul.
“Tidak apa-apa, aku sudah bisa
melakukan perjalanan!”. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang mereka.
Ternyata suara itu berasal dari Alvin. Sungguh tak diduga, ia sudah bisa
berdiri.
Vikul
kaget melihat ini, kemudian bertanya dengan takjub “Apa yang kau lakukan? Apa
kau sudah sembuh?”
“Yah, begitulah... pagi ini
ketika tebangun aku merasa sehat sekali... Lukaku pun sudah kering...” kata
Alvin.
“Yah, kurasa ramuan yang kuracik
semalaman berguna... Hahaha... Kalau begitu, sekarang kalian siapkan segalanya!
Kita akan segera berangkat!” kata Gondlaf.
“Baik!” kata Viktul, Alvin, dan
Kapten Gandhi serentak.
***
Akhirnya mereka memutuskan untuk
memulai perjalanan. Selanjutnya nasib seluruh Bumi Serang akan berada di tangan
mereka. Dengan berat hati Kapten Gandhi meninggalkan para prajuritnya yang
tersisa. Hanya Ateng dan Kevin yang ikut bersamanya. Sedangkan Viktul juga
meninggalkan Royale Palace dengan sedikit berat hati karena ia meninggalkan
negeri dalam keadaan yang masih berperang. Tetapi ia terus yakin bahwa King
Virlu dan para prajuritnya akan baik-baik saja menghadapi kera-kera itu. Alvin
pun yakin bahwa ia akan sanggup melindungi Viktul lebih baik lagi setelah
keberhasilannya menghadapi Jendral Yusingus. Gondlaf amat senang karena ia merasa
timnya begitu kompak. Dengan begini, perjalanan panjang berikutnyapun akan
segera dimulai.
***
Chapter 15 : The
Gate Guardian of Secang Dale
Perjalanan
kali ini terasa begitu jauh bagi Viktul dan kawan-kawan. Perjalanan ini lebih
jauh daripada perjalanan mereka dari Lopang Kingdom menuju Royale Palace.
Mereka sudah melakukan perjalanan panjang ini dengan berkuda. Gondlaf
memutuskan untuk menggunakan kuda karena ia merasa hal ini akan lebih efisien.
Mereka melakukan perjalanan menyebrangi Sungai Danten kembali tetapi melalui
jembatan yang berbeda. Sebenarnya ada 3 jembatan terkenal yang menghubungkan
antara Bumi Serang bagian barat dan timur. Yang paling utara adalah yang
digunakan Alvin dan kawan-kawan ketika menyebrang menuju Royale Palace. Kali
ini mereka menggunakan jembatan yang berada di tengah-tengah. Gondlaf merasa
jembatan ini lebih aman.
Kini perjalanan mereka sudah
mencapai hari yang ke-10, tetapi mereka belum kunjung sampai di Secang Dale.
Semua persediaan makanan sudah hampir habis. Selama perjalanan, Gondlaf terus
berkirim surat dengan Lord Mliit maupun King Virlu. Menururt kabar terakhir,
para prajurit kera itu sudah berhasil menguasai seluruh Royale Palace bagian
barat. Gondlaf sempat ragu jika Royale Palace akan berhasil dikuasai dengan mudah,
tetapi King Virlu meyakinkan Gondlaf bahwa mereka tidak akan kalah semudah itu.
Apalagi King Virlu sudah berhasil meyakinkan seluruh pengikut Jendral Yusingus
untuk bertarung bersama mereka. Sekarang King Virlu memiliki 5.000 orang
prajurit tambahan. Tetapi sayangnya, Sitio juga terus mengirim bala bantuan
keranya untuk menyerang.Keadaan yang sulit ini membuat Gondlaf menjadi
terburu-buru. Tetapi Viktul terus memaksa Gondlaf untuk tenang dan ia selalu
berhasil menenangkan Gondlaf.
Selama
di perjalanan, Ateng dan Kevin terus bercanda sehingga mereka berhasil
menghangatkan suasana. Pada akhirnya Alvin dan Kapten Gandhi pun ikut bercanda
dan bersukaria. Viktul yang pendiampun berhasil terbawa ke dalam suasana
menyenangkan ini. Gondlaf pun merasa senang. Karena inilah ia merasa lebih
senang melakukan perjalanan dengan orang-orang muda daripada orang-orang tua
seusianya.
Akhirnya,
pada hari ke-11, ketika makanan mereka benar-benar habis, mereka sudah tidak
tahu harus berbuat apa. Merekapun memutuskan untuk beristirahat di bawah
pepohonan. Tiba-tiba Ateng datang sambil berteriak-teriak “Aku menemukan danau
di sekitar sini! Di sana ada banyak sekali pohon apel! Kita bisa mendapat
makanan di sana!”
Mendengar
berita menggembirakan ini, mereka segera bangkit dan menuju lokasi yang
ditunjukkan Ateng. Lokasinya berjarak beberapa ratus meter dari tempat
peristirahatan mereka. Akhirnya mereka tiba juga di tempat yang disebutkan
Ateng. Ternyata tempat ini agak mencurigakan. Terdapat sebuah danau yang cukup
besar yang dikelilingi pegunungan batu yang cukup tinggi, sekitar 10 sampai 15
meter. Hanya ada satu celah yang memungkinkan mereka memasuki dinding
pegunungan batu tersebut. Atenglah yang berjasa menemukannya. Celah ini amat
kecil dan dalam, sehingga hanya bisa dilewati satu persatu.
Merekapun
memasuki celah ini satu persatu. Ateng masuk pertama, diikuti Alvin, lalu
Viktul, Gondlaf, Kapten Gandhi, dan Kevin. Namun tiba-tiba kalung mutiara hitam
milik Alvin menyala-nyala biarpun sinarnya redup sekali. Alvin segera memberitahukan
hal ini pada Gondlaf. Kevin dan Kapten Gandhi pun merasakan keanehan di sini,
sehingga Kevin segera menyiapkan busurnya dan Kapten Gandhi mulai mencabut
pedangnya. Viktul pun merasakan ada hal yang aneh di sini.
“Apa
yang kalian lakukan? Kalian aneh sekali...” kata Ateng tiba-tiba. Nampaknya ia
adalah satu-satunya orang yang tidak merasakan sesuatu. Ia segera berlari
menuju pohon apel terdekat dan memetiki buahnya, lalu segera memakannya.
Viktul
dan yang lainnya segera bergabung dengan Ateng untuk menikmati buah apel
tersebut. Kemudian mereka makan apel sambil duduk-duduk, tetapi mereka terus
bersiaga kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Akhirnya
mereka merasa kenyang setelah makan banyak sekali apel. Biarpun begitu mereka
terus merasa seakan-akan ada yang sedang mengawasi mereka. Kalung mutiara hitam
milik Alvin pun terus menyala redup.
“Aneh
sekali tempat ini... apa kita akan baik-baik saja?” tanya Viktul.
“Hmmm...
apa kalian tahu? Jika perhitunganku benar, maka ini adalah pintu masuk menuju
Secang Dale!” kata Gondlaf.
“Benarkah???
Akhirnya... kita sampai juga!” kata Ateng gembira.
“Lihat
di sana!” kata Gondlaf sambil menunjuk ke ujung lain dari danau ini. Di sana
ada sebuah pintu yang terbuat dari batu yang ukurannya cukup besar. Terdapat banyak
sekali ukiran tulisan di pinggiran pintu batu itu “Aku yakin, pasti itu adalah
pintu masuk menuju Secang Dale... tetapi... mengapa aku terus merasakan firasat
buruk...”
“Ayolah
Gondlaf... jangan khawatir! Aku pasti dapat membereskan makhluk apapun yang
muncul. Ayo kita ke pintu itu!” kata Alvin dengan penuh percaya diri. Gondlaf
menyadari bahwa Alvin mulai menjadi sombong karena kemenangannya melawan
Jendral Yusingus.
“Hati-hati
nak... kadang-kadang kesombongan seseorang akan membawanya ke dalam kehancurannya
sendiri!” kata Gondlaf. Alvin merasa kesal mendengar hal ini, sehingga ia
berpura-pura tidak mendengar dan segera berjalan dengan cepat meninggalkan yang
lainnya.
Setelah
mengitari danau ini cukup jauh, akhirnya mereka tiba di salah satu dinding perbukitan
batu tempat pintu batu itu berada. Danau ini diameternya sekitar 300 meter,
sehingga mereka harus berjalan cukup jauh. Pintu batu ini memiliki tinggi
sekitar 2,5 meter dan lebar 6 meter. Sungguh ukuran pintu yang aneh jika
dibandingkan dengan ukuran tubuh para dwarf yang tingginya hanya sekitar 1
meter.
Mereka
memperhatikan pintu ini sejenak dan mulai memikirkan cara membukanya. Kaptena
Gandhi dan Kevin sudah mencoba untuk mendorong pintu ini tetapi pintu ini berat
sekali sehingga tidak bisa digerakkan sedikitpun. “Pasti ada yang bisa kita
lakukan untuk membuka pintu ini...” kata Gondlaf.
Viktul
merasa lelah dan tanpa sadar ia duduk dan bersender ke pintu tersebut. Ketika
ia bersender ke pintu itu, tiba-tiba pintu itu serasa bergeser. Ternyata Viktul
telah menekan tombol untuk membuka pintu tersebut. Viktul menjadi kaget dan
segera terlonjak berdiri.
“Berhasil...
kau memang jenius temanku!” Kata Alvin sambil merangkul Viktul. Pintu batu
tersebut bergeser ke samping secara perlahan-lahan hingga seluruh bagian pintu
itu terbuka.
“Baiklah,
ayo kita masuk!” kata Kapten Gandhi. Namun tiba-tiba terdengar semburan air
dari belakang mereka. Ketika mereka menoleh ke arah danau, tampak sebuah
tentakel raksasa yang panjang melesat dan melilit tubuh Kapten Gandhi, kemudian
mengangkatnya. Kapten Gandhi yang kaget tidak bisa berbuat apa-apa. Di saat
bersamaan kalung mutiara hitam Alvin menyala-nyala.
Kevin
segera menarik busurnya dan menmbakkan anak panahnya ke tentakel sepanjang 10
meter itu dengan cepat sementara yang lainnya mashi terdiam dan menyaksikan.
Tentakel itu mulai bergerak-gerak, sepertinya mulai merasa kesakitan.
Alvin
sepertinya menjadi kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa pikir
panjang, ia segera berlari ke arah tentakel tersebut sambil menarik pedangnya.
Gondlaf dan Viktul berteriak dan berusaha menghentikannya, tetapi mereka sudah
terlambat. Alvin sudah berada di pinggir danau sekarang.
Baru
saja ia bermaksud untuk melompat ke dalam air, tiba-tiba muncul satu lagi
tentakel raksasa yang menyerangnya. Tentakel ini menyabet Alvin hingga
terpental dan terguling-guling di tanah. Viktul dan Gondlaf segera berlari
menghampirinya. Ternyata Alvin pingsan.
Sementara
itu, Kevin terus menembaki tentakel yang melilit Kapten Gandhi. Kapten Gandhi
menjadi lemas karena dililit terlalu kuat. Ia pun diam saja dan merasa lemas.
Tetapi ternyata anak panah Kevin yang melesat begitu banyak berhasil membuat
tentakel itu melepas lilitannya. Tentakel yang lemas itu segera terjatuh ke
dalam air bersama Kapten Gandhi. Tanpa pikir panjang, Ateng segera berlari dan
melompat ke dalam danau untuk menyelamatkan Kapten Gandhi. Satu tentakel yang
berada di permukaan danau segera masuk ke dalam air, sepertinya sedang memburu
Ateng yang baru saja masuk ke air.
Gondlaf
menyadari bahwa ini akan berbahaya. Ia segera berlari ke pinggir danau sambil
mengangkat tongkatnya, lalu mengeluarkan sihir tingkat atasnya. Ia meneriakkan
“SHINING LIGHT” dan kemudian muncullah cahaya yang terang sekali, bahkan di
siang hari, dan menerangi seluruh permukaan danau tersebut. Cahaya itu muncul
selama beberapa saat dan kemudian meredup dan menghilang secara perlahan-lahan.
Semuanya
tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian tiba-tiba
Ateng muncul ke permukaan danau sambil membawa Kapten Gandhi yang pingsan.
Kevin segera berlari menghampiri mereka dan bertanya “Apa yang baru saja
terjadi?”
“Gurita
raksasa... baru saja mencoba membunuh kami... “ kata Ateng terengah-engah
sambil mengangkat Kapten Gandhi dan kemudian membaringkannya di sebelah Alvin
“Untunglah Gondlaf bertindak tepat waktu... cahaya yang dikeluarkan tongkat
sihirnya telah berhasil menakuti gurita itu... Gurita itupun segera pergi...”
“Hmmm...
aku akan menyhadarkan mereka berdua. Kalian tunggulah sebentar. Setelah mereka
sadar, barulah kita akan melanjutkan perjalanan!” kata Gondlaf.
Viktul
dan yang lainnya setuju dengan Gondlaf. Akhirnya mereka menunggu hingga
beberapa jam sampai matahari mulai terbenam. Tidak lama kemudian Alvin pun
tersadar. Ia merasa bersalah karena telah bertindak sok hebat. Lalu Gondlaf
mengatakan sesuatu kepadanya.
“Aku
tahu kau telah berhasil mengalahkan Jendral Yusingus! Tetapi, kurasa itu juga
karena ketidaksabaran Jendral Yusingus sehingga ia dapat dikalahkan olehmu.
Sejujurnya, menurutku keahlian pedang Jendral Yusingus masih di atasmu! Karena
itulah, aku harapkan kau untuk lebih berhati-hati di masa yang akan datang!”
kata Gondlaf.
“Baik...”
kata Alvin tertunduk lesu. Tidak lama kemudian Kapten Gandhi tersadar dari
pingsannya. Semuanya tampak senang karena hal ini, tetapi Ateng dan Kevin
terlihat yang paling gembira.
Namun
tiba-tiba terdengar suara yang besar dari lorong menuju Secang Dale. Suara itu
berkata “Kukira kalian akan mati dihajar gurita penjaga itu, tapi ternyata
kalian lebih tangguh daripada yang kubayangkan... Hahahaha...” bersamaan dengan
suara itu, muncullah sesosok tubuh pria pendek dan bulat, tingginya hanya
sekitar 1 meter. Ia memakai baju zirah yang nampak kokoh, dan wajahnya ditutupi
oleh kumis dan jenggot yang lebat dan berwarna coklat terang. Di balik helm
perangnya terdapat rambut yang panjang dan lebat yang juga berwarna coklat
terang. Ia datang sambil membawa-bawa sebuah kapak besar dengan kedua
tangannya.
“Apa???
Jadi kau tahu mengenai makhluk barusan? Makhluk apa itu? Mengapa menyerang
kami?” tanya Viktul tiba-tiba.
“Oh,
tenang dulu. Aku akan menjelaskannya. Tapi pertama-tama, perkenalkan, namaku
Rapava!” kata pria kecil itu “Aku adalah ketua dari bangsa Dwarf di sini!”
“Kemudian
Viktul dan kawan-kawan memperkenalkan diri mereka masing-masing. Setelah itu
Viktul menanyakan kembali mengenai makhluk yang menyerang mereka barusan.
Rapava kemudian menjelaskannya dengan seksama.
“Makhluk
itu, bernama Octopo. Makhluk itu sudah berada di sana sejak 1.000 tahun lalu.
Sitio yang meletakkan makhluk itu di sana agar kami tidak bisa keluar masuk
Secang Dale dengan mudah sehingga kami tidak bisa membantu peperangan manusia
melawan kera! Saat pertama kali diletakkan di sana, makhluk itu hanya sebesar
telapak tangan. Tapi siapa sangka, kini makhluk itu lebih besar dari sebuah
bukit... hahaha...” Rapava tertawa sendiri. Viktul dan kawan-kawan merasa heran
dengan sikap Rapava. Rapava pun terdiam dengan sendirinya setelah melihat
Viktul yang keheranan. Ia segera pura-pura batukm kemudian melanjutkan
ceritanya.
“Tapi
tentu saja kami masih bisa keluar, karena kami tidak sebodoh yang dibayangkan
Sitio edan itu! Kami membuat pintu keluar baru, sehingga kami tetapi bisa
keluar masuk Secang Dale. Kini, setelah 1.000 tahun berlalu, makhluk itu akan
selalu muncul begitu merasakan pintu gerbang ini terbuka, dan makhluk itu pasti
akan membantai siapa saja yang terlihat olehnya, kecuali tuannya sendiri,
Sitio!” kata Rapava.
“Ngomong-ngomong,
siapa kalian dan untuk apa kalian jauh-jauh datang kemari?” tanya Rapava.
“Oh
ya, sebenarnya kami adalah utusan dari Lopang Kingdom. Kami datang untuk
mengajak kalian berjuang bersama kami sekali lagi untuk menghadapi Sitio yang
sudah bangkit kembali. Kurasa Lord mliit sudah mengirim surat untuk kalian,
tetapi mengapa kalian tidak segera memberi balasan terhadap surat kami?” kata
Gondlaf memulai pembicaraan.
Rapava
kemudian terdiam sejenak, kemudian berkata “Sebenarnya ada alasan mengapa kami
tidak segera membalas surat dari tuanmu! Kemarilah! Sebaiknya kalian beristirahat
dulu. Aku akan menceritakan alasan kami sambil kita berjalan menuju Secang
Dale!” kemudian Rapava berbalik dan mulai berjalan menyusuri lorong yang
dindingnya tergantung banyak obor. Viktul dan kawan-kawan berjalan
mengikutinya.
“Hah?
Jadi ini bukan Secang Dale?” bisik Viktul kepada Gondlaf.
“Tentu
saja bukan! Ini adalah bagian yang kita sebut dengan pintu gerbang!” kata
Gondlaf.
***
Chapter 16 : Secang
Dale
“Begini... sebenarnya hal ini
sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu...” kata Rapava mengawali ceritanya
dengan tampang serius. Tampak konyolnya yang ia tampilkan sejak tadi kini sudah
menghilang. “Kami bangsa Dwarf, adalah bangsa yang suka menggali. Suatu ketika,
karena kami menggali terlalu dalam, tanpa
tersengaja kami membangkitkan sang setan api yang tertidur di pusat bumi yang
amat panas. Sejak saat itulah, ia selalu keluar tiap malam karena tidak bisa
tidur dan ia terus menumpahkan kekesalannya dengan membunuhi kami para Dwarf!
Sekarang, si setan api itu sudah membantai hampir setengah dari bangsa Dwarf
yang ada di sini! Dan karena mengurusi masalah setan api inilah, sampai
sekarang kami belum bisa membantu para manusia dalam menghadapi Sitio...
Maafkan aku!”
“Tidak
apa... Tetapi, apa setan api yang kau maksud itu adalah... Doom Bringer The
Fire Demon ? Si setan api yang kabarnya membantu Sitio dalam peperangan, tetapi
kemudian bersembunyi setelah kekalahan Sitio?” tanya Gondlaf.
“Yah
mungkin saja. Lagipula aku tidak hidup pada 1.000 tahun yang lalu. Tapi
bagaimana kau bisa tahu? Kau memang tampak tua dan berpengetahuan luas...” kata
Rapava.
“Apa
kau tidak tahu? Ia adalah Master Gondlaf, guru dari Lord Mliit! Dan aku yakin
ia bisa membantumu menghadapi setan api itu!” kata Kapten Gandhi tiba-tiba.
Rapava
tampak tercengang mendengar hal itu. Ia segera meminta maaf sambil bertekuk
lutut pada Gondlaf “Master Gondlaf, maafkan atas ketidaksopananku barusan.
Seharusnya aku juga tidak meragukan kemampuanmu dalam menghadapi Octopo...
Maafkan aku...”
Viktul
tertawa melihat aksi Rapava yang aneh ini. Alvin dan Ateng juga tertawa
melihatnya. Nampaknya Mereka bertiga memiliki selera humor yang sama.
Akhirnya, tidak lama kemudian,
sampailah mereka di Secang Dale. Rapava memperkenalkan Secang Dale dengan
bangga kepada mereka “Inilah Secang Dale, kota legendaris yang berada di bawah
tanah!”
Dari ujung lorong tempat mereka
masuk, nampak pemandangan kota Secang Dale yang luar biasa. Ribuan Dwarf masih
sibuk menggali dan mengukir tembok-tembok tanah di sana. Mereka menggali bumi
hingga dalam sekali, hingga kota mereka lebih tampak seperti jurang yang
mengerikan. Menurut mitos, para Dwarf menyukai penggalian karena tubuh mereka
yang pendek, sehingga mereka takut ketinggian, maka mereka memutuskan untuk
amat menyukai kedalaman. Tapi tetap saja kedalaman itu sama seperti ketinggian
jika Viktul berdiri di puncak teratas dari Secang Dale. Tembok-tembok dan
pilar-pilar di sana tinggi sekali. Sungguh mengherankan jika memikirkan ini
adalah hasil kerja para Dwarf.
“Sekarang kalian
beristirahatlah! Sebaiknya kita pikirkan cara untuk menghadapi setan api itu
besok!” kata Rapava. Kemudian mereka segera pergi ke kamar yang ditunjukan
Rapava dan segera pergi tidur.
Tetapi ternyata Viktul belum
tidur. Ia mendatangi Gondlaf pada malam hari. Sebenarnya Viktul tidak yakin jika
itu adalah malam hari, karena di Secang Dale sinar matahari tidak bisa masuk.
Dwarf menerangi Secang Dale dengan obor yang berbahan bakar minyak. Para Dwarf
mengambil minyak yang tidak habis-habis itu dari dalam bumi. Para Dwarf juga
memiliki tumbuhan khusus yang bisa tumbuh dan berbuah di bawah tanah. Tumbuhan
ini ada berbagai jenis dan para Dwarf menamainya dengan kata ‘Dwarf’, seperti
jeruk dwarf, apel dwarf, dan lain sebagainya.
Akhirnya Viktul sampai di kamar
Gondlaf, tetapi tidak ada yang menjawab ketukan pintu Viktul. Lalu Viktul
memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Ia menyaksikan ratusan dwarf yang
tanpa lelahnya terus menggali dan bekerja. Beberapa di antara mereka sedang
menangisi keluarga dan teman-temannya yang dibunuh oleh Doom Bringer. Si setan
api benar-benar sudah menyebarkan teror yang mengerikan terhadap para dwarf.
Kengerian itu nampak dari dinding-dinding yang menghitam karena gosong, akibat
terkena bara api si setan. Banyak juga dwarf yang selamat dari serangan setan
api, tetapi ia menderita luka bakar seumur hidup.Para dwarf itu nampaknya tidak
memperhatikan Viktul, biarpun beberapa dwarf terus melotot ke arah Viktul.
Sepertinya ini adalah kali pertamanya melihat manusia.
Namun tiba-tiba terdengar suara
teriakan yang berisik dari belakang “VIKTUL!!! TUNGGU AKU!!!”. Viktul menyadari
bahwa ini adalah suara Alvin. Semua dwarf yang ada di sana ikut menoleh,
nampaknya terganggu, tetapi tidak mengatakan apa-apa pada Alvin. Mereka hanya
menggerutu dan kembali bekerja. Viktul mengerti keadaan ini. Nampaknya
dwarf-dwarf itu amat kelelahan hingga malas untuk berbicara. Padahal faktanya,
dwarf adalah makhluk paling cerewet yang ada di Bumi Serang.
“Alvin... kau belum tidur...”
kata Viktul kepada Alvin. Viktul berbicara sambil terus berjalan. Alvin ikut
berjalan dengan napas yang tersengal-sengal karena ia telah berlari-lari untuk
mengejar Viktul.
“Viktul... maafkan kecerobohanku
siang tadi... kupikir aku sudah hebat... tapi ternyata aku salah... aku hampir
saja kehilangan nyawaku dengan sia-sia siang tadi...” kata Alvin kemudian.
“Tak apa... aku mengerti
perasaanmu... aku juga kadang melakukan hal bodoh ketika terlalu percaya diri!”
kata Viktul sambil tersenyum.
“Viktul... kau baik sekali!”
kata Alvin, kemudian segera memeluk Viktul dengan erat hingga Viktul terjatuh.
Merekapun tertawa-tawa. Para dwarf yang ada di sana kembali menggerutu karena
merasa terganggu oleh mereka. Alvin dan Viktul menyadari hal ini dan segera
memutuskan untuk pergi. Akhirnya mereka menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan,
dan mereka baru pulang setelah merasa lelah dan mereka memutuskan untuk tidur.
Tetapi baru tidur sesaat, Kevin datang untuk membangunkan mereka berdua.
“HEI!!! BANGUN!!!” teriak Kevin.
Dengan kesal, Alvin dan Viktul
bangun dan mendatangi Kevin.
“Ayolah... kurasa sekarang sudah
pagi...” kata Kevin.
“Sudah pagi? Masih gelap sekali
di sini...” kata Viktul.
“Di sini memang selalu gelap!
Ayo cepat, kita cari Gondlaf!” kata Kevin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk
mencari Gondlaf dengan rasa kantuk yang parah sekali. Tetapi mereka tidak
menemukan Gondlaf di manapun. Mereka mendatangi Rapava, tetapi ia juga belum
bertemu Gondlaf. Ia menyimpulkan bahwa Gondlaf masih memikirkan suatu rencana.
Mereka juga tidak menemukan siapapun di kamar Gondlaf.
“Sepertinya Gondlaf masih
sibuk... Sebenarnya aku ingin mengajak kalian jalan-jalan mumpung kalian ada di
sini, tapi aku juga masih sibuk makan... heheheh...” lagi-lagi Rapava
tertawa sendiri. Kalian pergilah ke arah
selatan dari sini...”
“Selatan????” kata Kapten Gandhi
kaget.
“Oh ya, maaf... di sini memang
sulit untuk menentukan arah... Kalian pergi saja ke arah sana!” kata Rapava
sambil menunjuk ke belakang mereka. Di sana terdapat jalan menurun dan banyak
dwarf membawa ember air dari sana. “Mata air dwarf... Di sana ada Kapten Aldo,
pemimpin prajurit dwarf yang tertinggi! Kurasa kalian akan terhibur di sana... Kalian
juga bisa berenang...”
“Berenang???” kata Kapten Gandhi
kaget sekali lagi.
“Oh ya, sekali lagi maaf... kami
para dwarf memang terbiasa meminum air apapun, bahkan yang sudah dipakai untuk
berenang. Kan yang penting minum... hahahahahahaha.... pergilah....
hahahahaha....” kali ini Rapava tertawa terus. Viktul dan kawan-kawan
memutuskan untuk pergi.
Mereka berlima pergi ke arah
yang ditunjukkan Rapava sambil membicarakan keanehan Rapava yang suka tertawa
sendiri. Mereka menemui banyak sekali dwarf yang membawa ember berisi air.
Akhirnya mereka menemukan sebuah kolam yang cukup besar. Banyak sekali dwarf
wanita yang menimba air di sana. Para dwarf wanita ini juga memiliki kumis dan
jenggot sehingga sulit sekali untuk membedakannya dengan dwarf pria. Tetapi
yang jelas keduanya adalah petarung yang tangguh.
Di salah satu sisi kolam, ada
puluhan dwarf sedang berbaris dan membawa senjata. Mereka dipimpin oleh seorang
dwarf bermuka bulat dan berambut, kumis, serta jenggot hitam. Wajahnya hampir
menyerupai Rapava. Memang sulit membedakan para dwarf. Kapten Gandhi
menyimpulkan bahwa ia adalah Kapten Aldo. Ia segera menemuinya bersama Kevin.
Sementara
itu, Alvin segera membuka bajunya dan dan melompat ke dalam kolam, tetapi
langsung berteriak kedinginan. Ateng yang penasaran juga segera melepas bajunya
dan melompat ke kolam. Tetapi ateng tidak berteriak justru bergidik dan merasa
hangat.
“Mengapa
kau begitu tenang dan justru merasa hangat?” tanya Alvin.
“Baru
saja aku buang air kecil di sini... hangat sekali ” kata Ateng. Alvin menjadi
ketakutan dan segera berenang menjauh, tetapi Ateng mengejarnya sambil
tertawa-tawa.
Viktul
hendak ikut berenang, tetapi keanehan terjadi. Tiba-tiba ia mendengar suara
mengerikan dari arah belakangnya. Ia segera berbalik dan melihat sesosok tubuh
kurus,kecil,dan hitam sekali berdiri di
hadapannya. Makhluk itu hanya sedikit lebih tinggi dari dwarf atau mungkin
terlihat lebih tinggi karena tubuhnya yang kurus sekali. Ia hanya mengenakan
celana dalam. Entah mengapa tiba-tiba suasana di sana terasa sepi. Kini hanya
suara makhluk itu yang terdengar.
“Berikan padaku... the teeth...
milikku yang berharga...” makhluk itu berjalan
mendekati Viktul secara perlahan. Viktul terus melangkah mundur. Makhluk itu
terus berjalan sambil mengulang kata-kata yang sama “Berikan padaku... the teeth... milikku yang berharga... ”
Tiba-tiba
makhluk hitam legam itu melompat ke arah Viktul dengan ganas. Viktul terdorong
jatuh. Ia segera berusaha berdiri, tetapi makhluk itu sudah menghilang.
Tiba-tiba Alvin memangilnya.
“Hei,
sedang apa kau berguling-guling di tanah seperti itu? Ayo berenang bersama
kami!” kata Alvin. Viktul yang masih kebingungan akhirnya memutuskan bahwa itu
hanyalah halusinasinya dan ia segera berenang bersama Alvin dan Ateng.
***
Chapter 17 : The
Game Plan
Sudah hampir seminggu sejak
Viktul dan kawan-kawan berada di sana. Tanpa disadari mereka juga sudah
memiliki banyak teman dwarf seperti Kapten Aldo, si kembar ahli membuat
bangunan Jimmy dan Jimmoy, dan masih banyak lagi. Awalnya para dwarf menganggap
para manusia itu aneh, tetapi setelah Rapava
memperkenalkan mereka sebagai utusan Lord Mliit untuk membantu
menghadapi si setan api, mereka mulai tenang, apalagi Gondlaf sang penyihir
putih legendaris ada bersama mereka. Tetapi, sampai sekarang Gondlaf masih
belum juga terlihat. Para dwarf mulai cemas tetapi Rapava terus berusaha
menenangkan mereka.
Hingga pada suatu hari, ketika Viktul
dan kawan-kawan sedang berlatih mengukir batu bersama para dwarf, tiba-tiba
terdengar bunyi dentuman keras yang mengerikan. Suara menggelegar berasal dari
bawah tanah. Tiba-tiba para dwarf ketakutan. Mereka mulai berteriak-teriak dan
mengangkat senjata masing-masing.
“Tenang! Tenang! Jangan
gegabah!” kata Rapave menenangkan.
“Tidak bisa! Kali ini kita harus
menghabisinya!” kata salah satu dwarf. Dwarf yang lain mengiyakan tapi beberapa
menolak.
Viktul awalnya bingung, tetapi
akhirnya ia menyadari bahwa suara dentuman-dentuman keras ini pasti berasal
dari kemunculan Doom Bringer. Para dwarf menjadi panik. Para wanita dan
anak-anak segera melarikan diri ke tempat aman yang sudah disepakati. Para
prajurit dan pria dwarf segera bersiap untuk melakukan peperangan. Segala macam
senjata seperti kapak, panah, dan arit mereka keluarkan.
“Celaka... Doom Bringer... Kali
ini mungkin ia akan memusnahkan kita semua jika Gondlaf tidak segera datang...”
kata Rapava.
Namun tiba-tiba terdengar suara
yang sudah dinanti-nantikan sejak tadi “Tenanglah, aku ada di sini!” akhirnya
Gondlaf muncul dengan penuh gaya “Maafkan karena aku menghilang beberapa hari
ini, tetapi aku berusaha memikirkan cara untuk mengalahkan Doom Bringer, dan
aku sudah menemukan cara itu!”
“Benarkah? Asal kau tahu, kau
tidak bisa sembarangan! Selama ini kami tidak bisa mengalahkannya karena semua
senjata yang kami kerahkan selalu terbakar ketika mengentuh tubuhnya yang
membara... lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Rapava yang tidak yakin.
“Kita pancing dia... ke mata air
dwarf!” kata Gondlaf yakin.
“Benar juga... air di sana
dingin sekali!” kata Ateng.
“Ya... begitu apinya yang
membara mati, maka kesempatan kita untuk menghabisinya!” kata Viktul
meneruskan.
“Tepat sekali! Masalahnya sekarang,
bagaimana kita membawa ia ke mata air ini...” kata Rapava.
“Aku sudah memikirkannya!
Lihatlah jembatan yang terbuat dari lempengan batu tipis di atas sana!” Gondlaf
menunjuk suatu jembatan batu di atas sana “jembatan batu itu, tepat berada di
atas mata air dwarf! Jika kita bisa membawanya ke sana dan menghancurkan
jembatan batu itu, kita bisa menenggelamkannya di mata air dwarf!”
“Tetapi jembatan itu tinggi
sekali... terlalu sulit untuk membuatnya mau naik hingga setinggi itu...” kata
Rapava.
“Karena itulah, kita hanya butuh
beberapa orang, agar Doom Bringer tidak tertarik untuk membunuh dwarf yang
lain!” kata Gondlaf “siapa yang berani mengambil misi untuk memancing Doom
Bringer?”
Tiba-tiba saja para dwarf
terdiam. Sepertinya mereka masih trauma akibat pembantaian teman-teman mereka
oleh Doom Bringer. Namun di antara kebisuan ini terdengarlah satu suara yang
lantang dan menenangkan “AKU!” ternyata si kurus Viktul lah yang berbicara!
Gondlaf kaget sekaligus senang.
Ia tak takut jika Viktul akan kehilangan nyawa di sini, tetapi ia juga senang
atas keberanian muridnya tersebut. Kemudian ia berkata “Apakah kau yakin? Apa
kau tidak takut terbunuh? Ingatlah, kau adalah sang pembawa gigi! Kau tidak
boleh mati di sini!”
Viktul terdiam, namun tiba-tiba
muncul suara yang membelanya “Tenanglah! Jika Viktul mati di sini, lalu apa
gunanya diriku ini?” Alvin berkata dengan yakinnya. Kemudian Viktul tersenyum
kepada Alvin dan Alvin juga tersenyum kepada Viktul.
Gondlaf tersenyum menyaksikan 2
anak ini. Rapava kaget sekaligus merasa malu. Sungguh tak bisa dibayangkan,
keberaniannya dikalahkan oleh 2 anak manusia ini. Maka akhirnya iapun
memutuskan untuk berbicara “Aku juga ikut! Sungguh memalukan jika keberanian
kita para dwarf dikalahkan oleh keberanian 2 anak manusia ini... Hahaha...”
“Tapi tuan, bagaimana jika kau
terbunuh...” kata Kapten Aldo.
“Ingatlah, tugasku sebagai
pemimpin adalah untuk melindungi kalian, bukannya dilindungi oleh kalian!
Hahaha... Tenanglah, aku akan baik-baik saja. Kau pimpin saja pasukanmu untuk
menyerang Doom Bringer ketika ia sudah masuk ke dalam perangkap!” kata Rapava.
Kapten Aldo terdiam.
“Gondlaf, sejak awal tugasku
adalah melindungi Viktul si pembawa
gigi. Maka aku akan iktu dalam misi ini! Ateng, Kevin, bagaimana dengan
kalian?” kata Kapten Gandhi.
“Tentu saja kami ikut, karena
tugas Kapten Gandhi adalah tugas kami juga!” kata Kevin lantang dan Ateng
mengiyakan.
“Baik, tentu saja aku juga ikut!
Aku tidak mau hanya menjadi kakek tua yang berdiam diri di rumah... hehehe...
ayo, kita berangkat!” kata Gondlaf.
“YAAAA!!!!!” kata semua orang
yang ada di sana.
***
Kemudian ke tujuh orang tersebut
segera pergi ke lorong tempat Doom Bringer biasa muncul, sementara para dwarf
yang lain bersembunyi dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Rapava
menjadi penunjuk jalan bagi mereka. Mereka terus berjalan menuju suatu lorong
yang letaknya paling dalam. Rapava mengatakan mereka bermaksud membuat lorong
yang dapat digunakan untuk menembus bumi, tetapi rencana ini gagal dengan
bangkitnya Doom Bringer. Rapava benci untuk mengakuinya, tetapi nyatanya
kesombongan para dwarf yang menganggap diri mereka sebagai penggali terbaik
telah membuat para dwarf ini kehilangan keluarga dan teman-temannya.
Kemudian Gondlaf berkata kepada
Viktul “Hebat... kau telah berhasil membangkitkan keberanian mereka dengan
keberanianmu... sekarang aku percaya bahwa kau memang orang yang terpilih!”
“Benarkah... kupikir mereka
memang pemberani sejak awal... Justru aku merasa bahwa akulah satu-satunya
penakut di sini... hehehe...” kata Viktul.
Kemudian Gondalf tersenyum
kepada Viktul.
Mereka
terus berjalan melalui lorong yang semakin gelap saja. Suara dentuman langkah
kaki itupun terdengar semakin keras. Lorong ini terus miring ke dalam.
Tiba-tiba terdengar auman dahsyat yang mengerikan “GROOOOAAARRRRR” yang membuat
ke tujuh pria pemberani ini agak sedikit ketakutan.
“Suara mengerikan apa ini...”
kata Kevin.
“Sssssttttt...” kata Rapava.
Namun tiba-tiba lorong di depan
mereka menjadi terang sekali, seakan-akan ada obor raksasa yang meneranginya.
Suara dentuman langkah kaki itupun semakin keras saja.
“Itukah dia... Doom Bringer...”
kata Alvin.
“Ya!” kata Rapava.
Tiba-tiba muncullah sesosok
mengerikan yang berasal dari kegelapan. Makhluk ini tubuhnya diselimuti oleh api
yang membara. Tubuhnya besar dan tingginya sekitar 7 meter. Wajahnya seperti
sapi yang merah mengerikan dengan tindik besi di hidungnya. Biarpun berkepala
sapi, ia berjalan dengan 2 kaki dan tangan kanannya memegang pedang besi besar
dengan api yang berkobar-kobar, sementara tangan kirinya memegang cambuk yang
talinya terbuat dari api yang membara. Ia juga mengenakan baju perang yang
menyala-nyala. Ia juga memiliki ekor yang kokoh. Kemudian ia berteriak
“GROOOAAAAA”.
“Jadi inilah yang disebut
setan...” kata Viktul takjub.
Doom Bringer melihat Viktul dan
kawan-kawan kemudian ia menarik napas panjang, setelah itu ia mencondongkan
tubuhnya ke depan dan dari mulutnya tersembur bola api raksasa yang mengarah
langsung ke Viktul dan kawan-kawan.
“Shield Force!” kata Gondlaf
lalu muncul pelindung berwarna biru yang menghalangi api itu menyentuh mereka.
“Apinya panas sekali... aku tidak akan bisa menahannya lebih lama... Begitu ia
selesai menembakkan apinya, kalian pergilah!”
Tidak lama napas Doom Bringer
habis sehingga ia berhenti mengehmbuskan napas apinya. Viktul dan kawan-kawan
segera berbalik dan berlari. Doom Bringer mengayunkan cemetinya tetapi meleset,
sehingga cemetinya menghantam tanah. Tanah itu langsung terbakar begitu terkena
cemeti.
“Mengerikan sekali... jika
sampai terkena benda itu...” kata Alvin.
Doom Bringer segera mengejar
mereka. Suara dentuman langkahnya begitu keras. Ia terus berlari sambil
mengaum. Tiba-tiba ia sepasang sayap tumbuh di punggungnya. Sayap ini amat
tipis sehingga tidak bisa membuatnya terbang, tetapi sayap ini dapat menambah
kecepatan larinya jika ia mengepak-ngepakkan sayapnya.
Kemudian Doom Bringer berhenti
dan menyemburkan apinya sekali lagi. Viktul dan yang lainnya sudah berhasil
keluar dari lorong sehingga api ini tidak mengenai mereka.
“Ke atas sana!” kata Gondlaf
sambil menunjuk sebuah jembatan batu yang tingginya ratusan meter diatas
mereka.
Mereka segera memanjat batu-batu
yang ada di sana. Doom Bringer sudah keluar dari lorong dan segera mengincar
mereka. Ia segera berlari ke arah mereka. Sekali lagi Doom Bringer mengayunkan
cemetinya, tetapi cemetinya kurang panjang sehingga tidak mengenai Viktul dan
kawan-kawan yang sudah memanjat cukup tinggi. Batuan-batuan di bawah mereka
segera terbakar.
Doom Bringer segera melompat
dengan bantuan sayapnya dan mengejar mereka. Hawa panas yang berasal dari tubuh
Doom Bringer yang membara dapat dirasakan oleh Viktul dan yang lainnya.
Dengan keahliannya, Kevin sudah
berhasil memanjat paling tinggi berbalik dan mengarahkan anak panahnya ke Doom
Bringer. Ia segera melesatkan panahnya, tetapi panahnya langsung terbakar
begitu menyentuh tubuh Doom Bringer.
“Api itulah... yang menjadi
pelindung terkuat Doom Bringer!” kata Rapava, yang berada paling bawah. Tubuh
pendek dan gemuknya membuatnya sulit untuk mendaki batuan ini. Hal ini memang
aneh, untuk apa para dwarf membangun jurang-jurang seperti ini, padahal mereka
sendiri sulit untuk melewatinya.
Doom Bringer sudah semakin
dekat. Gondlaf menyadari bahaya ini. Ia segera meneriakkan mantar “Frost
Streak!” Sebuah cahaya es keluar dari ujung tongkatnya dan bergerak cepat
mengenai Doom Bringer. Es ini segera menguap begitu mengenai tubuh Doom
Bringer, tetapi berhasil membuat Doom Bringer terjatuh setelah ia berhasil
memanjat cukup tinggi. Ketika ia terjatuh ke tanah menghasilkan suara dentuman
yang begitu keras.
“Bagus! Gunakan mantra es itu
sekali lagi!” kata Rapava senang.
“Tidak bisa... es yang tadi
adalah es tingkat tertinggi... menggunakannya terlalu banyak akan menghabiskan
tenagaku, sementara aku memerlukannya untuk menghancurkan jembatan itu!” kata
Gondlaf.
Viktul dan kawan-kawan segera
memanjat lebih cepat. Doom Bringer sudah bangkit kembali dan mulai memanjat,
tetapi kali ini lebih lincah. Kevin dengan keahliannya sudah berhasil mencapai
puncak dari jurang yang curam ini, sementara yang lainnya masih di bawah. Kevin
menyadari Doom Bringer yang semakin mendekat. Kemudian ia mengeluarkan bubuk
peledaknya yang dimasukkan ke dalam kantong. Bubuk ini adalah pemberian
Gondlaf, yang akan langsung meledak jika membentur sesuatu. Kevin mengikatkan
kantong kecil itu ke anak panahnya dan membidik Doom Bringer. Ia segera
menembakkan anak panahnya, tetapi ternyata ia mengincar batuan tempat Doom
Bringer berpijak sehingga batuan itu meledak. Doom Bringer tidak terluka sama
sekali akibat ledakan itu, tetapi batuan yang pecah membaut Doom Bringer
terperosok dan sekali lagi jatuh, kali ini ia juga tertimpa batuan yang pecah
akibat ledakan barusan.
Sayangnya ledakan ini juga
menghilangkan keseimbangan Rapava sehingga ia terpeleset. Viktul yang
melihatnya segera melompat ke bawah dan menarik tangan Rapava, sehingga mereka
berdua terperosok cukup jauh ke bawah. Akhirnya Viktul berhasil berpegangan dan
menarik Rapava naik, tapi sekarang Viktul dan rapava berada cukup jauh di bawah
Gondlaf dan yang lainnya.
Viktul menyadari bahwa Doom
Bringer sudah bangkit kembali. Ia segera menarik tangan Rapava dan berkata
“Cepat, kita harus naik!”
Akhirnya Gondlaf, Kapten Gandhi,
Alvin, dan Ateng berhasil sampai di puncak, sementara Viktul dan Rapava masih
di bawah. Doom Bringer berusaha naik lagi, tetapi ia menancapkan pedangnya di
setiap langkahnya untuk menahan tubuhnya agar ia tidak terjatuh. Ia mulai
mencambuk Viktul dan Rapava dari bawah, tapi tidak kena. Batuan di bawah Vikul
dan Rapava mulai terbakar.
“Nak, cepat naiklah tanpa aku!
Aku hanya akan memperlambatmu!” kata Rapava pasrah.
“Aku tidak akan meninggalkanmu!”
kata Viktul.
Hawa panas semakin menyelimuti.
Rapava dan Viktul mulai merasa lemas karena hawa panas ini, tetapi tidak ada
satu orangpun yang mampu berbuat apa-apa. Viktul menjadi bingung harus berbuat
apa. Namun tiba-tiba ia teringat akan suatu hal. Ia segera memegang The Teeth
yang tergantung di lehernya. Kemudian ia memejamkan mata dan meminta bantuan
The Teeth. Lalu ia membuka matanya kembali dan mengangkat The Teeth. Cahaya
kegelapan keluar dari The Teeth. Cahaya yang amat gelap ini mengubah api yang
membara itu menjadi berwarna hitam. Doom Bringer menjadi kesakitan karena
terbakar oleh api kegelapan ini. Doom Bringer segera terjatuh ketika api yang
menyelimuti tubuhnya ikut berubah warnanya menjadi hitam. Ia terjatuh dan
berguling-guling di tanah.
“Ke... kekuatan apa ini...” kata
Rapava takjub.
“Celaka... Rapava, sadarkan
Viktul sebelum ia memakai gigi itu!” kata Gondlaf terburu-buru. Alvin jadi
teringat Viktul ketika menyerang warga desa setelah memakai gigi itu. Ia segera
melompat turun menuju ke arah Viktul. Gondlaf mencoba menghentikannya tetapi
terlambat. Ateng juga hendak menyelamatkan Viktul tetapi Kapten Gandhi
menahannya.
“Apa yang harus kulakukan...?”
kata Rapava bingung. Di satu sisi ia merasa kekuatan The Teeth ini
mengntungkan, tetapi di sisi lain ia takut akan kekuatan kegelapan ini.
Tiba-tiba Viktul merasa ingin
sekali mengenakan The Teeth di giginya. Secara perlahan-lahan ia mulai
mengangkat The Teeth, tetapi kemudian ia sadar sesaat dan menyadari apa yang
baru saja ia lakukan. Viktul segera berteriak keras-keras “AAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
tetapi kekuatan kegelapan kembali menyelimuti dirinya. Ia kembali berniat
memakai The Teeth. Rapava bingung melihat Viktul yang seperti ini.
Namun beruntung, Alvin datang
tepat waktu dan segera memukul wajah Viktul. Untunglah giginya tidak copot
seperti ketika Gondlaf memukul wajahnya. Viktul pingsan dan kekuatan kegelapan
itupun lenyap. Api yang berwarna hitam itu kembali berwarna merah dan api yang
menyelimuti tubuh Doom Bringer juga kembali berwarna merah. Doom Bringer
akhirnya sanggup berdiri lagi dan menatap Viktul, kemudian memanjat lagi. Alvin
segera menggendong Viktul dan menaiki batuan itu dengan lincah. Rapava
mengikutinya dari belakang.
Akhirnya Alvin dan Rapava
berhasil sampai di puncak. Tiba-tiba Viktul tersadar dan batuk-batuk. Kemudian
ia menatap Gondlaf dan berkata “Maafkan aku....” Viktul merasa Gondlaf akan
marah besar.
Gondlaf menatapnya dalam-dalam,
tapi kemudian tersenyum dan berkata “Tidak apa... jika aku berada dalam posisi
yang sama denganmu, kurasa aku juga akan melakukan hal yang sama...” Viktul
menjadi lega dan senag mendengar hal ini.
Tanpa disadari Doom Bringer
sudah hampir sampai di puncak. Mereka segera berlari melewati jembatan batu.
Akhirnya Doom Bringer sampai di puncak juga. Viktul dan yang lainnya sudah
sampai di seberang jembatan, tetapi Gondlaf masih berdiri di tengah-tengah
jembatan seakan-akan menantang Doom Bringer untuk berduel.
“Gondlaf, apa yang kau lakukan?”
teriak Kapten Gandhi.
“Aku sudah menghitungnya selama
beberapa hari ini... hanya dari posisikulah aku dapat menghancurkan jembatan
ini!” kata Gondlaf.
“Tenanglah... aku percaya,
Gondlaf selalu tahu apa yang ia lakukan!” kata Viktul menenangkan Kapten
Gandhi, tetapi Kapten Gandhi tetapi tidak tenang.
“Jembata itu... dibuat dari
salah satu batu terbaik... bagaimana ia akan menghancurkannya?” kata Rapava.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Rapava, yang dapat diartikan bahwa tidak ada
satupun dari mereka yang tahu.
Akhirnya Doom Bringer berdiri
berhadap-hadapan dengan Gondlaf. Ia tampak menakutkan. Duel ini seperti sesuatu
yang tidak adil antara kakek tua dan makhluk raksasa setinggi 7 meter. Doom
Bringer mengangkat pedangnya dan menusukkannya ke jembatan. Dalam sekejap
jembatan itu dipenuhi dengan api yang panas.
Gondalf membalasnya dengan
menusukkan tongkatnya ke jembatan dan meneriakkan mantra “Aero!” kemudian angin
yang besar sekali berhembus dari tongkat Gondlaf dan membuat api yang membakar
jembatan itu padam.
Doom Bringer marah dan mengaum
lagi, tetapi Gondlaf segera mengangkat tongkatnya lagi dan menusukkannya ke
jembatan ke arah yang sama sambil meneriakkan mantra “Fatal Break!” kemudian
jembatan itupun segera retak, biarpun hanya di bagian permukaan tempat Gondlaf
berada.
“Jadi begitu... ia akan
menghancurkannya dengan cara itu...” kata Kapten Gandhi.
Doom Bringer memutar-mutar
cemetinya kemudian mulai menyerang Gondlaf, tetapi Gondlaf menangkisnya dengan
tongkatnya. Sungguh gerakan yang luar biasa yang berasal dari seorang kakek
tua. Gondlaf segera menusukkan tongkatnya ke tempat yang sama sambil mengucap
mantra penghancurnya dan jembatan itu mulai retak sedikit lagi.
Doom Bringer menyerang dengan
cemetinya lagi, sehingga Gondlaf melompat mundur untuk menghindarinya kali ini.
Api yang amat besar membara, tetapi Gondlaf segera melompat ke depan dan
menusukkan tongkatnya lagi dengan mantra ‘Aero’nya, sehingga api itu segera
padam. Dengan lihai Gondlaf menggunakan mantra penghancur tanahnya lagi. Kali
ini ia berhasil membuat jembatan itu bergoyang. Doom Bringer kehilangan
keseimbangan dan terjatuh. Berat badannya membuat jembatan ini semakin remuk.
“Baiklah... rasakanlah serangan
terakhirku!” kemudian menagngakat tongkatnya dan menusukkannye ke jembatan
denga seluruh kekuatannya. Melihat hal ini, Doom Bringer segera menyemburkan
apinya ke arah Gondlaf. Gondlaf kehilangan konsentrasinya kerena api ini.
Seluruh tenaga yang sudah ia alirkan pada tongkatnya terlepas dan hanya
setengahnya yang menghantam jembatan. Tetapi ia berhasil membuat jembatan ini
semakin retak, dan dalam keadaan seperti ini jembatan ini akan runtuh cepat
atau lambat. Batu-batu mulai terlepas dari jembatan ini dan jembatan ini
semakin rapuh.
Sayangnya, Gondalf sudah tidak
memiliki kekuatan lagi yang tersisa. Ia berusaha bangkit, tetapi kesulitan
setelah ia tersembur oleh api neraka milik Doom Bringer. Doom Bringer mulai
berusaha berjalan dan melangkah mendekati Gondlaf. Ia mengayunkan cemetinya ke
arah Gondlaf. Gondlaf berhasil menangkisnya tetapi ia terpental ke belakang.
“Celaka... kalau begini terus
Gondlaf bisa mati... apa yang harus kita lakukan?” tanya Alvin.
“Inilah saatnya kita beraksi!”
Kata Viktul “berikan pedangmu!”
Alvin terdiam sejenak, kemudian
mengeluarkan pedangnya kemudian berkata “Baiklah, mari kita lakukan bersama!”
sepertinya Alvin sanggup membaca pikiran Viktul.
Kemudian Alvin mengangt
pedangnya dengan tangan kanannya dan Viktul memegang pedang Alvin dengan tangan
kirinya. Lalu Alvin menggenggam tangan kiri Viktul dengan tangan kirinya, dan
Viktul memegang tangan kiri Alvin dengan tangan kanannya. Akhirnya mereka
menggenggam pedang itu dengan kedua tangan mereka. Di tempat lain, Viktul sudah
tidak memiliki tenaga lagi untuk bangkit, sementara Doom Bringer sekarang sudah
berdiri di hadapannya.
Kapten Gandhi menyadari apa yang
mau dilakukan Viktul dan Alvin. Ia segera mencegah mereka “Jangan melakukan hal
bodoh seperti itu!”
“Kami harus melakukan ini atau
kehilangan Gondlaf untuk selamanya...” kata Viktul, kemudian ia menatap Alvin.
Alvin tersenyum kepada Viktul, dan Viktulpun tersenyum.
Dengan
mengerahkan seluruh keberanian yang mereka miliki mereka segera berlari ke arah
jembatan tersebut. Kevin, Ateng, dan Rapava kaget melihat hal itu. Kapten
Gandhi merasa pasrah dan mencoba untuk yakin kepada kedua anak tersebut.
Sambil berteriak mereka terus
berlari sambil memegangi pedang itu “HIAAAAAAAAAAAHH” mereka melesat bagaikan
angin. Gondlaf menyadari hal ini dan segera menoleh ke arah mereka dan berusaha
mencegahnya “Hentikan!” tapi sudah terlambat.
Akhirnya Viktul dan Alvin sampai
tepat di hadapan Doom Bringer dan segera menusukkan pedang itu bersama-sama
tempat Gondlaf menusukkan tongkatnya tadi. Mereka menusukkan pedang itu dengan
seluruh kekuatan dan keberanian mereka. Doom Bringer terdiam sejenak
memperhatikan mereka, tetapi tidak terjadi apa-apa. Akhirnya Doom Bringer
memutuskan untuk membunuh mereka dan mengangkat pedangnya hendak menebas mereka
berdua sekaligus. Dapat dibayangkan apa jadinya jika dengan besar sepanjang 3
meter menghantam mereka. Gondlaf sudah merasa putus asa.
Namun tiba-tiba terdengar suara
retakan dari jembatan besar itu. Jembatan sepanjang 20 meter itu mulai
mengeluarkan suara gemuruh yang hebat, dan mulai meiring. Sedikit demi sedikit
batuan yang menyusun jembatan itu mulai runtuh dan jembatan itu juga mulai
runtuh.
Bagian tempat Doom Bringer
berpijak mulai amblas sehingga Doom Bringer terjatuh tepat di hadapan Viktul
dan Alvin. Kapten Gandhi segera berlari ke jembatan bersama Ateng dan
mengangangkat Gondlaf sebelum jembatan itu roboh.
“Selamatkan 2 anak itu!” kata
Gondlaf.
“Maaf... sudah terlambat!” kata
Kapten gandhi.
Tiba-tiba terdengar suara
dentuman keras sekali tepat ketika Kapten Gandhi berhasil menyelamatkan
Gondlaf. Jembatan itu bergeser dan mulai hancur sedikit demi sedikit. Tiba-tiba
jembatan tempat Viktul, Alvin, dan Doom Bringer berpijak runtuh dan membuat
mereka bertiga terjatuh. Doom Bringer berteriak dan mulai mengepak-ngepakkan
sayanpnya tapi percuma, sayapnya tidak bisa digunakan untuk terbang. Tubuhnya
terlalu berat. Sementara itu Viktul dan Alvin tetap berpegangan pada pedang itu
walaupun mereka sedang terjatuh. Hal ini menandakan betapa eratnya hubungan
mereka berdua.
Akhirnya mereka menghantam mata
air dwarf yang amat dingin. Asap segera mengepul-ngepul dari tubuh Doom Bringer
yang membara. Ia berteriak kedinginan. Tiba-tiba saja air tempat Viktul dan
Alvin berada mulai terasa hangat. Hal ini membuktikan betapa panasnya tubuh
Doom Bringer. Ternyata Doom Bringer bisa berenang! Ia melepaskan pedang dan
cambuknya yang sudah padam, dan mencoba membunuh Viktul dan Alvin. Akhirnya
mereka berdua segera berenang menuju pinggir kolam. Ternyata kolam ini terasa
cukup besar ketika mereka berada di tengah-tengah kolam ini.
Tetapi tubuh Doom Bringer yang
panjang memudahkannya untuk berenang menyusul Viktul dan Alvin. Ia hampir
mendapatkan 2 anak itu.
“Habislah kita...” kata Alvin
sambil berenang.
“Tidak... KITA TIDAK AKAN MATI
DI SINI!!!” Viktul berteriak.
Tiba-tiba sebuah batang kayu
besar dengan ujungnya yang tajam meluncur ke arah mereka. Viktul dan Alvin
segera mesuk ke dalam air, sehingga batang itu langsung menembus tubuh Doom
Bringer. Doom Bringer berteriak kesakitan. Saking kencangnya, Viktul dan Alvin
yang sedang berada di bawah air dapat mendengarnya. Tetapi terdengar suara lain
di luar sana. Seperti suara gemuruh ratusan orang. Viktul dan Alvin segera naik
ke permukaan dan menyaksikan ratusan bahkan ribuan dwarf sedang mengelilingi
kolam sambil terus menyerang Doom Bringer dengan melempari kapak atau
menembakkan anak panah.
“Kurasa kita harus pergi dari
sini!” kata Alvin. Mereka berduapun segera berenang menjauhi Doom Bringer.
Ternyata si setan apipun tak berdaya tanpa apinya. Ia merasa kesakitan karena
terus diserang. Akhirnya ia kehabisan tenaganya setelah darah terus mengalir
dari tubuhnya. Ia sudah tidak mampu berenang lagi dan mulai tenggelam. Ia terus
turun ke dasar kolam. Dari dalam kolam keluar gelembung-gelembung mungkin sisa-sisa
napas Doom Bringer.
Tetapi lama-lama gelembung itu
semakin banyak dan air tempat Doom Bringer tenggelam menyala-nyala berwarna
merah. Para dwarf ketakutan melihat hal ini.
“Kita tidak akan kalah di
sini...” kata Viktul yang sudah berhasil berenang ke pinggir kolam.
Gelembung itu semakin banyak dan
terdengar suara buih-buih yang kencang. Lalu tiba-tiba muncul sesosok bayangan
api yang besar sekali dengan suara memekik yang mengerikan disertai
gelembung-gelembung panas. Bayangan api itu terus memekik dan teus bergerak
naik, lalu melakukan pekikan terakhirnya yang amat kencang hingga membuat
telinga para dwarf itu kesakitan, kemudian bayangan itu menghilang. Yang
tersisa hanya sedikit percikan-percikan api yang kemudian lenyap di udara.
Para dwarf yang menyaksikan ini
terdiam melongo, hingga akhirnya salah satu dwarf berteriak “Kita berhasil...
kita... kita... KITA MENGALAHKAN DOOM BRINGER SI SETAN API!!!!”
“YEEEEAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHH”
teriak para dwarf yang lain. Kemudian mereka berteriak bersahut-sahutan. Mereka
sungguh senang, akhirnya mereka berhasil mengalahkan makhluk yang selama 2
tahun ini terus menghantui mereka.
Kemudian Viktul dan Alvin naik
ke pinggir kolam. Mereka sungguh lelah sehingga mereka terjatuh dan tertidur di
sana, sambil mendengarkan teriakan bahagia para dwarf.
***
Chapter 18 : New
Company
Viktul baru terbangun 24 jam
kemudian. Pengalaman panjang seperti ini benar-benar tak akan pernah ia lupakan.
Begitu ia bangun, Alvin segera berlari memasuki kamar dan memeluk Viktul. Ia
merasa senang sekali.
Setelah beristirahat, keesokan
harinya Rapava mengundang mereka untuk berpidato di depan seluruh bangsa dwarf
untuk menyampaikan berita kemenangan ini, sekaligus memberitahukan keputusan
Rapava untuk membantu para manusia menghadapi Sitio.
“Saudara-saudara, para manusia
yang baik hati ini telah berhasil membantu kita dari masalah sulit ini... maka
sudah sepantasnya bagi kita untuk membantunya! Kalian semua setuju???” itu
adalah salah satu bagian dari pidatonya. Para dwarf segera berteriak dengan
antusias dan mengatakan setuju. Pada acara itu Viktul dan kawan-kawan menjadi
tamu kehormatan.
Perayaan ini sungguh meriah dan
tak terlupakan. Ratusan pria dan wanita dwarf menari. Sungguh sulit untuk
membedakan mereka.
Beberapa hari setelah itu,
Gondlaf pergi ke tempat Octopo sendirian selama satu hari penuh, dan akhirnya
kembali dengan wajah yang ceria, dan mengetakan “Octopo sudah kubereskan... tak
ada lagi yang harus dicemaskan!”. Ia mengatakannya dengan santai. Tak ada
satupun yang tahu persis bagaimana Gondlaf menghadapi Octopo tesebut, tetapi
yang pasti sejak saat itu Octopo tidak pernah muncul lagi.
***
Akhirnya, beberapa hari
kemudian, Viktul dan rombongannya mengucapkan salam perpisahan kepada Rapava
ditemani dengan puluhan warga dwarf. Mereka melakukan salam perpisahan di pintu
gerbang menuju Secang Dale yang satunya, yang menghadap langsung ke Allied of
Two Ciruas.
“Senang sekali berkenalan dengan
kalian! Aku akan segera mengirimkan prajuritku ke Royale Palace untuk membantu
mereka menghadapi prajurit kera Sitio!” kata rapava.
“Jangan! Menurut berita terakhir
yang kuterima kemarin, Royale Palace sudah hampir jatuh! Kini para prajurit
masih bertahan adi sana hanyak sampai para warga berhasil di evakuasi!” kata
Gondlaf.
“Jadi kami harus mengirim
prajurit ke mana?” tanya Rapava.
“Kirimlah prajuritmu ke Lopang
Kingdom! Kami berencana mengumpulkan kekuatan di sana! Setelah seluruh prajurit
yang ada Royale Palace mundur, rencananya meeka akan menyatukan kekuatan di
Lopang Kingdom! Kami juga sedang mengumpulkan para prajurit serta suku-suku
kecil yang tersebar di seluruh Bumi Serang. Sejauh ini, kami sudah mengumpulkan
3.000 prajurit dari sana!” kata Gondlaf.
“Yah, ditambah prajurit kami,
aku yakin kalian akan memiliki jumlah yang cukup untuk menghabisi kera-kera
tolol itu!” kata Rapava.
“Belum... sampai kami berhasil
menyatukan Allied of Two Ciruas dan Kebo Knightdom!” kata Gondlaf.
“Yah baiklah kalau begitu... aku
doakan supaya kau berhasil dengan selamat! Dan kau juga, 2 anak pemberani!”
kata Rapava ke Viktul dan Alvin. Mereka tersenyum mendengar hal ini.
Kapten Gandhi yang sudah
bersahabat dengan Kapten Aldo juga melakukan salam perpisahan. Sedangkan Ateng
dan Kevin juga melakukan salam perpisahan dengan para prajurit dwarf yang sudah
bersahabat dengan mereka. Kemudian Viktul dan Alvin melakukan salam perpisahan
dengan si kembar Jimmy dan jimmoy dan berterima kasih karena mereka telah
mengajari Vktul dan Alvin mengukir dan bertukang.
Kemudian merekapun pergi dengan
kuda mereka masing-masing yang mereka tinggalkan ketika mereka berhadapan
dengan Octopo. Gondlaf berhasil menemukannya kembali ketika kuda-kuda itu mulai
berpisah dan mencari makan sendiri-sendiri.
“Sampai jumpa di Lopang
Kingdom!” kata Viktul dan yang lainnya sambil melambaikna tangannya dan para
dwarf itu membalasnya. Perpisahan ini terasa begitu menyedihkan mengingat
mereka sudah tinggal di Secang Dale cukup lama, tidak seperti ketika mereka
pergi ke Royale Palace yang hanya beberapa hari karena terjadi beberapa konflik
mengerikan.
***
Matahari sudah mulai terbenam,
ketika mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.
“Menyedihkan sekali, harus
berpisah dengan mereka...” kata Alvin.
“Tenanglah, kita akan bertemu
mereka lagi di Lopang Kingdom!” kata Kevin.
“Yah, di Lopang Kingdom ketika
kita akan mengadu nyawa di sana...” kata Ateng sedih.
“Ayolah... yakinlah bahwa kalian
tidak akan apa-apa!” kata Viktul menyemangati.
Tiba-tiba Gondlaf datang.
Sepertinya ia membawa suatu berita. “Dengar, berita terakhir yang kudapatkan
sore ini mengatakan, Royale Palace sudah hampir jatuh sedikit lagi... Lord of
Death semakin mengamuk dan menunjukkan kekuatannya. Dan yang paling penting,
ada dugaan bahwa Nathanael adalah tangan kiri Sitio, dengan Lord of Death
sebagai tangan kanannya!” kata Gondlaf murung.
“Siapa itu Nathanael?” tanya
Kapten Gandhi yang baru saja datang menghampiri mereka.
“Dia... adalah muridku yang
paling berbakat, satu-satunya muridku yang paling berpotensi menjadi penyihir
yang lebih hebat dariku!” kata Gondlaf. Serentak Viktul dan yang lainnya kaget.
“Bagaimana mungkin?” tanya
Viktul.
“Entahlah... ia pergi
meninggalkanku 25 tahun yang lalu, ketika ia baru berusia 20 tahun. Saat itu ia
sudah dapat dibilang sebagai penyihir yang cukup hebat. Kami berpisah karena
perbedaan pendapat kami, sehingga ia pergi... tak kusangka ia pergi ke jalan
kegelapan... Aku benar-benar merasa sedih... padahal aku telah mengasuhnya
sejak ia berumur 5 tahun ketika orang tuanya meninggal...” kata Gondlaf.
“Hmmm... kisahnya seperti
Viktul...” kata Alvin.
“Yah, tetapi ada perbedaan pada
jalan mana yang ia tempuh!” kata Gondlaf menanggapi.
Namun tiba-tiba terdengar
kepakan burung yang datang ke arah mereka. Rupanya itu adalah burung sihir
pembawa berita milik Gondlaf. Gondlaf segera membaca pesan yang dibawanya.
Pesan itu berasal dari King Virlu. Gondlaf membaca surat itu selama beberapa
saat, kemudian mengerutkan keningnya, sepertinya ia menjadi bingung.
“Berita buruk... akhirnya Sitio
membangkitkan para Najgul nya...” kata Gondlaf.
***
Chapter 19 : The
Two Groups
Kapten Gandhi kaget mendengar
berita ini. Tetapi orang-orang yang lainnya tidak mengerti sama sekali.
“Apa itu Najgul?” tanya Alvin.
“Jika Lord of Death adalah
jendral besar mereka, maka Najgul dapat diartikan sebagai 9 penunggang naga
yang bertugas sebagai pengawal pribadi Sitio. Ke 9 penunggang naga ini akan
memiliki kekuatan yang setara dengan Sitio jika mereka menyatukan kekuatannya. Dan
biasanya, jika Sitio mengirimkan pengawal pribadinya ini ke medan perang, itu
merupakan pertanda bahwa Sitio menginginkan suatu kemenangan mutlak!” Gondlaf
menjelaskan panjang lebar.
“Jadi... maksudmu... Sitio
mengirimkan 9 Najgul ini ke Royale Palace... dan mengharapkan kemenangan
mutlak?” kata Ateng gugup.
“Tepat sekali! Setelah Najgul
ini muncul siang tadi, King Virlu memutuskan untuk mengevakuasi seluruh warga
secepatnya dan segera menarik pasukannya. Karena itu, kita juga harus bergerak
cepat!” kata Gondlaf.
“Ya, aku setuju! Allied of Two
Ciruas berada tidak jauh dari sini... Kita harus bergerak ke sana secepatnya!”
kata Kapten Gandhi.
“Tapi masalahnya, bagian Ciruas
mana yang akan kita datangi? Yakavali Town yang dipimpin High Leader Zanuqoyaqo
atau Hamavapaqu Town yang dipimpin oleh High Leader Vabalife?” tanya Kevin.
“Inipun suatu masalah besar...
Kabarnya kedua Ciruas ini sedang mengalami bentrok... Kita tak akan bisa
melihat pemasalahan secara subyektif jika kita hanya mendatangi salah satu
tempat! Dari sini kita harus membagi 2 kelompok untuk mempelajari masing-masing
tempat!” kata Gondlaf “Aku, Alvin, dan Viktul akan pergi ke Yakavali Town,
sedangkan Kapten Gandhi, Kevin, dan Ateng akan pergi ke Hamavapaqu Town!”
“Lalu bagaimana kita berkomunikasi?”
tanya Alvin.
“Begini... jangan pernah
menginap di sana! Kita harus bertemu tiap malam untuk membicarakan permasalahan
ini! Menginap di sana akan membuat mereka berpikir bahwa kau mendukung
pihaknya! Sebagai pihak netral, kita tidak boleh hanya membela salah satu!”
kata Gondlaf.
“Hmmm... Baiklah, aku mengerti!”
kata Kapten Gandhi, dan kemudian yang lainnya menyetujui rencana Gondlaf.
Kemudian Gondlaf berbicara lagi.
“Allied of Two Cirua berjarak
cukup dekat dari sini, mungkin kita akan sampai antara 1 sampai 2 hari jika
kita terus berkuda! Sebenarnya aku ingin beristirahat sedikit lebih lama,
tetapi keadaan memaksa kita untuk bergerak cepat! Karena itu, sekarang
istirahatlah, kita akan mulai berkuda sekitar 3 jam lagi!” kata Gondlaf.
“Hah??? 3 jam lagi berarti tepat
tengah malam...” keluh Ateng.
“Dasar tukang mengeluh...
Sebaiknya sekarang kau cepat tidur!” perintah Kapten Gandhi. Atengpun menurut
dan segera tidur. Rombongan yang lainpun segera tidur.
3 jam kemudian, Viktul dan
kawan-kawan segera berangkat. Alvin masih saja membicarakan soal kehebatannya
dan Viktul ketika menghadapi Doom Bringer. Cerita Alvin membuat Kevin dan Ateng
merasa muak selama di perjalanan. Pagi harinya, mereka kembali beristirahat.
Mereka hanya beristirahat selama 2 jam, kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Pada siang hari mereka beristirahat lagi, dan melanjutkan perjalanan sore
harinya.
Lalu, saat matahari mulai
terbenam, mereka tiba di suatu perbatasan wilayah. Mereka melihat papan kayu
yang bertuliskan “Allied of Two Ciruas, 2 km di depan”, tetapi papan kayu ini
tulisannya dirusak seseorang, kelihatannya seseorang yang sudah benar-benar
tidak menginginkan 2 Ciruas untuk bersatu lagi. Viktul mulai berbicara.
“Tak kusangka... kebencian
mereka sudah sampai seperti ini...” kata Viktul.
“Yah... tetapi mereka tertutup
sekali sehingga tidak ada pihak luar yang mengetahui sebab perselisihan
mereka...” kata Kapten Gandhi.
“Yah, karena itulah kita akan
mencari tahu! Bagaimana kalau tempat ini kita jadikan tempat untuk berkumpul?
Besok pagi kita akan pergi ke kedua Ciruas itu, dan malamnya kita akan
berkumpul kembali di sini, oke?” kata Gondlaf. Seluruh rombongan menyetujui
usul Gondlaf, dan segera beristirahat di tempat tersebut.
Beberapa jam kemudian, sekitar
pukul 4 pagi, mereka sudah bangun dan bersiap untuk pergi ke Ciruas. Gondlaf
mengatakan sebaiknya mereka pergi lebih pagi untuk bisa mengamati tempat itu
secara lebih leluasa. Kemudian mereka membagi 2 kelompok dan pergi ke
masing-masing tempat yang sudah disetujui.
Gondlaf, Alvin, dan Viktul
melakukan perjalanan sejauh 3 km menuju ke Yakavali Town, dan rombongan Kapten
Gandhi juga menempuh jarak yang sama menuju Hamavapaqu Town. Mereka berkuda
melalui jalan setapak yang terbelah dua ke masing- masing kota.
Akhirnya kedua kelompok sampai
di tempat yang dituju masing-masing setelah berkuda selama sekitar 15 menit.
***
Chapter 20 :
Yakavali Town and High Leader Zanuqoyaqo
Gondlaf, Alvin, dan Viktul
sampai di Yakavali Town pada pagi hari ketika matahari belum terbit. Ketika mau
memasuki Yakavali Town, mereka melewati pos penjagaan yang kosong. Hal ini
sungguh mengherankan. Keadaan kota juga nampak kotor dan berantakan. Hal ini
benar-benar menunjukkan bahwa kota ini sedang berada dalam keadaan perang.
Sepertinya para penduduk kota sudah tidak punya waktu lagi untuk mengurus
kebersihan. Nampaknya mereka terlalu disibukkan oleh perang ini.
Ketika matahari mulai terbit,
warga kota mulai bermunculan satu persatu. Mereka segera membereskan jalanan
yang kotor. Kemudian seorang pemuda datang dengan berlari-lari sambil
meneriakkan suatu kabar “PERANG PECAH! PERANG PECAH! PULUHAN KORBAN BERJATUHAN
TADI MALAM!”. Pemuda itu terus mengulangi berita itu sambil terus berlari
menjauh. Para penduduk justru merasa puas dan senang mendengar berita ini.
Sepertinya mereka memang sudah menunggu pecahnya perang ini dan berharap dapat
menghancurkan saudara-saudaranya di Hamavapaqu Town.
“Kurasa kita harus segera
menemui pemimpin kota ini...” kata Gondlaf “sebelum semuanya terlambat...”
“Ya!” kata Viktul.
Kemudian mereka segera
menanyakan keberadaan High Leader Zanuqoyaqo kepada warga. Para warga
mengatakan bahwa mungkin ia sedang berada di medan perang untuk saat ini.
“Celaka... kurasa menemuinya di
medan perang akan merepotkan...” kata Alvin. Gondlaf dan Viktul tidak
menghiraukannya dan segera pergi menuju medan perang setelah menanyakannya
kepada warga. Medan perang itu berada di perbatasan kedua kota. Kabarnya, medan
perang itu berupa ladang pertanian yang amat subur.
Setelah berkuda sekitar 3 jam
dan berputar-putar, akhirnya mereka tiba di medan perang yang disebutkan.
Mereka bertiga sempat tersesat ketika mencari tempat itu. Ternyata benar, medan
perang itu berupa ladang pertanian, tetapi tidak terlihat kesuburannya. Memang
nampak padi yang menguning di sebagian tempat, tetapi terdapat tanaman-tanaman
yang bekas terbakar di tempat lain. Ladang yang luas ini sepertinya bekas
dijadikan medan perang semalam. Terdapat darah-darah yang tercecer. Tidak jauh
dari sana, nampak ratusan prajurit sedang beristirahat. Karena medan perang ini
menempel dengan kota mereka, sepertinya ribuan prajurit yang lain memutuskan
untuk beristirahat di rumah masing-masing, sedangkan ratusan prajurit ini
adalah para prajurit yang bertempat tinggal cukup jauh dari medan pertempuran.
Kemudian Gondlaf mendatangi
salah seorang prajurit bertubuh kecil dan berkulit hitam. Ia memiliki rambut
keriting. Kemudian Gondlaf bertanya “Maaf, aku mau bertanya, di mana High
Leader Zanuqoyaqo berada?”
Tetapi prajurit itu nampak tidak
senang, lalu memandangi Gondlaf dengan aneh, kemudian memandangi Viktul,
kemudian Alvin. Setelah itu ia berkata dengan nada suara tinggi dan cempreng
“Siapa kalian ini? Tahukah kalian sedang berbicara dengan siapa?”
“Memangnya siapa kau? Prajurit
kecil bertubuh hitam?” kata Alvin keceplosan.
“APAAAA??? KURANG AJAR KALIAN!!!
AKU ADALAH KAPTEN PRAJURIT YANG PALING DISEGANI DI SINI!!! AKU ADALAH KAPTEN
LOKOLLO!!!” prajurit itu berteriak kepada Alvin dan kawan-kawan. Alvin menjadi
menyesal karena telah salah bicara. Tetapi kenyataannya, ia tidak seperti
Kapten yang disegani. Justru para prajurit yang ada di sana mengeluh dan merasa
terganggu karena suaranya yang keras, bahkan kemudian ada suara yang asalanya
tak jelas berkata “Berisik! Dasar kutu kupret!” Semua prajurit yang ada di sana
langsung tertawa membahana begitu mendengar hal ini. Kapten ini menjadi merasa
jengkel dan malu, kemudian berkata “Sudahlah... ada urusan apa kalian datang ke
sini?”
Alvin hendak berbicara lagi,
tetapi Gondlaf segera menahannya karena ia takut Alvin salah bicara lagi.
Gondlaf segera berbicara “Sebelumnya maafkan kelakuan muridku yang buruk...
Sebenarnya aku datang karena ingin meminta bantuan pemimpinmu yang begitu
tangguh, dan tentu saja aku ingin meminta bantuan kepada prajurit Yakavali Town
yang kabarnya adalah para pemberani dan tangguh!”
Ternyata taktik memuji Gondlaf
berhasil, dan Kapten Lokollo segera berkata “Baiklah, aku akan membawa kalian
menemui High Leader Zanuqoyaqo, tapi berjanjilah kalian tidak akan berbuat macam-macam!” Gondlaf hanya tersenyum. Karena Kapten
Lokollo sudah termakan kata-kata Gondlaf sejak awal, ia segera membawa Viktul
dan kawan-kawan ke tempat High Lord Zanuqoyaqo berada.
Kemudian Kapten Lokollo membawa
mereka ke sebuah tenda besar di tengah-tengah tenda para prajurit. Kemudian ia
masuk saja tanpa pemberitahuan dan diikuti oleh Viktul dan kawan-kawan. Kapten
Lokollo segera berkata dengan kencang “Ada tamu yang menginginkan bantuan kita!
Bolehkah ia masuk?”
“Kau sudah membiarkan mereka
masuk sejak tadi... mengapa bertanya lagi...” kata seorang pria bertubuh tinggi
dan tegak. Ia terlihat begitu gagah dengan baju perangnya yang berwarna merah.
Usianya sekitar 25 tahun, sama seperti Lord Mliit. Di ruangan itu terdapat
beberapa perwira tinggi Yakavali Town. Kapten Lokollo segera melihat ke arah
Viktul dan kawan-kawan, lalu ia menjadi kaget. Ia menjadi tampak marah dan
malu. Viktul mengerti, seharusnya tadi ia tak ikut masuk.
Kemudian pria gagah itu
memperkenalkan dirinya “Hai! Perkenalkan, namaku High Leader Zanuqoyaqo! Ada
urusan apa datang kemari?”
Kemudian Gondlaf menjawab “Kami
adalah utusan dari Lopang Kingdom! Namaku Gondlaf, lalu anak ini adalah Viktul
dan Alvin! Kami datang untuk meminta bantuan serta memperingatkan kalian
terhadap suatu bahaya!”
High Lord Zanuqoyaqo nampak
tertarik dan berkata “Bahaya macam apa yang mengancam kami?”
“Sitio!” kata Gondlaf “Dan tidak
hanya mengancam kalian, tetapi juga saudara kalian di Hamavapaqu Town!”
“Hah??? Yang benar saja...
justru mereka yang terus mengancam kami...” kata High Leader Zanuqoyaqo “dan
lagi... siapa itu Sitio?”
“Kau tidak mengetahuinya???
Sudah kuduga, ini pasti dari perang kalian yang berkepanjangan... asal kau tahu
saja, Sitio ini bermaksud menghancurkan seluruh manusia, dan satu-satunya jalan
untuk mengalahkannya adalah dengan menyatukan kekuatan! Karena itulah, aku
bermaksud meminta bantuan kalian sebelum seluruh manusia dihancurkan olehnya!”
kata Gondlaf.
“Yang benar saja... aku tidak
tahu mengenai hal ini... sepertinya perang ini benar-benar membuatku sibuk...
memangnya siapa yang sudah menjadi korbannya?” tanya High Leader Zanuqoyaqo.
“Ribuan orang di Harmonia
Kingdom of Taktakan dan Royale Palace sudah menjadi korban kekejaman Sitio...
dan mungkin kita akan menjadi korban selanjutnya... karena itu, aku harap
kalian bisa membantu, dan juga bersatu dengan saudara kalian di Hamavapaqu Town
untuk menyempurnakan persatuan!” kata Gondlaf.
“Jika hanya membantu kalian, itu
bisa kami lakukan, tetapi bersatu dengan orang-orang licik itu, kurasa tidak
bisa kami lakukan...” kata High Leader Zanuqoyaqo.
“Mengapa sulit sekali bagi
kalian untuk berdamai?” tiba-tiba Viktul angkat bicara.
Semua orang yang ada di sana
memandangi Viktul sesaat, kemudian seorang pria angkat bicara “Tentu saja... maaf, sebelumnya, perkenalkan, aku adalah
Jendral Ricco!” kemudian ia melanjutkan “begini, tidak mudah bagi kami untuk
berdamai dengan mereka. Sudah 10 tahun kami mengalami perang dingin, dan
semalam perang benar-benar terjadi, dengan pihak mereka melakukan serangan
pertama!” Jendral Ricco adalah seorang pria gagah. Kulitnya berwarna kuning.
Usianya sekitar 30-an.
“Perang dingin selama 10 tahun... gila...”
kata Alvin berbisik, namun Gondlaf segera meukul kepala Alvin dengan tongkatnya
sehingga Alvin terdiam.
“Begini, memangnya apa penyebab
peperangan ini?” tanya Viktul lagi.
“Hmmm... sebenarnya ini bermula
sekitar 11 tahun yang lalu... tiba-tiba orang-orang Hamavapaqu Town mengakui
ladang-ladang kami sebagai wilayah mereka, dan memintanya. Karena kami tidak
mau menerima permintaan mereka, mereka mulai membakar ladang-ladang kami
sedikit demi sedikit... Awalnya kami masih bisa memaafkan, tetapi suatu ketika
mereka membakar lumbung padi kami, tetapi masalahnya di sana terdapat seorang
ayah dan anak perempuannya. Akhirnya mereka terbakar hidup-hidup...” kata
Jendral Ricco. Viktul terperanjat mendengar cerita ini.
“Karena itulah, setelah menerima
teror mereka selama sekitar 1 tahun, kami menyatakan permusuhan, karena jika
dibiarkanpun, akhirnya kami akan menderita kelaparan karena mereka terus
membakari ladang kami. Tetapi kami masih mengingat bahwa mereka adalah saudara
jauh kami. Karena itulah, kami memutuskan perang dingin. Tetapi ternyata mereka
melancarkan perang yang sesungguhnya semalam. Untunglah kami dapat
mengantisipasinya sehingga mereka tidak berhasil menyerang kota kami semalam!”
kata Jendral Ricco panjang lebar. Gondlaf mengangguk-angguk mendengar
ceritanya.
Akhirnya, setelah membicarakan
mengenai kisah Yakavali Town dan High Leader Zanuqoyaqo menyetujui memberi
bantuan kepada Lopang Kingdom tetapi tidak bersatu dengan Hamavapaqu Town,
Gondlaf dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi. Setelah mengucap selamat
tinggal, Viktul dan kawan-kawan segera pergi dari sana. Kapten Lokollo
mengantar mereka hingga kelyuar dari area prajurit. Kemudian Viktul dan
kawan-kawan berterima kasih dan mengucapkan selamat tinggal kepada Kapten
Lokollo.
Tetapi
sebelum kembali, Alvin memohon kepada Gondlaf untuk berjalan-jalan terlebih
dahulu. Gondlaf mengerti sifat Alvin yang menyukai jalan-jalan, sehingga ia
memperbolehkan Alvin berjalan-jalan terlebih dahulu. Akhirnya mereka kembali
pada malam hari.
***
Chapter 21 :
Hamavapaqu Town and High Leader Vabalife
Pada hari yang sama, pada pagi
harinya, Kapten Gandhi dan kedua anak buahnya pergi menuju Hamavapaqu Town. Tak
disangka, suasana di sana juga berantakan. Pos-pos penjagaan juga kosong
seperti di Yakavali Town. Mereka tidak bertemu siapapun pada pagi hari, tetapi
menjelang matahari terbit, warga mulai bermunculan dari rumah masing-masing.
Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin terus berputar-putar di kota hingga siang.
Mereka keenakan sehingga mereka malah memilih untuk sarapan di restoran dan
berjalan-jalan terlebih dahulu.
“Ateng, Kevin... kurasa sudah
cukup main-mainnya...” kata Kapten Gandhi ketika mereka berdua sedang
melihat-lihat buah melon. Mereka memang tidak akan membeli melon tersebut,
tetapi Kevin dan Ateng tertarik dengan melon di daerah ini yang berukuran lebih
besar dari semangka.
“Ayolah... ini adalah pertama kalinya
aku melihat meln seperti ini... lagipula kita informasi itu bisa kita dapatkan
di mana saja kan...” kata Ateng malas.
Namun tiba-tiba datang seorang
pembeli, kemudian pria itu berkata pada pedagang itu “Aku dengar tadi malam
para prajurit kita yang pemberani sudah mengambil langkah tepat dengan
melakukan serangan dahsyat ke Yakavali Town...”
Pedagang itu kaget, namun
kemudian ia tersenyum “Benarkah??? Akhirnya... kita dapat memberi orang-orang
bodoh itu suatu pelajaran... hahaha...”
Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin
merasa kaget dan tertarik dengan pembicaraan ini. Kemudian mereka mulai
menguping pembicaraan kedua orang ini. Ternyata ada seorang pembeli lagi yang
sejak tadi sedang memilih-milih melon, kini tertarik dengan pembicaraan itu,
kemudian ikut mendengarkan. Ia adalah seorang wanita yang berkerudung warna
hitam serta bercadar, sehingga wajahnya tidak terlihat. Hanya matanya saja yang
terlihat, tetapi rasa keingintahuannya mengenai berita ini terlihat dari
matanya yang hitam dan bercahaya.
“Menurutmu kita akan berhasil
menaklukkan tikus-tikus itu dalam berapa lama?” tanya pedagang itu.
“Hmmm... Mungkin dalam satu
bulan ke depan... Kau tahu, tidak mudah menumpas tikus yang pandai
bersembunyi...” serentak kedua orang itu tertawa keras-keras. Ateng menjadi
jengkel mendengar hal ini. Bagi Ateng mereka berdua adalah orang bodoh yang
tidak tahu bahwa negeri mereka sedang dalam bahaya.
“Hei kalian... yang benar
saja... sebentar lagi Sitio akan datang kemari dan kalian dalam bahaya besar,
tetapi bisa-bisanya kalian malah berperang dengan saudara kalian sendiri...”
tiba-tiba Ateng yang sudah tidak sabar angkat bicara. Kapten Gandhi dan Kevin
mencoba mencegahnya, tetapi tidak sempat.
Kedua pria itu menjadi kesal dan
melihat ke arah Ateng, kemudian pedagang berkata “Anak muda... siapa kau?
Rasanya aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini... Kurasa kau bukan penduduk
sini... Ah... jangan-jangan kau adalah orang dari Yakavali town...”
“Aku memang bukan penduduk sini,
tetapi aku juga bukan penduduk dari Yakavali Town!” kata Ateng.
“Lalu siapa kau dan dari mana?
Dan juga mau apakau ke sini? Sudah begitu mengatakan bahwa kita dalam bahaya...
Siapa kau???” tanya pria yang satunya.
“Oh, maafkan kelakuan anak muda
ini... Perkenalkan, aku adalah Gandhi, dan kedua orang ini adalah anak
buahku... sebenarnya kami adalah utusan dari Lopang Kingdom untuk menghadap High
Leader Vabalife...” kata Kapten Gandhi. Tiba-tiba wanita bercadar itu kaget
mendengar perkataan Kapten Gandhi.
“Oh... begitu... memangnya mau
apa? Kalian mau menyerang negeri kami?” tanya pedagang itu.
“Tentu tidak... kami justru mau
mendamaikan kalian!” kata Kevin ikut bicara. Serentak kedua orang itu tertawa
keras-keras. Ateng menjadi kesal mendengarnya. Tetapi wanita itu justru semakin
tertarik dengan Kapten Gandhi dan kedua anak buahnya.
“Sudahlah... tidak ada gunanya
kalian di sini... sebaiknya kalian pergi saja dari sini, sebelum terjadi
apa-apa pada kalian... hahahaha...” kata pria itu dan pedagang itu tertawa
lagi.
Ateng menjadi benar-benar kesal,
tetapi Kevin menarik tubuh Ateng agar ia tidak bicara macam-macam. Kemudian
Kapten Gandhi berpamitan dengan mereka “Baiklah kalau begitu... sebaiknya kami
pergi dulu... kami ada urusan lain yang harus diselesaikan... sampai jumpa...”
“Huh, pergilah!!! Harusnya
kalian pergi sejak tadi... hahahaha...” kata pedagang itu dan pria itu tertawa.
Kemudian Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin pergi dengan kesal.
Kemudian ketiga orang itu
memutuskan untuk langsung pergi menemui High Leader Vabalife, tetapi Ateng
merasa ragu. “Jika rakyatnya saja sudah bersikap seperti itu, bagaimana
pemimpinnya... tak bisa kubayangkan...”
“Ayolah, jangan menyerah secepat
itu! Kita tidak akan tahu sebelum kita menemui High Leader Vabalife...” kata
Kevin memberikan semangat kepada Ateng. Tetapi Ateng tetap lesu. Namun
tiba-tiba ada yang berbicara kepada mereka dari belakang.
“Jika sekarang kalian pergi
menemui High Leader Vabalife, kalian tidak akan punya kesempatan untuk
menemuinya karena ia sedang sibuk sekali sekarang... Tetapi kurasa besok
bisa...” ternyata ia adalah wanita bercadar yang di kios melon tadi. Serentak
ketiga prajurit itu kaget.
“Hah... maaf, tetapi jika boleh
tahu, siapakah anda ini?” tanya Kapten Gandhi.
“Oh, aku hanya seorang wanita
biasa...” kata wanita itu. Tetapi Kapten Gandhi tidak percaya. Ia yakin ada
sesuatu yang disembunyikan. Ditambah lagi sepertinya wanita ini tidak
menyetujui peperangan yang sedang terjadi. “Tapi apa benar kalian mau
mendamaikan kedua Ciruas? Lalu apa yang kalian maksud dengan negeri kami
menghadapi bahaya besar? Memang benar negeri kami menghadapi bahaya kehancuran
jika terus berperang, tetapi apa ini adalah bahaya yang lain?”
“Ya, benar... kurasa sebaiknya
kita berbicara di suatu tempat yang nyaman!” kata Kapten Gandhi. Kemudian wanita
itu memutuskan untuk mengajak mereka ke kedai teh terdekat, kemudian mereka
membicarakan tentang hal ini di sana.
Tetapi kemudian Ateng berbisik
kepada Kapten Gandhi “Kurasa wanita ini memang bukan wanita biasa...”
“Mengapa?” tanya Kapten Gandhi.
“Kedai teh ini... kurasa
bukanlah kedai teh murah yang bisa didatangi oleh wanita biasa...” bisik Ateng.
“Diam kau... dasar bodoh...”
kemudian Kevin mengetuk kepala Ateng sehingga Ateng berkata ‘Aduh’, sehingga
wanita itu melihat ke arah Ateng, tetapi Kevin tersenyum dan berpura-pura tidak
pernah terjadi apapun.
Seorang pelayan datang dan
menuangkan teh teh ke cangkir masing-masing, kemudian meninggalkan teko teh itu
di sana. Ateng segera minum dengan lahap, tetapi kepanasan sehingga berkata
lagi ‘Aduh’. Wanita itu tersenyum melihat tingkah Ateng. Kemudian Kapten Gandhi
bepura-pura batuk, sehingga perhatian wanita itu mengarah ke Kapten Gandhi,
kemudian Kapten Gandhi mulai berbicara.
“Apa kau tahu tentang Sitio?”
kata Kapten Gandhi.
“Tentu saja... raja kera yang
memulai perang dengan manusia 1.000 tahun yang lalu...” kata wanita itu “apa ia
mau menyerang kami.
Namun tiba-tiba Kevin berkata
“Uh... maaf... ngomong-ngomong, boleh kami tahu namamu? Kurasa sejak tadi kita
belum sempat berkenalan... Hai... namaku Kevin, lalu anak bodoh ini adalah
Ateng, dan ini adalah Kapten Gandhi!”
Tetapi wanita itu nampak
kebingungan dan berpikir sejenak, barulah menyebutkan sebuah nama “Mell!”
“Mell... nama yang indah...”
kata Kapten Gandhi, tetapi Ateng menyadari bahwa Kapten Gandhi hanya berbasa
basi, sehingga bergumam sambil tersenyum ‘huh... benar saja...’ . Kevin
mendengar hal ini sehingga mengetuk kepala Ateng lagi, dan lagi-lagi Ateng
mengatakan ‘Aduh!’ sehingga Mell tersenyum lagi melihat Kapten Gandhi. Kemudian
Kapten Gandhi mulai berbicara lagi setelah berpura-pura batuk.
“Yah, memang benar, ia adalah
raja kera itu... Dan asal kau tahu, ia sudah bangkit! Dan sejak sekitar satu
setengah bulan yang lalu, ia telah memulai peperangan dan sudah 2 negeri jatuh
ke tangannya, negeri itu adalah Harmonia Kingdom of Taktakan, dan Royale
Palace! Oh, maaf... maksudku Royale Palace hampir berhasil dijatuhkan
olehnya...”
Mell tampak terkejut mendengar
hal ini, lalu berkata “Hah... sudah 2 negeri... aku tidak tahu... ini pasti akibat
kami terlalu berkonsentrasi pada peperangan dengan saudara kami sendiri...
cepat atau lambat kami pasti akan hancur jika peperangan ini terus
berlanjut...”
“Perang saudara memang
mengerikan...” kata Ateng mendadak, tetapi tidak seorangpun yang mempedulikannya
sehingga Ateng menjadi kesal. Ateng memang memiliki satu sifat yang sama dengan
Alvin, yaiut menjadi cepat kesal jika tak dipedulikan.
“Jadi... apa Sitio akan
menyerang kedua negeri Ciruas?” tanya Mell.
“Pasti! Cepat atau lambat, ia
pasti akan datang ke sini...” kata Kapten Gandhi.
“Ukh...” Mell tampak kebingungan
“kita harus segera menyelesaikan masalah perang saudara ini...”
“Ya, tentu saja! Tapi
ngomong-ngomong, apa penyebab perang saudara ini?” tanya Kapten Gandhi,
kemudian menyerutup tehnya. Seperti sebuah isyarat saja, tiba-tiba Kevin dan
Ateng ikut mnyerutup tehnya. Mell yang bingung tanpa sadar ingin ikut
menyerutup tehnya. Ia baru saja memegang cangkirnya, tetapi ia tersadar dan
tidak jadi minum. Kapten Gandhi menyadari ada seuatu yang aneh di sini.
Kemudian Mell berbicara lagi
“Sebenarnya sejak ratusan tahun yang lalu sudah pernah terjadi banyak
perselisihan antara kami... jadi sebenarnya tidak aneh jika sekarang terjadi
lagi... Tetapi perselisihan kali ini kalau tidak salah, mungkin penyebabnya
adalah perebutan ladang pertanian di perbatasan kedua Ciruas...”
“Begitu ya... jadi masalah
tanah... ini tidak akan mudah...” kata Kapten Gandhi.
Kemudian Mell tersadar akan
sesuatu, lalu berbicara “Ah, maaf, aku ada urusan sekarang... kurasa aku harus
pergi... ngomong-ngomong, temuilah High Leader Vabalife besok! Aku yakin ia
bisa menemui kalian besok...”
“Lalu bagaimana dengan tehnya?”
tanya Ateng. Kevin menjadi kesal karena itngkah Ateng sejak tadi sehingga ia
memukul hidung Ateng sehingga Ateng kesakitan. Mell berpikir sejenak.
“Biar aku yang bayar... baiklah,
kalau begitu aku pergi dulu!” kemudian Mell bersalaman dengan ketiga prajurit
itu kemudian Mell pergi meninggalkan kedai teh tersebut.
Setelah Mell sudah keluar dan
tak terlihat lagi, Kapten Gandhi mulai berbicara “Memang ada yang aneh
padanya... Ia lupa kalau ia memakai cadar... Itu berarti ia tidak terbiasa
memakainya...”
“Berarti ia memang memakainya
sesekali, dengan alasan tertentu...” kata Kevin.
“Mungkinkah untuk menutupi wajahnya?”
tanya Ateng. Kemudian Kapten Gandhi dan Kevin saling berpandangan, kemudian
tersenyum.
“Yah, dan jika memang begitu,
berarti ia bukan wanita biasa dan pasti ada hubungannya dengan High Leader
Vabalife!” kata Kapten Gandhi bersemangat.
“Benar sekali... selain prajurit
tangguh kita juga adalah detektif hebat!!! Yess!” kata Kevin kegirangan. Kedua
prajurit yang lainnya juga nampak senang dan bersemangat.
Akhirnya, setelah menghabiskan
teh mereka, mereka memutuskan untuk kembali menemui Gondlaf, setelah
berjalan-jalan lagi tentunya. Lagipula Mell mengatakan bahwa percuma saja
menemui Hign Leader Vabalife sekarang. Akhirnya, setelah matahari mulai
terbenam mereka kembali ke tempat yang disepakati.
***
Chapter 22 : The Allied
of Two Ciruas History
Malamnya, seluruh rombongan
kembali bertemu di tempat yang ditentukan, tempat dimana jalan setapak dari
Yakavali Town dan Hamavapaqu Town bertemu. Mereka begitu kelelahan setelah
berkeliling kota seharian. Begitu bertemu dengan Viktul dan Alvin, Ateng segera
menceritakan pengalamannya di sana. Kapten Gandhi juga segera menceritakan
tentang Yakavali Town, penduduknya, juga Mell, wanita yang mereka temui di
yakavali Town. Sementara itu Kevin sedang berusaha untuk membuat api unggun
guna membakar ayam liar yang ia tangkap di jalan.
Setelah cukup lama mendengarkan
cerita Ateng, Viktul memutuskan untuk buang air kecil. Kemudian ia segera pergi
meninggalkan rombongan dan mencari tempat yang cukup tersembunyi di bawah
sebuah pohon yang cukup besar. Viktul sudah berjalan sekitar 100 meter untuk
menemukan tempat ini. Kemudian ia segera membuka calananya dan buang air kecil.
Viktul merasa lega sekali setelah itu.
Namun tiba-tiba terdengar
suara-suara aneh lagi yang ia dengar ketika di Secang Dale “Berikan padaku... the teeth... milikku yang berharga...” . Viktul
menyadari makhluk hitam yang waktu itu pasti datang lagi. Viktul segera
mencarinya. Setelah menjalani berbagai pengalaman yang pernah dialaminya
semenjak melakukan perjalanan membawa The Teeth, kini Viktul menjadi seorang
pemuda yang pemberani. Ia tidak takut sama sekali pada makhluk kecil hitam yang
waktu itu.
“Anak bodoh... kau melihat ke mana... aku ada di atas sini...” kata
suara-suara itu. Viktul segera melihat ke atas pohon dan melihat makhluk itu
berada di atas sana. Tiba-tiba makhluk itu melompat ke arah Viktul ketika
Viktul melihatnya. Viktul segera melompat mundur dan makhluk hitam itu menubruk
tanah. Makhluk itu segera bangkit dan melihat ke arah Viktul. Sungguh aneh,
makhluk itu tidak kesakitan sama sekali.
Viktul bergerak mundur dan
memutuskan untuk meminta bantuan Gondlaf dan yang lainnya. Viktul segera
berbalik untuk berlari, tetapi makhluk itu melompat ke arah Viktul lagi
sehingga Viktul terjatuh. Viktul segera berbalik dan menyikut kepala makhluk
itu sehingga makhluk itu terjatuh berguling-guling di tanah. Viktul segera
bangkit kembali dan mulai berlari. Makhluk hitam itu juga ikut bangkit dan
segera mengejar Viktul.
Viktul berlari begitu cepat
sehingga akhirnya makhluk itu memutuskan untuk berhenti mengejar Viktul, tetapi
ia tidak menyerah. Ia seperti bergumam membaca mantra kemudian di telapak
tangan kirinya mulai tercipta sebuah bola api. Setelah terbentuk bola api
sebesar bola pingpong, ia melemparkannya ke arah Viktul. Bola api itu mengenai
tanah di depan Viktul sehingga tanah itu meledak dan Viktul terkena efek
ledakannya dan terlempar ke belakang.
Viktul beusaha berdiri, tetapi
tubuhnya terasa sakit karena ledakan barusan. Maka ia memutuskan untuk berbalik
dan menghadapi makhluk itu. Kemudian Viktul bertanya “Siapa kau?” Viktul
bertanya dalam kebimbangan. Viktul berharap makhluk itu menjawab dan tidak jadi
melukai Viktul.
Tetapi makhluk itu tidak
menjawab dan terus mengatakan “Berikan
padaku... the teeth... milikku yang berharga... “
Kemudian makhluk itu mengangkat
tangan kanannya ke arah Viktul dan memperlihatkan kuku-kukunya yang panjang dan
tajam. Ia tersenyum mengerikan dan hendak mencengkram leher Viktul dan
mengambil The Teeth. Makhluk itu tersenyum kemudian tertawa-tawa sendiri, karena
merasa sudah hampir berhasil mendapatkan The Teeth. Viktul memanfaatkan
kelengahan makhluk itu, kemudian ia segera bangkit dan menendang makhluk itu
hingga terpental ke belakang. Viktul segera berbalik dan berlari, tetapi
makhluk itu bangkit dengan cepat dan melompat ke arah Viktul, kemudian mencakar
pungguh Viktul hingga Viktul terjatuh. Darah Viktul mulai mengalir deras.
Viktul merasakan kesakitan.
“Cakaran bagong... akan membuatmu merasakan kesakitan selama
berhari-hari... hihihihihi...” kata makhluk itu. Kemudian makhluk itu
bersiap untuk mencengkram leher Viktul lagi. Kali ini Viktul sudah merasa
pasrah. Makhluk itupun segera melompat ke arah Viktul.
Namun tiba-tiba sebuah anak
panah melesat ke dadanya hingga ia terjatuh dan berguling-guling. Viktul segera
melihat dari mana anak panah itu berasal. Ternyata itu adalah anak panah milik
Kevin. Alvin yang juga berada di sana segera berlari ke arah Viktul.
“Apa kau baik-baik saja? Tadi
mendadak kalung mutiara hitamku menyala... Jadi kami segera datang ke sini!”
kata Alvin.
“Yah... aku tidak apa-apa...”
kata Viktul senang.
Makhluk itu segera bangkit lagi,
kemudian tanpa merasakan apa-apa ia mencabut anak panah yang menancap di
dadanya. Semuanya kaget melihat hal ini.
“Makhluk apa ini...” kata Kapten
Gandhi.
“Kurasa ia adalah bagong, sang
peri kegelapan...” kata Gondlaf “tenang saja, yang ada di sini hanya
bayangannya saja.... Dengan bayangannya bagong bisa berada di mana saja dan ia
dapat melakukan berbagai serangan sihir, serta tubuhnya tak bisa dibunuh.
Tetapi bayangan ini akan lenyap sebentar lagi!”
Bagong tersenyum mengerikan
kaena merasa kesal rencananya gagal. Kemudian tubuhnya menghilang
perlahan-lahan ketika angin bertiup sambil berkata “Tidak lagi...”
Gondlaf segera menghampiri
Viktul yang terkapar. Gondlaf melihat lukanya, kemudian berkata “Alvin, cepat
bawa dia ke tenda! Aku akan segera mengobatinya... Luka seperti ini akan terasa
hingga berhari-hari...”
“Seberbahaya itukah?” tanya
Alvin.
“Jika yang mencakarnya adalah
bagong asli, maka lukanya akan terasa seumur hidup!” kata Gondlaf. Alvin kaget
mendengarnya dan ia segera membawa Viktul ke tenda.
Di tenda, Alvin segera membantu
Gondlaf mengobati Viktul. Alvin dan Gondlaf sudah mendapat banyak pelajaran
mengenai pengobatan dari Gondlaf. Ternyata ilmu itu berguna sekarang. Setelah
diberi obat dan beberapa mantra, luka itu sudah tidak terasa sakit lagi. Viktul
pun duduk bersama yang lain di api unggun.
“Makhluk apa yang menyerangku
barusan?” tanya Viktul.
“Kurasa itu adalah bagong, sang
peri yang memasuki jalan kegelapan sehingga ia dikutuk ke dalam bentuk yang
mengerikan seperti itu...” kata Gondlaf “dan kurasa ia mengincar sesuatu
darimu, dan itu pasti The Teeth!”
“Yah, memang benar...” kata
Viktul.
“Yah, lain kali kau harus
hati-hati...” kata Gondlaf. Kemudian Viktul mengangguk. Semua orang yang berada
di sana juga menyesal dan berjanji untuk menjaga Viktul lebih baik lagi, karena
Viktul adalah sang pembawa gigi. Kemudian Gondlaf berbicara lagi
“Ngomong-ngomong, tadi aku sempat menanyakan sejarah tentang Ciruas kepada para
orang tua yang ada di sana!”
“Hah??? Kapan???” tanya Alvin.
“Ketika kau sedang bermain-main
di sana! Asal kau tahu, aku tidak ingin membuang-buang waktuku seperti kau,
maka aku memutuskan untuk menambah pengetahuanku!” kata Gondlaf. Alvin jadi
merasa malu.
“Lalu bagaimana sejarahnya?”
tanya Kapten Gandhi.
“Baiklah, aku akan mulai. Kurasa
ini juga akan berguna bagi kita yang mau mendamaikan kedua Ciruas... Oke,
sejarah berdirinya Ciruas dimulai sekitar 1.000 tahun yang lalu, ketika para
manusia baru saja berhasil mengalahkan Sitio dan para keranya. Ketika itu
seluruh kota yang ada di Bumi Serang telah hancur, dan ada satu keluarga besar
yang juga kehilangan tempat tinggalnya di Lopang Kingdom. Mereka adalah
Keluarga Ilfa.”
“Ilfa... nama yang aneh...
seperti Mell...” kata Ateng tiba-tiba. Alvin tertawa, tetapi yang lainnya diam
sehingga Alvin menjadi malu. Kemudian Godlaf melanjutkan ceritanya.
“Keluarga Ilfa memutuskan untuk
pergi dari Lopang Kingdom setelah rumah dan perkebunan milik mereka dihancurkan
para kera. Mereka bermaksud mencari lahan baru untuk pertanian. Akhirnya mereka
melakukan perjalanan panjang dengan seluruh keluarga dari kakek buyut hingga
cucu. Ada 4 generasi di dalam keluarga itu saat itu... Jumlah mereka saat itu
sekitar 40 orang...” kata Gondlaf.
“40 orang dalam satu keluarga...
Jumlah yang besar... Aku bahkan tidak memiliki ayah dan ibu...” kata Viktul
mendadak. Semuanya jadi terhanyut dalam kesedihan Viktul, tetapi Gondlaf
melanjutkan.
“Keluarga Ilfa terbiasa tinggal
berdekatan sehingga anggota keluarga mereka banyak sekali. Akhirnya setelah
melakukan perjalanan panjang melewati Secang Dale, mereka tiba di tanah ini,
tanah yang amat subur, karena itu mereka menamai tanah ini Ciruas, yang artinya
‘kesuburan’. Mereka mulai membangun rumah-rumah dan terbentuklah desa kecil di
sini. Ketika desa ini terbentuk, sang kakek buyut sudah meninggal, tetapi
terlahir para generasi baru, sehingga saat itu sudah ada sekitar 100 orang
anggota Keluarga Ilfa.” Kata Gondlaf. Gondlaf senag sekali karena tidak ada
yang mengganggunya selama becerita, kemudian ia melanjutkan ceritanya
“Kemudian, dengan dipimpin seorang pemimpin pada tiap generasinya, Keluarga
Ilfa terus mengembangkan desanya dan semakin lama desanya semakin besar dan
terbentuklah kota kecil. Karena kesuburan tanah di sini, Keluarga Ilfa mendapat
cukup makanan dan berbagai macam obat-obatan tumbuh sehingga angka kematian
mereka amat kecil. Akhirnya orang-orang yang ingin mencari tempat tinggal baru
mulai berdatangan setelah beberapa ratus tahun. Anggota Keluarga Ilfa mulai
membaur dan melakukan perkawinan dengan para pendatang dari luar. Sekitar 400
tahun sejak Desa Ciruas terbentuk, masyarakat selalu hidup damai. Tetapi,
akhirnya tiba masanya ketika seluruh Ciruas diperintah oleh 2 pemimpin kembar
bernama Yakavali dan Hamavapaqu!”
“Hah... Seperti nama kota ini
saja...” kata Alvin.
“Yah, itu tidak aneh jika
menjadikan nama pemimpin hebat mereka sebagi nama kota...” kata Kapten Gandhi.
“Maka di sinilah awal
perselisihan panjang ini. Karena semakin banyak Keluarga Ilfa yang menikahi
pendatang baru, darah murni Keluarga Ilfa mulai menghilang. Hamavapaqu sendiri
kesal karena ayahnya yang berdarah murni menikah dengan gadis pendatang
sehingga ia berdarah campuran. Karena itulah, setelah ayahnya meninggal, ia
membunuh ibunya dan menyatakan bahwa ia adalah Keluarga Ilfa dengan darah
murni. Kemudian ia mengumpulkan ribuan Keluarga Ilfa berdarah murni. Saat itu
jumlah Keluarga Ilfa memang sudah mencapai ribuan!” kata Gondlaf “Maka ia
memutuskan untuk menjadikan setiap pendatang maupun Keluarga Ilfa berdarah
campuran sebagai budak. Yakavali tidak bisa menerima hal ini, karena pada
kenyataanya sejak pendatang pertama kali tiba di Ciruas, anak cucu mereka telah
melakukan hubungan dengan Keluarga Ilfa sehingga amat sulit untuk menemukan
seorang anggota Keluarga Ilfa berdarah murni! Bahkan ayah merekapun, belum
tentu memiliki darah murni. Tetapi Hamavapaqu tidak peduli dan terus berusaha
melenyapkan para pendatang dan darah campuran!”
“Pada akhirnya seluruh kota
terpecah menjadi dua, yaitu kelompok Hamavapaqu dan Yakavali. Sebagai kakak,
Yakavali tidak ingin berperang dengan adiknya, tetapi adiknya terus menyerang dan
memperlakukan para pendatang baru dan Ilfa berdarah campuran sebagai budak
sehingga Yakavali menjadi marah. Akhirnya mereka membagi 2 negeri mereka, dan
menamai negeri masing-masing dengan nama mereka sendiri, dan sejak saat itu
dimulailah perang panjang antara darah murni dan darah campuran!” kata Gondlaf
panjang lebar. Gondlaf nampak kelelahan karena terus berbicara. Kemudian
Gondlaf berhenti dan diam sejenak.
“Oh... jadi penduduk Yakavali
Town adalah orang-orang berdarah campuran... Pantas saja Kapten Lokollo
berkulit hitam sekali, tidak seperti penduduk yang lain...” kata Alvin
tiba-tiba. Semuanya langsung tertawa mendengar hal ini. Gondlafpun tersenyum.
Kemudian Gondlaf melanjutkan ceritanya.
“Akhirnya kedua saudara itu
terus berperang hingga akhir hayatnya. Kedua Ciruas terus berperang hingga masa
anak kedua pemimpin kembar itu, cucu mereka, bahkan cicit mereka. Tetapi
setelah 100 tahun, ketika kedua negeri dipimpin oleh cicit dari kedua pemimpin
kembar itu, terjadi perubahan! Kedua pemimpin itu memiliki nama yang sama
seperti kakek buyut mereka, dengan harapan mereka dapat menyelesaikan
peperangan yang dimulai kakek buyut mereka. Setiap negeri mengharapkan
negerinyalah yang keluar sebagai pemenang dan menyelesaikan peperangan.
Kemudian peperangan memang berakhir di masa kedua pemimpin itu, tetapi bukannya
dengan saling menghancurkan satu sama lain...” kata Gondlaf “Peperangan
berakhir dengan perdamaian dari kedua belah pihak. Pada saat itu Yakavali
maupun Hamavapaqu menyadari negeri mereka akn hancur pada masa mereka setelah
kedua negeri berperang selama 100 tahun. Lagipula ada rumor yang mengatakan
bahwa kedua pemimpin itu berteman dan dipertemukan secara kebetulan, sehingga
mereka menjalin persahabatan yang dalam, seperti saudara. Dan karena wajah
mereka mirip, entah kebetulan atau tidak, mereka jadi terlihat seperti saudara
kembar. Orang-orang mengira bahwa mereka berdua memang titisan dari Yakavali
dan hamavapaqu yang bertugas untuk menyelesaikan peperangan yang pernah mereka
ciptakan!”
“Luar biasa... karena namanya
sama, wajahnya bisa menjadi sama...” kata Kevin.
“Seandainya namaku adalah Mliit,
mungkin wajahku akan setampan Lord Mliit yah... hahaha...” kata Ateng sambil
tertawa. Semuanya iktu tertawa mendengar candaan Ateng.
“Kemudian, kedua Ciruas
berdamai, tetapi negeri mereka tetap terbagi menjadi dua. Kemudia mereka mulai
membangun lagi negeri mereka yang sudah hampir hancur bersama-sama. Hingga
sekitar 500 tahun kemudian, negeri merek sudah menjadi seperti sekarang...”
kata Gondlaf “Tapi sepertinya peperangan ini dimulai lagi sejak 11 tahun yang
lalu, entah kenapa...”
“Hah... padahal kedua pemimpin
tersebut tidak memiliki nama Yakavali ataupun Hamavapaqu...” kata Viktul.
“Tidak juga... sebenarnya perang
kembali terjadi sebelum mereka berdua berkuasa. Hal ini terjadi pada masa ayah
dari High Leader Zanuqoyaqo berkuasa, ia bernama Yakavali. Dan perang terjadi
ketika Hamavapaqu, adik dari ayah High Leader Vabalife berkuasa untuk mengisi
jabatan yang kosong ketika ayah High Leader Vabalife terbunuh dengan penyebab
yang tidak jelas... Karena itulah orang-orang menduga Hamavapaqu lah pelakunya.
Karena dugaan itulah posisinya di bangku kepemimpinan menjadi lemah dan ia
digantikan tepat setahun kemudian ketika High Leader Vabalife berkuasa. Dan
saat itu sudah terjadi perselisihan antara kedua negeri...” kata Gondlaf
mengakhiri ceritanya. Ia tampak kelelahan kemudian minum air.
Kemudian Kevin mengambil
sepotong ayam bakar yang baru saja matang. Ia membakarnya ketika Gondlaf sedang
bercerita. Kemudian ia berkata “Lalu bagaimana sekarang? Jika kedua negeri baru
bisa berdamai ketika diperintah oleh pemimpin bernama Yakavali dan
Hamavapaqu... Berarti harus menunggu seorang bayi lahir lalu menamainya
Yakavali dan Hamavapaqu, kemudian mengangkat mereka berdua menjadi pemimpin...”
“Kita tidak punya waktu sebanyak
itu. Sitio akan membunuh ibunya terlebih dahulu seblum bayinya lahir...” kata
Kapten Gandhi.
“Kalau begitu bagaimana jika
kita mengubah nama kedua pemimpin yang sekarang?” kata Alvin memberi usul.
“Kau semakin aneh saja... apa
karena berteman dengan Ateng...” kata Kevin kepada Alvin. Ateng merasa terhina,
tetapi kemudian Viktul angkat bicara.
“Ayolah, Kevin sudah berteman
lama dengan Ateng tetapi tidak ada masalah kan?” kata Viktul.
Kevin bermaksud untuk bicara
lagi, tetapi Kapten Gandhi menyadari ini akan menjadi pertengkaran yang
panjang. Karena itu, ia segera mengubah topik pembicaraan “Jadi, apa yang harus
kita lakukan sekarang, gondlaf?”
“Tentu saja mendamaikan mereka.
Sejujurnya, aku yakin perdamaian bisa tercipta, asalkan ada kemauan dari kedua
belah pihak. Apa kau tahu pendapatku mengenai kedua pemimpin yang bernama sama
itu? Kurasa orang-orang hanya memanfaatkan sejarah itu untuk tetap berperang,
dengan meyakinkan masyarakat bahwa perang tidak akan berhenti jika kedua
pemimpin tidak bernama sama!” kata Gondlaf.
“Ya, aku setuju denganmu
Gondlaf! Karena itulah, ayo kita berusaha sekuat tenaga!” kata Viktul.
“YAAA!!!” semuanya menjawab
ajakan Viktul dengan begitu bersemangat.
Kemudian mereka memutuskan untuk
tidur karena sudah terlalu lelah.
***
Chapter 23 : Move
Quickly
Keesokan paginya, mereka bangun
agak siang karena malamnya mereka mendengarkan cerita Gondlaf. Mereka segera
bersiap-siap untuk berangkat. Tepat ketika Gondlaf mau berangkat, tiba-tiba
sebuah burung pengantar pesan datang. Gondlaf segera membacanya, lalu mulai
berbicara.
“King Virlu sudah kehilangan
setengah dari Royale Palace bagian timur... Seluruh warga sudah berhasil
dievakuasi dari Royale Palace, tetapi mereka masih belum aman karena mereka
bisa saja diserang di perjalanan. Karena itu King Virlu memutuskan untuk
menarik seluruh prajuritnya untuk melindungi para warga yang sedang berpindah
ke Lopang Kingdom.” Kata Gondlaf.
“Huh... akhirnya Royale Palace
jatuh...” kata Kapten Gandhi lesu.
“Jendral Lopang Kingdom yang
baru juga sudah dipilih. Ia adalah Jendral Dozan! Ia adalah orang dengan
pangkat militer tertinggi setelah Jendral yusingus...” kata Gondlaf.
“Yah, ia pernah menjadi kaptenku
ketika aku pertama kali menjadi prajurit. Kemudian ia naik pangkat setahun
kemudian dan aku dipilih menjadi sersan muda untuk mengisi posisi sersan yang
naik pangkat menjadi kapten yang baru!”
“Dan setahun kemudian ketika
Kapten yang baru itu terbunuh dalam satu pertarungan melawan bandit, kau
dipilih menjadi sersan tinggi yang bertugas mewakili kapten prajurit yang baru,
ketika wakilnya mengisi posisinya. Dan ketika kapten baru itu naik pangkat
setahun kemudian, kau diangkat menjadi kapten baru! Kau memang hebat... Menjadi
kapten hanya dalam 3 tahun...” kata Kevin memuji.
“Kemudian setahun kemudian kami
bergabung dalam divisimu... Kaptenmu yang dulu memintamu untuk menjadi wakilnya,
tetapi kau menolak karena melihat potensi dalam diri kami berdua, sehingga
terus membimbing kami selama 3 tahun lamanya, hingga kami berhasil menjadi
sersan muda... hehehe... Kau menjadi kapten dalam 3 tahun, tetapi kami hanya
berhasil menjadi sersan muda dalam 3 tahun...” kata Ateng menambahi.
“Hahaha... tidak apa... kalian
hanya kurang pengalaman saja... Kalian kan masuk kemiliteran saat berusia 14
tahun... Tapi aku melihat potensi dan kesetiaan kalian, karena itu aku terus
mendidik kalian! Aku tahu lebih baik melatih 1 orang yang berkeinginan kuat
untuk belajar dari pada melatih 10 orang yang tidak mau belajar! Biarpun
pangkat kalian sekarang hanyalah sersan muda, tetapi bagiku pangkta kalian
lebih tinggi dari itu, jika dilihat dari kesetiaan dan perjuangan kalian bagi
negeri kita!” kata Kapten Gandhi menyemangati.
“Terima kasih kapten!” kata
Ateng dan Kevin bersamaan.
“Hahaha... kurasa sudah cukup
nostalgianya... aku akan memberitahukan berita berikutnya...” kata Gondlaf
memotong pembicaraan mereka.
“Ah... maaf...” kata Kapten
Gandhi.
“Baik... begini... setelah
memberikan kepercayaan untuk melindungi Lopang Kingdom kepada Jendral Dozan,
Lord Mliit memutuskan untuk melakukan perjalanan ke selatan untuk meminta
bantuan para elf!” kata Gondlaf.
“A... apa??? Lord Mliit sendiri
yang akan melakukan perjalanan???” tanya Viktul kaget.
“Hahaha... jangan kaget seperti
itu... jangan kau kira ia adalah raja payah yang hanya bisa memerintah dari
kursi rajanya... Dahulu, ia juga sering melakukan perjalanan bersamaku, seperti
yang sedang kau lakukan sekarang!” kata Gondlaf.
“Tapi mengapa ia sampai harus
turun tangan sendiri? Apa ia tidak mempercayai kita?” tanya Kapten Gandhi.
“Masalahnya bukan ia tak
mempercayai kita, tetapi apakah para elf itu mempercayai kita... Sejak ratusan
tahun yang lalu sejak mengalahkan Sitio, para elf pergi ke selatan karena sudah
tidak mempercayai para manusia lagi... Tetapi, dulu Lord Mliit pernah
mendapatkan kepercayaan mereka lagi, sebelum menjadi raja... Karena itulah ia
bermaksud mencari elf itu sendiri...” kata Gondlaf.
“Oh... jadi karena itu para elf
tidak pernah membalas surat dari para manusia... Bahkan mereka tidak percaya
bahwa Lord Mliit yang mengirimnya...” kata Kapten Gandhi.
“Yah, begitulah para elf.
Sebenarnya mereka baik, tetapi sekali dikhianati oleh seseorang, ia akan
membenci dan tidak mempercayai orang itu selamanya, bahkan sampai anak
cucunya...” kata Gondlaf.
“Memangnya kesalahan apa yang
telah dilakukan para manusia kepada para elf itu ?” tanya Viktul.
“Dahulu, setelah mengalahkan
Sitio, para manusia berjanji untuk tidak berperang lagi dan selalu berbuat
baik. Tapi pada kenyataannya, para manusia adalah makhluk yang menyukai
kekerasan dan perang... Karena itulah, para elf itu tidak mempercayai para
manusia, sama seperti mereka tidak mempercayai Sitio...” kata gondlaf.
“Tapi apakah kita harus meminta
bantuan para elf itu?” tanya Kevin.
“Yah... mereka adalah pemanah yang
tangguh. Tidak ada satupun tembakan mereka yang meleset... Dan kurasa kita
memang membutuhkan bantuan mereka untuk melindungi Viktul untuk menghancurkan
the Teeth!” kata Gondlaf.
“A... apa???
Menghancurkannya???” kata Viktul kaget.
“Ya... ternyata ada banyak
sekali yang menginginkan The Teeth, seperti Jendral Yusingus dan si Bagong
itu... Untuk ke depannya, kurasa akan ada lebih banyak yang mengincar The
Teeth... Kita memerlukan perlindungan dari orang-orang berhati murni seperti
para elf itu...” kata Gondlaf.
“Jadi maksudmu kita tidak
berhati murni?” kata Alvin tersinggung.
“Bukan itu maksudku... Maksudku,
hati para elf yang murni itu membuat mereka memiliki kekuatan untuk menangkal
sihir, kekuatan yang amat kita butuhkan!” kata Gondlaf. Alvin masih merasa
tersinggung.
“Tapi bagaimana cara
menghancurkan The Teeth?” tanya Viktul.
“Ada sebuah cara... akan kuberi
tahu nanti, tapi sekarang kita tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Kita harus
segera mendamaikan kedua Ciruas. Rencananya Lord Mliit akan mulai bergerak dan
menemui kita sekitar 1 minggu dari sekarang. Dan aku harap kita sudah
menyelesaikan misi kita 1 minggu lagi, ketika Lord Mliit tiba. Dengan begitu
kita bisa langsung meneruskan perjalanan!” kata Gondlaf.
“Tapi Gondlaf... Bukankah jika kita
bisa mempertahankan The Teeth maka kita tidak akan perlu menghancurkannya?”
tanya Viktul yang penasaran.
“Bagi Sitio, The Teeth seperti
nyawanya. Tetapi tidak ada satupun benda di bumi ini yang dapat menghancurkan
The Teeth. Karena itulah Sitio tidak akan bisa mati. Tetapi jika The Teeth bisa
dihancurkan, aku pastikan Sitio akan binasa untuk selama-lamanya!” kata
Gondlaf.
“Hmmm, baiklah!” kata Viktul.
“Oke, kalau begitu sebaiknya
kita cepat berangkat untuk menyelesaikan masalah ini! Kami akan segera menemui
High Leader Vabalife seperti yang disarankan Mell. Sedangkan kau, apa yang akan
kau lakukan, Gondlaf?” tanya Kapten Gandhi.
“Entahlah... kurasa kami akan
ikut denganmu... lagipula kita belum menngetahui alasan Hamavapaqu Town untuk
berperang...” kata Gondlaf.
“Oke, kalau begitu ayo kita
bergerak dengan cepat!” kata Kapten Gandhi penuh semangat dan semua orang
bersorak untuk meningkatkan semangat mereka masing-masing.
Akhirnya seluruh rombongan pergi
menuju ke Hamavapaqu Town. Mereka tiba di sana pada siang hari ketika matahari
bersinar terik sekali. Sesampainya di sana, mereka segera pergi menuju Istana
High Leader Vabalife. Setelah bertanya kepada orang-orang dan berkeliling,
akhirnya mereka tiba juga di istana itu. Sebuah istana yang megah dengan
dinding dari marmer yang berkilauan. Halamannyapun amatlah luas.
Kemudian
rombongan Gondlaf segera memasuki istana itu dan mengatakan bahwa mereka adalah
utusan dari Lopang Kingdom dan ingin menemui pemimpin mereka untuk urusan yang
amat penting. Penjaga itupun memperbolehkan mereka untuk masuk, tetapi mereka
masih harus menunggu untuk 2 jam sebelum diperbolehkan menemui pemimpin mereka.
“Huh... sepertinya orang ini
benar-benar sibuk berperang sampai harus membuat kita menunggu seperti ini...”
kata Ateng yang kesal karena menunggu.
“Hei, jaga mulutmu!” kata Kevin.
Namun tiba-tiba seorang petugas
datang dan mengatakan kepada mereka bahwa sekarang mereka sudah bisa menemui
High Leader Vabalife. Mereka segera mengiktui petugas itu untuk menemui High
Leader Vabalife di ruangannya.
“Huh... aku ingin tahu seperti
apa orang yang amat sibuk ini...” Ateng berbisik kepada Viktul, tetapi Viktul
hanya diam.
Akhirnya mereka memasuki sebuah
ruangan besar di tengah istana. Dindingnya terbuat dari marmer putih berkilauan
dan lantainya dialasi karpet biru yang amat lembut. Langit-langitnyapun diberi
lukisan-lukisan bidadari yang indah. Di hadapan mereka berdiri seorang raja
gagah yang mengenakan baju kebesarannya yang berwarna perpaduan antara biru dan
putih. Tubuhnya agak gemuk dan kulitnya agak kecoklatan. Rambutnya agak
keriting, tapi nampak keren. Ia juga mengenakan kacamata bulat.
Kemudian raja itu berkata
“Selamat datang, para utusan dari Lopang Kingdom... Ada apa kalian datang
kemari?”
“Sebelumnya perkenalkan, aku
adalag Gondlaf, lalu yang ini Kapten Gandhi, Ateng, Kevin, Viktul, dan
Alvin...” kata Gondlaf.
“Kenapa namaku selalu disebut
terakhir...” Alvin berbisik ke Viktul dengan kesal.
“Begini, kami datang untuk
menyampaikan berita mengenai kebangkitan Sitio yang ingin menghancurkan seluruh
manusia di Bumi Serang... dan aku mengajakmu untuk bergabung bersama Lopang
Kingdom dan negeri-negeri yang lain untuk bersatu melawan Sitio!” kata Gondlaf.
“Hmmm... aku tahu Sitio... Apa
kau yakin ia bangkit kembali? Karean ialah kami Keluarga Ilfa mengungsi ke
negeri ini... Sepertinya ini akan berbahaya...” kata High Leader Vabalife.
“Yah... dan kurasa hanya
persatuanlah yang bisa mengalahkannya...” kata Gondlaf.
“Yah, dan kurasa kita semua akan
hancur jika kita tak bersatu dengan seluruh saudara kita...” kata Viktul
menambahi.
Sepertinya High Leader Vabalife
yang terkenal akan kecerdasannya menagkap apa yang dimaksudkan Viktul, lalu
berkata “Merekalah yang tidak mau bekerjasama... orang-orang Yakavali itu...”
“Maaf, tapi mengapa kau bisa
berkata seperti itu?” tanya Gondlaf.
“Sudah sejak lama, sejak kami
berdamai... namun, tiba-tiba 11 tahun yang lalu mereka mulai berbuat licik
dengan merampas ladang-ladang pertanian kami satu persatu. Mereka merebutnya
dengan segala cara, dari membunuh pemiliknya ataupun mengambil ladang mereka
sebagai ganti daripada mereka yang tidak sanggup membayar hutang...” kata High
Leader vabalife “Awalnya memang sedikit, tetapi lama-lama menjadi banyak
sekali, sehingga kami sudah kehilangan hampir setengah dari ladang kami...”
“Dan kalian mulai membakari
ladang-ladang yang mereka rampas satu persatu?” tanya Gondlaf.
“Sebenarnya, memang begitulah
adanya... Sebenarnya, sebelumnya kami sudah pernah mengirimkan beberapa utusan
untuk membicarakan ini, tetapi utusan itu tidak pernah kembali ke sini...
Karena itulah, kami memutuskan melakukan dengan cara seperti ini...” kata High
Leader Vabalife. Gondlaf berpikir sejenak dan mulai memikirkan hubungan antara
cerita dari kedua belah pihak.
“Mereka memang bermaksud
menghancurkan kami...” kata seorang pria yang baru masuk secara tiba-tiba
“Perkenalkan, aku adalah Jendral Ryanto! Dan kuberitahukan kepada kalian, jalan
perundingan tidak akan pernah berhasil terhadap orang-orang Yakavali itu...”
“Jadi begitu... akh, maaf, kami
masih ada urusan lain setelah ini... Kami harus segera pergi... Tapi kami
harap, pikirkanlah hal ini baik-baik, agar peperangan ini tidak menghancurkan
diri kalian masing-masing...” kata Gondlaf.
“Hmmm... yah, baiklah... terima
kasih atas peringatannya!” kata High Leader Vabalife. Kemudian rombongan
Gondlaf segra pergi.
“Hmmm... aku mulai mengerti...
sekarang kita harus pergi ke Yakavali Town untuk mengetahui alasan mereka
mengambil ladang-ladang itu!” kata Gondlaf.
***
Chapter 24 : The
Third Side
Keesokan harinya, Gondlaf,
Alvin, dan Viktul pergi menemui High Leader Zanuqoyaqo lagi, sedangkan Kapten
Gandhi dan kedua anak prajurit kesayangannya pergi ke Hamavapaqu Town lagi
untuk melihat-lihat keadaan.
Di Yakavali Town, rombongan Gondlaf
bemaksud segera menemui high Leader
Zanuqoyaqo, tetapi lagi-lagi mereka bertemu Kapten lokollo di perkemahan
prajurit. Kemudian kapten itu menyapa mereka.
“Hai! Tak kusangka kalian datang
lagi... Yang jelas kami tidak akan berdamai dengan mereka... lalu mau apa
kalian datang kemari?” kata Kapten Lokollo.
“Kami ingin menemui pemimpinmu
sekali lagi, untuk memastikan segalanya... seorang pria sejati harus memastikan
segalanya!” kata Gondlaf.
“Kau benar... mari, akan
kuantar!” lagi-lagi Kapten Lokollo termakan omongan Gondlaf. Kemudian Kapten
Lokollo mengantar mereka ke tempat High Leader Zanuqoyaqo berada. Mereka segera
masuk setelah High Leader Zanuqoyaqo mempersilakan mereka.
“Hai, selamat siang! Kami datang
lagi untuk menanyakan sesuatu!” kata Viktul.
“Apa yang masih kalian
bingungkan? Sudah kukatakan aku akan membantu kalian melawan Sitio, tapi kami
tidak akan berdamai dengan Hamavapaqu Town!” kata High Leader Zanuqoyaqo tegas.
“Maaf, tuan, tapi seorang pria
sejati harus memastikan segalanya!” bisik Kapten Lokollo ke High Leader
Zanuqoyaqo. High Leader Zanuqoyaqo tampak kesal mendengar kata-kata Kapten
Lokollo. Kapten Lokollo menyadari hal ini dan ia segera terdiam.
“Begini, tetapi apakah benar
kalian pernah merebut ladang-ladang pertanian milik penduduk Hamavapaqu?” tanya
Gondlaf kemudian.
“Apa??? Yang benar saja... kami
sudah memiliki tanah pertanian yang cukup luas... untuk apa merebutnya... Biar
kutebak, kalian pasti sudah mendatangi Hamavapaqu Town dan mendengar cerita
bohong ini dari mereka...” kata High Leader Zanuqoyaqo.
“Cerita bohong? Bagaimana ini,
Gondlaf?” tanya Kapten Gandhi.
Gondlaf berpikir sejenak,
kemudian berkata “Kurasa ada pihak ketiga di sini!” Semuanya kaget mendengar
hal ini, termasuk Jendral Ricco yang baru saja datang.
***
Sementara itu, Kapten Gandhi,
Ateng, dan Kevin sedang asyik berjalan-jalan, hingga akhirnya mereka bertemu
lagi dengan Mell yang sedang berjalan-jalan juga. Kemudian Mell menyapa mereka,
dan mereka membalas sapaannya. Kemudian mereka memutuskan pergi ke restoran
untuk makan siang bersama. Kemudian mereka mulai mengobrol setelah memesan
makanan.
“Apa kalian sudah menemui High
Leader Vabalife? Lalu bagaimana?” tanya Mell.
“Luar biasa... Setelah
perdebatan yang panjang, akhirnya ia setuju untuk berdamai dengan Yakavali
Town!” kata Kapten Gandhi. Ateng bingung dengan apa yang dimaksud Kapten Gandhi
dan hendak memprotes, tapi Kevin menahan dan menutup mulut Ateng.
Mell tampak tidak percaya,
kemudian berkata “Apa maksudmu? Oh, maksudku, benarkah? Luar biasa sekali...”
Tetapi tiba-tiba Kapten Gandhi
dan Kevin menunjukkan mata curiga. Ateng masih tidak mengerti dengan apa yang
terjadi. Kemudian Kapten Gandhi mulai berbicara.
“Apa yang kau maksud dengan ‘Apa
maksudmu’? Sepertinya seakan-akan kau sudah tahu kalau ia menolaknya...
Sebenarnya sikap seperti itu masih bisa diterima jika kau adalah pecinta perang
yang kesal karena akhirnya sang pemimpin menyetujui perdamaian... Tetapi kau
telah salah bersikap dan mengatakan kalau itu adalah hal yang luar biasa... Dari
sini aku dapat mengatakan bahwa kau melihat pembicaraan kami dengan High Leader
Vabalife!” kata Kapten Gandhi dengan nada bicara seperti detektif. Ateng baru
mengerti dengan apa yang terjadi. Mell tampak terdesak.
“Dan lagi, sepertinya kau
menggunakan cadar itu hanya ketika mau bertemu dengan seseorang untuk menemui
jati dirimu yang sebenarnya... Buktinya adalah 2 hari yang lalu kau hampir
minum teh dengan masih mengenakan cadar itu, seakan-akan kau lupa jika kau
memakai cadar, dan itu hanya terjadi pada seseorang yang baru beberapa kali
memakai cadar! Singkat kata, jujur saja, katakan siapa dirimu yang sebenarnya!”
kata Kapten Gandhi panjang lebar.
“Singkat kata? Hahaha... Ia
memang sudah mengatakan hal yang panjang sekali...” kata Ateng. Kevin yang kesal
dengan candaan Ateng yang menurutnya jayuz, segera menyikut hidung Ateng
sehingga Ateng kesakitan.
Mell tampak terdesak, lalu
akhirnya ia bekata “Baiklah, aku akan berkata yang sejujurnya... aku adalah
Melissa, istri dari High Leader Vabalife, ratu dari Hamavapaqu Town!” Serentak
ketiga prajurit itu kaget mendengar hal ini. Tak mereka sangka bahwa sekarang
mereka sedang berbicara dengan seorang ratu.
“Lalu mengapa kau berada di
sini?” tanya Kevin.
“Aku berada di sini untuk
mencari sebuah kebenaran, kebenaran tentang penyebab perang ini... Dan 2 hari
yang lalu aku bertemu dengan kalian yang berkata bahwa kalian ingin
menyelesaikan perang ini... Maka aku tertarik untuk membawa kalian ke menemui
suamiku... Kalian akan ditolak jika langsung menemuinya 2 hari yang lalu.
Karena itulah aku menyuruh kalian datang keesokan harinya dan malamnya aku
membicarakan hal ini padanya sehingga ia mau menerima kalian sebagai tamu...”
kata Ratu Mellisa.
“Jadi... Ratu Mellisa...” kata
Kevin gugup.
“Sudahlah, panggil saja aku
Mell, seperti biasa!” kata Mellisa.
“Yah, baiklah Mell... begini,
apa kau sudah berhasil mengetahui kebenaran itu?” tanya Kevin.
“Yah... dan kurasa aku tahu apa
penyebab peperangan ini... Adanya pihak ketiga! Dan aku mencurigai Jendral Ryanto...
Dulu, ia adalah pengikut setia Hamavapaqu... Dan ia marah sekali ketika
Hamavapaqu diturunkan dari jabatannya...” kata Mellisa.
“Lalu... apa penyebab Jendral
Ryanto melakukan semua ini?” tanya Kevin.
“Entahlah... tapi aku rasa ia
menginginkan kekuasaan penuh atas kedua Ciruas... Setelah keduanya saling
menghancurkan tentunya!” kata Mell. Ketiga prajurit itu mendengarkan dengan
serius.
***
Chapter 25 : Civil
War Begun
“Pihak ketiga!” kata Gondlaf
pada malam harinya ketika mereka bertemu lagi dengan kelompok Kapten Gandhi di
perkemahan.
“Ya, aku setuju, pihak ketiga!”
kata Kapten Gandhi.
“Tapi siapa dan mengapa...” kata
Viktul.
“Entahlah... tapi yang jelas
sepertinya pihak ketiga itulah yang merebut ladang-ladang penduduk Hamavapaqu
Town dengan mengatasnamakan Yakavali Town...” kata Gondlaf.
“Dan pihak ketiga itu juga
menculik dan mungkin membunuh semua utusan yang dikirim High Leader
Vabalife...” kata Kapten Gandhi.
“Seandainya saat itu High Leader
Vabalife berangkat sendiri ke yakavali Town, demi menjaga kesalahpahaman itu,
mungkin ia akan dihabisi oleh pihak ketiga tersebut...” tambah Viktul.
“Tapi siapa dia?” tanya Alvin.
“Menurut dugaan Ratu Mellisa, ia
adalah Jendral Ryanto!” kata Kapten Gandhi. Semuanya kaget mendengar ini.
Kemudian Kapten Gandhi menceritakan siapa sebenarnya Mell dan semua dugaannya
mengenai siapa pihak ketiga tersebut.
“Hmmm... mungkin saja begitu...
dan kita harus segera menyelesaikan semuanya... tapi untuk saat ini, kurasa
sebaiknya ktia tidur dulu! Kata gondlaf. Akhirnya mereka semua mulai tertidur
karena kelelahan.
***
Pada malam harinya menjelang
pagi, ketika semua tertidur lelap, tiba-tiba terdegar suara ledakan seperti
suara ledakan bom. Suara itu begitu keras sehingga mereka semua terbangun. Dari
jauh terlihat bara api yang membara di sekitar perladangan tersebut. Tanah
pertanian itu diselimuti oleh api. Mereka dapat melihatnya karena tempta mereka
tidur cukup tinggi sehingga dapat melihat cahay api itu.
“Kurasa perang yang sebenarnya
sudah dimulai...” kata Kevin.
“Sial... kita harus segera ke
sana dan menghentikannya!” kata Viktul yang mulai bersiap-siap.
“Ya, kau benar... Kapten Gandhi,
aku percayakan kau untuk meyakinkan High Leader Vabalife, setidaknya untuk
menghentikan perang, biarpun sesaat... Aku akan mencoba hal yang sama pada High
Leader Zanuqoyaqo!” kata Gondlaf. Kapten Gandhi segera mengiyakannya.
Kemudian mereka segera pergi ke
tujuan mereka masing-masing. Rombongan Gondlaf maupun rombongan Kapten Gandhi
memacu kudanya dengan cepat, sehingga mereka sampai di tujuan dalam waktu
singkat.
***
Rombongan Gondlaf segera melaju
melewati kota yang mulai terbangun akibat ledakan barusan. Para warga mulai
terbangun dan keluar untuk melihat keadaan. Akhirnya rombongan Gondlaf tiba di
perkemahan para prajurit Yakavali Town. Mereka sedang mempersiapkan prajurit
untuk melakukan penyerangan. Puluhan orang terluka karena ledakan barusan, dan
para ahli medis sedang mengevakuasi mereka. Rombongan Gondlaf tiba dengan
kudanya yang melaju denga cepat. Mereka bertemu dengan Kapten Lokollo yang
berteriak kepada mereka.
“LIHATLAH APA YANG TELAH
DILAKUKAN SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG BAIK! MENGEBOM TEMPAT INI DENGAN BOLA API
MEREKA!!!” teriak Kapten Lokollo yang marah.
Gondlaf segera turun dan
bertanya kepadanya dengan terburu-buru “Di mana High Leader Zanuqoyaqo? Cepat,
aku harus berbicara padanya!”
Namun tiba-tiba terdengar suara
yang sudah mereka kenali, dan berkata dengan nada marah “Kurasa kobaran itu
sudah cukup membuktikan bahwa kami memang sudah seharusnya berperang dengan mereka!”
Gondlaf kaget melihat hal ini.
Gondlaf sadar tidak ada yang bisa ia lakukan jika keadaannya seperti ini. Ia
segera berkata “Aku mohon tunggulah, aku akan mengirim surat untuk Hamavapaqu
Town untuk meminta penjelasan mereka!”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan
lagi!” tiba-tiba Jendral Ricco muncul “Aku sudah memerintahkan seluruh prajurit
untuk menyerang dalam 1 jam!”
Gondlaf menyadari bahay ini dan
memutuskan untuk pergi dari sana. Kemudian ia segera menulis surat dan
mengirimkannya ke Kapten Gandhi.
***
Di saat yang sama, Kapten Gandhi
telah tiba di Hamavapaqu Town, tetapi ia menemukan pemandangan yang amat
mengejutkan. Keadaan kota ini sangat sepi, seakan-akan tidak sdang terjadi
apa-apa. Di saat yang sama, ia menyadari bahwa serangan tadi adalah pancingan
agar pasukan Yakavali menyerang Hamavapaqu Town. Tidak lama datanglah burung
pembawa berita milik gondlaf. Kapten Gandhi segera membacanya dan
terkaget-kaget mengetahui Yakavali akan mengirimkan prajuritnya ke Hamavapaqu.
“Celaka! Kita harus segera
menemui High Leader Vabalife! Ayo cepat, kita harus menghentikan semua ini!”
kata Kapten Gandhi, dan kemudian mereka memacu kudanya ke istana.
Kemudian mereka behasil sampai
dengan cepat. Istana ini nampak sepi. Para penjaganyapun sedang tidur di pos jaga.
Kapten Gandhi dan prajuritnya segera masuk tanpa pemberitahuan dan mencari High
Leader Vabalife. Akhirnya ia berhasil menemukannya ketika ia memasuki ruang
tengah yang mereka datangi 2 hari yang lalu. Kapten Gandhi segera
memperingatkan High Leader Vabalife.
“Hei, mungkin sebentar lagi
prajurit Yakavali akan tiba, tetapi kau tidak boleh terjebak... Kau tidak boleh
meladeni peperangan ini...” kata Kapten Gandhi, tetapi ia terdiam ketika High
Leader Vabalife mulai berkata dengan sedih.
“Perang memang akan terjadi...
Orang-orang Yakavali itu... telah menculik istriku... Ratu Melissa...” kata
High Leader vabalife.
“A... apa... lalu... di mana
Jendral Ryanto?” tanya Kevin.
“Entahlah... ia menghilang sejak
semalam...” jawab High Leader Vabalife.
“Celaka... ini sudah tak
tertolong... perang akan terjadi... satu-satunya cara adalah dengan menemukan
Ratu Mellisa...” kata Kapten Gandhi. Merekapun segera pergi keluar dan
meninggalkan High Leader vabalife yang sedang bersedih sendirian.
“Oke, sekarang kita harus cepat
mencari Ratu Melissa!” kata Kevin.
“Tapi bagaimana caranya?” tanya
Ateng.
“Inilah untungnya kita melakukan
perjalanan bersama Gondlaf!” kemudian Kapten Gandhi mengeluarkan sepotong lilin
hitam. “Pegang aku erat-erat!”
“Apa itu?” tanya Ateng.
“Ini adalah ‘lilin pencari’!
Seperti bubuk teleportasi milk Gondlaf, tetapi yang ini lebih canggih dan
praktis! Cukup memikirkan nama dan orang yang kau cari, kemudian mematahkan
lilin ini sehingga serbuk teleportasinya keluar, maka kita akan sampai pada orang
itu!” kata Kapten Gandhi.
Tanpa pikir panjang Kevin dan
Ateng segera memegang bahu Kapten Gandhi. Kapten Gandhi segera menutup matanya
dan memikirkan Ratu Melissa. Kemudian ia mematahkan lilin itu. Serbuk hijua
keluar dari dalam lilin hitam itu dan mulai mengelilingi mereka dan mereka
mulai bepindah tempat. Tetapi Ateng tiba-tiba teringat akan sesuatu dan segera
berbicara.
“Tapi Ratu Melissa selalu
memakai cadar... Bagaimana kau dapat memikirkan wajahnya?” tanya Ateng
tiba-tiba.
Tiba-tiba perjalanan mereka
terganggu. Tanah tempat mereka berpijak tiba-tiba bergoyang. Kevin sadar
kata-kata Ateng tadi telah menggoyahkan konsentrasi Kapten Gandhi. Maka Kevin
segera berteriak “TETAPLAH KONSENTRASI KAPTEN! KAMI PERCAYA PADAMU!!!!”
Tiba-tiba mereka seperti terguncang
keras, dan terlempar, lalu terjatuh di lantai batu yang dingin. Pemandangan di
sekitar mereka sudah berubah. Mereka jatuh dengan keras sekali, sehingga mereka
langsung kesakitan.
“Aduhhh... di mana ini?” tanya
Ateng.
“Diamlah... ini semua berkat
kau... dasar bodoh...” kata Kevin kesal.
Namun tiba-tiba terdengar suara
dari belakang mereka “Kapten Gandhi, Ateng, Kevin... Apa yang kalian lakukan di
sini?”
Mereka mengenali suara siapa
itu. Itu adalah suara Ratu Mellisa! Mereka segera menoleh, dan tampak seorang
gadis cantik dengan rambut berwarna hitam dan bermata hitam yang indah. Gadis
itu kedua tangan dan kakinya terikat, dan tergeletak di lantai.
Kapten Gandhi merasa senang
sekali “Untunglah aku terus mengingat matamu yang indah... Jadi aku berhasil
sampai di sini!”
Mereka segera berlari menuju
Ratu Melisa dan bermaksud untuk melepaskan ikatannya, tetapi tiba-tiba
terdengar suara pintu terbuka. Ratu Melissa segera berkata “Cepat bersembunyi!
Jangan sampai kalian ketahuan!”
Mereka bertiga segera
bersembunyi di 3 tempat yang berbeda. Tanpa pikir panjang Ateng segera
bersembunyi di belakang drum air di dekat Ratu Melissa, sedangkan Kevin dan
Kapten Gandhi bersembunyi di balik gerobak jerami di ujung ruangan. Mereka
terus menunggu siapa yang datang.
Akhirnya orang itu muncul juga.
Ia segera berdiri menghadap Ratu Mellisa. Ratu Melissa kaget melihat orang ini,
lalu ia berkata “Jendral Ryanto... sungguh tak kusangka... mengapa kau
melakukan hal ini?” Jendral Ryanto hanya berdiri dan tampak kebingungan dan
terus menatap Ratu Melissa. Ia mulai mendekati Ratu Mellisa, dan tangannya
hendak menyentuh Ratu Mellisa, tetapi Ratu Mellisa terus menggeliat dan berkata
“Jangan sentuh aku... seharusnya kau tidak boleh melakukan ini!”
Melihat ini, Kevin segera beraksi.
Ia segera melesatkan anak panahnya yang tajam, namun Jendral Ryanto
menyadarinya dan berhasil menghindarinya. Namun Ateng segera melompat dan
menubruk Jendral Ryanto dari belakang sehingga Jendral Ryanto terjatuh. Ateng
terus memegangi tangannya sehingga Jendral Ryanto tak bisa bergerak, kemudian
menggertak “Jangan macam-macam atau akan kubunuh kau!” Selanjutnya Kapten
Gandhi dan Kevin muncul dan segera melepaskan ikatan Ratus Mellisa dan ikut
memegangi tangan Jenral Ryanto.
Tetapi kemudian Jendral Ryanto
berkata “Kalian salah paham... Aku sama sekali tidak bermaksud melukai Ratu
Mellisa... dan aku juga tidak menculiknya... justru aku ke sini untuk
menyelamatkannya!”
“Hah?” kata ketiga prajurit itu
serempak.
***
Chapter 26 : The
Rescue
Kemudian ketiga prajurit itu
melepaskan tangan Jendral Ryanto dan Jendral Rytanto mulai menceritakan
segalanya “Sebenarnya sudah lama aku menduga ada pihak ketiga dalam peperangan
ini... Dan aku juga mencium gelagat buruk di kalangan istana, khususnya Letnan
Husein... Dan ternyata kecurigaanku terbukti keika tadi malam aku melihatnya
menculik Ratu Mellisa bersama beberapa anak buahnya. Mungkin Ratu Mellisa tidak
melihat wajahnya karena ia menyerangmu dari belakang... Aku sadar tidak akan
bisa menyelamatkanmu di sana karena aku kalah jumlah, dan sejak awal aku sudah
dicurigai banyak pihak, sehingga sulit bagiku untuk membuat mereka percaya
bahwa kau diculik Letnan husein...”
“Hmmm... ceritamu masuk akal...”
kata Ateng.
“Maka dari itu, aku bermaksud
mengikuti mereka sampai ke tempat ini! Dan ketika aku mau menyelamatkan ratu,
tiba-tiba kalian menyerangku...” kata ryanto melanjutkan.
“Hahahaha... itu memang
salahmu... kau sih tidak mengatakan apa-apa ketika mendekati ratu, jadi kami
kira kau adalah penjahat... hahaha...” kata Kevin tertawa karena merasa
bersalah dan tidak enak karena sudah melesatkan anak panahnya ke arah Ryanto
dengan niat untuk membunuhnya. Kevin merasa bersyukur karena anak panahnya
tidak kena.
“Jadi, kurasa sebaiknya kita
segera keluar dari sini sambil memikirkan cara untuk menghentikan perang!” kata
Kapten Gandhi.
***
Di tempat lain, ketika hari
mulai pagi, Gondlaf menemukan cara untuk menunda peperangan. Ia segera menemui
High Leader Zanuqoyaqo yang sudah hampir mengirim seluruh prajuritnya ke medan
peperangan.
“Maaf, tuan, tapi aku ada
sedikit usul!” kata Gondlaf. High Leader Zanuqoyaqo merasa terganggu, tetapi
tetap mendengarkan. “Begini, biar bagaimanapun kedua Ciruas adalah saudara...
Karena itu sesama saudara sebaiknya kalian berhadapan satu lawan satu secara
adil... dengan begitu...”
“Maksudmu kau memintaku menunggu
prajurit Hamavapaqu sampai mereka siap?” kata Heigh Leader Zanuqoyaqo memotong
kata-kata Gondlaf.
“Yah, kurang lebih begitu...”
kata Gondlaf. High Leader Zanuqoyaqo nampak keberatan atas usul Gondlaf. Namun
tiba-tiba Viktul angkat bicara.
“Bukankah memenangkan
pertempuran yang dilakukan secara adil dengan saling berhadapan adalah sikap
seorang pria sejati?” kata Viktul mendadak. Hiah Leader Zanuqoyaqo tercengang
mendengar hal ini. Gondlaf merasa taktik seperti ini tidak akan berhasil kepada
seorang pemimpin setingkat High Leader Zanuqoyaqo, dan ia juga khawatir sang
pemimpin tersebut akan merasa terhina karena dinasehati seorang anak muda.
Namun di luar dugaan, High Leader Zanuqoyaqo menanggapi kata-kata Viktul.
“Yah... kurasa kau benar...
itulah yang seharusnya dilakukan pria sejati...” kata High Leader Zanuqoyago,
kemudian ia berkata kepada jendralnya dan kedua kapten yang mendengarkan
pembicaraan mereka “Jendral Ricco, tahan dulu para prajurit itu... Kita tunggu
prajurit Hamavapaqu Town muncul! Akan kita kalahkan mereka secara jantan! Lalu
Kapten Lokollo, Kapten Greg Denmark, kalian juga beritahu kapten yang lain
untuk menahan pasukannya!”
“Lalu apa kami harus menahan
pasukan kami juga?” Kapten Lokollo menanyakan pertanyaan bodoh sehingga High
Leader Zanuqoyaqo tampak kesal, dan memelototi Kapten Lokollo, sehingga Kapten
Lokollo sadar dengan yang telah ia perbuat. Kapten Lokollo segera pergi bersama
Kapten Greg Denmark setelah mengatakan “Siap Tuan!”
Gondlaf merasa lega dengan semua
ini. Tetapi ia terus mengkhawatirkan rombongan Kapten Gandhi, ia takut jika
mereka gagal.
***
Di tempat lain, Kapten Gandhi
dan prajuritnya serta Jendral Ryanto sedang berusaha menyelamatkan Ratu Melissa.
Mereka menyusuri lorong-lorong gelap bawah tanah tempat persembunyian
gerombolan Letnan Husein. Mereka terus memikirkan sebuah jalan keluar, tetapi
pada akhirnya mereka hanya menemukan satu jalan keluar.
“Dengan semua kesalahpahaman
ini, kedua pemimpin Ciruas akan bertemu di medan perang... dan kurasa mereka
akan saling menyalahkan... Nah, itulah kesempatan terbaik kita untuk
menyelesaikan ini!” kata Ratu Melissa sambil berlari-lari. Ialah yang
mencetuskan ide ini.
“Apa maksudmu? Bukankah itu buruk?”
tanya Ateng. Ia terus berlari sambil berbicara.
“Tidak, justru jika aku muncul
di saat itu, maka secara otomatis seluruh kesalahpahaman akan terselesaikan!”
kata Ratu Melissa, namun Ratu Melissa terjatuh karena kakinya tersandung batu.
Jendral Ryanto segera menghampirinya dan berusaha menolongnya.
“Apa kau masih bisa berjalan
Ratu Mellisa? Kita harus segera membenarkan seluruh kesalahpahaman ini...” kata
Kevin.
“Jangan terburu-buru!” tiba-tiba
terdengar suara keras dari depan mereka. Muncullah sekitar 6 orang prajurit di
hadapan mereka.
“Letnan Husein... ternyata
benar, kaulah penyebab semua ini...” kata Jendral Ryanto.
Jendral Ryanto bermaksud untuk
melarikan diri dan menoleh ke belakang, tetapi ternyata ada 6 orang prajurit
lagi di belakang mereka. Mereka sudah terkepung.
“Celaka... bagaimana ini... kita
terkepung di lorong yang sempit ini...” kata Ateng.
“Tenanglah... justru lorong
sempit ini menguntungkan... ada berapapun jumlah mereka, mereka tetap harus
menghadapi kita satu persatu karena lorong sempit ini!” kata Kapten Gandhi
menyemangati. Yang lainnya hanya terdiam dan terus mengawasi para prajurit itu
yang terus mendekati mereka. Lorong ini memang begitu sempit hanya bisa dilalui
oleh 2 orang dewasa yang berjalan berdampingan.
“Tunggu dulu, Letnan Husein...
sebelumnya aku ingin memastikan satu hal... Apa kau yang menyebabkan
ledakan-ledakan hebat di perladangan Yakavali Town beberapa saat yang lalu?”
tanya Jendral Ryanto.
“Ya, benar sekali!” kata Letnan
Husein. Semuanya sudah menduga bahwa ialah pelakunya.
“Lalu, aku ingin menanyakan satu
hal lagi...” kata Jendral Ryanto sambil tetapi mengawasi para prajurit itu agar
tidak mendekati Ratu Mellisa.
“Sebenarnya aku tidak suka
dengan orang-orang yang banyak bicara, tetapi berhubung kau akan mati sebentar
lagi, maka aku akan dengan senang hati menjawab pertanyaanmu...” kata Letnan
Husein.
“Baiklah kalau begitu... jadi,
apa kau merencanakan semua ini sendirian? Dan seandainya kedua Ciruas hancur,
bagaimana kau akan mengambil alih kedua negeri?” tanya Letnan Husein.
“Tentu saja aku tidak
merencanakan ini sendiri... Ayahkulah yang memulai rencana ini, ia adalah paman
dari pemimpinmu yang sekarang, ia adalah Hamavapaqu!” kata Letnan Husein.
“A...apa.. jadi kau anaknya...
bagaimana mungkin...kukira kau adalah anak berbakat yang ditemukan High Leader
Vabalife di pinggir hutan...” kata Jendral Ryanto.
“Yah, sebenarnya aku adalah anak
hasil dari hubungan gelap Hamavapaqu dengan seorang gadis yang tinggal di
hutan. Tetapi ia begitu menyayangiku hingga ia lebih mementingkan urusanku
daripada kerajaan. Mungkin itu disebabkan karena ia tidak bisa punya anak dari
2 orang istri pertamanya...” kata Letnan Husein panjang lebar.
“Dan, menururt dugaanku,
Hamavapaqu berusaha untuk menguasai seluruh Cirus untuk diberikan padamu?”
tanya Jendral Ryanto.
“Ya, tepat sekali... karena
itulah, ia membunuh kakaknya sendiri! Tetapi sayang, posisinya lengser dengan
mudah setahun kemudian dan akhirnya ia meninggal setelah diasingkan di hutan
selama kurang lebih 5 tahun!” kata Letnan Husein “Dan aku baru mengetahui semua
rencananya 1 tahun setelah ia meninggal, sekitar 5 tahun yang lalu. Ketika itu
salah seorang pengikut setia ayahku yang mengatakan padaku...”
“Bu... bukankah High Leader
Vabalife yang menemukanmu di hutan?” tanya Jendral Ryanto.
“Yah, tetapi dengan bantuan
pengikut setia itulah High Leader Vabalife menemukanku. Pengikut setia itu
bernama Lovrin. Lovrinlah yang membantuku mencapai pangkat Letnan dalam kurun
waktu 5 tahun... dan posisiku yang tinggi ini memudahkanku untuk melakukan
segalanya!” kata Letnan Husein.
“Tetapi... Siapakah prajuritmu
ini?” tanya Jendral Ryanto.
“Mereka adalah orang-orang yang
sudah direkrut ayahku secara pelan-pelan sejak ayahku muda. Awalnya ayahku
merekrut teman-temannya, lalu kemudian semakin banyak. Tetapi perekrutan ini
dilakukan secara diam-diam sehingga tidak ada seorangpun yang mengetahuinya...
Dan kini, setelah kedua Ciruas kehilangan para prajuritnya dalam peperangan,
para prajuritku inilah yang akan muncul berikutnya!” kata Letnan Husein,
kemudian ia tertawa keras sekali “HAHAHAHAHHAHAHAHAHA!!!!!!”
“Rasanya aku pernah melihat
orang seperti ini sebelumnya...” bisik Ateng kepada Kevin.
“Yah, ia adalah Jendral
Yusingus... di setiap negeri memang selalu ada pemberontak...” kata Kevin
menanggapi.
“Lalu sekarang apa yang harus
kita lakukan?” tanya Ratu Melissa.
“Kalahkan mereka!” kata Kapten
Gandhi “Kevin, kau adalah petarung jarak jauh dan di sini bukanlah
keahlianmu... jadi kau lindungilah Ratu Melissa!”
“Baik!” kata Kevin.
“Ateng dan aku akan membuka
jalan di depan, sementara Jendral Ryanto, mampukah kau menahan para prajurit
yang berada di belakang kita hingga aku dan Ateng bisa mengalahkan Letnan
Husein dan 5 orang prajuritnya itu?” tanya Kapten Gandhi.
“Tidak masalah!” kata Jendral
Ryanto.
“Baiklah kalau begitu... AYO
MAJUUU!!!” teriak Kapten Gandhi dan ia bersama Ateng segera menyerbu Letnan
Husein, sementara Jendral Ryanto menahan para prajurit yang datang dari
belakang. Pertarungan serupun tak terhindarkan lagi. Keempat orang prajurit itu
harus bertarung mati-matian untuk melindungi sang ratu. Para prajurit Letnan
Husein memang tidak begitu hebat, kemampuan meeka masih di bawah kemampuan
keempat prajurit tersebut. Tetapi Letnan Husein adalah seorang ahli pedang yang
hebat. Sangat sulit untuk mengalahkannya, walaupun Kapten Gandhi dan Ateng
menyatukan kekuatan.
Dalam hitungan menit, seluruh
pengawal Letnan Husein sudah berhasil di kalahkan. Letnan Husein tampak gemetar
begitu mengetahui seluruh prajuritnya sudah dikalahkan. Kapten Gandhi dan Ateng
segera memojokkannya. Tiba-tiba Letnan Husein menyerang dengan cepat ke arah
Kapten Gandhi, tetapi Ateng segera menahannya dengan menancapkan pedangnya ke
perut Letnan Husein. Letnan Husein terdiam sesaat. Sepertinya ia tidak bisa
menerima kekalahannya. Kemudian Ateng mencabut pedangnya. Letnan Husein terus
memandangi Ateng, kemudian berkata dengan lemah.
“Percuma saja... sebentar lagi
perang akan terjadi... Perang ini sudah tak terhindarkan...” kemudian Letnan
Husein terjatuh dan pingsan. Ratu Mellisa nampak ketakutan melihat tubuh-tubuh
yang sekarat dan bergelimpangan tersebut, tetapi Jendral Ryanto segera menarik
lengannya dan mengajaknya keluar dari sana.
Mereka terus berlari mencari
jalan keluar. Selama di perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa prajurit
yang kebetulan sedang melintas dan segera menghabisi mereka. Ateng terus
menghitung mereka, dan ia mencatat sudah ada 50 orang prajurit yang mereka
hadapi. Namun Kevin tidak mempercayainya.
Namun tidka lama kemudian alarm
tanda bahaya berburnyi. Kelihatannya pertarungan-pertarungan yang terjadi
secara singkat ini telah diketahui oleh para prajurit yang lain. Mereka segera
menyalakan alarm tanda bahaya. Ateng dan Ratu Mellisa menjadi gusar.
“Tidak perlu khawatir... aku
tahu tempat ini... sebentar lagi kita akan keluar...” kata Jendral Ryanto.
Mereka terus berlari mengikuti Jendral Ryanto. Akhirnya mereka tiba di tikungan
trakhir di sebuah lorong, kemudian Jendral Ryanto berkata “Itu dia jalan
keluarnya!”
Kemudia mereka berbelok dan
seberkas cahaya nampak dari kejauhan. Mereka segera berlari ke arah cahaya itu.
Akhirnya mereka berhasil keluar dari lorong-lorong gelap itu. Ternyata mereka
baru saja keluar dari sebuah goa di tengah-tengah tanah pertanian. Hamparan padi
tampak menguning. Matahari terlihat sudah bersinar. Tanpa terasa hari sudah
pagi. Namun pemandangan di sana tidak mengenakkan. Sekitar 200 orang prajurit
mengepung mereka. Mereka mengenakan baju perang berwarna putih, seperti yang
dikenakan Letnan Husein. Sepertinya ini adalah baju perang resmi mereka.
“Celaka... mereka sudah
mengetahui kalau kita sudah melarikan diri...” kata Kevin. Rasa takut mulai
menghantui mereka. 4 orang prajurit rasanya sudah tidak memiliki kesempatan
untuk mengalahkan 200 orang prajurit.
“Tenanglah... jangan takut...
kau pikir seorang jendral besar sepertiku tidak punya satu orang prajuritpun?”
kata Jendral Ryanto tiba-tiba sambil tersenyum. Semuanya melihat ke arahnya dan
tidak mengerti dengan apa yang ia maksud. Namun ia tetap tersenyum, lalu
mengangkat pedangnya dan berteriak “SEMUANYA, SERANG!!!!”
Tiba-tiba ratusan orang prajurit
bermunculan dari celah-celah padi yang menguning. Mereka mengenakan baju perang
Hamavapaqu Town. Akhirnya Kapten Gandhi mengerti bahwa mereka adalah prajurit
milik Jendral Ryanto. Seluruh prajurit itu segera menyerang para prajurit milik
Letnan Husein. Peperangan besar segera terjadi di tanah pertanian tersebut.
“Ratu... aku mohon, jangan
menyaksikan peristiwa berdarah ini... sebaiknya kua segera menemui High Leader
Vabalife di medan perang!” kata Jendral Ryanto “Aku akan mengurus yang di
sini... Kapten Gandhi, Kevin, Ateng, tolong bawa ratu dengan selamat sampai ke
tempat High Leader Vabalife berada...”
“Tidak masalah!” kata Kapten
Gandhi, kemudian segera menarik lengan Ratu Mellisa dan pergi dari sana. Kini
hanya Jendral Ryanto yang berada di sana dengan ratusan prajurit yang sedang
bertempur. Namun tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara. Jendral Ryanto
segera menoleh ke arah goa itu dan melihat Letnan Husein yang sedang berjalan
ke luar bersama belasan orang prajurit. Ternyata ia tidak terbunuh oleh tusukan
pedang Ateng.
“Percuma saja... apa lagi yang
kau perjuangkan? Lovrin sudah ada di medan perang sekarang, dan aku pastikan ia
akan memastikan perang tetap berjalan!” kata Letnan Husein, kemudian ia
menunjuk ke arah burung-burung gagak yang mulai berdatangan dan berbicara
dengan tersenyum “Lihatlah burung-burung itu... Itu adalah pertanda bahwa
perang besar sudah tidak terhindarkan lagi!”
Jendral Ryanto melihat ke
angkasa dan melihat burung-burung gagak yang beterbangan di angkasa. Burung
gagak memang biasanya menjadi pertanda bahwa hal yang buruk akan segera
terjadi. Jendral Ryanto hanya bisa berharap agar Kapten Gandhi, Kevin, dan
Ateng berhasil menyelesaikan misinya. Kemudian ia menatap Letnan husein dan
para pengawalnya kemudian mengangkat pedangnya.
“Matilah kalian semua!” kata
Jendral Ryanto, lalu berlari ke arah Letnan Husein dan para pengawalnya seorang
diri. Jendral Ryanto segera menyerang dengan ganas sehingga para pengawal
Letnan Husein kewalahan. Letnan Husein sendiri berusaha menyingkir dari medan
pertempuran karena ia sedang terluka.
Sementara itu para prajurit
Jendral Ryanto masih bertarung sengit dengan para prajurit Letnan Husein.
***
Chapter 27 : On The
Battle Field
Matahari sudah semakin tinggi.
Akhirnya para prajurit dari kedua belah pihak sudah berdiri saling
berhadap-hadapan. Mereka berdiri di tanah-tanah pertanian yang bekas terbakar.
Hanya ada sebagian kecil padi yang masih berdiri tegak. Dari sebuah puncak
bukit yang tidak begitu jauh, Gondlaf, Alvin dan Viktul sedang mengamati
mereka.
“Tidak adakah yang bisa kita
perbuat sekarang?” tanya Alvin.
“Kurasa tak ada...” jawab
Gondlaf.
“10.000 prajurit Yakavali Town
dan 10.000 prajurit Hamavapaqu Town saling berhadapan sekarang... sebelumnya
aku sudah melihat banyak perang, tetapi baru sekarang aku melihat peperangan
antar manusia...” kata Viktul merasa sedih.
“Memang benar, hal yang paling
menakutkan adalah ketika para manusia saling membunuh satu sama lain...” kata
Gondlaf “sekarang sebaiknya kita berdoa agar terjadi suatu mukjizat...”
Kemudian Alvin dan Viktul
menutup mata mereka dan mulai berdoa. Angin yang kering mulai berhembus.
Burung-burung gagak mulai beterbangan di atas mereka. Suasana ini semakin
menguatkan jiwa peperangan para prajurit yang berada di medan perang.
Di kubu Yakavali, High Leader
Zanuqoyaqo sedang membicarakan strategi perang dengan Jendral Ricco sambil
duduk di atas kuda. Biarpun kedua orang ini naik di atas kuda dan para prajurit
yang lainnya berdiri, tetapi kedua orang ini tetap sanggup menghimpun semangat
para prajurit karena kedua orang ini berdiri di garis depan.
Sama halnya dengan High Leader
Vabalife yang berkuda di garis depan bersama Letnan Lovrin. Letnan Lovrin
adalah orang ketiga yang dipercaya High Leader Vabalife dalam bidang militer
setelah Jendral Ryanto dan Letnan Husein. Sayangnya, kedua letnan kepercayaan
tersebut adalah 2 orang pengkhianat yang sedang bersiap untuk mengambil alih kekuasaan
kedua Ciruas.
Setelah berbicara cukup lama
dengan Jendral Ricco, Jendral Ricco menyarankan kepada High Leader Zanuqoyaqo
untuk berbicara terlebih dahulu kepada High Leader Vabalife sebelum berperang.
High Leader Zanuqoyaqo awalnya tidak menyetujui usul ini tetapi mengingat
Jendral Ricco adalah jendral kepercayaannya, akhirnya ia menyetujui hal ini.
Sesaat kemudian sebuah bendera
isyarat dikibarkan dari arah tentara Yakavali Town pertanda pihak Yakavali
menginginkan perundingan kedua pemimpin sebelum berperang. High Leader
Hamavapaqu segera saja menerima tawaran ini. Letnan Lovrin sadar bahwa
pembicaraan ini bisa berbahaya. Mungkin saja semua kesalahpahaman
terselesaikan. Akhirnya ia memutuskan untuk mengawal rajanya ke perundingan
itu.
Akhirnya, kedua pemimpin berkuda
ke tengah medan perang ditemani satu orang kepercayaan masing-masing. Bersama
Jendral Ricco, akhirnya High Leader Zanuqoyaqo tiba di tengah medan perang.
Kemudian High Leader Vabalife sampai bersama Letnan Lovrin di sampingnya. Keduanya
salign berhadap-hadapan.
“Apa kau yakin ingin memulai
peperangan ini? Kita akan saling membunuh, kawan...” kata High Lader
Zanuqoyaqo.
“Kawan? Kawan macam apa yang
menculik istri temannya???” balas High Leader Vabalife. High Leader Zanuqoyaqo
dan Jendral Ricco kaget mendengar hal ini.
“Apa maksudmu? Kami sama sekali
tidak pernah menyentuh istrimu... Kami memang menginginkan perang, tetapi
perang secara adil... kami tidak akan melakukan hal sekotor itu!” kata Jendral
Ricco.
“Ya, buktinya saja kami mau
menunggu kalian mempersiapkan para prajurit... Jika kami mau dan menyerang
kalian tadi malam, mungkin siang ini Hamavapaqu Town sudah jatuh ke tangan
kami!” tambah High Leader Zanuqoyaqo.
High Leader Vabalife menyadari
bahwa perkataan kedua orang itu ada benarnya juga. Ia sempat berpikir sejenak.
Letnan Lovrin menyadari bahwa hal ini akan berakibat buruk pada rencananya. Ia
segera turut bicara.
“Tuan, pikirkanlah baik-baik...
Apa seorang pencuri akan mengakui perbuatannya?” kata Jendral Lovrin tiba-tiba.
Namun pada saat itulah High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco menyadari ada
yang tidak beres.
“Atas nama para pendahuluku...
aku bersumpah aku tidak pernah melakukan hal seperti itu...” kata High Leader
Zanuqoyaqo. Tetapi nampaknya api kemarahan sudah menyelimuti High Leader
Vabalife. Ia menelan perkataan Letnan Lovrin begitu saja.
“Jika kalian memang tidak
menculik istriku, lalu di mana ia sekarang?” tanya High Leader Vabalife. High
Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco kebingungan untuk menjawabnya. Pertanyaan
ini sungguh aneh mengingat kedua orang itu belum bertemu dengan Ratu Mellisa
untuk waktu yang lama, tetapi kebingungan kedua orang itu dianggap sebagai
kebingungan para penculik oleh High Leader Vabalife.
“Penculik tetaplah penculik...
kecuali aku menemukan istriku, perang akan tetap berlangsung!” kata High Leader
Vabalife pelan kemudian berbalik dan menuju ke arah tentaranya. Letnan Lovrin
hendak mengikuti, tetapi ia tersenyum licik terlebih dahulu ke arah High Leader
Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco, kemudian pergi.
Kemudian High Leader Zanuqoyaqo
juga berbalik dan kembali. Di tengah jalan ia berkata kepada Jendral Ricco “Ada
yang tak beres... Letnan itu... aku merasakan hawa kelicikan darinya...”
“Ya... lidah ular... sekarang
kurasa kita harus benar-benar bertempur...” kata Jendral Ricco.
Kemudian kedua pemimpin sudah
kembali ke barisan masing-masing. Letnan Lovrin merasa puas dengan hasil
kerjanya. Tetapi High Leader Vabalife mulai terpikir akan kata-kata High Leader
Zanuqoyaqo.
“Apa menurutmu mereka tidak
menculik Ratu Mellisa?” tanya High Leader Vabalife kepada Letnan Lovrin. Letnan
Lovrin tampak terkejut.
“Percayalah tuan... aku yakin
itu hanya tipu-tipuan mereka... Pasti mereka yang menculik ratu!” kata Letnan
Lovrin meyakinkan.
“Tetapi jika mereka ingin
mengalahkanku dengan menculik ratu, mengapa ia tidak menggunakannya untuk
mengancamku sehingga aku menyerah?” tanya High Leader Vabalife lagi. Letnan
Lovrin kebingungan menjawab pertanyaan ini. Ia sempat berpikir sejenak,
kemudian menemukan satu jawaban.
“Karena mereka ingin membuat kau
berpikir mereka tidak menculiknya, sehingga kau merasa bersalah dan tidak tega
menyerang mereka... Maka mereka akan dapat memenangkan pertarungan ini!” kata
Letnan Lovrin. High Leader Vabalife berpikir sejenak, akhirnya ia setuju dengan
Letnan Lovrin.
“Ya, kau benar! Perang memang
harus terjadi dan aku harus menang sebagai pemenang!” kata High Leader Vabalife
bersemangat. Letnan Lovrin nampak senang sekali.
Namun kesenangan Letnan Lovrin
terhenti ketika mendengar keributan para prajurit yang baru saja muncul. Entah
mengapa para prajurit tersebut berkata ‘Itu Ratu Mellisa!’. Para prajurit terus
mengatakan hal itu. High Leader Vabalife menjadi penasaran dan segera
mencari-cari ke sekelilingnya. Akhirnya pandangan terhenti kepada 4 orang yang
sedang berlari dari kejauhan. Mereka adalah 3 orang prajurit dan... Ratu
Mellisa!
High Leader Vabalife amat senang
melihat hal ini. Sebagian prajurit juga lga karena berpikir perang akan
dibatalkan. Tetapi tidak dengan Jendral Lovrin. Ia menjadi begitu marah. Tetapi
ia tetap tenang. Sepertinya ia mempunyai rencana berikutnya. Sekilas senyum
nampak si bibirnya.
Semua prajurit sudah merasa
lega, begitu juga dengan High Leader Zanuqoyaqo dan Jendral Ricco. Mereka
senang ternyata Ratu Mellisa tidak apa-apa dan tuduhan bahwa mereka menculik
Ratu Mellisa tidak terbukti.
High Leader Vabalife senang
sekali dan bermaksud menghampiri Ratu Mellisa yang masih berlarian ke arahnya.
Namun tiba-tiba hal buruk terjadi. Sebuah anak panah tak dikenal melesat dengan
cepat dari arah para prajurit Yakavali. Panah itu melesat begitu cepat dan
menancap tepat di dada Ratu Mellisa. Kapten Gandhi, Ateng, maupun Kevin
terlambat menyadari hal itu sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa. High Leader
Vabalife melotot memandangi peristiwa mengenaskan ini. Ia menjadi begitu geram.
Kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Para prajurit menjadi ketakutan melihat
pemimpinnya seperti ini. Lalu pria gagah inipun segera berteriak dengan lantang
“BUNUH MEREKA! JANGAN SEKALIPUN KALIAN BERI MEREKA AMPUN! JANGAN ADA SATUPUN
YANG LOLOS! SERBUUUU!!!!!!”
Teriakannya diikuti suara
sangkakala dan teriakan para prajurit. Prajurit-prajurit ini mulai mengangkat
senajta mereka dan segera berlari menyerbu para prajurit Yakavali. 10.000 orang
sudah berlari dan serasa membuat bumi bergoyang.
High Leader Zanuqoyaqo masih
tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia menjadi marah sekali karena ada
prajuritnya yang berani melakukan hal memalukan seperti ini. Ia bemaksud
menangkap pelakunya dan menghentikan perang, namun sudah terlamabat. Para
prajurit Hamavapaqu sudah berada di depan mereka dan mereka sudah tidak bisa
lari lagi. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan berperang.
Akhirnya High Leader Zanuqoyaqo berteriak dengan ragu “SERANGGGG!!!!”
“Celaka...” kata Gondlaf “kita
harus segera ke sana dan menyelamatkan ratu!” Gondlaf segera memacu kudanya ke
arah Ratu Mellisa terjatuh. Ateng dan Viktul mengikuti.
Pertarungan
besarpun terjadi. Para prajurit yang berada di garus depan saling bertabrakan
dan mendorong. Mereka saling menusuk dengan tombak mereka masing-masing. Dengan
kudanya, High Leader Zanuqoyaqo segera menyerang orang-orang yang berusaha
untuk membunuhnya. Tetapi di tengah perang dan kekacauan ini, ia sibuk mencari
High Leader Vabalife.
Seperti
yang ia duga, High Leader Vabalife sedang meuju ke arah Ratu Mellisa dan
mencoba menolongnya. High Leader Zanuqoyaqo bemaksud memacu kudanya ke sana,
namun tiba-tiba Letnan Lovrin muncul di hadapannya dan berusaha menghalanginya.
“Mau
ke mana kau, hah???” kata Letnan Lovrin. High Leader Zanuqoyaqo segera
mempersiapkan pedangnya hendak menyerang, namun tiba-tiba Jendral Ricco datang.
“Biar
aku yang menghadapinya, kau pergilah mencari sahabatmu itu!” kata Jendral Ricco,
lalu ia segera menyerang Letnan Lovrin. Terjadi pertarungan pedang yang seru di
atas kuda. Keduanya memiliki kemampuan yang seimbang. High Leader Zanuqoyaqo
segera memacu kudanya. Ia terus berusaha mencari Ratu Mellisa. Ia terus mencari
namun tanpa hasil. Terlalu banyak prajurit di sana sehingga ia amat kesulitan.
Ini seperti mencari 1 buah jarum di tumpukan 20.000 jerami.
Namun
usahanya tudak sia-sia. Ia menemukan High Leader Vabalife sedang menunduk dan
di depannya ada sesosok tubuh yang tergeletak lemas. High Leader Zanuqoyaqo
segera mendatanginya dan turun dari kudanya. Ia segera berlutut dan melihat
keadaan Ratu Mellisa, kemudian terdiam. Ratu Mellisa nampak amat menderita dan
kesakitan.
“Mengapa
kau lakukan ini...” kata High Leader Vabalife pelan.
“Aku
tidak pernah melakukan hal ini... Tidak akan pernah!” kata High Leader
Zanuqoyaqo meyakinkan.
“OMONG
KOSONG!” teriak High Leader vabalife dan mendadak awan kelam mulai menutupi
matahari. Medan perang itu menjadi gelap dan nampak suram. High Leader Vabalife
segera berdiri dan menghadap ke arah High Leader Zanuqoyaqo. Kemdian ia
mengangkat pedangnya. High Leader Zanuqoyaqo menyadari pertarungan akan
benar-benar terjadi. Ia segera bersiap. Kemudian High Leader Vabalife berkata
“tak pernah kusangka... orang yang selama ini kuanggap teman... sampai
melakukan hal ini...”
“HIAAAAHHHH!!!!”
High Leader Vabalife berteriak dan segera menerjang High Leader Zanuqoyaqo.
Bersamaan dengan itu, hujan deras tiba-tiba turun. Pertarungan sengitpun
terjadi di antara kedua pemimpin tersebut. Mereka terus beradu pedang sementara
para prajuritnya saling membunuh.
Di
lain tempat Jendral Ricco masih bertarung sengit melawan Letnan Lovrin. Semua
sabetan pedang Letnan Lovrin dapat dipatahkan, tetapi Jendral Ricco juga tak
mendapat kesempatan untuk melakukan serangan. Letnan Lovrin semakin terdesak,
namun tiba-tiba seekor kuda yang terluka parah akibat serangan pedang meringkik
dan datang berlarian ke arah 2 orang itu. Kuda yang kesakitan itu segera
menghantam Jendral Ricco yang hampir memenangkan pertempuran. Jendral Ricco
terpental beberapa meter dan jatuh terguling-guling. Kuda itu terus menghantam
setiap prajurit yang ada di depannya, namun salah seorang prajurit berhasil
menyabet kakinya hingga putus dan kuda itupun terjatuh. Lalu prajurit lainnya
segera menghabisi kuda itu.
Jendral
Ricco merasa kesulitan untuk bangun. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Letnan
Lovrin segera berjalan ke arahnya, lalu berbicara sedikit.
“Tamatlah
riwayatmu! Seluruh Ciruas... akan menjadi milikku!” kata Letnan Lovrin.
“Sudah
kuduga... kaulah dalang di balik semua ini...” kata Jendral Ricco. Ia mencoba
berdiri tetapi kesulitan. Sementara itu Letnan Lovrin mulai mengacungkan
pedangnya hendak menghabisi Jendral Ricco. Hujan turun semakin deras. Jendral
Ricco merasa kebingungan.
Kemudian
Letnan Lovrin tersenyum sekilas dan segera mengayunkan pedangnya. Namun
tiba-tiba petir menghantam. Petir itu tepat mengenai Letnan Lovrin. Jendral
Ricco dan para prajurit yang berada di sekelilingnya terlempar cukup jauh. Suara
kencang baru terdengar menggelegar. Petir itu begitu kuat sehingga tubuh Letnan
Lovrin langsung lenyap begitu tersambar petir. Yang tersisa hanya selembar kain
bajunya saja yang sudah gosong. Jendral Ricco kaget dan kelelahan, sehingga ia
langsung pingsan setelah itu.
***
Hujan
turun makin deras. Awan hitam terus menggulung-gulung. Sementara itu kedua
pemimpin itu masih saling bertarung dan berusaha untuk membunuh satu sama lain.
Kedua pedang mereka terus beradu di bawah langit kelam. Kilatan-kilatan cahaya
selalu nampak setiap pedang mereka berdua saling berbenturan.
Di
tengah keributan perang ini, Gondlaf tengah kebingungan mencari Ratu Mellisa.
Gondlaf berharap agar dapat melakukan sesuatu. Ia terus berkuda di antara
ribuan prajurit yang tengah berperang.
Sementara
itu High Leader Vabalife terus mendesak High Leader Zanuqoyaqo. High Leader
Zanuqoyaqo semakin kepayahan dan gagal menahan salah satu serangan sehingga
lengan kanannya terluka dan ia menjatuhkan pedangnya. High Leader Vabalife
segera menendang perut High Leader Zanuqiyaqo sehingga High Leader Zanuqoyaqo
terjatuh. Kini sang pemenang sudah terlihat. High Leader Vabalife berdiri
dengan gagahnya dan bermaksud melakukan serangan akhir dan menebas tubuh High
Leader Zanuqoyaqo.
Keadaan
sudah semakin mendesak. Peperangan di bawah hujan ini berkembang menjadi makin
mengerikan. Kini rakyat Yakavali Town sudah hampir kehilangan pemimpin mereka
yang tercinta. High Leader Vabalife terus menatap High Leader Zanuqoyaqo yang
sudah terkapar. Kemudian ia memejamkan kedua matanya selama beberapa saat.
Nampaknya ia sedang mengenang berbagai hal yang telah terjadi. Kemudian ia
membuka matanya kembali yang dipenuhi dengan kemarahan. Ia segera menusuk
dengan pedangnya sambil berteriak “AAAAAAAAKKKHHHHHHH!!!!”
Pedang
sang pemimpin itupun langsung menembus bahu High Leader Zanuqoyaqo. High Leader
Zanuqoyaqo tidak berteriak, namun merasakan rasa sakit yang amat sangat. High
Leader Zanuqoyaqo menyadari ada yang tidak beres, lalu berusaha berbicara
dengan kesulitan “Mengapa? Mengapa kau tidak langsung membunuhku?”
“Ukh...
biar bagaimanapun... kau adalah...” kata High Leader Vabalife dengan penuh
keraguan “tetapi... itu semua adalah masa lalu... serangan yang barusan karena
aku masih mengingat persahabatan kita... “
“Yah...
persahabatan indah itu... tak kusangka harus berakhir di sini...” kata High
Leader Zanuqoyaqo tersenyum. Darahnya mengalir ketika tersiram air hujan.
“apakah ini takdir yang mempertemukan kita sebagai musuh...”
“Yah...
mungkin ini memang takdir... karena itulah... sebagai teman, maukah kau
menyerahkan nyawamu kepadaku?” tanya High Leader Vabalife.
High
Leader Zanuqoyaqo kaget sesaat, kemudian tersenyum “Yah, ambillah! Terus hidup
dalam pertempuranpun rasanya tidak ada bedanya dengan kematian... hahaha...”
“Baiklah...”
kata High Leader Vabalife. Kemudian ia segera mencabut pedangnya dari bahu High
Leader Zanuqiyaqo, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi hendak melakukan
tusukan terakhir. High Leader Zanuqoyaqo pun menutup kedua matanya. Nampaknya
ia sedang berusaha mengenang ingatan masa lalunya. Kemudian tusukan terakhir
itu dilancarkan disertai teriakan penuh keinginan membunuh dari High Leader
vabalife.
Namun
serangan terakhir itu tiba-tiba terhenti ketika seseorang berteriak ke arah
mereka “HENTIKAN SEMUA INI!!!” Kedua pemimpin itu segera mengenali suara siapa
ini. Suara yang indah yang berasal dari seorang wanita cantik. Suara ini adalah
suara Ratu Mellisa!.
Kedua
pemimpin itu segera melihat ke arah Ratu Mellisa. Sungguh keajaiban, ia masih
hidup. Para prajurit yang berada di sekeliling mereka juga menghentikan
pertempuran ketika melihat wanita ini. Mereka mulai berbisik-bisik dan saling
berbicara. Berita mengenai Ratu Mellisa inipun tersebar begitu cepat ke seluruh
medan perang. Ribuan prajurit yang tengah berperang itupun mulai menghentikan
pertempurannya satu demi satu.
“Ka...kau
masih hidup...” kata High Leader Vabalife sambil menatap Ratu Mellisa.
“Syukurlah...”
kata High Leader Zanuqoyaqo yang masih terkapar.
Namun
tiba-tiba Ratu Mellisa berkata dengan lantang “Apa-apaan kalian ini? Mengapa
saling bertarung seperti ini, padahal kita adalah saudara??? Suamiku, yang
menyerangku barusan barusan bukanlah prajurit Yakavali...”
High
Leader vabalife kaget dan menoleh ke arah High Leader Zanuqoyaqo yang sedang terkapar,
lalu menyadari bahwa ia memang bersalah. Ia segera menoleh ke arah Ratu Mellisa
lagi dan bertanya “Lalu siapa yang menyerangmu? Dan mengapa kau masih hidup?”
“Ini
semua perbuatan dua orang letnan kepercayaanmu, Husein dan Lovrin! Dan yang
menyerangku barusan adalah salah satu dari anak buah mereka yang berada di
antara pasukan Yakavali. Dan mereka jugalah yang terus merampas ladang-ladang
kita dengan mengatasnamakan penduduk Yakavali selama ini!” kata Ratu Mellisa
panjang lebar.
“Yah,
itulah kenyataannya! Untunglah aku datang tepat waktu sehingga masih dapat
mengobati luka istrimu!” kata Gondlaf.
High
Leader Vabalife terpaku mendengarkan kenyataan ini. Tiba-tiba ia merasakan rasa
bersalah yang amat sangat besar. Ratusan orang kehilangan nyawa karena
kecerobohannya ini. Ia sungguh tidak bisa menahan perasaannya lagi. Baginya,
memenggal kepalanya sendiri adalah jalan yang terbaik untuk memaafkan dirinya
sendiri.
“Sudah
kukatakan padamu sebelumnya! Aku tidak pernah menculiknya!” kata High Leader
Zanuqoyaqo mendadak sambil terkapar.
“Ma...maafkan
aku!” kata High Leader vabalife.
“Huh,
sudahlah... tidak apa... lagipula aku juga mau minta maaf karena sampai ikut
menyebabkan perang ini...” kata High Leader Zanuqoyaqo “Mulai sekarang, maukah
kita semua berdamai, bukan hanya untuk saat ini, tetapi untuk selamanya?”
High
Leader Vabalife tersenyum mendengar hal ini, kemudian berkata “Tentu saja!”
Seketika
itu juga terdengar suara yang bergemuruh. Ribuan prajurit mendadak bersuka hati
karena perdamaian ini. Biarpun selama ini mereka tampaknya saling membenci,
namun sekarang terlihat bahwa mereka sudah lama sekali menginginkan perdamaian.
Para prajurit itu kini saling berpelukan dan menangis, dan bernyanyi dengan
gembira. Perangpun berakhir.
***
Chapter 28 :
Beberapa hari setelah perang itu
berakhir, penduduk dari kedua negeri Ciruas mulai saling berhubungan dan
berdamai. Mereka merasa menyesal atas apa yang mereka perbuat selama ini. Dalam
1 tahun terakhir ketika perang semakin memanas, hampir 1.000 orang prajurit
yang berjatuhan menjadi korban peperangan, entah dari Yakavali maupun
Hamavapaqu. Kini, dengan semangat perdamaian yang baru, mereka bermaksud
membangun kembali negeri mereka bersama-sama. Namun rasa suka cita ini tak bisa
bertahana cukup lama, karena ancaman dari Sitio. Karena itulah, siang ini
pemimpin dari kedua Ciruas melakukan pertemuan dengan rombongan Gondlaf.
“Besok adalah hari yang sudah
dijanjikan Lord Mliit... Ia akan tiba di sini besok...” kata Gondlaf mengawali
pembicaraan “Kita harus mulai memikirkan keberangkatan selanjutnya!”
“Yah, keadaan di sini juga sudah
aman... kedamaian sudah tercapai... kami akan segera mengirimkan bantuan ke
Lopang Kingdom secepatnya!” kata High Lader Vabalife.
“Hmmm... terima kasih kalau
begitu! Sekarang para pengungsi dari Royale Palace sudah berhasil diselamatkan,
dan para prajurit dari Royale Palace juga sudah sampai di Lopang Kingdom.
Ditambah bantuan para dwarf dan kalian, kurasa kita sudah menghimpun sebuah
kekuatan yang cukup besar!” kata Kapten Gandhi.
“Tidak, itu hanya sedikit lebih
banyak dari setengahnya... kurasa seluruh kekuatan yang berada di pihak kita
sekarang baru 5/8 bagian dari seluruh kekuatan yang ada yang kita butuhkan
untuk melawan Sitio...” kata Gondlaf tiba-tiba. Semua menjadi kaget mendengar
hal ini.
“Maksudmu, prajurit kami ini
lemah?” tanya High Leader Zanuqoyaqo mendadak.
“Tidak, bukan itu maksudku...
tapi, di antara ras manusia, negeri yang memiliki laskar prajurit paling kuat
adalah Kebo Knightdom! Sedangkan para Elf juga memeganga pengaruh kekuatan yang
cukup besar karena kemampuan memanah mereka yang tak tertandingi!” kata Gondlaf
menjelaskan panjang lebar.
“Jadi sekarang bagaimana
rencananya?” tanya Alvin.
“Baiklah akan kujelaskan!” kata
Gondlaf “Aku akan pergi berdua bersama Lord Mliit ke selatan mencari para elf,
sedangkan Viktul, Alvin, Kapten Gandhi, Ateng, dan Kevin, kalian pergilah ke
Kebo Knightdom!”
“Hah??? Yang benar saja??? Kau
hanya pergi berdua?” tanya Viktul.
“Yah, begitulah para elf itu...
Saking tidak percayanya pada manusia, mereka biasanya hanya membiarkan beberapa
orang utusan saja yang memasuki wilayah mereka... Kalian tenang saja. Lord
Mliit mengatakan bahwa ia membawa sejumlah pasukan, jumlahnya sekitar 200
orang, untuk melindungi Viktul! Jadi kurasa kalian akan tetap aman tanpa
aku...” kata Gondlaf.
“Bukan itu yang aku
khawatirkan... bagaimana denganmu?” tanya Viktul lagi. Gondlaf tersenyum
mendengar pertanyaan ini. Ia hendak menjawab, namun seseorang mendahuluinya
dalam menjawab.
“Kalau begitu biarkan aku
menemani Gondlaf dan Lord Mliit!” kata High Leader Zanuqoyaqo. Semuanya kaget
mendengar hal ini. Kemudian ia melanjutkan perkataannya “Jujur saja, asal
kalian tahu, sebenarnya aku juga berdarah elf!”
Semua kaget mendengar hal ini.
Kemdian High Leader Zanuqoyaqo yang menyadari kekagetan mereka berbicara lagi
“Jujur saja, ayahku pernah punya wanita simpanan di hutan, dan wanita itu
adalah seorang elf! Hahaha... aku malu menceritakannya, tetapi sebenarnya aku
adalah seorang yang mereka sebut ‘anak haram’!”
“Huh, itu tidak masalah!
Menurutku kemuliaan hatimulah yang menentukan siapa engkau, dan aku kira kau
adalah seorang anak yang terlahir untuk membawa kedamaian bagi tanah Ciruas!”
kata High Leader vabalife “Dan lagi, jika memang begitu, lalu bagaimana dengan
seluruh prajurit Yakavali?”
“Aku percayakan mereka padamu!”
kata High Leader Zanuqoyaqo sambil tersenyum. High Leader Vabalife tersentuh
karena menerima kepercayaan ini.
“Hmmm... begitu ya...
asal-usulmu menarik juga... kurasa kau dapat membantu!” kata Gondlaf kepada
High Leader Zanuqoyaqo.
“Satu lagi...” kata pemimpin itu
“Karena kita akan melakukan perjalanan panjang bersama, tolong jangan panggil
aku dengan sebutan tuan dan sebagainya... Panggil saja aku Zanu! Kurasa itu
lebih mengakrabkan kita!”
“Baiklah tuan... Oh, maaf,
maksudku, Zanu!” kata Gondlaf dan mereka semua tertawa. “Kurasa Lord Mliit juga
akan lebih senang jika dipanggil dengan namanya saja...”
“Baiklah kalau begitu...
Sepertinya rencana sudah matang... Tapi aku ada satu pertanyaan... Di mana kita
akan bertemu lagi berikutnya?” tanya Alvin kepada Gondlaf.
“Lopang Kingdom!” kata Gondlaf
dengan nada penuh keyakinan. “Dan di sana jugalah pertarungan terakhir itu
mungkin akan terjadi...”
Semuanya terdiam mendengar hal
ini. Viktul pun segera merenunginya. Tak pernah ia sangka, ia akan segera
kembali lagi ke Lopang Kingdom dan menghadapi pertarungan terakhir secepat ini.
Selama ini ia memang sudah melalui berbagai hal yang amat sulit. Iapun yakin
bahwa ia akan dapat menyelesaikan kesulitan yang berikutnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- azhhaa
- serang, banten, Indonesia
- saya adalah mahasiswa yang selalu ingin menjadi lebih baik dari orang lain..